BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Manusia adalah
makhluk sempurna yang
diciptakan oleh Allah
SWT dengan diberi
banyak kelebihan dibandingkan
mahluk lainnya, di
antaranya adalah akal fikiran.
Dengan akal manusia
diharapkan bisa memelihara
serta memanfaatkan alam dan
ciptaan-Nya dengan baik.
Allah
tidak menciptakan manusia
dengan derajat dan
kedudukan yang sama, ada tinggi dan rendah ada si kaya dan si
miskin, ada besar dan juga kecil.
Adanya perbedaan ini supaya manusia dapat
saling membutuhkan satu sama lain.
Islam
sangat menganjurkan untuk
saling tolong menolong
dan menghormati sesamanya. sebagaimana dalam firman Allah
dalam surat Al-Maidah ayat:2.
Artinya :Hai
orang-orang yang beriman,
janganlah kamu melanggar
syi'ar-syiar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan
bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan
binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka
mencari karunia dan
keridaan dari Tuhannya
dan apabila kamu
telah menyelesaikan ibadah
haji, maka bolehlah
berburu. Dan janganlah
sekali-kali kebencian (mu)
kepada sesuatu kaum
karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolongmenolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran.
Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya.(Qs. Al-Maidah:2) Manusia merupakan
makhluk individu yang
memiliki banyak keperluan hidup, dan Allah telah menyediakannya dengan
beragam benda untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam
rangka pemenuhan kebutuhan
tersebut tidak mungkin diproduksi
sendiri oleh individu
yang bersangkutan. Dengan
kata lain ia harus
bekerjasama dengan orang lain. Bentuk
kerjasama itu harus sesuai dengan etika agama.
Dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah
terdapat pengakuan masalah
ekonomi dengan maksud
memberi arahan bagi
manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. al-Qur’an dan
as-Sunnah juga mengisyaratkan bahwa manusia diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk
menjalankan kegiatan ekonominya, baik dengan mengeksploitasi sumber
daya alam secara
langsung seperti pertanian, pertambangan
maupun yang tidak
langsung seperti perdagangan
dan berbagai kegiatan produktif lainnya.
Pengelolaan
bisnis dalam konteks
pengelolaan secara etik
mesti menggunakan landasan norma
dan moralitas umum yang berlaku dimasyarakat.
Penilaian
keberhasilan bisnis tidak
saja ditentukan oleh
keberhasilan ekonomi dan finansial semata tetapi keberhasilan itu
diukur dengan tolak ukur paradigma Depag
RI, al-Qur’an dan terjemahnya, (Jakarta: Al-Huda, 2002), 107 moralitas dan nilai-nilai etika, terutama
pada moralitas dan etika yang dilandasi oleh
nilai-nilai sosial dan agama.
Islam
membenarkan setiap kegiatan
bisnis sepanjang tidak
menyakiti orang lain
atau masyarakat secara
keseluruhan, bisnis yang
dilakukan seorang muslim yang beriman mempunyai pijakan landasan
keyakinan bahwa bisnis yang dilakukan
bernilai amal ibadah muamalah, yaitu
kegiatan bisnis yang dilakukan dengan landasan
dan pedoman atau
peraturan Allah dalam
al-Qur’an dan assunnah
. Harapannya agar
bisnis yang dikelola
itu membawa manfaat
dan kemaslahatan yang
positif bagi manusia
sebagai bekal kehidupan
di dunia maupun di akhirat.
Allah telah menjadikan harta sebagai salah satu tegaknya kemaslahatan manusia
di dunia. Untuk
mewujudkan kemaslahatan tersebut,
Allah telah mensyari’atkan cara perdagangan tertentu.
Sebab apa saja yang dibutuhkan oleh setiap
orang tidak dapat dengan mudah untuk diwujudkan setiap saat dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut kadang-kadang
manusia tidak melihat bagaimana prosedur dan hukum dalam bermuamalah. Secara
garis besar muamalah dibagi menjadi dua
bagian yaitu al-mua>malah al-ma>diyah dan al-mua>malah al-ada>biyah.
Al-mua>malah al-ma>diyah adalah
muamalah yang mengkaji
objeknya sehingga sebagian
ulama berpendapat bahwa
muamalah al-ma>diyah adalah muamalah
bersifat kebendaan karena
objek fiqih muamalah
adalah benda yang halal, haram
dan syubhat untuk
diperjualbelikan,
benda-benda yang memudharatkan
dan benda yang
mendatangkan kemaslahatan bagi
manusia, serta segi-segi yang
lainnya.
Al-mua>malah al-ada>biyah ialah
muamalah yang ditinjau
dari segi cara tukar-menukar benda
yang bersumber dari
panca indra manusia,
yang unsur penegaknya
adalah hak-hak dan
kewajiban, misalnya jujur,
hasud, dengki dan dendam.
Sedangkan
menurut Ibn ‘Abidin.
Fiqih muamalah terbagi
menjadi lima bagian, yaitu:
1. Mu’a>wad}ah ma>liyah,
(hukum kebendaan).
2.
Muna>kah}at (hukum perkawinan).
3.
Muh}a>sanat (hukum acara).
4.
Amanat dan ‘Ariyah (pinjaman) 5.
Tirkah (harta peninggalan) Ibn ‘Abidin adalah salah seorang yang
mendefinisikan muamalah secara luas sehingga
Muna>kah}at termasuk salah
satu bagian fiqih
muamalah, padahal Muna>kah}at
diatur dalam disiplin
ilmu tersendiri, yaitu
fiqih Muna>kah}at.
Demikian
pula tirkah, harta
peninggalan atau warisan,
juga termasuk bagian fiqih
muamalah, padahal tirkah sudah dijelaskan dalam disiplin ilmu
tersendiri, yaitu fiqih mawaris.
Hendi
Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Jaya, 2008), 3 Sedangkan
dari induksi para
ulama terhadap al-Quran
dan as-Sunnah, ditemukan
beberapa keistimewaan ajaran
muamalah di dalam
kedua sumber Hukum Islam, diantaranya: 1.
Prinsip dasar dalam
persoalan muamalah adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan
umat manusia. Dengan
memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai
situasi dan kondisi
yang mengitari manusia itu sendiri. Hal ini berbeda dengan masalah
aqidah dan ibadah yang bersifat menentukan
dan menetapkan secara pasti, tegas tanpa diberikan kebebasan kreasi untuk melakukannya. Dalam persoalan
muamalah.
2.
Bahwa berbagai jenis
muamalah hukum dasarnya
adalah boleh sampai ditemukan dalil yang melarangnya. Ini artinya,
selama tidak ada dalil yang melarang
suatu kreasi jenis muamalah, maka muamalah dibolehkan. Namun demikian berbagai jenis muamalah yang
diciptakan dan dilaksanakan oleh umat Islam
tidak bisa terlepas
dari sikap pengabdian
kepada Allah SWT.
Dengan
demikian, kaidah-kaidah umum
yang berkaitan dengan
muamalah tersebut harus
diperhatikan dan dilaksanakan.
Kaidah-kaidah umum yang ditetapkan
syara’ yang dimaksud di antaranya adalah: a.
Seluruh tindakan muamalah
tersebut tidak terlepas
dari nilai-nilai ketuhanan.
Artinya, apapun jenis
muamalah, yang dilakukan
oleh seorang muslim harus
senantiasa dalam rangka mengabdi kepada Allah Ibid, 73 dan
senantiasa berprinsip bahwa
Allah selalu mengontrol
dan mengawasi tindakan tersebut.
b.
Seluruh tindakan muamalah
tersebut tidak terlepas
dari nilai-nilai kemanusian dan dilakukan dengan mengetengahkan
akhlak terpuji.
c.
Melakukan pertimbangan atas
kemasalahan pribadi dan
kemasalahan masyarakat. Jika
memang untuk memenuhi kemasalahan bersama harus mengorbankan kemasalahan individu, maka hal
itu boleh dilakukan.
d.
Menegakkan prinsip-prinsip kesamaan
hak dan kewajiban
di antara sesama manusia.
e.
Seluruh yang kotor-kotor
adalah haram, baik
berupa perbuatan, perkataan,
seperti penipuan, manipulasi,
eksploitas manusia atas manusia, penimbunan
barang, dan kecurangan-kecurangan, maupun kaitannya
dengan materi, seperti
minuman keras, babi
dan jenis najis lainnya.
Seluruh
yang baik dihalalkan.
Suatu hal yang
membuat persoalan muamalah dalam hal-hal yang tidak secara jelas
ditentukan oleh nash sangat luas disebabkan bentuk
dan jenis muamalah
tersebut akan dikembangkan
sesuai dengan perkembangan
zaman, tempat dan
kondisi sosial. Atas
dasar itu, persoalan
muamalah amat terkait
erat dengan perubahan
sosial yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat.
Dalam
persoalan muamalah, syariat Islam lebih banyak memberikan polapola, prinsip,
dan kaidah umum
dibanding memberikan jenis
dan bentuk muamalah secara rinci. Atas dasar itu, jenis dan bentuk muamalah yang kreasi dan
pengembanganya diserahkan sepenuhnya
kepada para ahli
di bidang itu.
Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi