Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Syariah:TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM TANGGUNG RENTENG DALAM INFAQ PRODUKTIF DI YAYASAN DANA SOSIAL AL-FALAH


A.   Perjanjian Dengan Sistem Tanggung Renteng  1.  Perjanjian Tanggung Renteng Dalam Perspektif Hukum Perdata Pengertian tanggung renteng dalam pasal 1278 KUH Perdata yaitu : Suatu  perikatan tanggung menanggung atau perikatan tanggung renteng terjadi antara beberapa orang berpiutang. Jika di dalam persetujuan  secara tegas kepada masing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh utang sedang pembayaran yang dilakukan kepadasalah  satu membebaskan orang yang berutang meskipun perikatan menurut sifatnya  dapat dipecah dan dibagi diantara beberapa orang berpiutang tadi.
 Perjanjian Tanggung Renteng sebgaimana pasal 1293 KUH Perdata  dinyatakan bahwa : Jika salah satu diantara mereka  (debitur)  tidak mampu untuk membayar, maka kerugian  yang disebabkan oleh  ketidak mampuannya itu  harus dipikul bersama-sama oleh orang-orang berutang yang lainnya dan  siberutang yang telah melunasi utangnya menurut im bangan bagian masing masing.

 Sudarsono, Kamus Hukum, h. 484   Tanggung renteng juga berarti hukum menanggung secara bersamasama (tentang biaya yang harus dibayar dan sebagainya).
 Tanggung renteng berasal dari kata tanggung berarti memikul, menjamin, menyatakan kesediaan untuk membayar utang orang lain bila orang tersebut tidak menepati janjinya. Sedangkan kata renteng berarti rangkaian, untaian. Dalam dunia perkreditan tanggung renteng dapat diartikan  sebagai tanggung jawab bersama antara peminjam dan penjaminnya atas hutang yang dibuatnya.
 Nilai - nilai yang terkandung dalam sistem tanggung renteng: a.  Kekeluargaan dan kegotong royongan.
b.  Keterbukaan dan keberanian mengemukakan pendapat.
c.  Menanamkan disiplin, tanggung jawab dan harga diri serta rasa percaya  diri kepada anggota.
d.  Secara t idak langsung menciptakan kader pimpinan di kalangan anggota.
 Seorang anggota dapat di tanggung renteng secara sementara dan permanen. Secara sementara terjadi ketika seorang anggota kelompok tidak  datang pada saat pertemuan rutin  (biasanya untuk membayar iuran atau simpanan pokok atau wajib). Maka oleh kelompoknya i a ditanggung renteng  sementara karena kewajibannya telah ditanggung oleh kelompok.
 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, h.
 Adriani S. Soemantri, dkk.,  Tanggung Renteng: Setia Bhakti Wanita, h. 46. lihat juga Darmanto Jatman, dkk., Bunga Rampai Tanggung Renteng , h.
 Darmanto Jatman, dkk., Bunga Rampai,, h. 37    Secara per manen, ketika ia melarikan diri atau karena ia tidak mampu  menunaikan kewajibannya. Jika jumlah kewajiban anggota tersebut lebih besar dari simpanannya. Maka kelom pok harus melaksanakan tanggung renteng dan kewajibannya diselesaikan di kelompok. Sanksi yang harus diterima bisa berupa dikeluarkan dari keanggotaan kelompok. Akan tetapi kebijakan dan sanksi yang diberikan tergantung pada kelompok masing masing.
Tanggung rentengnya suatu perutangan harus dipandang sebagai pengecualian. Itu hanya boleh dianggap ada apabila ditentukan tegas- tegas  (pasal 1282) mengenai tanggung renteng pasif khususnya adalah pasal - pasal  1280 dan 1283 –1295 KUH Perdata. Itu terdiri atas tiga faktor yakni:  a.  Dua orang debitur atau lebih b.  Kewajiban para debitur itu untuk prestasi yang sama c.  Keadaan bahwa pelunasan oleh salah seorang dari pada debitur- debitu r itu  akan membebaskan debitur - debitur yang lain Tetapi dapat ditambah lagi sebagai syarat keempat bahwa perutangan perutangan dari para debitur tanggung renteng itu mempunyai dasar atau asal  yang sama. Bahwa perutangan - perutangan itu timbul dari pada keny ataan  hukum yang sama. Jadi mempunyai sebab utama yang sama.
Dalam hal mempertanggung gugatkan, kreditur dapat menggugat salah  seorang diantara para debitur tanggung renteng (pasal 1283 KUH Perdata),   Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Bagian A, h. 48   tetapi dapat juga mengajukan gugatannya terhadap semuany a (pasal  KUH Perdata).
Dalam perkoperasian, tanggung renteng dapat disosialisasikan dengan  cara:  a.  Pada kelompok baru, dapat di tempuh melalui dua proses, yakni : atas  inisiatif beberapa orang (calon anggota) yang kemudian menghubungi pihak koperasi untuk difasilitasi dalam membentuk kelompok dan atas  inisiatif pihak koperasi dengan cara memotivasi masyarakat untu k  membentuk kelompok baru.
Langkah - langkah pembentukan kelompok baru: 1)  Membentuk kelompok berdasar daerah tempat tinggal yang berdekatan 2)  Memilih penanggung jawab kelompok berdasar musyawarah anggota  kelompok 3)  Mengatur kegiatan kelompok dengan jalan  menentukan jadwal pertemuan kelompok.
4)  Melaksanakan buku - buku administrasi kelompok secara tertib 5)  Adanya petugas penyetor yang telah ditunjuk oleh anggota kelompok b.  Pada kelompok lama, sosialisasinya sama dengan yang di atas (point 1 - 5)  penerapan ta nggung renteng pada kondisi dan tahapan yang berbeda: 1)  Pada saat penerimaan anggota baru di kelompok yang sudah berjalan  dengan sistem tanggung renteng.  Keputusan penerimaan atau  Darmanto Jatman, dkk., Bunga Rampai, h. 42   penolakan keanggotaan baru harus melalui musyawarah seluruh anggota kelompok yang bersangkutan.
2)  Pengajuan pinjaman anggota harus dimusyawarahkan dalam pertemuan kelompok 3)  Saat mengatasi tunggakan kelompok, ada beberapa cara yang bisa ditempuh, yaitu: a)  Iuran atau spontanitas dari setiap anggota kelompok b)  Selain spontanitas, di kelompok- kelompok bisa dibentuk kas tanggung renteng Diantara kelebihan tanggung renteng adalah sebagai berikut: a.  Ada pembagian resiko b.  Anggota terseleksi Sedangkan kelemahan dari sistem tanggung renteng adalah: a.  Jumlah plafon kredit terbatas b.  Mudah terjebak pada indikator 0 % c.  Ada kemungkinan kelompok menjadi eksklusif d.  Muncul antipati calon anggota jika sosialisasinya gagal e.  Konsekuensi sebagai sistem f.   Konsep masih perlu diperbaiki 2.  Perjanjian Tanggung Renteng Dalam  Hukum Islam a.  Perjanjian Dalam Hukum Islam    Perjanjian adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau beberapa orang dengan seorang atau beberapa orang lainnya untuk  melakukan perbuatan tertentu. Secara etimologi perjanjian yang di dalam  bahasa Arab diistila hkan dengan mu’a>hadah ittifa’akad.
 Akad adalah kontrak antara dua belah pihak, yakni masing - masing  pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing - masing yang  telah disepakati terlebih dahulu. Bila salah satu atau kedua belah pihak  yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya,  maka  ia atau mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.
 Pengertian akad secara terminologi hukum fiqih adalah perikatan  antara ijab dengan qabul (penerimaan) secar a yang dibenarkan syara’ (hukum Islam) yang menetapkan kerid}aan kedua belah pihak.
 Pembentukan akad terjadi karena adanya rukun dan syaratnya, terdapat unsu r- unsur akad dan keinginan mengadakan akad atau  al ira>dah al- Qiyadah. Lebih lanjut az - Zarqa’ menyatakan bahwa : Dalam pandangan syara’ suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama  berkeinginan untuk m engikatkan diri. Kehendak atau keinginan pihak pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Oleh  sebab itu, untuk menyatukan kehendak masing-masing harus diungkapkan   Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, h.
 Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih Dan Keuangan, h. 65   Gemala Dewi,  Aspek -aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di  Indonesia, h. 11     dalam suatu pernyataan. Pernyataan pihak yang berakad itu disebut dengan ijab qabul.
 Adapun rukun akad menurut pendapat ulama’ pada umumnya ada  3 yakni: 1)  Pernyataan untuk mengikatkan diri atau format (sig{at al- ‘aqd) 2)  Pihak- pihak yang berakad 3)  Obyek akad  Secara umum yang menjadi syarat sahnya sesuatu perjanjian adalah: 1)  Tidak menyalahi hukum syari’ah yang disepakati adanya 2)  Harus sama rid}a dan ada pilihan 3)  Harus jelas dan gamblang  Beberapa prinsip dasar yang harus terpenuhi dalam pembuatan akad yaitu : 1)  Suka sama suka ( rid{a ) dari kedua belah pihak, terdapat dalam surat  an - Nisa’ ayat 29:  “ …janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang  berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”.
2)  Tidak boleh menz}alimi, terdapat dalam surat al - Baqarah: 279 “…dan  janganlah kamu menz}alimi atau di z}alimi”.
 Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah, h. 98   Gemala Dewi, Aspek -aspek Hukum, h.
 Pasaribu dan Lubis, Hukum Perjanjian., h. 2     3)  Keterbukaan, prinsip transparansi ini juga harus sampai pada persoalan res iko yang akan dihadapi kelak di kemudian hari. Terdapat  dalam surat an - Nisa ayat 5:  “ dan janganlah kamu serahkan kepada  orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (orang  yang dalam  kekuasaanmu), yang dijadikan Allah pokok penghidupanmu, berilah  mereka belanja”.
4)  Penulisan, prinsip ini menegaskan pentingnya dokumentasi yang ditanda tangani dan disaksikan oleh para pihak yang bekerja sama.
Terdapat dalam surat al - Baqarah a yat 282:  “hai orang-orang yang  beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu  yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar”.
 Ada beberapa hal lain yang juga harus diperhatikan dalam suatu  akad, yaitu: 1)  Akad yang dilakukan para pihak bersifat mengikat Para ulama fiqih menetapkan akad yang telah memenuhi rukun  dan syaratnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak- pihak  yang melakukan akad. Setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri pada suatu akad dan wajib dipenuhi segala akibat   Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), h. 86     hukum y ang ditimbulkan akad itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah  surat al - Ma>idah : 1.
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu ”.
 2)  Para pihak yang melakukan akad dalam harus memiliki itikad baik.
3)  Memperhatikan ketentuan - ketentuan atau tradisi ekonomi yang berlak u dalam masyarakat ekonomi selamatidak bertentangan dengan  prinsip- prinsip perekonomian yang diatur oleh Islam.
4)  Pada dasarnya, para pihak memiliki kebebasan untuk menetapkan syarat- syarat yang ditetapkan dalam akad yang mereka lakukan.
Sepanjang tidak menyalahi ketentuan yang berlaku umum dan semangat moral perekonomian dalam Islam.
 Akad menurut tujuannya,  ada atau tidak adanya kompensasi terbagi atas dua jenis, yaitu: 1)  Akad tabarru’, merupakan akad yang berkaitan dengan transaksi non  profit atau transaksi yang tidak be rtujuan untuk mendapatkan laba atau  keuntungan. Akad ini lebih berorientasi kepada kegiatan tolong menolong. Dalam akad ini pihak yang berbuat baik tidak boleh mensyaratkan adanya imbalan tertentu, namun pihak yang berbuat baik dapat memintakan sejumlah da na sekedar untuk menutupi biaya   Nasrun Haroen, Fiqih, h.
 Departemen Agama RI., al- Qur’an, h. 156   Gemala Dewi, Aspek -aspek , h. 103     yang timbul akibat kontrak tersebut kepada mitranya. Seperti al- Qard},  ar- Rahn, Hiwalah, dan lain - lain 


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi