BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan baru
dalam dunia perbankan
di Indonesia menunjukkan prospek yang lebih baik sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang perbankan. Penyempurnaan landasan hukum beroperasinya
perbankan syari’ah nasional
merupakan suatu proses
yang berkelanjutan. Hal ini
ditandai dengan penyempurnaan peraturan perbankan syari’ah
dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1998
tentang perbankan dinyatakan
dengan jelas mengenai
penggolongan kegiatan usaha
bank menjadi dua
jenis, yakni bank
yang melakukan kegiatan
usaha secara konvensional dan bank yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syari’ah. Berdasarkan
Undang-Undang ini dimungkinkan
bagi bank konvensional
membuka kantor cabang
syari’ah yang merupakan
tonggak penting dimulainya awal
sistem perbankan di Indonesia,
yaitu sebuah bank yang dapat
beroperasi dengan dua
sistem yang berbeda
(dual banking system),
namun dapat melengkapi
pelayanan yang baik
pada masyarakat.
Penyempurnaan tentang
Undang-Undang tersebut tidak
berhenti di situ, dengan adanya
Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 yang
mengatur secara terpisah
tentang perbankan syari’ah
telah memberikan angin
segar bagi perbankan yang beroperasi dengan sistem
syari’ah untuk terus melaju dalam
dunia perbankan di Indonesia.
Lembaga
keuangan syari’ah merupakan
lembaga keuangan yang tidak hanya
mengedepankan profit
oriented saja, melainkan suatu
lembaga keuangan yang
juga mengedepankan kemaslahatan
masyarakat sesuai dengan
tuntutan syari’ah yang
menjadi landasan dari
semua lembaga keuangan
syari’ah. Salah satu
aplikasinya adalah menerapkan
pelayanan (service) yang berbasis moral dan spiritual.
Bank syari’ah merupakan lembaga intermediasi dan penyedia jasa keuangan
yang bekerja berdasarkan etika dan sistem Islam, khususnya yang bebas
dari bunga (riba),
bebas dari kegiatan
spekulatif dan perjudian (maysir), bebas dari
hal-hal yang tidak
jelas (gharar), berprinsip
keadilan, dan hanya
membiayai kegiatan usaha
yang halal yang
kesemuanya merupakan prinsip-prinsip perbankan
syari’ah. Bank syari’ah
sering dipersamakan dengan
bank tanpa bunga.
Bank tanpa bunga
merupakan konsep yang
lebih sempit dari
bank syari’ah, dimana
sejumlah instrumen atau operasinya bebas dari bunga. Bank
syari’ah selain menghindari bunga, juga sec ara aktif ikut berpartisipasi dalam
mencapai sasaran dan tujuan dari ekonomi
Islam yang berorientasi pada kesejahteraan sosial.
Dalam memberikan
pelayanan lembaga keuangan
syari’ah sudah semakin
lengkap sebagai upaya
untuk memenuhi kebutuhan
pasar. Dari produk penghimpunan dana (funding), pembiayaan
(landing) sampai dengan produk
tambahan berupa jasa (service). Salah satu dari produk pembiayaan yang
telah dikeluarkan oleh
lembaga keuangan syari’ah
adalah produk Muhammad
Fauzi, Analisis Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Keinginan
Migrasi Nasabah Bank Umum
Syari’ah di Kota Semarang, (Semarang: IAIN Walisongo, 2008), hlm. 11.
pembiayaan
dengan akad murabahah
yang dikeluarkan oleh
seluruh bank syari’ah
termasuk Bank Mega
Syari’ah. Pembiayaan dengan
akad murabahah sudah
banyak diterapkan di
perbankan syari’ah sebagai
upaya untuk memenuhi kebutuhan
permodalan masyarakat.
Kajian penerapan
prinsip syari’ah dalam
operasi perbankan syari’ah
merupakan agenda penting
bagi perbankan nasional.
Bank Indonesia telah
mengkaji standarisasi akad
produk perbankan syari’ah, diawali dari akad mudharabah, musyarakah dan
murabahah, yang ditujukan untuk mengidentifikasi penerapan
prinsip syari’ah dan
kemungkinan variasinya dalam
praktek, di sisi
lain masyarakat telah
memiliki persepsi bahwa
bank syari’ah berbeda,
lebih tinggi kualitas
moralnya, etika dan bisnisnya
dibandingkan dengan bank konvensional.
Dalam
literatur ekonomi dan
perbankan syari’ah yang
di publikasikan dengan
rentang waktu antara
1960-an hingga 1970-an, dijelaskan bahwa bank-bank Islam dikonsep
sebagai "Lembaga Keuangan", dimana keseluruhan
pinjaman bisnis yang
diberlakukan kepada pengusaha (partner) berdasarkan prinsip bagi hasil
(profit and lost sharing).
Usaha yang
dilakukan oleh Bank
Mega Syari’ah untuk merealisasikan tujuan
dari masyarakat adalah
dengan menerapkan prinsip bagi
hasil dalam hal
pembiayaan yang dapat
dilakukan dengan menggunakan
akad murabahah. Bagi
hasil dengan akad
murabahah ini merupakan
salah satu ciri
dari lembaga keuangan
tanpa bunga atau
bank Muhammad Fauzi,
Implementasi Prinsip Syari’ah
Pada Perbankan Syari’ah
di Kota Semarang, (Semarang: IAIN Walisongo, 2007),
hlm. 1-4.
Islam. Akan
tetapi bagi hasil dengan
akad murabahah tersebut
sering juga disebut pengganti nama ”bunga”.
Dalam dunia
perbankan, murabahah biasanya
diaplikasikan pada produk
pembiayaan seperti pembiayaan
konsumtif, investasi maupun produktif. Dana untuk kegiatan murabahah
diambil dari simpanan tabungan barjangka seperti
tabungan haji atau
tabungan kurban. Dana
juga dapat dilakukan
dari deposito biasa dan
deposito spesial yang
dititipkan nasabah untuk usaha tetentu.
Bank
Mega Syari’ah hadir
di Kendal karena
melihat pangsa pasarnya yang besar dimana mayoritas masyarakatnya adalah muslim.
Bank Mega Syari’ah
sendiri hadir sebagai
bank yang mengkombinasikan idealisme
usaha dengan nilai-nilai
rohani yang melandasi
operasinya.
Harmoni antara
idealisme usaha dan
nilai-nilai rohani inilah
yang menjadi salah
satu keunggulan Bank
Mega Syari’ah, juga
sebagai alternatif jasa perbankan
di Indonesia.
Dalam pelayanan produk pembiayaan
yang ditawarkan di Unit Mega Mitra
Syari’ah (M2S) Bank Mega Syari’ah
Kaliwungu hanya menggunakan akad murabahah, baik itu pembiayaan untuk
keperluan konsumtif, investasi maupun
produktif. Sehingga keperluan pembiayaan untuk kebutuhan modal usaha
yang sifatnya produktif pun menggunakan
akad murabahah. Dengan adanya
fenomena semacam itu
tentunya menjadi suatu
hal yang menarik, karena
pada umumnya pembiayaan
modal usaha yang
sifatnya produktif Kasmir,
Bank dan Lembaga
Keuangan Lainnya, (Jakarta:
PT Raja Grafindo
Persada, 2005), hlm.184-185.
cenderung menggunakan
akad mudharabah atau
musyarakah. Dalam prakteknya,
akad murabahah yang
diterapkan untuk produk
Pembiayaan Modal Kerja
di Unit Mega Mitra Syari’ah
(M2S) Bank Mega
Syari’ah Kaliwungu terkesan
perlakuanya seperti akad
mudharabah. Hal ini
terjadi karena adanya
tambahan akad wakalah
(perwakilan) pada produk pembiayaan tersebut. Dari hasil pra-riset yang telah dilakukan, peneliti juga menemukan adanya
penentuan margin yang
tidak fear, karena
margin ditentukan dari
tingkat plafon pembiayaan,
bukan dari pembiayaan
barang yang riil. Sedangkan besar-kecilnya plafon pembiayaan juga ditentukan oleh besar kecilnya penyertaan jaminan oleh nasabah. Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi