Kamis, 14 Agustus 2014

Skripsi Syariah:TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PEMOTONGAN HARGA JUAL BELI BESI TUA DAN GRAM BESI (STUDY KASUS PADA PABRIK PELEBURAN BESI DI PT. FAJAR HARAPAN CILINCING JAKARTA UTARA)


BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Manusia  adalah  makhluk  sempurna  yang  diciptakan  oleh  Allah  SWT  dengan  diberi  banyak  kelebihan  dibandingkan  mahluk  lainnya,  di  antaranya adalah  akal  fikiran.  Dengan  akal  manusia  diharapkan  bisa  memelihara  serta  memanfaatkan alam dan ciptaan-Nya dengan baik.
 Allah  tidak  menciptakan  manusia  dengan  derajat  dan  kedudukan  yang  sama, ada tinggi dan rendah ada si kaya dan si miskin, ada besar dan juga kecil.
 Adanya perbedaan ini supaya manusia dapat saling membutuhkan satu sama lain.
 Islam  sangat  menganjurkan  untuk  saling  tolong  menolong  dan  menghormati  sesamanya. sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat:2.

Artinya  :Hai  orang-orang  yang  beriman,  janganlah  kamu  melanggar  syi'ar-syiar  Allah,  dan  jangan  melanggar  kehormatan  bulan-bulan  haram,  jangan  (mengganggu)  binatang-binatang  had-ya,  dan  binatang-binatang  qalaa-id,  dan  jangan  (pula)  mengganggu  orang-orang  yang  mengunjungi  Baitullah  sedang  mereka  mencari  karunia  dan  keridaan  dari  Tuhannya  dan  apabila  kamu  telah  menyelesaikan  ibadah  haji,  maka  bolehlah  berburu.  Dan  janganlah  sekali-kali  kebencian  (mu)  kepada  sesuatu  kaum  karena  mereka  menghalang-halangi  kamu   dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolongmenolong  dalam  berbuat  dosa  dan  pelanggaran.  Dan  bertakwalah  kamu  kepada  Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.(Qs. Al-Maidah:2)  Manusia  merupakan  makhluk  individu  yang  memiliki  banyak  keperluan  hidup, dan Allah telah menyediakannya dengan beragam benda untuk memenuhi  kebutuhannya.  Dalam  rangka  pemenuhan  kebutuhan  tersebut  tidak  mungkin  diproduksi  sendiri  oleh  individu  yang  bersangkutan.  Dengan  kata  lain  ia  harus  bekerjasama dengan orang lain. Bentuk kerjasama itu harus sesuai dengan etika  agama.
 Dalam  al-Qur’an  dan  as-Sunnah  terdapat  pengakuan  masalah  ekonomi  dengan  maksud  memberi  arahan  bagi  manusia  dalam  memenuhi  kebutuhan  hidupnya. al-Qur’an dan as-Sunnah juga mengisyaratkan bahwa manusia diberi  kesempatan yang seluas-luasnya untuk menjalankan kegiatan ekonominya, baik  dengan  mengeksploitasi  sumber  daya  alam  secara  langsung  seperti  pertanian,  pertambangan  maupun  yang  tidak  langsung  seperti  perdagangan  dan  berbagai  kegiatan produktif lainnya.
 Pengelolaan  bisnis  dalam  konteks  pengelolaan  secara  etik  mesti  menggunakan landasan norma dan moralitas umum yang berlaku dimasyarakat.
 Penilaian  keberhasilan  bisnis  tidak  saja  ditentukan  oleh  keberhasilan  ekonomi  dan finansial semata tetapi keberhasilan itu diukur dengan tolak ukur paradigma   Depag RI, al-Qur’an dan terjemahnya, (Jakarta: Al-Huda, 2002), 107   moralitas dan nilai-nilai etika, terutama pada moralitas dan etika yang dilandasi  oleh nilai-nilai sosial dan agama.
 Islam  membenarkan  setiap  kegiatan  bisnis  sepanjang  tidak  menyakiti  orang  lain  atau  masyarakat  secara  keseluruhan,  bisnis  yang  dilakukan  seorang  muslim yang beriman mempunyai pijakan landasan keyakinan bahwa bisnis yang  dilakukan bernilai  amal ibadah muamalah, yaitu kegiatan bisnis yang dilakukan  dengan  landasan  dan  pedoman  atau  peraturan  Allah  dalam  al-Qur’an  dan  assunnah  .  Harapannya  agar  bisnis  yang  dikelola  itu  membawa  manfaat  dan  kemaslahatan  yang  positif  bagi  manusia  sebagai  bekal  kehidupan  di  dunia  maupun di akhirat.
 Allah telah menjadikan harta sebagai  salah satu tegaknya kemaslahatan  manusia  di  dunia.  Untuk  mewujudkan  kemaslahatan  tersebut,  Allah  telah  mensyari’atkan cara perdagangan tertentu. Sebab apa saja yang dibutuhkan oleh  setiap orang tidak dapat dengan mudah untuk diwujudkan setiap saat  dan untuk  memenuhi kebutuhan tersebut kadang-kadang manusia tidak melihat  bagaimana  prosedur dan hukum dalam bermuamalah. Secara garis besar muamalah dibagi  menjadi dua bagian yaitu al-mua>malah al-ma>diyah dan al-mua>malah al-ada>biyah.
 Al-mua>malah  al-ma>diyah  adalah  muamalah  yang  mengkaji  objeknya  sehingga  sebagian  ulama  berpendapat  bahwa  muamalah  al-ma>diyah  adalah  muamalah  bersifat  kebendaan  karena  objek  fiqih  muamalah  adalah  benda  yang  halal,  haram  dan  syubhat  untuk  diperjualbelikan,  benda-benda  yang   memudharatkan  dan  benda  yang  mendatangkan  kemaslahatan  bagi  manusia,  serta segi-segi yang lainnya.
 Al-mua>malah  al-ada>biyah  ialah  muamalah  yang  ditinjau  dari  segi  cara  tukar-menukar  benda  yang  bersumber  dari  panca  indra  manusia,  yang  unsur  penegaknya  adalah  hak-hak  dan  kewajiban,  misalnya  jujur,  hasud,  dengki  dan  dendam.
 Sedangkan  menurut  Ibn  ‘Abidin.  Fiqih  muamalah  terbagi  menjadi  lima  bagian, yaitu:  1.  Mu’a>wad}ah ma>liyah, (hukum kebendaan).
 2.  Muna>kah}at (hukum perkawinan).
 3.  Muh}a>sanat (hukum acara).
 4.  Amanat dan ‘Ariyah (pinjaman) 5.  Tirkah (harta peninggalan) Ibn ‘Abidin adalah salah seorang yang mendefinisikan muamalah secara  luas  sehingga  Muna>kah}at  termasuk  salah  satu  bagian  fiqih  muamalah,  padahal  Muna>kah}at  diatur  dalam  disiplin  ilmu  tersendiri,  yaitu  fiqih  Muna>kah}at.
 Demikian  pula  tirkah,  harta  peninggalan  atau  warisan,  juga  termasuk  bagian  fiqih  muamalah, padahal tirkah sudah dijelaskan dalam disiplin ilmu tersendiri,  yaitu fiqih mawaris.
  Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Jaya, 2008), 3   Sedangkan  dari  induksi  para  ulama  terhadap  al-Quran  dan  as-Sunnah,  ditemukan  beberapa  keistimewaan  ajaran  muamalah  di  dalam  kedua  sumber  Hukum Islam, diantaranya:  1.  Prinsip  dasar  dalam  persoalan  muamalah  adalah  untuk   mewujudkan  kemaslahatan  umat  manusia.  Dengan  memperhatikan  dan  mempertimbangkan  berbagai  situasi  dan  kondisi  yang  mengitari  manusia  itu sendiri. Hal ini berbeda dengan masalah aqidah dan ibadah yang bersifat  menentukan dan menetapkan secara pasti, tegas tanpa diberikan kebebasan  kreasi untuk melakukannya. Dalam persoalan muamalah.
 2.  Bahwa  berbagai  jenis  muamalah  hukum  dasarnya  adalah  boleh  sampai  ditemukan dalil yang melarangnya. Ini artinya, selama tidak ada dalil yang  melarang suatu kreasi jenis muamalah, maka muamalah dibolehkan. Namun  demikian berbagai jenis muamalah yang diciptakan dan dilaksanakan oleh  umat  Islam  tidak  bisa  terlepas  dari  sikap  pengabdian  kepada  Allah  SWT.
 Dengan  demikian,  kaidah-kaidah  umum  yang  berkaitan  dengan  muamalah  tersebut  harus  diperhatikan  dan  dilaksanakan.  Kaidah-kaidah  umum  yang  ditetapkan syara’ yang dimaksud di antaranya adalah:  a.  Seluruh  tindakan  muamalah  tersebut  tidak  terlepas  dari  nilai-nilai  ketuhanan.  Artinya,  apapun  jenis  muamalah,  yang  dilakukan  oleh  seorang muslim harus senantiasa dalam rangka mengabdi kepada Allah   Ibid, 73   dan  senantiasa  berprinsip  bahwa  Allah  selalu  mengontrol  dan  mengawasi tindakan tersebut.
 b.  Seluruh  tindakan  muamalah  tersebut  tidak  terlepas  dari  nilai-nilai  kemanusian dan dilakukan dengan mengetengahkan akhlak terpuji.
 c.  Melakukan  pertimbangan  atas  kemasalahan  pribadi  dan  kemasalahan  masyarakat. Jika memang untuk memenuhi kemasalahan bersama harus  mengorbankan kemasalahan individu, maka hal itu boleh dilakukan.
 d.  Menegakkan  prinsip-prinsip  kesamaan  hak  dan  kewajiban  di  antara  sesama manusia.
 e.  Seluruh  yang  kotor-kotor  adalah  haram,  baik  berupa  perbuatan,  perkataan,  seperti  penipuan,  manipulasi,  eksploitas  manusia  atas  manusia,  penimbunan  barang,  dan  kecurangan-kecurangan,  maupun  kaitannya  dengan  materi,  seperti  minuman  keras,  babi  dan  jenis  najis  lainnya.
 Seluruh  yang  baik  dihalalkan.  Suatu  hal  yang  membuat  persoalan  muamalah dalam hal-hal yang tidak secara jelas ditentukan oleh nash sangat luas  disebabkan  bentuk  dan  jenis  muamalah  tersebut  akan  dikembangkan  sesuai  dengan  perkembangan  zaman,  tempat  dan  kondisi  sosial.  Atas  dasar  itu,  persoalan  muamalah  amat  terkait  erat  dengan  perubahan  sosial  yang  terjadi  di  tengah-tengah masyarakat.
  Dalam persoalan muamalah, syariat Islam lebih banyak memberikan polapola,  prinsip,  dan  kaidah  umum  dibanding  memberikan  jenis  dan  bentuk  muamalah secara rinci. Atas dasar  itu, jenis dan bentuk muamalah yang kreasi  dan  pengembanganya  diserahkan  sepenuhnya  kepada  para  ahli  di  bidang  itu.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi