BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sejak awal ’70-an gerakan Islam ditingkat
nasional telah memasuki bidang ekonomi
dengan diperkenalkannya sistem ekonomiIslam, sebagai alternatif terhadap sistem kapitalis dan sistem sosialis. Wacana
sistem ekonomi Islam itu diawali dengan konsep
ekonomi dan bisnis non ribawi. Sebenarnya sistem ekonomi Islam itu mencakup semua aspek ekonomi sebagaimana telah
dirumuskan secara komprehensif oleh Umer
Chappra dalam bukunya “The Future of Economics an Islamic Perspective”, yang menjelaskan bahwa: “Ilmu yang memberikan kontribusi langsung dan
tidak langsung terhadap realisasi
kesejahteraan manusia, tetap berkonsentrasi pada aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber daya dengan tujuan
utama untuk merealisasikan qshidusy
syariah. Ilmu ekonomi Islam pada
prinsipnya sama dengan ekonomi
konvensional, namun yang mendasar perbedaannya terletak pada pertimbangan sosial kemanusiaan sesuai
komitmen syariah Islam. Sementara pada
ekonomi konvensional hanya bermuara pada upaya pemenuhan kebutuhan material seperti halnya dengan
ekonomi kapitalis”.
Namun, dewasa ini terkesan bahwa ekonomi Islam
itu identik dengan konsep tentang sistem
keuangan dan perbankan. Kecenderungan ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: Pertama, petunjuk Allah dalam
al-Qur’an dan sunnah yang paling menonjol,
sebagaimana yang dilihat oleh bahkan menjadi perhatian utama para ulama’ dan cendekiawan muslim, yang juga
termasuk doktrin transaksi non ribawi Arifin
Hamid. Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia. h: 66-67 (larangan praktek riba). Kedua: peristiwa
krisis minyak pada tahun 1974 dan 1979, yang
menimbulkan kekuatan financial berupa petro dollar pada Negara-negara dikawasan Timur Tengah dan Afrika Utara,
termasuk juga Indonesia, Malaysia, dan Brunei
di Asia Tenggara. Melihat gejala itulah, kemudian timbullah pemikiran untuk “memutar” dana petro-dollar tersebutmelalui
lembaga keuangan syariah.
Kekuatan pergerakan ekonomi Islam adalah
kerjasama bagi yang tidak dapat memproduktifkan
kekayaan yang dimilikinya, maka Islam menganjurkan untuk melakukan musyarakah dan mudharabah, yaitu
bisnis bagi hasil. Bila tidak ingin mengambil
resiko, maka Islam sangat menganjurkan untuk melakukan qard, yaitu meminjamkan tanpa imbalan apapun. Dengan kata
lain, Islam sangat mendorong investasi
dan perdagangan, akan tetapi Islam sangat melarang adanya riba, gharar dan maysir.
Oleh karena itu, Islam menjelaskan bahwasannya
segala apapun dalam bermuamalat pada
asalnya adalah boleh, sebagaimana dalam ayat al-Qur’an surat alMulk (15), yang
berbunyi Artinya: “Dialah yang
menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah disegala penjurunya dan makanlah sebagian dari
rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu
(kembali setelah) di bangkitkan”.
http://konsultasimuamalat.MI Sigit
Pramono.wordpress.com.20 Maret Arifin
Hamid. Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia. h. 7 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan
Terjemahnya, h. 449 Ayat tersebut
menggariskan, bahwa manusia sebaiknya bukan menjalankan aktivitas baik sosial, budaya maupun ekonomi
dengan cara-cara yang tidak berguna, melainkan
kerja sama atau tolong menolong, membangun kemitraan untuk mendapatkan keuntungan yang dibenarkan
olehajaran agama. Kemitraan dibidang ekonomi
atau menjual jasa terkadang dilakukan dengan hanya mengejar target keuntungan. Sedangkan cara-cara yang sesuai
dengan norma agama diabaikan. Hal ini
dari sudut pertimbangan ekonomi semata bisa saja terpenuhi, namun dari kepentingan masyarakat, hubungan dengan pihak
rekanan bisnis maupun konsumen terabaikan
atau belum tentu sejalan.
Sebagai Negara dengan penduduk muslim terbesar
di dunia, adalah suatu kewajaran jika
tumbuh kecenderungan untuk menciptakan sistem sosial ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai ajaran Islam. PemerintahIndonesia telah mengintroduksikan sistem ekonomi Islam melalui
pembentukan Bank Muamalat Indonesia
(BMI) pada tahun 1990. Keberadaan BMI menjadi pemicu lahirnya bankbank syariah
yang lain. Dengan pendirianBMI itu, maka perbankan Indonesia menganut dual banking system. Bank
konvensional dan bank syariah beroperasi di Indonesia, bahkan ada beberapa bank
konvensional juga mempunyai divisi bank syariah.
Dalam satu dekade, perkembangan perbankan syariah melaju pesat, kini bank syariah bertambah dengan banyaknya bank swasta
dan pemerintah yang membuka bank
syariah. Sekarang ini bank-bank besar mempunyai unit bank konvensional dan bank syariah sekaligus, seperti Bank Mandiri
dengan Bank syariah Mandiri bank BNI dengan
bank BNI syariah, dll. Kalangan pasar modal pun menyadari potensni penghimpunan dana umat muslim. Dalam rangka
itu, BAPEPAM meluncurkan Pasar Modal
Syariah pada tanggal 14-15 Maret 2009.
Salah
satu instrumen yang diperdagangkan di pasar modal syariah adalah obligasi syariah (Sukuk). Sukuk merupakan
instrumen pasar modal syariah yang memiliki
potensi besar sehingga dapat menjadi alternatif pendanaan untuk pembangunan infrastruktur yang menarik.
Obligasi Syariah telah memiliki legitimasi yang kuat secara syariah di Indonesia dan
jugatelah disetujui oleh Bapepam. Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI
No:32/DSN-MUI/IX/2002, obligasi syariah
adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan perusahaan (emiten) kepadapemegang
obligasi syariah yang mewajibkan emiten
untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin/ fee serta membayar kembali dana
obligasi pada saat jatuh tempo.
Sukuk
merupakan instrumen keuangan pasar modal yang saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini
disebabkan karena tingginya tingkat likuiditas
di Timur Tengah yang disebabkan oleh booming minyak bumi, serta meningkatnya kesadaran akan investasi yang tidak
sekedar mendapatkan return tetapi juga
nilai sosial. Meskipun di Indonesia mempunyai potensi pasar sangat besar terhadap perkembangan sukuk, namun di Dunia
yang mendapatkan pangsa pasar sangat
besar.
M. Irsan Nasarudin. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia.
h,16-17 Ibid. h, 206 Melalui Fatwa MUI tersebut di atas, DSN
sebenarnya mengkategorikan tiga jenis
pemberian keuntungan kepada investor pemegang obligasi syariah, yaitu: Pertama, adalah berupa bagi hasil kepada
pemegang obligasi mudharabah atau musyarakah.
Kedua, keuntungan berupa margin bagi pemegang obligasi murabahah, salam atau ishtisna’. Ketiga, berupa fee
(sewa) dari asset yang disewakan untuk pemegang
obligasi dengan akad ijarah. Padaprinsipnya, semua obligasi syariah adalah surat berharga bukti investasi jangka
panjang yang dikembangkan dengan mengacu
pada prinsip muamalah Islami. Namun yang membedakan antara obligasi konvensional dengan obligasi syariah tersebut
adalah akad dan transaksinya.
Ijārah merupakan akad pemindahan hak
guna(manfaat) atas suatu barang atau jasa
dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang tersebut.
Pemegang obligasi ijārah akan mendapatkan
keuntungan berupa fee (sewa) dari asset yang disewakan.
Sebagimana dalam Fatwa DSN
No:41/DSN-MUI/III/2004 tentang obligasi syariah
ijārah yang menjelaskan bahwasannya penerbitan sukuk ijarah dapat dilakukan terhadap aktiva (aset) tetap yang benar-benar
telah ada. Kepemilikan aktiva tersebut
beralih kepada pemegang sukuk. Oleh karena itu, penyewaan dilakukan oleh mereka. Demikian juga, sukuk ijārah dapat
diterbitkan terhadap aktiva tetap dimana pemerintah akan membeli aktiva tersebut sebagai
wakil dari pemegang sukuk, kemudian
menyewanya dari mereka. Namun, apabila sukuk ijārah ditawarkan kepada publik untuk kepentingan taman umum yang belum
ada (belum dibangun), maka pemerintah
tidak dapat menggunakan danaterkumpul untuk selain pembangunan taman. Hal itu disebabkan karena pemerintah
dalam penggunaan tanah tersebut hanya
berstatus sebagai wakil dari pemiliknya.
Sebagaimana faktanya, suatu
perseroan yang telah menerbitkan Obligasi syariah (sukuk) ijārah adalah “PT Sona Topas
Tourism Tbk.” Dana yang diperoleh dari
emisi Obligasi syariah (investor) tersebut digunakan oleh PT. Sona Topas Tourism Tbk. Sebagai modal kerja PT. Inti
Duffree Promosindo (PT. IDP) untuk pembangunan
toko bebas bea dan biro perjalanan wisata. Adapun pendapatan yang telah disepakati antara keduanya adalah
berdasarkan prinsip syariah, yaitu berupa ujrah(fee ijārah). Perusahaan ini mengeluarkan
Obligasi syariah sebesar 100.000.000.000
dengan jangka waktu 5 tahun, dimana pembayaran cicilan fee ijarahnya setiap tiga bulan sekali (triwulan)
sebesar 7.670.000.000 pertahun, dengan pembayaran
fee ijarah Obligasi syariahnya pada waktu jatuh tempo (tanggal 28 Juni 2009).
Dalam dunia perbisnisan, baik itu bisnis
dengan prinsip konvensional maupun bisnis
dengan prinsip syariah, maka tidaklah akan bisa lepas dari suatu perjanjian (perikatan), yang disebut juga dengan “akad”.
Perjanjian (akad) mempunyai arti penting
dalam kehidupan masyarakat, karenaakad merupakan “ dasar dari sekian banyak aktifitas dalam keseharian kita “. Akad
dapat memfasilitasi setiap orang dalam
memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang tidak dapat dipenuhinya sendiri tanpa bantuan dari jasa orang lain.
Oleh karenanya, dapat dibenarkan pula bila dikatakan bahwa akad merupakan sarana sosial
yang ditemukan oleh peradaban umat PT.
Sona Topas Tourism Tbk, Prospektus PT.Sona Topas Tourism Tbk, Jakarta: 2004 manusia untuk mendukung kahidupannya sebagai
makhluk sosial. Suatu hal yang terdapat
pula dalam obligasi syariah dengan skim ijarah, untuk dapat terealisasinya tujuan tersebut diatas, maka antara PT. IDP,
PT. Sona Topas Tourism Tbk, dan pemilik
asset (investor) akad yang digunakan adalah akadijārah, akad wakālah, dan akad
kafālah. Sehingga dapat dirumuskan bahwasannya obligasi syariah menggunakan multi akad agar tujuannya dapat
terlaksana.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi