BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat banyak
memunculkan berbagai perkembangan jenis
dan bentuk mu’amalah yang dilakukan oleh setiap masyarakat pada saat ini, sehingga banyak
menimbulkan persoalan baru, seperti halnya
perkembangan dalam transaksi jualbeli yang terjadi di pasar modal yang memunculkan persoalan terhadap penetapan Hukum
Islam atas transaksi tersebut, Hukum
Islam saat ini dihadapkan pada suatu problematika suatu sistem saham dan obligasi yang beredar tidak hanya di pasar
modal tetapi juga di dalam dunia perbankan,
efek tersebut diedarkan dalam berbagai bentuk transaksi misalnya dalam bentuk jual beli, investasi, pembiayaan,
dan sebagainya, di mana pembiayaan
tersebut bisa berupa penyertaan bagi hasil atau kredit (hutang) yang dijamin dengan surat hutang (obligasi) serta
surat-surat berharga lainnya seperti saham,
dan sebagainya. yang apabila di lihat dari sisi pendapatan laba mempunyai dua aspek yaitu deviden(untuk saham) bunga
(untuk obligasi) dan juga keuntungan
jual beli (capital again).
Obligasi merupakan surat pengakuan utang
bersyarat, yang semua perjanjian
obligasi tersebut harus dijelaskan dalam prospectus, dalam Islam perjanjian utang piutang diwajibkan harus
dituliskan dalam suatu surat perjanjian 2
namun dilarang mengurangi utangnya
ataupun adanya syarat tambahan dalam perjanjian
utang piutang tersebut.
Sebagaimana
dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam
Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 282-283, yaitu : Artinya : Hai orang-orang yang beriman,
Apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan hendaklah Seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar.
Dan Janganlah penulis itu enggan menuliskannya,
sebagaimana Allah telah mengajarkannya,
maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa
kepada Allah Tuhan-Nya dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
Berkenaan
dengan hutang-piutang tersebut, Al-Qur’an telah menggariskan beberapa peraturan untuk kebaikan keduabelah
pihak yang berutang dan yang berpiutang.
Keduanya telah diperintahkan untuk membuat perjanjian surat menyurat supaya nantinya tidak ada pihak yang
lupa atau keliru sehingga tidak terjadi
perselisihan di kemudian hari, ayat di atas mengingatkan dan memerintahkan kepada orang-orang yang beriman.
Berkenaan dengan hutangpiutang di antaranya : pertama; agar supaya
utang-piutang yang telah ditentukan waktu
pembayarannya hendaknya dibuatkanperjanjian surat-menyurat yang dipegang dan dipedomani oleh ke dua belah
pihak tersebut. Kedua; adanya seorang
penulis yang ditugaskan untuk menulis surat perjanjian utang-piutang ini 1 Ahmad
Muhammad Al-Assal, Fathi Akhmad Abdul Karim, Terj. Imam Saefudin, Sistem
Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, h.109 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, h. 70 3 dengan
tidak menambah dan mengurangi jumlah hutang, tidak juga mengurangi atau menambah jangka waktu pembayaran serta
menulisnya dengan jujur dan menyalin
dari hal-hal yang bisa menyebabkan salah faham dan kekeliruan di kemudian hari. Ketiga; bagi orang-yang telah
pandai tulis baca, janganlah enggan untuk
menuliskannya, apabila di minta oleh kedua belah pihak yang bersangkutan. Keempat; yang membacakan
(mendektekan) adalah apa yang akan dituliskan
dalam surat perjanjian itu ialah orang berhutang, karena dialah yang lebih terikat dalam perjanjian itu. Maka ia
hendaklah ia membacakan apa yang akan
dituliskan itu dengan jujur dan menurut sebenarnya.
Sedangkan
obligasi adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam dunia keuangan yang merupakan suatu pernyataan utang
dari penerbit obligasi kepada pemegang
obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh
tempo pembayaran. Ketentuan lain dapat
juga dicantumkan dalam obligasi tersebut seperti misalnya identitas pemegang obligasi, pembatasan-pembatasan atas
tindakan hukum yang dilakukan oleh
penerbit. Obligasi pada umumnya diterbitkan untuk suatu jangka waktu tetap di atas 10 tahun. Misalnya saja pada Obligasi
pemerintah Amerika yang disebut "U.S.Treasury
securities" diterbitkan untuk masa jatuh tempo 10 tahun atau lebih. Surat utang berjangka waktu 1 hingga 10
tahun disebut "surat utang" dan utang di bawah 1 tahun disebut "Surat
Perbendaharaan. Di Indonesia, Surat utang berjangka waktu 1 hingga 10 tahun yang
diterbitkan oleh pemerintah disebut Bahrudin,
Ensiklopedia Al-Qur'an. Buku I, h. 447-449 4 Surat
Utang Negara (SUN) dan utang di bawah 1 tahun yang diterbitkan pemerintah disebut Surat Perbendaharaan Negara
(SPN).
Obligasi secara ringkasnya adalah merupakan
utang tetapi dalam bentuk sekuriti.
"Penerbit" obligasi adalah merupakan si peminjam atau debitur, sedangkan "pemegang" obligasi
adalah merupakan pemberi pinjaman atau kreditur dan "kupon" obligasi adalah
bunga pinjaman yang harus dibayar oleh debitur
kepada kreditur. Dengan penerbitan obligasi ini maka dimungkinkan bagi penerbit obligasi guna memperoleh pembiayaan
investasi jangka panjangnya dengan
sumber dana dari luar perusahaan.
Pada beberapa negara, istilah
"obligasi" dan "surat utang" dipergunakan tergantung pada jangka waktu jatuh temponya.
Pelaku pasar biasanya menggunakan
istilah obligasi untuk penerbitan surat utang dalam jumlah besar yang ditawarkan secara luas kepada publik dan
istilah "surat utang" digunakan bagi penerbitan surat utang dalam skala kecil
yang biasanya ditawarkan kepada sejumlah
kecil investor. Tidak ada pembatasan yang jelas atas penggunaan istilah ini. Ada juga dikenal istilah "surat
perbendaharaan" yang digunakan bagi sekuriti berpenghasilan tetap dengan masa jatuh tempo 3
tahun atau kurang . Obligasi memiliki
resiko yang tertinggi dibandingkan dengan "surat utang" yang memiliki
resiko menengah dan "surat
perbendaharaan" yang memiliki resiko terendah yang 5 mana
dilihat dari sisi "durasi" surat utang di mana makin pendek durasinya
memiliki resiko makin rendah.
Obligasi
dalam definisi konvensional adalah surat hutang, maka meskipun telah direstrukturisasi seperti yang telah
diterangkan di atas namun tetap ia merupakan
dasarnya adalah surat hutang. Penulis tidak mengatakan bahwa obligasi syariah yang telah menghilangkan riba
dan konsekwensi lain yang menyebabkan ia
haram lewat rekontruksirisasi itu masih haram. Akan tetapi hanya ingin menerangkan bahwa
sesungguhnyapemakaian obligasi syariah suatu hal yang gegabah karena kita memiliki
instrumen lain yang murni, tidak perlu “disamak”
seperti obligasi apalagi direkontruksirisasi. Sukuk ini merupakan sertifikat kepemilikan terhadap sebagian aset
dalam suatu usaha. Kepemilikan ini dapat
disandarkan dengan aqad mud}a>rabah, musya>rakah, ija>rah,
istisna>’ dan sebagainya.
Sukuk sudah jelas tidak ada yang perlu
dipertentangkan. Lantas, obligasi yang
dasar-dasarnya adalah surat hutang bagaimana apabila dijelaskan ketika mengadopsi “sembarang” dan menyandarkan
kebolehanya menurut syariah kepada
aqad-aqad yang terkesan dipaksakan, hanya
aqad murabahahyang memungkinkan
untuk digunakan. Bagaimana hutang itu digabung dengan syaratsyarat lain seperti
pembagian hasil atau penerimaan fee.
Bukankah hutang memiliki aturan “main”
nya sendiri seperti qard{yang tidak memungut apapun.
Bahwa hukum berhutang itu mubahdan juga bisa
sunah tergantung situasi http://id.search.yahoo.com/search;
pengertianobligasi, diakses 24 Desember 2008 6 sedangkan
membayarnya adalah wajib. Wajib bagi yang mampu membayar. Yang dikutip dalam h{adis Imam Bukhari sebagai
berikut “Penunda-nundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu adalah suatu ked}aliman.” Dalam hadits yang lain
diterangkan bahwa “Pengemplangan oleh
orang berada menghalalkan pencercaan nama baiknya dan pengenaan hukuman”
Hadits kedua ini menjadi dasar hukuman kurungan bagi pengemplang.
Bagi
debitur yang belum
mampu membayar tidak
bisa dipaksakan dengan cara apapun apa lagi menjatuhkan denda
seperti tambahanbiaya, hal ini jelas-jelas
riba. Bagi kreditur dianjurkan untuk berlapang dan bersabar sehingga kreditur mampu membayarnya. Demikian
dijelaskan dalam al-Qur’an, h}adis dan fiqh.
Dari h}adis} di atas dapat dijelaskan bahwa bagi debitur yang mengemplang dapat dijatuhkan denda seperti Iqab(hukuman)
kurungan dapat dijatuhkan kepada debitur
ini. Pendapat ini tidak diperselisihkan.
Namun terjadi perselisihan diantara para ahli
hukum Islam (fuqaha) tentang apakah
sanksi pidana berupa dendadapat dijatuhkan bagi pengemplang.
Pendapat yang masyhur menyatakan sanksi pidana
berupa denda tidak dapat dijatuhkan
kepada debitur pengemplang. Dan juga mengenai pengenaan denda perdata murni (pengganti kerugian)
tidakseorangpun dari ulama klasik yang Al
Bukhari, S}ahih Al-Bukhari, Bab al-Hiwalah Hadits Nomor 2143 dari Abu Hurairah,
h. 861 Ibid, Nomor 2271 7 membolehkannya
karena itu dipandang tambahan yang akan diserahkan dan diterima kreditur adalah riba yang diharamkan.
Pembaharuan
pemikiran hukum Syaltut mencakup berbagai bidang antara lain bidang muamalah yang membahasstatus akan
menggunakan keuntungan (fee) dari
aktivitas bank tabungan, kantor pos, bidang persaksian, al-ahwal alsyakhsiyyah,
di bidang jinayah, sedangkan pembahasan lain dalam bidang muamalah adalah mengenai status bidang
obligasi.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi