Kamis, 14 Agustus 2014

Skripsi Syariah:TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI TANAH SEGORO DI DESA BANYUURIP KECAMATAN UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK


BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Desa  Banyuurip  secara  geografis  terletak  pada  posisi  06˚59’-45.8’  Lintang  Utara  dan  112˚31’-48.0’  Lintang  Selatan.  Sedangkan  secara  administratif  Desa  Banyuurip  terletak  di  wilayah  Kecamatan  Ujungpangkah  Kabupaten Gresik yang terdiri dari lima  dusun  yaitu  Dusun Bangsal Sari, Dusun  Mulyosari,  Dusun  Klakak,  Dusun  Banyulegi  dan  Dusun  Bondot  yang  secara  keseluruhan  jumlah  penduduknya  6.639  orang,  sebagian  dari  mereka  berprofesi  sebagai  nelayan.  Setiap  hari  mereka  menggantungkan  hidup  dari  hasil  laut  seperti ikan dan kerang untuk mencukupi semua kebutuhan hidup keluargannya.
 Sebagian lagi berprofesi sebagai petani  selebihnya,  ada yang berprofesi sebagai  guru, wirausaha dan ada juga yang belum mempunyai pekerjaan.
 Dengan  tuntutan  ekonomi  yang  semakin  hari  semakin  menjepit,  setiap  orang  dituntut  untuk  bertahan  dan  bersaing  untuk  kelangsungan  hidupnya.
 Banyak  masyarakat  yang  menggunakan  segala  cara  untuk  mendapatkan  uang.
 Sudah  jelas  meskipun  uang  bukanlah  segala-galanya,  akan  tetapi,  bisa  dilihat  bahwa  setiap  dan  semua  yang  kita  butuhkan  pasti  membutuhkan  uang  untuk mendapatkannya.
  Dewasa ini tidak sedikit orang yang kurang memperhatikan apakah harta  yang  diperoleh  berasal  dari  sesuatu  yang  halal  atau  sudah  sesuai  dengan  yang  disyari’atkan  oleh  agama.  Masalahnya  adalah  apakah  mereka  yang  notabene orang  Islam  mengetahui  hukum  Islam  sepenuhnya?,  padahal  di  dalam  Islam semua sudah diatur,  mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Bukan hanya satu  masalah  saja  yang  diatur,  akan  tetapi,  mulai  dari  permasalahan  ubudiah,  sosial  serta bermuamalah.

 Hukum  Islam  mencakup  berbagai  aspek  dimensi,  mulai  dari  dimensi  abstrak  sampai  dengan  dimensi  konkrit.  Dimensi  abstrak  dalam  wujud  segala  perintah  dan  larangan-Nya  dan  Rosul-Nya  serta  dimensi  konkrit  seperti  dalam  wujud perilaku yang bersifat ajeg di  kalangan orang  Islam  sebagai upaya untuk  melaksanakan  titah  Allah  dan  Rosulnya.  Lebih  konkret  lagi,  dalam  wujud  perilaku manusia, baik individu maupun kolektif.
  Tidak sedikit  kaum muslimin yang mengabaikan mempelajari muamalah,  mereka melalaikan aspek ini, sehingga tak perduli kalau mereka memakan barang  yang  haram,  sekalipun  semakin  hari  usahanya  kian  semakin  meningkat  dan  keuntungan semakin banyak.
  Dalam  transaksi  jual  beli  harus  terpenuhi  empat  syarat,  yaitu  syarat  terjadinya transaksi, syarat sah jual beli,   syarat berlakunya jual beli dan syarat   Cik Hasan Basri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam  dan Pranata Sosial,  (Jakarta: PT. Raja  Grafindo Persada, 2004),   Sayyid  Sabiq,  Fikih  Sunnah,  jilid  13,  diterjemahkan  oleh  Kamaluddin  A.  Marzuki,  dkk., dari Fiqh as Sunnah, (Bandung: PT. Al MA Arif, 1988), 46   keharusan (komitmen) jual beli. Sedangkan rukun jual beli yang harus terpenuhi  adalah adanya penjual, pembeli, pernyataan kata (i>ja>b-qabu>l) dan barang.
  Manusia  sebagai  makhluk  sosial  yang  sering  melakukan  kegiatan  muamalah, yang mana masyarakat tersebut dalam mencukupi kebutuhan sehari harinya  dengan  cara  jual  beli,  salah  satunya  dengan  melakukan  jual  beli  tanah  segoro  yang  dilakukan  oleh  sebagian  masyarakat  Desa  Banyuurip.  Di  mana  dalam jual belinya masih mengandung unsur kesamaran atau masih belum jelas  dikarenakan tanah segoro itu masih berupa lautan sedangkan laut itu tidak boleh  diperjualbelikan karena bukan milik pribadi.
 Baik  dalam  al-Qur’an  dan  al-Hadits  sebenarnya  sudah  diatur  tentang  bagaimana bersosial dan bermuamalah dengan baik agar dimensi perekonomian  serta hubungan manusia dengan manusia tetap bisa terjaga.
 Pada  dasarnya  hukum  dari  pada  jual  beli  adalah  diperbolehkan,  sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 275: Artinya: Allah menghalalkan jual beli dan Allah juga mengharamkan riba  (Al-Baqarah ayat 275).
  Jual beli adalah pekerjaan yang baik dimata agama, karena dalam jual beli  mengandung  unsur  usaha  sendiri  sampai  terkadang  keringatpun  bercucuran   Wahbah Al-Zuhaili,  Fiqih Islam wa Adillatuhu,  jilid 5,  diterjemahkan oleh  Abdul Hayyie  al-Kattani, dkk., dari Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011),   Departemen  Agama  RI,  Al-Qur’an  dan  Terjemahnya,  (Jakarta:  Fa.  Menara  Kudus,  1974) 48   karena  pekerjaan  ini.  Asal  berjual  beli  itu  semuanya  diperbolehkan  (mubah),  apabila  dengan  ridho  dua  orang  yang  melakukan  jual  beli  dan  yang  berurusan  dengan  orang  yang  melakukan  jual  beli  itu  sama-sama  rela  dengan  proses  jual  belinya.
  Objek  jual  beli  adalah  hak  atas  tanah,  tentu  saja  batas-batas  tanah  itu  harus  diketahui,  supaya  tidak  terjadi  keragu-raguan.  Kalau  tanah  sudah  bersertifikat, maka batas-batas tanah,  luas, panjang  dan lebarnya,  sudah ditulis  dalam  surat  ukur  atau  gambar  situasi.  Jika  tanah  itu  belum  bersertifikat,  maka  batas-batas itu harus dijelaskan oleh penjual dan pembeli.
  Tanah  diberikan  kepada  dan  dipunyai  oleh  orang  dengan  hak-hak  yang  disediakan oleh UUPA (Undang-undang Pokok Agraria), adalah untuk digunakan  atau  dimanfaatkan.  Untuk  keperluan  apapun  tidak  bisa  tidak,  pasti  diperlukan  juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang  yang ada di atasnya.
 Permasalahan ini bermula dari upaya seorang Kepala Desa Banyuurip yang  menjual perairan warga Banyuurip  Kecamatan  Ujungpangkah Kabupaten  Gresik,  tanpa  sepengetahuan  dan  persetujuan  seluruh  masyarakat.  Dalam  proses  penjualan  yang  dilakukan  sepihak  tersebut,  berdasarkan  data  lapangan  sementara,  menyebutkan,  Kepala  Desa  Banyuurip,    menjual tanah laut seluas    Asy-Syafi’i,  Al-U><>m>m,  diterjemahkan  oleh  Ismail  Yakub  dari  kitab  Al-U>m>m  (Jakarta  Selatan: CV. Faizan, 1982),   Effendi Perangin, Praktik Jual Beli, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), 8-10   hektar  yang  terletak  400  meter  arah  laut  dari  bibir  pantai  dan  berada  pada  kedalaman  4  meter  di  kedalaman  laut,  kepada  investor  luar,  yang  mana  laut  tersebut akan diuruk menjadi dataran  dan akan dibangun sebuah pabrik dan yang  melakukan  pengurukan  laut  adalah  dari  pihak  yang  membeli  tanah  segoro  tersebut.
 Jual  beli  tanah  segoro  muncul  karena  Desa  Banyuurip  ini  memerlukan  dana  yang  cukup  besar  untuk  membangun  desa  seperti  membangun  sarana  pendidikan.
  Supaya  tanah  segoro  itu  bisa  terjual  maka  segoro  itupun  dipetakpetak dengan luas terbesar 2 hektar dan terkecil seluas 1 hektar dengan harga Rp  200.000.000,-  per  20.000  meter  perseginya  atau  per  2  hektarnya,  hasil  dari  penjualan  tersebut  dibagi-bagi  ke  warga  yang  namanya  ikut  dalam  penjualan  tersebut  dengan  Rp.  30.000.000,-  sampai  Rp.  71.000.000,-  sedang  pemerintah  desa mendapatkan  sekitar Rp. 71.000.000 sampai  Rp. 100.000.000,-  dan mantan  kadesa mendapatkan Rp. 50.000.000,-.
 Proses jual beli tanah segoro ini  bermula dari  kebutuhan dana yang cukup  besar untuk membangun desa maka jual beli tanah segoro itupun direalisasikan,  tetapi  dengan  atas  nama  sendiri-sendiri,  yang  mana  setiap  orang  yang  ikut menjual  itu  mempunyai  SPOP  (Surat  Pembayaran  Objek  Pajak)  atau  laut  itu  sudah  dikavling  menjadi  milik  pribadi,  sehingga  orang  yang  menjual  itu  berjumlah banyak.
  Wantiono, Kepala Dusun, Wawancara, Banyuurip, Ujungpangkah, Gresik, 28 Agustus 2012   Jual  beli  tanah  segoro  ini,  hanya  ada  satu  kasus  yang  terjadi  di  Desa  Banyuurip  tetapi  terjadi  di  beberapa  dusun  yang  ada  di  desa  tersebut,  yang  melakukan  jual  beli  tanah  segoro  ini  dilakukan  oleh  perangkat  desa  dan  pembelinya  hanya  ada  satu  orang  saja  yaitu  pengusaha  spikulan.  Dalam  kasus  proses  jual  beli  tanah  segoro  tersebut  sudah  sampai  pada  BPN  (Badan  Pertanahan Nasional), karena dalam proses jual beli ini hanya berstatus pethok D  (SPOP)  dan  memiliki  SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang) saja.
  Dari  kasus jual beli tanah segoro ada sebagian masyarakat yang perduli kepada nasib  para nelayan yang tidak bisa mencari nafkah lagi.  Dari luas segoro 70  hektar dan  mempunyai  32  SPPT  (32  nama)  yang  berhasil  terjual  sebanyak  9  SPPT  atau  9  orang dengan luas hampir 17,5 hektar.
 Adapun  akibat dari jual beli tanah segoro ini, menyebabkan para nelayan tidak  bisa  pergi  melaut  untuk  mencari  nafkah  lagi  karena  laut  tersebut  akan  diuruk sehingga laut tersebut akan berupa daratan bukan lautan lagi.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi