A. Perjanjian Dengan Sistem Tanggung Renteng 1.
Perjanjian Tanggung Renteng Dalam Perspektif Hukum Perdata Pengertian
tanggung renteng dalam pasal 1278 KUH Perdata yaitu : Suatu perikatan tanggung menanggung atau perikatan
tanggung renteng terjadi antara beberapa orang berpiutang. Jika di dalam
persetujuan secara tegas kepada
masing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh utang sedang
pembayaran yang dilakukan kepadasalah satu
membebaskan orang yang berutang meskipun perikatan menurut sifatnya dapat dipecah dan dibagi diantara beberapa
orang berpiutang tadi.
Perjanjian Tanggung Renteng sebgaimana pasal
1293 KUH Perdata dinyatakan bahwa : Jika
salah satu diantara mereka
(debitur) tidak mampu untuk membayar,
maka kerugian yang disebabkan oleh ketidak mampuannya itu harus dipikul bersama-sama oleh orang-orang
berutang yang lainnya dan siberutang
yang telah melunasi utangnya menurut im bangan bagian masing masing.
Sudarsono, Kamus Hukum, h. 484 Tanggung renteng juga berarti hukum
menanggung secara bersamasama (tentang biaya yang harus dibayar dan sebagainya).
Tanggung renteng berasal dari kata tanggung
berarti memikul, menjamin, menyatakan kesediaan untuk membayar utang orang lain
bila orang tersebut tidak menepati janjinya. Sedangkan kata renteng berarti rangkaian,
untaian. Dalam dunia perkreditan tanggung renteng dapat diartikan sebagai tanggung jawab bersama antara peminjam
dan penjaminnya atas hutang yang dibuatnya.
Nilai - nilai yang terkandung dalam sistem
tanggung renteng: a. Kekeluargaan dan
kegotong royongan.
b. Keterbukaan dan keberanian mengemukakan
pendapat.
c. Menanamkan disiplin, tanggung jawab dan harga
diri serta rasa percaya diri kepada
anggota.
d. Secara t idak langsung menciptakan kader
pimpinan di kalangan anggota.
Seorang anggota dapat di tanggung renteng
secara sementara dan permanen. Secara sementara terjadi ketika seorang anggota
kelompok tidak datang pada saat
pertemuan rutin (biasanya untuk membayar
iuran atau simpanan pokok atau wajib). Maka oleh kelompoknya i a ditanggung
renteng sementara karena kewajibannya
telah ditanggung oleh kelompok.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga, h.
Adriani S. Soemantri, dkk., Tanggung Renteng: Setia Bhakti Wanita, h. 46.
lihat juga Darmanto Jatman, dkk., Bunga Rampai Tanggung Renteng , h.
Darmanto Jatman, dkk., Bunga Rampai,, h.
37 Secara per manen, ketika ia melarikan diri
atau karena ia tidak mampu menunaikan kewajibannya.
Jika jumlah kewajiban anggota tersebut lebih besar dari simpanannya. Maka kelom
pok harus melaksanakan tanggung renteng dan kewajibannya diselesaikan di
kelompok. Sanksi yang harus diterima bisa berupa dikeluarkan dari keanggotaan
kelompok. Akan tetapi kebijakan dan sanksi yang diberikan tergantung pada
kelompok masing masing.
Tanggung rentengnya suatu
perutangan harus dipandang sebagai pengecualian. Itu hanya boleh dianggap ada
apabila ditentukan tegas- tegas (pasal
1282) mengenai tanggung renteng pasif khususnya adalah pasal - pasal 1280 dan 1283 –1295 KUH Perdata. Itu terdiri
atas tiga faktor yakni: a. Dua orang debitur atau lebih b. Kewajiban para debitur itu untuk prestasi
yang sama c. Keadaan bahwa pelunasan
oleh salah seorang dari pada debitur- debitu r itu akan membebaskan debitur - debitur yang lain Tetapi
dapat ditambah lagi sebagai syarat keempat bahwa perutangan perutangan dari
para debitur tanggung renteng itu mempunyai dasar atau asal yang sama. Bahwa perutangan - perutangan itu
timbul dari pada keny ataan hukum yang
sama. Jadi mempunyai sebab utama yang sama.
Dalam hal mempertanggung
gugatkan, kreditur dapat menggugat salah seorang diantara para debitur tanggung renteng
(pasal 1283 KUH Perdata), Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Bagian A, h. 48 tetapi dapat juga mengajukan gugatannya
terhadap semuany a (pasal KUH Perdata).
Dalam perkoperasian, tanggung
renteng dapat disosialisasikan dengan cara: a.
Pada kelompok baru, dapat di tempuh melalui dua proses, yakni : atas inisiatif beberapa orang (calon anggota) yang
kemudian menghubungi pihak koperasi untuk difasilitasi dalam membentuk kelompok
dan atas inisiatif pihak koperasi dengan
cara memotivasi masyarakat untu k membentuk
kelompok baru.
Langkah - langkah pembentukan
kelompok baru: 1) Membentuk kelompok
berdasar daerah tempat tinggal yang berdekatan 2) Memilih penanggung jawab kelompok berdasar
musyawarah anggota kelompok 3) Mengatur kegiatan kelompok dengan jalan menentukan jadwal pertemuan kelompok.
4) Melaksanakan buku - buku administrasi
kelompok secara tertib 5) Adanya petugas
penyetor yang telah ditunjuk oleh anggota kelompok b. Pada kelompok lama, sosialisasinya sama
dengan yang di atas (point 1 - 5) penerapan
ta nggung renteng pada kondisi dan tahapan yang berbeda: 1) Pada saat penerimaan anggota baru di kelompok
yang sudah berjalan dengan sistem
tanggung renteng. Keputusan penerimaan
atau Darmanto Jatman, dkk., Bunga
Rampai, h. 42 penolakan keanggotaan
baru harus melalui musyawarah seluruh anggota kelompok yang bersangkutan.
2) Pengajuan pinjaman anggota harus
dimusyawarahkan dalam pertemuan kelompok 3)
Saat mengatasi tunggakan kelompok, ada beberapa cara yang bisa ditempuh,
yaitu: a) Iuran atau spontanitas dari
setiap anggota kelompok b) Selain
spontanitas, di kelompok- kelompok bisa dibentuk kas tanggung renteng Diantara
kelebihan tanggung renteng adalah sebagai berikut: a. Ada pembagian resiko b. Anggota terseleksi Sedangkan kelemahan dari
sistem tanggung renteng adalah: a.
Jumlah plafon kredit terbatas b.
Mudah terjebak pada indikator 0 % c.
Ada kemungkinan kelompok menjadi eksklusif d. Muncul antipati calon anggota jika
sosialisasinya gagal e. Konsekuensi
sebagai sistem f. Konsep masih perlu
diperbaiki 2. Perjanjian Tanggung
Renteng Dalam Hukum Islam a. Perjanjian Dalam Hukum Islam Perjanjian
adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau beberapa orang dengan
seorang atau beberapa orang lainnya untuk melakukan perbuatan tertentu. Secara etimologi
perjanjian yang di dalam bahasa Arab
diistila hkan dengan mu’a>hadah ittifa’akad.
Akad adalah kontrak antara dua belah pihak,
yakni masing - masing pihak terikat
untuk melaksanakan kewajiban mereka masing - masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Bila salah
satu atau kedua belah pihak yang terikat
dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia
atau mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.
Pengertian akad secara terminologi hukum fiqih
adalah perikatan antara ijab dengan
qabul (penerimaan) secar a yang dibenarkan syara’ (hukum Islam) yang menetapkan
kerid}aan kedua belah pihak.
Pembentukan akad terjadi karena adanya rukun
dan syaratnya, terdapat unsu r- unsur akad dan keinginan mengadakan akad
atau al ira>dah al- Qiyadah. Lebih
lanjut az - Zarqa’ menyatakan bahwa : Dalam pandangan syara’ suatu akad
merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang
sama-sama berkeinginan untuk m
engikatkan diri. Kehendak atau keinginan pihak pihak yang mengikatkan diri itu
sifatnya tersembunyi dalam hati. Oleh sebab
itu, untuk menyatukan kehendak masing-masing harus diungkapkan Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis,
Hukum Perjanjian dalam Islam, h.
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih
Dan Keuangan, h. 65 Gemala Dewi, Aspek -aspek Hukum Dalam Perbankan dan
Perasuransian Syari’ah di Indonesia, h.
11 dalam suatu pernyataan. Pernyataan pihak yang
berakad itu disebut dengan ijab qabul.
Adapun rukun akad menurut pendapat ulama’ pada
umumnya ada 3 yakni: 1) Pernyataan untuk mengikatkan diri atau format
(sig{at al- ‘aqd) 2) Pihak- pihak yang
berakad 3) Obyek akad Secara umum yang menjadi syarat sahnya
sesuatu perjanjian adalah: 1) Tidak
menyalahi hukum syari’ah yang disepakati adanya 2) Harus sama rid}a dan ada pilihan 3) Harus jelas dan gamblang Beberapa prinsip dasar yang harus terpenuhi
dalam pembuatan akad yaitu : 1) Suka
sama suka ( rid{a ) dari kedua belah pihak, terdapat dalam surat an - Nisa’ ayat 29: “ …janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”.
2) Tidak boleh menz}alimi, terdapat dalam surat
al - Baqarah: 279 “…dan janganlah kamu
menz}alimi atau di z}alimi”.
Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah, h. 98 Gemala Dewi, Aspek -aspek Hukum, h.
Pasaribu dan Lubis, Hukum Perjanjian., h.
2 3)
Keterbukaan, prinsip transparansi ini juga harus sampai pada persoalan
res iko yang akan dihadapi kelak di kemudian hari. Terdapat dalam surat an - Nisa ayat 5: “ dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(orang yang dalam kekuasaanmu), yang dijadikan Allah pokok
penghidupanmu, berilah mereka belanja”.
4) Penulisan, prinsip ini menegaskan pentingnya
dokumentasi yang ditanda tangani dan disaksikan oleh para pihak yang bekerja
sama.
Terdapat dalam surat al - Baqarah
a yat 282: “hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis
diantara kamu menuliskannya dengan benar”.
Ada beberapa hal lain yang juga harus
diperhatikan dalam suatu akad, yaitu: 1) Akad yang dilakukan para pihak bersifat
mengikat Para ulama fiqih menetapkan akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya mempunyai kekuatan mengikat
terhadap pihak- pihak yang melakukan
akad. Setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri pada suatu akad
dan wajib dipenuhi segala akibat Muhammad
Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), h. 86 hukum
y ang ditimbulkan akad itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah surat al - Ma>idah : 1.
Artinya: ”Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah aqad-aqad itu ”.
2) Para
pihak yang melakukan akad dalam harus memiliki itikad baik.
3) Memperhatikan ketentuan - ketentuan atau
tradisi ekonomi yang berlak u dalam masyarakat ekonomi selamatidak bertentangan
dengan prinsip- prinsip perekonomian
yang diatur oleh Islam.
4) Pada dasarnya, para pihak memiliki kebebasan
untuk menetapkan syarat- syarat yang ditetapkan dalam akad yang mereka lakukan.
Sepanjang tidak menyalahi
ketentuan yang berlaku umum dan semangat moral perekonomian dalam Islam.
Akad menurut tujuannya, ada atau tidak adanya kompensasi terbagi atas
dua jenis, yaitu: 1) Akad tabarru’,
merupakan akad yang berkaitan dengan transaksi non profit atau transaksi yang tidak be rtujuan
untuk mendapatkan laba atau keuntungan.
Akad ini lebih berorientasi kepada kegiatan tolong menolong. Dalam akad ini
pihak yang berbuat baik tidak boleh mensyaratkan adanya imbalan tertentu, namun
pihak yang berbuat baik dapat memintakan sejumlah da na sekedar untuk menutupi
biaya Nasrun Haroen, Fiqih, h.
Departemen Agama RI., al- Qur’an, h. 156 Gemala Dewi, Aspek -aspek , h. 103 yang
timbul akibat kontrak tersebut kepada mitranya. Seperti al- Qard}, ar- Rahn, Hiwalah, dan lain - lain
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi