Senin, 25 Agustus 2014

Skripsi Syariah:TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENGIKRARAN KEMBALI TANAH WAKAF (Studi Kasus Tanah Wakaf Mushola An-Nur Desa Boloh Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan)


 BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Wakaf  adalah  salah  satu  bagian  hukum  Islam  yang  mendapat  pengaturan  dalam  peraturan  perundang-undangan  di  Indonesia.  Dengan  demikian  wakaf  merupakan  salah  satu  lembaga  hukum  Islam  yang  telah  menjadi hukum positif di Indonesia.
Wakaf sebagai bagian dari hukum Islam di samping berfungsi sebagai  ibadah kepada Allah, wakaf juga berfungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai  ibadah,  wakaf  diharapkan  menjadi  bekal  bagi  kehidupan  wakif  (pemberi  wakaf) di hari akhir, karena pahalanya akan terus menerus mengalir selama  harta wakaf tersebut dimanfaatkan. Sebagaimana dalam hadis Nabi SAW: Telah  mengabarkan  pada  kami  dari  Yahya  bin  Ayub  dan  QutaibahYa’ni  bin  Sa’id  dan  Ibn  Hujrin  dari  Ismail  ibn  Ja’far  dari  Al-Ala’  dari  bapaknya  dari  Abu  Hurairah,  bahwasanya  Rasulullah  SAW,  telah  bersabda:  apabila  mati  anak  Adam,  putuslah  amalnya,  kecuali tiga (perkara): shadaqah jariyah atau ilmu  yang bermanfaat  atau anak shalih yang mendoakannya.
Hadis  di atas bermakna bahwa amal anak Adam (manusia) yang telah  mati  itu  terputus  pembaharuan  pahalanya,  kecuali  di  dalam  ketiga  perkara   Imam Abi Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim  Jilid 3, Beirut, Libanon: Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah, 1992, h.73   tersebut,  karena  ketiganya  berasal  dari  satu  nasabnya,  yaitu  anaknya,  ilmu  yang  ditinggalkannya,  dan  shadaqah  jariyahnya  itu  senantiasa  berasal  dari  usahanya.

 Para  ulama’  membelokkan  arti  shadaqah  jariyah  kepada  wakaf,  bukan  kepada  semacam  mewasiatkan  kemanfaatan-kemanfaatan  yang  mubah.
 Jelaslah  bagi  kita  bahwa  wakaf  bukan  hanya  sedekah  biasa,  tetapi  lebih besar ganjaran dan manfaatnya terhadap diri yang berwakaf itu sendiri  karena ganjaran wakaf itu terus mengalir selama barang wakaf tersebut masih  berguna. Oleh karenanya syariat Islam melarang untuk menjual, mewariskan,  ataupun  menghibahkan  benda  wakaf  tersebut.  Hal  ini  sebagaimana  yang  diriwayatkan dalam sebuah hadis Rasulullah SAW “Telah  mengabarkan  pada  kami  dari  Yahya  bin  Yahya  Al-Tamim  dari  Sulaim  bin  Ahdhar  dari  Ibn  Aun  dari  Nafi’  dari  Ibn  Umar,  ia  berkata:  Umar ra. mendapat sebidang tanah di Khaibar kemudian ia  menghadap  Nabi  saw.  untuk  meminta  petunjuk  tentang  pemanfaatannya.  Umar  berkata:  Wahai  Rasulullah,  saya  mendapat  sebidang  tanah  di  Khaibar  yang  belum  pernah  saya  dapatkan  harta  lain yang lebih berharga darinya. Apa saran engkau tentang hal ini?  Beliau  bersabda:  Jika  kamu  suka,  kamu  bisa  mewakafkan  asetnya   Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 4, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, hlm.
 Aliy As’ad, Terjamah Fathul Mu’in jilid 2, Kudus: Menara Kudus, hlm.
 Imam Abi Husain Muslim bin Al-Hajaj, Op Cit., h.1255   dan  bersedekah  dengan  hasilnya.  Maka  Umar  bersedekah  dengan  hasilnya  atas  dasar  asetnya  tidak  boleh  dijual,  dibeli,  diwarisi  atau  dihibahkan.  Umar  bersedekah  kepada  fakir-miskin,  kerabat,  untuk  memerdekakan  budak,  jihad  di  jalan  Allah,  ibnu  sabil  serta  tamu.
Tidak  dosa  bagi  orang  yang  mengurusnya  memakan  sebagian  hasilnya dengan cara yang baik atau untuk memberi makan seorang  teman tanpa menyimpannya.
Hadis  di atas menerangkan bahwa Umar menyedekahkan manfaatnya  dengan  syarat  tanah  itu  tidak  akan  dijual,  tidak  diberikan,  dan  tidak  juga  diwariskan.  Tanah  itu  diwakafkan  untuk  orang-orang  fakir,  kaum  kerabat,  memerdekakan  hamba  sahaya,  sabilillah,  ibnu  sabil  dan  tamu.  Tidak  ada  halangan  bagi  orang  yang  mengurusinya  untuk  memakan  sebagian  darinya  dengan cara yang ma’ruf dan juga memakannya tanpa menganggap bahwa itu  tanahnya  sendiri.
 Demikian  halnya  dalam  Undang-Undang  RI  Nomor  41  Tahun  2004  Tentang  Wakaf,  menyatakan  bahwa  “harta  benda  wakaf  yang  sudah  diwakafkan  dilarang  dijadikan  jaminan,  disita,  dihibahkan,  dijual,  diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya”.
 Adapun  suatu  benda  itu  dapat  dinyatakan  sah  dan  berlaku  sebagai  benda  wakaf,  apabila  melalui  salah  satu  dari  dua  perkara.  Pertama,  dengan  perbuatan yang menunjukkan hal tersebut, seperti jika seseorang membangun  masjid  dan  mengumandangkan  adzan.  Semua  itu  tidak  memerlukan  keputusan  hakim.  Kedua,  dengan  ucapan,  baik  itu  dengan  tegas  (sharih)  ataupun  dengan  tersembunyi  (kinayah).
 Namun  Al-Imam  Al-Syafi’i  berpendapat bahwa wakaf itu suatu ibadat yang disyariatkan dan telah berlaku   Sayyid Sabiq, Op. Cit.,hlm.
 Pasal 40 Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
 Sayyid Sabiq, Op. Cit.,hlm. 427   dengan sebutan lafad.
 Artinya bahwa dengan perbuatan saja tidaklah cukup,  bahkan belum dikatakan sebagai wakaf apabila tidak disertai dengan ucapan.
Apabila  seseorang  yang  berwakaf  melakukan  sesuatu  yang  menunjukkan  makna  wakaf  atau  mengucapkan  dengan  menggunakan  katakata wakaf, maka wakaf menjadi suatu keharusan dengan syarat orang yang  berwakaf adalah orang yang sah dalam tindakannya. Menurut pendapat Imam  Al-Syafi’i,  Malik,  dan  Ahmad,  wakaf  dianggap  sah  dengan  adanya  lafadz  atau sighat walaupun tidak ditetapkan oleh hakim.
 Jika  wakaf telah berlaku,  maka  tidak  boleh  dijual,  dihibahkan,  diwariskan,  dan  diperlakukan  dengan  sesuatu yang dapat menghilangkan kewakafannya.
 Wakaf  sebagai  bagian  dari  hukum  Islam  yang  telah  menjadi  hukum  positif di Indonesia, maka untuk menghindari terjadinya sesuatu  yang dapat  menghilangkan kewakafannya disusunlah aturan-aturan tentang wakaf. Salah  satunya  dalam  Instruksi  Presiden  R.I.  Nomor  1  Tahun  1991  Tentang  Kompilasi Hukum Islam (KHI)  yang menyatakan bahwa “Pihak-pihak  yang  mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada  Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud   Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,  Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan  Antar Mazhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm.146   Al-Allamah  Muhammad  bin  Abdurrahman  ad-Dimasyqi,  Fiqh  Empat  Mazhab,Terj. Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-A’immah, Bandung: Hasyimi, 2010, h.
 Sayyid Sabiq, Loc. Cit.
 dalam  pasal  215  ayat  (6),  yang  kemudian  menuangkannya  dalam  bentuk  ikrar wakaf dengan disaksikan sekurang-kurangnya 2 orang saksi”.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi