BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Wakaf adalah
salah satu bagian
hukum Islam yang
mendapat pengaturan dalam
peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Dengan demikian
wakaf merupakan salah
satu lembaga hukum
Islam yang telah menjadi
hukum positif di Indonesia.
Wakaf sebagai bagian dari hukum
Islam di samping berfungsi sebagai ibadah
kepada Allah, wakaf juga berfungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai ibadah,
wakaf diharapkan menjadi
bekal bagi kehidupan
wakif (pemberi wakaf) di hari akhir, karena pahalanya akan
terus menerus mengalir selama harta
wakaf tersebut dimanfaatkan. Sebagaimana dalam hadis Nabi SAW: “Telah mengabarkan
pada kami dari
Yahya bin Ayub
dan QutaibahYa’ni bin
Sa’id dan Ibn
Hujrin dari Ismail
ibn Ja’far dari Al-Ala’ dari
bapaknya dari Abu
Hurairah, bahwasanya Rasulullah SAW,
telah bersabda: apabila
mati anak Adam,
putuslah amalnya, kecuali tiga (perkara): shadaqah jariyah atau
ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakannya.
Hadis di atas bermakna bahwa amal anak Adam
(manusia) yang telah mati itu
terputus pembaharuan pahalanya,
kecuali di dalam
ketiga perkara Imam Abi Husain Muslim bin Al-Hajaj
Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim Jilid
3, Beirut, Libanon: Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah, 1992, h.73 tersebut,
karena ketiganya berasal
dari satu nasabnya,
yaitu anaknya, ilmu yang ditinggalkannya, dan
shadaqah jariyahnya itu
senantiasa berasal dari usahanya.
Para
ulama’ membelokkan arti
shadaqah jariyah kepada
wakaf, bukan kepada
semacam mewasiatkan kemanfaatan-kemanfaatan yang mubah.
Jelaslah
bagi kita bahwa
wakaf bukan hanya
sedekah biasa, tetapi lebih besar ganjaran dan manfaatnya terhadap
diri yang berwakaf itu sendiri karena
ganjaran wakaf itu terus mengalir selama barang wakaf tersebut masih berguna. Oleh karenanya syariat Islam melarang
untuk menjual, mewariskan, ataupun menghibahkan
benda wakaf tersebut.
Hal ini sebagaimana
yang diriwayatkan dalam sebuah
hadis Rasulullah SAW “Telah
mengabarkan pada kami
dari Yahya bin
Yahya Al-Tamim dari
Sulaim bin Ahdhar
dari Ibn Aun
dari Nafi’ dari
Ibn Umar, ia berkata: Umar ra. mendapat sebidang tanah di Khaibar
kemudian ia menghadap Nabi
saw. untuk meminta
petunjuk tentang pemanfaatannya. Umar
berkata: Wahai Rasulullah,
saya mendapat sebidang
tanah di Khaibar
yang belum pernah
saya dapatkan harta lain
yang lebih berharga darinya. Apa saran engkau tentang hal ini? Beliau
bersabda: Jika kamu
suka, kamu bisa
mewakafkan asetnya Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 4, Jakarta:
Pena Pundi Aksara, 2006, hlm.
Aliy As’ad, Terjamah Fathul Mu’in jilid 2,
Kudus: Menara Kudus, hlm.
Imam Abi Husain Muslim bin Al-Hajaj, Op Cit.,
h.1255 dan bersedekah
dengan hasilnya. Maka
Umar bersedekah dengan hasilnya
atas dasar asetnya
tidak boleh dijual,
dibeli, diwarisi atau dihibahkan. Umar
bersedekah kepada fakir-miskin,
kerabat, untuk memerdekakan
budak, jihad di
jalan Allah, ibnu
sabil serta tamu.
Tidak dosa
bagi orang yang
mengurusnya memakan sebagian hasilnya dengan cara yang baik atau untuk
memberi makan seorang teman tanpa
menyimpannya.
Hadis di atas menerangkan bahwa Umar menyedekahkan
manfaatnya dengan syarat
tanah itu tidak
akan dijual, tidak
diberikan, dan tidak
juga diwariskan. Tanah
itu diwakafkan untuk
orang-orang fakir, kaum
kerabat, memerdekakan hamba
sahaya, sabilillah, ibnu
sabil dan tamu.
Tidak ada halangan
bagi orang yang
mengurusinya untuk memakan
sebagian darinya dengan cara yang ma’ruf dan juga memakannya
tanpa menganggap bahwa itu tanahnya sendiri.
Demikian
halnya dalam Undang-Undang
RI Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf, menyatakan
bahwa “harta benda
wakaf yang sudah
diwakafkan dilarang dijadikan
jaminan, disita, dihibahkan,
dijual, diwariskan, ditukar, atau
dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya”.
Adapun
suatu benda itu
dapat dinyatakan sah
dan berlaku sebagai benda
wakaf, apabila melalui
salah satu dari
dua perkara. Pertama,
dengan perbuatan yang menunjukkan
hal tersebut, seperti jika seseorang membangun masjid
dan mengumandangkan adzan.
Semua itu tidak
memerlukan keputusan hakim.
Kedua, dengan ucapan,
baik itu dengan
tegas (sharih) ataupun
dengan tersembunyi (kinayah).
Namun
Al-Imam Al-Syafi’i berpendapat bahwa wakaf itu suatu ibadat yang
disyariatkan dan telah berlaku Sayyid
Sabiq, Op. Cit.,hlm.
Pasal 40 Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf.
Sayyid Sabiq, Op. Cit.,hlm. 427 dengan sebutan lafad.
Artinya bahwa dengan perbuatan saja tidaklah
cukup, bahkan belum dikatakan sebagai
wakaf apabila tidak disertai dengan ucapan.
Apabila seseorang
yang berwakaf melakukan
sesuatu yang menunjukkan
makna wakaf atau
mengucapkan dengan menggunakan
katakata wakaf, maka wakaf menjadi suatu keharusan dengan syarat orang
yang berwakaf adalah orang yang sah
dalam tindakannya. Menurut pendapat Imam Al-Syafi’i,
Malik, dan Ahmad,
wakaf dianggap sah
dengan adanya lafadz atau sighat walaupun tidak ditetapkan oleh
hakim.
Jika
wakaf telah berlaku, maka tidak
boleh dijual, dihibahkan,
diwariskan, dan diperlakukan
dengan sesuatu yang dapat
menghilangkan kewakafannya.
Wakaf
sebagai bagian dari
hukum Islam yang
telah menjadi hukum positif
di Indonesia, maka untuk menghindari terjadinya sesuatu yang dapat menghilangkan kewakafannya disusunlah
aturan-aturan tentang wakaf. Salah satunya dalam
Instruksi Presiden R.I.
Nomor 1 Tahun
1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa “Pihak-pihak yang mewakafkan
harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf sebagaimana dimaksud Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,
Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar
Mazhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm.146 Al-Allamah
Muhammad bin Abdurrahman
ad-Dimasyqi, Fiqh Empat Mazhab,Terj.
Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-A’immah, Bandung: Hasyimi, 2010, h.
Sayyid Sabiq, Loc. Cit.
dalam
pasal 215 ayat
(6), yang kemudian
menuangkannya dalam bentuk ikrar wakaf dengan disaksikan
sekurang-kurangnya 2 orang saksi”.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi