BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Salah satu maksud
disyari'atkan agama Islam oleh Allah adalah untuk memelihara keturunan melalui tat a cara yang
sah. Pernikahan disyariatkan oleh Islam
karena merupakan salah satu usaha untuk memelihara keturunan dan menjadi kunci
kemasyarakat. Oleh karena itu adanya lembaga perkawinan merupakan suatu
kebutuhan pokok umat manusia untuk memelihara kedamaian dan keteraturan dalam kehidupan. Dengan
demikian, maka persoalan perkawinan yang
diatur sedemikian rapi oleh Islam bukanlah suatu persoalan yang bisa dikesampingkan
begitu saja, tetapi merupakan salah satu institusi suci yang mutlak harus
diikuti dan dipelihara. Berkaitan dengan
hidup beruma h tangga,
setiap orang pasti m engharapkan
kehidupan rum ah tangga
bahagia, rukun dan
da m ai, harm onis dan ideal,
m e mikul tanggung jawab,
baik untuk m ereka berdua m aupun untuk keturunan
m ereka. Sebagai mana fir m an Allah SWT: M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, h.
253- Hadi Mufaat Ahmad, Fik ih Munak ahat, Semarang: PT Duta G raf ika, 1992, h.23 Artinya :
“Dan diantara tanda-tanda
kekuasaan Allah adalah
dia menciptakan untukmu
pasangan dari jenismu
sendiri agar dapat hidup damai
bersamanya dan dijadik an
rasa kasih sayang
diantara kamu, Sesungguhnya
yang pada demikian itu
terdapat tanda –
tanda bagi orang – orang yang
berfikir. ” Demi keberhasilan m ewujudkan
t u juan di atas,
sangat diperlukan adanya
kebersa maan dan sikap
saling berbagi tanggung
jawab antara sua mi dan istri, Al - Qur’an
m enganjurkan kerja sa m a
antara m ereka. Sebagai m ana firman Allah: Artinya
: “ Sesunguhnya Allah tiada
menyia-nyiakan amalan orang
yang beramal diantara
kamu baik laki -
laki atau perempuan
setengah dari kamu dari yang lain
(sebangsa)” Akan tetapi dapatlah
diketahui dan diakui bahwa tidak selalu tujuan perkawinan itu dapat
dilaksanakan sesuai dengan harapan, walaupun telah diusahakan dengan sungguh - sungguh.
Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan pandangan dalam memecahkan suatu
persoalan atau diantara suami istri lalai
dalam melaksanakan kewajiban - kewajibannya juga bisa karena tidak adanya rasa kepercayaan diantara keduanya.
Kondisi tersebut kadang masih
bisa diatasi dengan jalan damai, namun kadang
kalanya meski telah diusahakan dengan berbagai ca ra, tetapi antara suami istri sudah tidak dapat didamaikan
kembali. Dalam keadaan seperti itu,
Islam tidak Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an,
Al-Qur’an al-Karim wa Tarjamah,
h. Ibid, h.110 akan membiarkan terjadinya penderitaan dalam
kehidupan rumah tangga. Dan oleh karena
itu Islam memberikan kemungkinan perceraian dengan jalan talak m aupun dengan jalan fasakh. Tentu saja hal tersebut
merupakan jalan terakhir dan terjadinya perceraian itu. Walaupun pada dasarnya percera ian itu tidak
disuk ai oleh Allah, sebagaimana sabda
Nabi Muhammad SAW "Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah ialah
thalaq" Perceraian hukumnya makruh (tidak disenangi dalam syara') jika
memang tidak perlu cerai. Atau jika tidak ada kebaikan di dalamnya,
karena hal itu bisa menyebabkan adanya
bahaya. Dan hukumnya mubah (boleh) jika memang perlu cerai atau disana ada kebaikan buat keduanya. Seperti telah ditegaskan di atas,
sebagai jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaan
tertentu talak boleh dilakukan.
Mengenai talak ini, para ulama
membagi talak menjadi dua yakni talak
raj'i dimana sumi masih bisa untuk rujuk
kembali dan talak ba> in dimana suami
tidak dapat ruju' kembali, kecuali
dengan perkawinan baru walaupun dalam masa iddah, seperti talak yang belum dukhul (menikah tetapi belum disenggamai
kem udian ditalak). Terdapat hubungan
antara talak dan hak kewarisan istri , terutama
jika talak yang dijatuhkan
adalah talak ba>in, konsekuensinya jika
ikatan perkawinan Dj amil
Lathif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia , h. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud Juz. 2 , h.
Muhammad Rawwas Qal'ahji, Ensiklopedi Fiqih
Umar bin Khattab ra , h.
Rahmat Hakim,
Hukum Perkawinan Islam, hal. 162 telah
terputus, maka si istri tidak mempunyai hak waris atas suaminya. Sebagaimana yang disebutkan bahwa sebab-
sebabterjadinya warisan haruslah memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut: a. Hubungan kerabat atau nasab, seperti ayah,
ibu, anak, cucu, saudara - saudara kandung,
seayah, seibu dan sebagainya.
b. Hubungan perkawinan, yaitu suami atau istri,
meskipun belum pernah berkumpul, atau telah bercerai, tetapi masih dalam masa
'iddah talak raj'i. c. Hubungan walak,
ya itu hubungan antara bekas budak dan orang yang memerdekakannya apabila bekas
budak itu tidak mempunyai ahli waris yang berhak menghabiskan seluruh harta warisan.
(Praktis, sebab walak ini tidak perlu
diperhatikan karena perbudakan sudah lama hilang).
d. Tujuan Islam (jihatul Islam), yaitu baitul
mal (perbendaharaan negara) yang menampung
harta warisan orang yang tidak meninggalkan ahli waris sama sekali dengan sebab tersebut di atas. Dari beberapa
kriteria di atas, masalahyang berkaitan dengan hak kewarisan
istri masuk dalam kriteria yang kedua yakni
masih adanya hubungan perkawinan antara suami dan istri. Para
ulama berbeda pendapat mengenai talak
yang dijatuhkan oleh orang yang sedang sakit, karena
talak waktu sakit tidak ada hukumnya dalam al - Qur'an maupun Sunnah yang sah. Kecuali dari sahabat
ada dikatakan bahwa Abdu al - Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, h. 18
–19 Rahman bin ' Auf menjatuhkan thalaq
ketiga kali nya kepada istrinya sewaktu sakit yang mengakibatkan kematiannya. Namun Us} man
bin Affan tetap memberikan bagian
warisan istri Abdu al - Rahman dari peninggalannya. Dan beliau berkata: "Saya tidaklah berp rasangka buruk
kepadanya (Abdu al - Rahman) bahwa ia akan menghindari hak warisan istrinya. Tetapi aku
mengh e ndaki melakukan sunnah . Para
ahli fiqh berselisih pendapat tentang thalaq yang dijatuhkan pada waktu sakit
menjelang maut. Diataranya: Ima>m Abu
Hani fah dan al - S}auri berpendapat: "Jika suami sedang sakit lalu menthalaq ba> in istri, kemudian tak
lama sesudah itu ia mati karena sakitnya tadi maka bekas istrinya mendapatkan hak
warisnya" tetapi "kalau ia mati sesudah habisnya iddah maka bekas istri tid a k
mendapat bagian waris". Ima>m
Ahmad dan I bnu Abi Laila berpendapat bahwa istri yang ditalak ba> in oleh suami yang sakit
berhak mendapatkan warisan selama
ia belum kawin lagi. Adapun
Ima>m Ma>likberp endapat
bahwa istrinya berhak meneri ma warisan. Hal ini sebagaimana ia kemukakan: Telah menyampaikan kepadaku (hadis) dari Ma>likbahwa ia telah mendengar Ibn Shihab berkata: jika seorang laki -laki
yang sedang benar-benar sakit Sayyid
Sabiq, Fiqh Sunnah Vol. 8 , hal.
Ibid, h.
Ibnu Rusyd, Bida>yat al-Mujtahid juz. 4, h.
Imam
Malik, al -Muwat}t}a, h. 365 menceraikan
istrinya tiga kali, maka ia menjadi pewarisnya. Sedangkan Ima>m
Sya>fi'i> berpendapat bahwa istri yang ditalak bain oleh suami yang sakit
tidak berhak menerima warisan
jika suami meninggal sesudah
habis masa iddahnya, atau si istri telah menikah lagi dengan alasan: Al-Syafi'i rahimahullah berkata:
"Hanya saja saya manapun yang saya berpendapat maka saya berkata:
"Perempuan tidak mewarisi suaminya bila suami mentalaknya dalam keadaan sakit yang
laki -laki itu padanya tidak memiliki ruju', lalu habis iddahnya dan menikah. Dari
uraian perbedaan pendapat antara empat ulama madzhab di atas, penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam
bentuk karya ilmiah (skripsi), namun dalam pembahasan skripsi ini penulis
membatasi pembahasan hanya pada pemikiran Ima>m
Ma>likdan pemikiran
Ima>m Sya>fi'i> saja.
Judul yang penulis gunakan dalam membahas masalah ini adalah : “Studi
Komparasi Antara Pemikiran Ima>m Ma>lik dan
Pemikiran Ima>m Sya>fi’i Tentang Hak Waris Istri Yang Ditalak Tiga
Sekaligus Oleh Suami Yang Sakit” Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi