Kamis, 28 Agustus 2014

Skripsi Syariah:STUDI KOMPARATIF TERHADAP KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H, M.M.,)


 BAB I  PENDAHULUAN  
A.  Latar Belakang Masalah  Allah  mewajibkan  beberapa  ibadah  menyangkut  harta,  supaya  terpenuhi  hajat  orang  dan  tertolaklah  kemelaratan  dari  para  fakir.
  Salah  satu  cara  mendekatkan  diri  kepada  Allah  SWT  dalam  rangka  mempersempit  kesenjangan  sosial  serta  menumbuhkan  rasa  kesetiakawanan  dan  kepedulian  sosial  adalah  saling  memberi,  karena  manusia selain sebagai individu juga sebagai makhluk sosial.
Dalam  Islam  banyak  cara  untuk  melakukan  kebaikan  atau  menyalurkan  hartanya  kepada  orang  lain,  ada  beberapa  macam  nama  pemberian  dalam  Islam,  diantaranya:  wasiat,  hadiah,  sedekah,  hibah  dan  wakaf. Pemberian itu dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah  dan  mewujudkan  kasih  sayang  diantara  sesama  manusia  dan  maksud  tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan memberikan balasan serupa.
Suatu  hadiah  dapat  menjadikan  kecintaan  pada  diri  penerima  hadiah  kepadanya. Selain itu dijelaskan tangan diatas lebih baik daripada tangan  dibawah.

  Tengku  Muhammad  Hasbi  Ashiddieqy,  Kuliah  Ibadah,Semarang:  Pustaka  Rizki  Putra,2000, hlm 69  2  Dalam dasar hukum pemberian dalam ayat-ayat Al-Qur’an banyak  yang  menganjurkan  penganutnya  untuk  berbuat  baik  dengan  cara  tolong  menolong  dan  salah  satu  bentuk  tolong  menolong  adalah  memberikan  harta kepada orang lain yang betul-betul membutuhkannya, firman Allah  SWT:  “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan  dan takwa” (Al-Maidah : 2)  Penafsiran  dasar  hukum  pemberian  yaitu  Al-Qur’an  (Q.S  Al-  Baqarah : 262)  “  Orang-orang  yang  menafkahkan  hartanya  di  jalan  Allah,  Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya  itu  dengan  menyebut-nyebut  pemberiannya  dan  dengan  tidak  menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala  di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka  dan  tidak  (pula)  mereka  bersedih  hati.  (Q.S  Al-  Baqarah  :    )  Islam  mengizinkan  seseorang  memberikan  sebagai  hadiah  semua  harta  miliknya  ketika  masih  hidup,  tetapi  perlu  diingat  juga  dalam   Yayasan  Penyelenggara  Penterjemah/Pentafsir  Al-Qur’an,  Al-Qur’an  dan  Terjemah,Jakarta, 1971, hlm.
 Ibid, hlm. 70  3  pemberian  harus  ada  sifat  keadilan.  Dalam  pemberian  hibah  juga  demikian.  Dimana  hibah   adalah  pemilikan  sesuatu  benda  melalui  transaksi  (aqad)  tanpa  mengharap  imbalan  yang  telah  diketahui  dengan  jelas  ketika  pemberi  masih  hidup.
  Dalam  rumusan  Kompilasi  Hukum  Islam,  hibah  adalah  pemberian  suatu  benda  secara  sukarela  dan  tanpa  imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki  (ps. 171 huruf g KHI)  Hibah merupakan institusi yang diakui oleh hukum Islam sebagai  pranata yang menjadi alat perantara kepemilikan. Hibah juga mempunyai  arti  penting  dalam  kehidupan,  dengan  kata  lain  hibah  adalah  suatu  pemindahan  harta  tertentu  atas  sebagian  orang  yang  memberi  dan  penerimaan atas bagian orang yang diberi harta.
Sedangkan  dalam  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Perdata,  hibah  diatur dalam Pasal 1666 yaitu :  “Hibah  adalah  suatu  perjanjian  dengan  mana  si  penghibah,  di  waktu  hidupnya,  dengan  cuma-cuma  dan  dengan  tidak  dapat  ditarik  kembali,  menyerahkan  sesuatu  benda  guna  keperluan  si  penerima hibah yang menerima penyerahan itu.
Undang-undang  tidak  mengakui  lain-lain  hibah-hibah  diantara  orang-orang yang masih hidup.”   Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,Jakarta, PT Raja Grasindo Persada,1995,  hlm   R. Subekti dan R. Tjitrosudibio,  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,Jakarta:  PT Pradnya Paramita, 1992, hlm. 436  4  Menurut  ketentuan  pasal  1682  KUH  Perdata  tentang  cara  menghibah sesuatu yaitu :  “Tiada  suatu  hibah,  kecuali  yang  disebutkan  dalam  pasal  1687,  dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta  notaris yang aslinya disimpan oleh notaris itu.”  Adapun rukun hibah ada 3 yang esensial, yaitu terdiri dari: Orang  yang menghibahkan (al-wahib), orang yang menerima hibah (al-mauhublah),  dan  pemberian  atau  perbuatan  hibah  atau  yang  disebut  juga  alhibah.
  Adapun  menyangkut  pelaksanaan  hibah  menurut  ketentuan  syari’at Islam adalah dapat dirumuskan sebagai berikut:  1.  Pelaksanaan hibah dilakukan semasa hidup, demikian juga penyerahan  barang yang dihibahkan.
2.  Beralihnya  hak  atas  barang  yang  dihibahkan  pada  saat  penghibahan  dilakukan,  dan  kalau  si  penerima  hibah  dalam  keadaan  tidak  cakap  bertindak  (misalnya  belum  dewasa  atau  kurang  sehat  akal),  maka  penerima dilakukan oleh walinya.
3.  Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama  sekali oleh pemberi hibah.
4.  Penghibahan  hendaknya  dilakukan  dihadapan  beberapa  orang  saksi  (hukum  sunat),  hal  ini  dimaksudkan  untuk  menghindari  silang  sengketa dibelakang hari.
  Ibid,hlm    Abdul  Manan,  Aneka  Masalah  Hukum  Perdata  Islam  Di  Indonesia, Jakarta:  Kencana,2006, hlm. 133     Chairuman  Pasaribu,  Hukum  Perjanjian  Dalam  Islam, Jakarta:  Sinar  Grafika,  2004, hlm. 117  5  Terkait dengan hal tersebut hukum Islam dan hukum positif yang  ada  di  Indonesia  juga  mengatur  tentang  bagaimana  cara  dan  langkahlangkah untuk dapat mempermudah pemindahan hak atas suatu benda atau  barang  secara  sah  agar  mendapat  kekuatan  hukum.  Hal  ini  diperlukan  karena  apabila  suatu  saat  terjadi  perselisihan  dan  permasalahan  dengan  barang atau hak tersebut, orang-orang yang bersangkutan bisa menjadikan  hal tersebut sebagai bukti karena sudah adanya pengakuan hukum.
Ini artinya dalam pembuatan akta hibah sangat diperlukan di dalam  hukum  Islam  maupun  hukum  positif.  Adapun  mengenai  pengertian  dari  akta menurut Prof. R. Soebekti, S.H., adalah suatu tulisan yang memang  dengan  sengaja  dibuat  untuk  dijadikan  bukti  tentang  suatu  peristiwa  dan  ditandatangani.
Setiap  akta  hibah  harus  dibuat  oleh  seorang  Notaris.  Karena  Notaris  dalam  pasal  1  huruf  1  Undang-undang  No.3  tahun  2004  tentang  Jabatan  Notaris  adalah  jabatan  umum  yang  berwenang  untuk  membuat  akta  otentik  dan  kewenangan  lainnya  sebagaimana  dimaksud  dalam  Undang-undang.  Setiap  hibah  yang  dibuat  dihadapan  Notaris  berbentuk  Akta. Yang disebut dengan Akta Notaris dalam pasal 1 huruf 7 Undangundang No.30 tentang Jabatan Notaris tahun 2004 pengertian tentang Akta  Notaris  adalah  akta  otentik  yang  dibuat  oleh  atau  dihadapan  Notaris  6  menurut  bentuk  dan  tata  cara  yang  ditetapkan  dalam  Undang-undang.
Pertimbangan tersebut sangat penting karena menyangkut harta kekayaan  seseorang.  Dan  dengan  kewenangan-kewenangan  yang  dimiliki  oleh  Notaris, maka akta hibah tersebut mempunyai kekuatan hukum yang pasti.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi