BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Jika terjadi
suatu tindakan hukum menurut kehendak salah satu pihak, maka akan timbul “main hakim sendiri” dan bila
ini terjadi tentu akan sangat menghawatirkan
semua pihak. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu bent uk perundang - undangan yang akan mengatur dan
menetapkan tentang bagaimana melaksanakan
hukum. Dengan undang-undang diketahui rangkaian peraturan atau tata cara bertindak terhadap dan di muka
pengadilan, serta bagaimana pengadilan
itu harus bertindak satu s ama lain untuk melaksanakan peraturan peraturan
tersebut. Kesemuanya ini biasa disebut dengan hukum acara perdata.
Di dalam hukum acara perdata ini pula akan
diketahui tata cara atau proses
jalannya perkara di pengadilan, mulai dari gugatan, pemeriksaan, putusan bahkan sampai upaya hukum terhadap
putusan tersebut. Dalam pemeriksaan perkara tentulah bukan hal yang mudah bagi
para penegak hukum, karena mereka harus mempertimbangkan secara logis kebenaran
suatu peristiwa.
Hakim bisa saja dinilai tidak
adil ole h para pihak yang berperkara, kenyataan
ini sering terjadi pada saat pengambilan keputusan, meskipun hakim tidak bisa
disalahkan sepenuhnya. Hal ini bisa terjadi mungkin karena pada saat acara pembuktian sumber- sumber atau
dasar-dasar yang dapat meyakinkanhakim
tidak terpenuhi, sehingga pada waktu putusan dijatuhkan atau penetapan itu diberikan dinilai tidak
adil.
Sumber yang akan digunakan hakim
dalam memutus perkara disebut alat
bukti. Menurut pasal 164 HIR yang disebut alat bukti adalah: bukti dengan su rat, bukti dengan saksi, persangkaan
- persangkaan, pengakuan dan sumpah.
Di
dalam literatur lain banyak yang menambahkan pengetahuan hakim sebagai
alat bukti.
Tiap-tiap alat bukti di atas, mempunyai tingkat sendiri - sendiri
dalam acara pembuktian. Ada yang
sempurna dan ada yang kurang sempurna.
Seperti pada waktu sidang
pembuktian berlangsung, hakim meminta kepada para pihak untuk menghadirkan saksi - saksi
dan ternyata pihak yang berperkara hanya bisa mengajukan satu orang saksi atau
pihak yang berperkara mengajukan saksi yang hanya mendengar dari orang lain (
testimonium de auditu ), bukti sesaksian yang seperti ini tentu akan dinilai kurang sempurna oleh hakim.
Di dalam hukum acara perdata dijumpai asas
pembuktian yakni bahwa penggugat
dibebani untuk membuktik an gugatannya. Hal ini sejalan dengan pasal 163 HIR yang berbunyi: “Barang siapa
yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk
menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu
harus membuktikan adanya hak itu atau
adanya kejadian itu”.
Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap , h. 255.
Ibid .
Selain itu terdapat ketentuan umum yang
menjelaskan mengenai pembebanan pembuktian ini
seperti yang telah diriwayatkan oleh Ibn Abbas sebagai
berikut: “ Jika gugatan seseorang dikabulkan begitu saja, niscaya akan banyaklah orang yang menggugat hak orang lain dan harta
-harta mereka, akan tetapi sumpah itu
atas tergugat”. (HR. Muslim) Ber
dasarkan ketentuan tersebut, apabila seseorang menggugat pihak lain atau ingin mengambil haknya yang ada pada
pihak lain maka seseorang itu harus
mengemukakan bukti - bukti dalam persidangan yang akan membenarkan gugatannya.
Dengan kata lain,orang yang menuntutlah yang harus dibebani pembuktian. Ketentuan seperti
ini memang tidak bisa seluruhnya dinilai sempurna, bisa saja seseorang
menggugat haknya yang ada pada orang
lain harus berhenti dan tidak dapat memperjuangkan haknya kembali hanya karena ia
tidak bisa membuktikan kebenarannya. Terlebih lagi orang yang tidak mempunyai hak pada orang lain
harus dimenangkan hanya karena dapat
membuktikan dalam sidang meskipun bukti itu sebenarnya bukti palsu.
Hal ini berbeda dengan pemaparan yang telah diberikan
oleh Retnowulan Sutantio, bahwa dalam soal pembuktian tidak selalu pihak Ab<ial-H{ usainMuslim bin al-H{
ajja<jbin Muslim al-Qusairy al-Naisabury, alJa <mi’al-S{ah{ ih{{, j. 5,
h. 128.
Ibn Qayyim al - Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, penerjemah H.
Adnan Qohar dan Anshoruddin, h. 15.
Teungku Muhammad Hasbi ash - Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, h. 129.
penggugat saja yang harus membuktikan
gugatannya. Hakim yang memeriksa perkara
tersebut yang akan menentukan siapa di antara
pihak - pihak berperkara yang akan
diwajibkan untuk memberikan bu kti, apakah itu pihak penggugat atau sebaliknya. Dengan kata lain , hakim yang
akan menentukan pihak mana yang akan
memikul beban pembuktian.
Oleh karena itu acara pembuktian sangat
penting di dalam jalannya persidangan, karena dengan acara pembuktian
ini akan diketemukan apakah gugatan seseorang itu memang benar terjadi
atau hanya rekayasa para pihak.
Dengan subyektifitasnya, manusia
akan tetap membela diri dan menyalahkan orang lain. Hal ini dilakukan untuk
menyembunyikan kesalahannya, serta menghindar da ri sanksi hukuman.
Apabila setiap tuntutan itu ditanggapi dan dikabulkan seketika itu
juga, niscaya akan banyak orang yang
menuntut hak milik orang lain.
Sumpah di satu sisi diakui
sebagai alat bukti yang resmi dan dapat dijadikan
dasar oleh hakim dalam memutuskan
perkara, hal ini didasarkan pada hadis
di atas. Di sisi lain tidak bisa dipungkiri bahwa selalu ada orang yang bersedia melakukan sumpah palsu terlebih
jika ia akan mendapatkan keuntungan
materi dari padanya.
Dari alat bukti yang ditetapkan
sepe rtinya sumpah memang sangat menarik
untuk dikaji, karena sumpah sangat rentan dengan kelemahan dan kepalsuan. Seperti, seorang penggugat yang
dibebani untuk melakukan sumpah, selain telah menyalahi ketentuan pokok bahwa
sumpah itu Retnowulan sutantio dan
Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara
Perdata dalam Teori dan Praktek , h. 58.
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-
hukum Allah (Syari’ah), ter. h. 21.
merupakan hak dari tergug at, di sini juga
dapat memberi peluang kepada penggugat
untuk melakukan sumpah palsu baik karena masih diliputi emosi atau penggugat tidak ingin dinilai dusta oleh
pengadilan, maka penggugat bersedia
melakukan sumpah palsu demi mempertahankan gugatannya.
Inilah pangkal persoalan yang akan penulis
bahas, yakni bagaimana jika sumpah yang
dilakukan oleh penggugat itu sampai terjadi dalam persidangan di muka
pengadilan, seperti kasus yang terjadi di Pengadilan Agama Kabupaten Nabire
pada perkara perceraian No:89/Pdt.G/2006/PA.Nbr. Oleh karena itu, penulis
merasa perlu untuk mengkaji sampai di mana kekuatan alat bukti sumpah suppletoir , karena kekuatan alat bukti dapat
mempengaruhi keputusan yang dihasilkan. Jika alat bukti seperti ini dapat diakui maka hakim a
kan segera yakin dan tidak akan memerlukan
waktu yang lama untuk dapat mencapai suatu keputusan. Dalam skripsi ini penulis mencoba menggambarkan
proses sumpah tersebut dan bagaimana tinjauan hukum acara perdata Islam
terhadap penerapannya, kemudian penulis memformulasikan skripsi ini dengan
judul “Tinjauan Hukum Acara Perdata Islam Terhadap Penerapan
Sumpah Suppletoir Dalam Perkara Perceraian No:89/Pdt.G/2006/PA.Nbr. di
Pengadilan Agama Kabupaten Nabire”.
A. Pilto, Pembuktian dan Daluwarsa, h.
175. B.
Rumusan Masalah Berpijak dari latar belakang masala h di atas, maka ada beberapa permasalahan yang
perlu diteliti, dan akan penulis rumuskan
menjadi dua permasalahan sebagai
berikut: 1. Bagaimana penerapan
sumpah suppletoir dalam perkara
perceraian No.89/Pdt.G/2006/PA.Nbr. di Pengadilan Agama Kabupaten Nabire? 2. Bagaimana pandangan hukum acara perdata Islam
terhadap putusan hakim dengan
menggunakan sumpah suppletoir dalam
perkara perceraian No:89/Pdt.G/2006/PA.Nbr. di Pengadilan Agama Kabupaten
Nabire? C. Kajian Pustaka Masalah
sumpah yang digunakan sebagai alat bukti di depan pengadilan agama,
sesungguhnya telah pernah dibahas oleh Nanang Bahrurrozi dalam skripsinya yang berjudul “ Kajian Yuridis Sosiologis tentang sumpah
sebagai alat bukti di Pengadilan
AgamaSurabaya ”.
Penulisan skripsi ini bertujuan
untuk menget ahui tentang faktor apa yang dijadikan pertimbangan hakim dalam
mengabulkan sumpah sebagai alat bukti yang
diajukan oleh pihak yang berperkara.
Kajian yang dilakukan oleh Nanang
Bahrurrozi kendati telah merekomendasikan masalah sumpah sebagai alat bukti
di muka pengadilan, tetapi yang dimaksudkan masih terlalu umum,
yakni semua sumpah yang dilakukan di
muka pengadilan baik yang dilakukan oleh tergugat atau saksi, Nanang Bahrurrozi dilahirkan pada tanggal 12
Juni 1979 di Sidoarjo, Jawa - Timur.
Menyelesaikan pendidikan S1 pada
jurusan Ahwalus Syakhsiyah fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2004.
dan lebih ditekankan pada praktek penggunaan
sumpah dalam menyelesaikan kasus di
depan sidang Pengadilan Agama Surabaya. Di dalamnya juga dibahas mengenai kedudukan sumpah yang digunakan
sebagai alat pembuktian baik dalam
tatanan praktis maupun sosiologis.
Sedangkanpenelitian yang penulis
lakukan tentu berbeda dengan penelitian yang telah dilakuka n di atas.
Dalam penelitian ini penulislebih memfokuskan
kepada penerapan sumpah yang dilakukan penggugat yang digunakan untuk
mencukupkan pembuktian yang dinilai belum sempurna dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama Kabupaten Nabire .
D. Tujuan Penel itian Memberi jawaban yang
konkrit terhadap rumusan masalah di atas adalah suatu yang diharapkan dari penulisan
skripsi ini, maka perlu diketahui akan
tujuan sebuah penelitian. Adapun tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Ingin mengetahui tentang bagaimana penerapan
sumpah suppletoirdalam perkara perceraian No:89/Pdt.G/2006/PA.Nbr. di
Pengadilan Agama Kabupaten Nabire.
2. Ingin mengetahui bagaimana pandangan hukum
acara perdata Islam terhadap putusan hakim dengan menggunakan sumpah suppletoirdalam perkara perceraian N0:89/Pdt.G/2006/PA.Nbr. di
Pengadilan Agama Kabupaten Nabire.
E.
Kegunaan Hasil Penelitian Berkaitan dengan tujuan penelitian di atas,
maka kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis, penelitian in i diharapkan
dapat berguna dan memperkaya khasanah
studi hukum Islam di perguruan tinggi Islam maupun perguruan tinggi lainnya. Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan
dapat menarik minat peneliti lain, khususnya mahasiswa untuk mengembangkan penelitian lanjutan mengenai masalah yang
serupa. Selain itu hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai landasan
teori bagi penelitian selanjutnya yang
berkaitan dengan masalah - masalah sumpah di
depan pengadilan baik sebagai perbandingan
umum maupun seb agai kerangka dasar
dalam menganalisa pelaksanaan sumpah di depan pengadilan.
2. Secara praktis, diharapkan dapat memberi
masukan bagi penulis dan pembaca serta bagi para hakim yang menerapkan hukum
pembuktian di muka pengadilan agama.
F. Definisi Operasional Untuk menunjang dalam
pemahaman pada judul, maka berikut ini akan
penulis kemukakan definisi operasional dari judul tersebut, antara lain: 1. Hukum acara perdata Islam : Maksudnya adalah hukum acara yang berlaku
pada masa Rasul, sahabat dan seterusnya sampai pada masa fuqaha seperti Abu Hanifah, Asy - Syafi’i, Malik bin Anas
dan Ahmad bin Hambal.
2. Sumpah
suppletoir : Sumpah sebagai
pelengkap atau tambahan yang bertujuan
untuk menambah pembuktian yang kurang lengkap (dalam perkara perdata).
3.
Pembuk tian : Usaha dari pihak
yang berperkara untuk mengemukakan
kepada hakim sebanyak mungkin hal - hal yang berkenaan dengan suatu perkara
yang bertujuan agar dapat dipakai oleh
hakim sebagai bahan untuk memberikan
keputusan mengenai suatu perkara.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi