Sabtu, 16 Agustus 2014

Skripsi Syariah:STUDI ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN MAHMUD SYALTUT TENTANG HUKUM OBLIGASI


BAB I  PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah  Pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat banyak memunculkan berbagai  perkembangan jenis dan bentuk mu’amalah yang dilakukan oleh setiap  masyarakat pada saat ini, sehingga banyak menimbulkan persoalan baru, seperti  halnya perkembangan dalam transaksi jualbeli yang terjadi di pasar modal yang  memunculkan persoalan terhadap penetapan Hukum Islam atas transaksi tersebut,  Hukum Islam saat ini dihadapkan pada suatu problematika suatu sistem saham  dan obligasi yang beredar tidak hanya di pasar modal tetapi juga di dalam dunia  perbankan, efek tersebut diedarkan dalam berbagai bentuk transaksi misalnya  dalam bentuk jual beli, investasi, pembiayaan, dan sebagainya, di mana  pembiayaan tersebut bisa berupa penyertaan bagi hasil atau kredit (hutang) yang  dijamin dengan surat hutang (obligasi) serta surat-surat berharga lainnya seperti  saham, dan sebagainya. yang apabila di lihat dari sisi pendapatan laba mempunyai  dua aspek yaitu deviden(untuk saham) bunga (untuk obligasi) dan juga  keuntungan jual beli (capital again).

 Obligasi merupakan surat pengakuan utang bersyarat, yang semua  perjanjian obligasi tersebut harus dijelaskan dalam prospectus, dalam Islam  perjanjian utang piutang diwajibkan harus dituliskan dalam suatu surat perjanjian  2  namun dilarang mengurangi utangnya ataupun adanya syarat tambahan dalam  perjanjian utang piutang tersebut.
  Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah  SWT dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 282-283, yaitu :  Artinya : Hai orang-orang yang beriman, Apabila kamu bermuamalah  tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
 Dan hendaklah Seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
 Dan Janganlah penulis itu enggan menuliskannya, sebagaimana Allah telah  mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang  berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia  bertaqwa kepada Allah Tuhan-Nya dan janganlah ia mengurangi sedikitpun  daripada hutangnya.
  Berkenaan dengan hutang-piutang tersebut, Al-Qur’an telah menggariskan  beberapa peraturan untuk kebaikan keduabelah pihak yang berutang dan yang  berpiutang. Keduanya telah diperintahkan untuk membuat perjanjian surat  menyurat supaya nantinya tidak ada pihak yang lupa atau keliru sehingga tidak  terjadi perselisihan di kemudian hari, ayat di atas mengingatkan dan  memerintahkan kepada orang-orang yang beriman. Berkenaan dengan hutangpiutang di antaranya : pertama; agar supaya utang-piutang yang telah ditentukan  waktu pembayarannya hendaknya dibuatkanperjanjian surat-menyurat yang  dipegang dan dipedomani oleh ke dua belah pihak tersebut. Kedua; adanya  seorang penulis yang ditugaskan untuk menulis surat perjanjian utang-piutang ini  1  Ahmad Muhammad Al-Assal, Fathi Akhmad Abdul Karim, Terj. Imam Saefudin, Sistem Prinsip dan  Tujuan Ekonomi Islam, h.109   Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, h. 70  3  dengan tidak menambah dan mengurangi jumlah hutang, tidak juga mengurangi  atau menambah jangka waktu pembayaran serta menulisnya dengan jujur dan  menyalin dari hal-hal yang bisa menyebabkan salah faham dan kekeliruan di  kemudian hari. Ketiga; bagi orang-yang telah pandai tulis baca, janganlah enggan  untuk menuliskannya, apabila di minta oleh kedua belah pihak yang  bersangkutan. Keempat; yang membacakan (mendektekan) adalah apa yang akan  dituliskan dalam surat perjanjian itu ialah orang berhutang, karena dialah yang  lebih terikat dalam perjanjian itu. Maka ia hendaklah ia membacakan apa yang  akan dituliskan itu dengan jujur dan menurut sebenarnya.
  Sedangkan obligasi adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam dunia  keuangan yang merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada  pemegang obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta  kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran. Ketentuan lain  dapat juga dicantumkan dalam obligasi tersebut seperti misalnya identitas  pemegang obligasi, pembatasan-pembatasan atas tindakan hukum yang dilakukan  oleh penerbit. Obligasi pada umumnya diterbitkan untuk suatu jangka waktu tetap  di atas 10 tahun. Misalnya saja pada Obligasi pemerintah Amerika yang disebut  "U.S.Treasury securities" diterbitkan untuk masa jatuh tempo 10 tahun atau  lebih. Surat utang berjangka waktu 1 hingga 10 tahun disebut "surat utang" dan  utang di bawah 1 tahun disebut "Surat Perbendaharaan. Di Indonesia, Surat utang  berjangka waktu 1 hingga 10 tahun yang diterbitkan oleh pemerintah disebut   Bahrudin, Ensiklopedia Al-Qur'an. Buku I, h. 447-449  4  Surat Utang Negara (SUN) dan utang di bawah 1 tahun yang diterbitkan  pemerintah disebut Surat Perbendaharaan Negara (SPN).
 Obligasi secara ringkasnya adalah merupakan utang tetapi dalam bentuk  sekuriti. "Penerbit" obligasi adalah merupakan si peminjam atau debitur,  sedangkan "pemegang" obligasi adalah  merupakan pemberi pinjaman atau  kreditur dan "kupon" obligasi adalah bunga pinjaman yang harus dibayar oleh  debitur kepada kreditur. Dengan penerbitan obligasi ini maka dimungkinkan bagi  penerbit obligasi guna memperoleh pembiayaan investasi jangka panjangnya  dengan sumber dana dari luar perusahaan.
 Pada beberapa negara, istilah "obligasi" dan "surat utang" dipergunakan  tergantung pada jangka waktu jatuh temponya. Pelaku pasar biasanya  menggunakan istilah obligasi untuk penerbitan surat utang dalam jumlah besar  yang ditawarkan secara luas kepada publik dan istilah "surat utang" digunakan  bagi penerbitan surat utang dalam skala kecil yang biasanya ditawarkan kepada  sejumlah kecil investor. Tidak ada pembatasan yang jelas atas penggunaan istilah  ini. Ada juga dikenal istilah "surat perbendaharaan" yang digunakan bagi sekuriti  berpenghasilan tetap dengan masa jatuh tempo 3 tahun atau kurang . Obligasi  memiliki resiko yang tertinggi dibandingkan dengan "surat utang" yang memiliki  resiko menengah dan "surat perbendaharaan" yang memiliki resiko terendah yang  5  mana dilihat dari sisi "durasi" surat utang di mana makin pendek durasinya  memiliki resiko makin rendah.
  Obligasi dalam definisi konvensional adalah surat hutang, maka meskipun  telah direstrukturisasi seperti yang telah diterangkan di atas namun tetap ia  merupakan dasarnya adalah surat hutang. Penulis tidak mengatakan bahwa  obligasi syariah yang telah menghilangkan riba dan konsekwensi lain yang  menyebabkan ia haram lewat rekontruksirisasi itu masih haram. Akan tetapi  hanya ingin menerangkan bahwa sesungguhnyapemakaian obligasi syariah suatu  hal yang gegabah karena kita memiliki instrumen lain yang murni, tidak perlu  “disamak” seperti obligasi apalagi direkontruksirisasi. Sukuk ini merupakan  sertifikat kepemilikan terhadap sebagian aset dalam suatu usaha. Kepemilikan ini  dapat disandarkan dengan aqad mud}a>rabah, musya>rakah, ija>rah, istisna>’ dan sebagainya.
 Sukuk sudah jelas tidak ada yang perlu dipertentangkan. Lantas, obligasi  yang dasar-dasarnya adalah surat hutang bagaimana apabila dijelaskan ketika  mengadopsi “sembarang” dan menyandarkan kebolehanya menurut syariah  kepada aqad-aqad yang terkesan dipaksakan, hanya  aqad murabahahyang  memungkinkan untuk digunakan. Bagaimana hutang itu digabung dengan syaratsyarat lain seperti pembagian hasil atau penerimaan  fee. Bukankah hutang  memiliki aturan “main” nya sendiri seperti qard{yang tidak memungut apapun.
 Bahwa hukum berhutang itu mubahdan juga bisa sunah tergantung situasi   http://id.search.yahoo.com/search; pengertianobligasi, diakses 24 Desember 2008  6  sedangkan membayarnya adalah wajib. Wajib bagi yang mampu membayar. Yang  dikutip dalam h{adis Imam Bukhari sebagai berikut “Penunda-nundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu adalah  suatu ked}aliman.” Dalam hadits yang lain diterangkan bahwa “Pengemplangan  oleh orang berada menghalalkan pencercaan nama baiknya dan pengenaan  hukuman”  Hadits kedua ini menjadi dasar hukuman kurungan bagi  pengemplang.
 Bagi  debitur  yang  belum  mampu  membayar  tidak  bisa  dipaksakan  dengan cara apapun apa lagi menjatuhkan denda seperti tambahanbiaya, hal ini  jelas-jelas riba. Bagi kreditur dianjurkan untuk berlapang dan bersabar sehingga  kreditur mampu membayarnya. Demikian dijelaskan dalam al-Qur’an, h}adis dan  fiqh. Dari h}adis} di atas dapat dijelaskan bahwa bagi debitur yang mengemplang  dapat dijatuhkan denda seperti Iqab(hukuman) kurungan dapat dijatuhkan kepada  debitur ini. Pendapat ini tidak diperselisihkan.
 Namun terjadi perselisihan diantara para ahli hukum Islam (fuqaha)  tentang apakah sanksi pidana berupa dendadapat dijatuhkan bagi pengemplang.
 Pendapat yang masyhur menyatakan sanksi pidana berupa denda tidak dapat  dijatuhkan kepada debitur pengemplang. Dan juga mengenai pengenaan denda  perdata murni (pengganti kerugian) tidakseorangpun dari ulama klasik yang   Al Bukhari, S}ahih Al-Bukhari, Bab al-Hiwalah Hadits Nomor 2143 dari Abu Hurairah, h. 861   Ibid, Nomor 2271  7  membolehkannya karena itu dipandang tambahan yang akan diserahkan dan  diterima kreditur adalah riba yang diharamkan.
  Pembaharuan pemikiran hukum Syaltut mencakup berbagai bidang antara  lain bidang muamalah yang membahasstatus akan menggunakan keuntungan  (fee) dari aktivitas bank tabungan, kantor pos, bidang persaksian, al-ahwal alsyakhsiyyah, di bidang jinayah, sedangkan pembahasan lain dalam bidang  muamalah adalah mengenai status bidang obligasi.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi