BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Ulama‟ telah sepakat bahwa meghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya shalat, seperti dalam dalil-dail syara‟ kesalahan dalam menghadap kiblat tentu
saja akan berimbas
pada sah atau
tidaknya shalat.
Hal
tersebut mengindikasikan
bahwa jika seseorang
salah menghadap arah
kiblat akan mengakibatkan
tidak sahnya shalat,
sebagai mana kaidah
ushul fiqih yang berbunyi
:“Suatu kewajiban yang
tidak sah kecuali
dengan adanya suatu
syarat tertentu, maka syarat itu menjadi wajib pula”.
Bagi umat Islam yang berada di sekitar Makkah
tentu saja masalah kiblat tidak menjadi
persoalan. Persoalan akan
berbeda dengan umat
Islam yang berada
selain atau yang
jauh dari Makkah,
ini akan memunculkan
masalah tersendiri karena
jauhnya jarak dari
Makkah mereka akan
sulit membangun keyakinan
apakah mereka sudah
benar-benar menghadap ke
kiblat ataukah belum,
karena perbedaan satu derajat untuk daerah- daerah di Indonesia sendiri Ahmad Izzudin, Menentukan Arah Kiblat
Praktis, Semarang: Walisongo Press,
2010, hlm.
4
Jalaludin Abdurrahman bin Abu
Bakr As Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nadhair. Jakarta : Dar Ihya‟ al-Kutub
al-Arabiyyah. hlm. 101. sudah memberikan kemelencengan kurang lebih
111,111 1/9 km.
Apalagi jika kemelencenganya hingga puluhan derajat, maka
kiblatnya akan berada jauh di luar
Masjidil Haram, tidak hanya luar jauh Baitullah (Ka‟bah).
Ka‟bah merupakan
tempat ibadah yang
pertama kali dibangun
dimuka bumi.
Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam surat Ali
Imran ayat 96 :“Sesungguhnya rumah yang
mula-mula dibangun untuk
(tempat beribadat) manusia,
ialah Baitullah yang
di Bakkah (Makkah)
yang diberkahi dan menjadi
petunjuk bagi semua manusia”.
Ka‟bah tempat
peribadatan paling terkenal
dalam Islam, sering
disebut Baitullah.
Bangunan Ka‟bah merupakan bangunan yang dibuat dari batu-batu Makkah
yang kemudian dibangun
menjadi bangunan yang
berbentuk kubus atau muka‟ab dengan
tinggi kurang lebih 16 meter, panjang 13 meter, dan lebar 11 meter.
Ketika Rasulullah masih di Makkah sebelum
pindah ke Madinah, ketika salat beliau
menghadap ke Baitul Maqdis, Nabi menghadap ke Baitul Maqdis adalah menurut ijtihad beliau sendiri sebelum
ada ketentuan dari Allah. Hal ini Muhammad
Ma‟shum bin Ali, Durusul Falakiyyah, Jombang: Maktabah Sa‟ad bin Nashir Nabhan wa Awladuhu,
1992, hlm. 62.
Ahmad Izzudin, op. cit. hlm.
Slamet
Hambali, lmu Falak
1:Penentuan Awal Waktu
Salat dan Arah
Kiblat Seluruh Dunia.Semarang : prog. Pasca sarjana IAIN
Walisongo Semarang, 2011. hlm.
Departemen Agama Replubik Indonesia, Al-Qur‟an da
Terjemahnya, Bandung : Jumanatul Ali Art, 2005. hlm.
Ahmad
Izzudin, Ilmu Falak
Praktis( Meode Hisab-Rukyah
dan Solusi Permasalahanya).
Semarang: Kamala Grafika, 2006,
hlm. 24 dilakukan
karena pada saat
itu kedudukan Baitul
Maqdis masih istimewa sedangkan Ka‟bah masih
dipenuhi oleh berhala- berhala.
Setelah pindah
ke Madinah beliau
langsung menghadap ke
Baitul Maqdis, itu
terjadi selama 16
atau 17 bulan,
namun beliau rindu
berkiblat ke Masjid al-
Haram di Makkah. Kerinduan beliau ini sudah dapat dimaklumi dari wahyu-wahyu yang turun terlebih dahulu yang
mengatakan bahwa rumah yang di Makkah itu diperintahkan Allah kepada Nabi
Ibrahim as. untuk membuat dan mendirikanya.
Pada hakikatnya kiblat adalah suatu arah yang
menyatukan arah segenap umat Islam
dalam melaksanakan shalat,
tetapi titik arah
itu sendiri bukanlah obyek yang disembah oleh seorang muslim dalam
melaksanakan shalat. Objek dalam melaksanakan
shalat itu tidak
lain hanyalah Allah
swt.
Firman
Allah swt. “Sungguh Kami
(sering) melihat mukamu
menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke
kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja
kamu berada, palingkanlah
mukamu ke arahnya.
Dan sesungguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani)
yang di beri
al- Slamet Hambali, op. cit. hlm.
Ibid. hlm.170-173 Kitab
(Taurat dan Injil)
memang mengetahui, bahwa
berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya;
dan Allah sekali-kali tidak lengah
dari apa yang
mereka kerjakan” (QS.
Al-Baqarah : 144).
Firman Allah dalm Surat al-Baqarah ayat 150.
“Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka
palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak
ada hujjah bagi manusia atas kamu,
kecuali orang-orang yang
zalim diantara mereka.
Maka janganlah kamu
takut kepada mereka
dan takutlah kepada-Ku
(saja).
dan agar
Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu,
dan supaya kamu mendapat
petunjuk” (Al-Baqarah : 150).
Pada
dasarnya agama Islam
bukanlah agama yang
memberatkan. Oleh sebab
itu pada ayat-ayat
perintah kiblat itu
disebut syathr yang
diartikan pihak.
Adapun ketentuan arah Kiblat yang dijelaskan
oleh Rasulullah adalah Baitullah ( Ka‟bah) bagi orang yang shalat di
Masjid al-Haram dan ke Masjid al-Haram bagi
orang yang shalatnya
di tanah haram
Makkah dan kiblat
ke tanah haram Makkah bagi orang yang shalatnya di luar tanah haram Makkah baik dari masyrik ataupun
magrib.
Ini berdasarkan hadist berikut: Departemen
Agama Republik Indonesia,
Al-Qur‟an dan Terjemahnya,
Semarang : Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 37.
Ibid., hlm. 23.
Slamet Hambali, op. cit. hlm.170- Ibid., hlm. 170.
“Dari Abu Hurairah r.a berkata : Rasulullah
Saw. Bersabda : Baitullah adalah kiblatnya
orang yang berada
di Masjidil Haram,
sedang Masjidil Haram
adalah kiblat bagi
penduduk Makkah, dan
Makkah adalah kiblat
bagi penduduk dunia
dari ummatku di
barat dan di timur.”(
HR Baihaqi) Umat Islam telah bersepakat
bahwa sebelum melaksanakan shalat kita harus
yakin bahwa kita menghadap kiblat yang merupakan syarat sahnya shalat.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi