Senin, 25 Agustus 2014

Skripsi Syariah:STUDI ANALISIS TENTANG PERAN NADZIR DALAM PENGELOLAAN TANAH WAKAF DITINJAU DARI PERSPEKTIF UU NOMOR 41 TAHUN 2004 PASAL 11 (Studi Kasus Di Desa Dombo Kec. Sayung Kab. Demak)


 BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Perwakafan  atau  wakaf  merupakan  salah  satu  dari  ajaran-ajaran  Islam  yang  mengandung  nilai  ibadah  dan  sosial  dikatakan  mengandung  nilai  ibadah  karena salah satu dorongan wakaf adalah untuk  mencari keridhaan Allah  SWT  dan  dikatakan  mengandung  nilai  sosial  karena  mewakafkan  atau  memberikan  suatu untuk orang lain.
Wakaf  bukan  hanya  merupakan  shadaqah  biasa,  tetapi  merupakan  shadaqah  yang  memiliki  nilai  lebih  daripada  shadaqah-shadaqah  lainnya.
Shadaqah  berupa  wakaf  lebih  besar  pahala  dan  manfaatnya  bagi  orang  yang  memberikan  wakaf,  karena  harta  yang  diwakafkan  itu  akan  terus-menerus  mengalir pahalanya kepada orang yang memberikan wakaf (wakif) sekalipun ia  telah  meninggal,  selama  harta  yang  diwakafkan  itu  masih  bisa  dimanfaatk an.
Selain itu, wakaf bisa menjadi jalan dan perantara untuk memajukan agama serta  membangun  masyarakat  dalam  berbagai  bidang  kehidupan.  Seperti  ibadah, pendidikan,  dakwah,  sosial,  kesehatan  dan  lain-lain.  Dalam  sebuah  hadits  di  terangkan :   Imam Abi al Husain Muslim bin al Hujjaj bin Muslim,  Al Jami’ al Shahih al Mushamma  Shahih Muslim, Semarang: Toha Putra, Juz 3, t,th, hlm.73.    Artinya  :  Menceritakan  kepadaku  Yahya  bin  Ayyub,  Qutaibah  (Ibnu  Said),  dan  Ibnu  Hujrin  mereka  berkata,   telah  menceritakan  kepada  kami  Ismail  (Ibnu Jafar) dari al „Allak dari ayahnya, dari Abi Hurairah sesungguhnya  Rasulallah  SAW  bersabda:  “Apabila  manusia  meninggal  dunia,  maka  putuslah amalnya, kecuali dari tiga perkara : shadaqah Jariyah, ilmu yang  bermanfaat,  dan  anak  shaleh  yang  mendoakan  orang  tuanya”.  (HR.

Muslim) Dalam Islampun seseorang dianjurkan untuk menafkahkan sebagian harta  benda  miliknya.  Sebagaimana  dijelaskan  dalam  Al-Quran  yang  sekaligus  menjadi dasar hukum wakaf, seperti ayat berikut: Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),  sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan  apa  saja  yang  kamu  nafkahkan,  maka  sesungguhnya  Allah  mengetahuinya.”  (QS. Ali Imron, 92) Berdasarkan  ayat  di  atas  dapat  diketahui  bahwasanya  Allah  SWT  memerintahkan  kepada  manusia  untuk  menyisihkan  dan  merelakan  sebagian  harta  yang  dicintainya  untuk  dinafkahkan,  karena  itu  merupakan  sebuah  kebaikan  yang  sempurna.  Dengan  demikian  sebagai  orang  muslim   tidaklah  mengesampingkan ayat tersebut, tapi justru harus sebaliknya, yakni senantiasa  melakukannya dengan baik sesuai dengan apa yang telah diperintahkannya.
Wakaf  menurut  bahasa  Arab  berarti  “al-habsu”,  yang  berasal  dari  kata  kerja  habasa-yahbisu-habsan,  menjauhkan  orang  dari  sesuatu  atau  memenjarakan.  Kemudian kata itu berkembang  menjadi “habbasa” dan  berarti  mewakafkan  harta  karena  Allah.  Kata  wakaf  sendiri  berasal  dari  kata  kerja   Lajnah  Pentashih  Mushaf  Al-Quran  Departemen  Agama  RI,  Al-Qur’an  dan  Terjemahnya,  Bandung, 2005, hlm. 49.
 waqafa  (fi’il  madhi)-yaqifu  (fi’il  mudhari’)-waqfan  (isim  masdar)  yang  berarti  berhenti atau berdiri. Sedangkan wakaf menurut istilah syara adalah “menahan  harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau  merusakkan bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan”.
 Adapun  definisi  wakaf  sebagaimana  tercantum  dalam  Undang-Undang  Nomor  41  Tahun  2004  adalah  Perbuatan  hukum  wakif  untuk  memisahkan  dan/atau  menyerahkan  sebagian  harta  benda  miliknya  untuk  dimanfaatkan  selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna  keperluan  ibadah  dan/atau  kesejahteraan  umum  menurut  syariah.
 Kemudian  dengan adanya pertimbangan bahwa praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan  masyarakat  belum  sepenuhnya  berjalan  tertib  dan  efisien  sehingga  dalam  berbagai  kasus  harta  wakaf  tidak  dipelihara  dan  dikelola  oleh  nadzir sebagaimana mestinya.
Keadaan demikian itu  tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan  nadzir  dalam  mengelola  dan  mengembangkan  harta  benda  wakaf  tapi  karena  juga  sikap  masyarakat  yang  kurang  peduli  atau  belum  memahami  status  harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai  dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
 Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak  agama  Islam  masuk  di  Indonesia.  Sebagai  suatu  lembaga  Islam,  wakaf  telah   Adijani  Al-Alabij,  Perwakafan  Tanah  di  Indonesia  dalam  Teori  dan  Praktek,  Jakarta,  PT,  Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 23.
 Direktorat  Jendral  Pembinaan  Kelembagaan  Islam,  Departemen  Agama  RI,  Peraturan  Perundangan Perwakafan, Jakarta, 2006, hlm. 2-3.
 Departemen  Agama  RI,  Undang-Undang  Wakaf  dan  Peraturan  Pemerintah  Tentang  Pelaksanaannya, Jakarta, 2007, hlm. 39.
 menjadi salah satu penunjang  perkembangan masyarakat Islam.  Sebagian  besar  tanah wakaf di Indonesia digunakan untuk rumah ibadah, perguruan tinggi Islam  dan  lembaga-lembaga  keagamaan  Islam  lainnya.
 Mengingat  manfaatnya  yang  sangat  besar  bagi  kepentingan  sosial,  maka  wakaf  harus  dikelola  dan  dikembangkan  oleh  orang-orang  yang  ahli  di  dalam  menangani  obyek  wakaf  serta  mempunyai  jaminan  kepastian  hukum.  Berdasarkan  kenyataan  yang  demikian,  pemerintah  memandang  perlu  diberikan  landasan  hukum  yang  kuat  dalam  bentuk  peraturan  perundang-undangan  dalam  pengelolaan  dan  pemanfaatan obyek wakaf.
Undang-Undang  Nomor  41  Tahun  2004  Pasal  11,  menyatakan  bahwa:  “Nadzir  mempunyai  tugas  melakukan  pengadministrasian  harta  benda  wakaf,  mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi  dan peruntukannya, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf, melaporkan  pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia”  .
Peraturan  Pemerintah  Nomor  42  Tahun  2006  Pasal  1  (4)  menjelaskan  bahwa  nadzir  adalah  pihak  yang  menerima  benda  wakaf  baik  perorangan  maupun badan hukum yang diberi tugas untuk mengelola dan mengembangkan  sesuai  dengan  peruntukannya.  Nadzir  merupakan  unsur  penting  dalam  sistem  perwakafan,  karena  nadzir  adalah  ujung  tombak  perwakafan  tanpa  adanya  nadzir  peruntukan  dan  tujuan  wakaf  tidak  akan  tercapai.  Dalam  usaha  untuk   Departemen Agama RI, Lembaga Pengelola Wakaf (Nazhir), Jakarta, 2004, hal.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi