BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Allah SWT menciptakan alam semesta dan
seisinya diperuntukkan bagi manusia,
selaku kholifahdi muka bumi ini, untuk dikelola dan dimanfaatkan demi kelangsungan hidupnya. Allah SWT
membekali manusia dengan otak untuk
dicurahkan dalam memikirkan segalasesuatu yang ada di alam semesta ini, selain itu Allah SWT juga menanamkan
fitrah di dalam diri manusia untuk mencari
ke-Esaan dan keagungan Allah SWT yaitu dengan memeluk agama Islam yang telah diridhoi Allah SWT.
Sumber dan pedoman bagi umat Islam adalah
al-Qur’an dan as-Sunnah yang mengandung
ajaran-ajaran tentang aqidahdan syari’at, kemudian syari’at dibagi menjadi dua yaitu ibadah dan mu’amalah.
Mu’amalah
secara umum dapat difahami sebagai
aturan-aturan (hukum) Allah SWT yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan
keduniawian dan sosial masyarakat.
Dengan demikian, apapun aktifitas manusia di
dunia ini senantiasa mengabdikan diri
kepada Allah SWT. Sebagaimana firmanNya dalam surat az\-Z\|a>riya>t ayat: 56 Mahmud Syaltut, Islam Sebagai Aqidah dan
Syari’at, h. 1 ِ”Dan Allah SWT tidak menciptakan jin dan
manusia kecuali untuk menyembah padanya”(QS. az\-Z|\a>riya>t
ayat: 56) Telah menjadi sunatullahbahwa
manusia hidup bermasyarakat, tolongmenolong antara satu dengan yang lainnya.
Sebagai makhluk sosial manusia menerima
dan memberikan andilnya pada orang lain, selain bermu’amalah atau bekerjasama dengan orang lain dalam rangka
memenuhi hajat hidup dan mencapai kemajuan
dalam hidup.
Hal ini tidak dapat dipungkiri, bahwa manusia
menyesuaikan diri dengan peraturan atau
hukum Allah SWT (al-Qur’an dan as-Sunnah) dan bagi siapa yang telah menentang hukum Allah SWT tersebutdengan
mengasingkan diri dari hidup bermasyarakat,
maka ia akan sangat menderita dalam hidupnya.
Untuk mencapai tujuan dan kemajuanhidup
manusia, diperlukan adanya kerjasama
antara sesama manusia seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat
alMa>idah ayat: 2 ...dan tolong
menolonglah kamu sekalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangatlah berat siksa-Nya.(QS.
al-Ma>idah ayat: 2) Departemen Agama
RI, al-Qur’an dan Terjemah, h. 523 Ibid,
h. 106 Bermu’amalah dengan jalan saling
tolong menolong, ini akan lebih memudahkan
manusia dalam mencapai kemajuan dalam hidupnya, karena manusia tidak mungkin dapat memenuhi hajat
hidupnyaseorang diri tanpa orang lain.
Dalam memenuhi hajat hidupnya manusiadilarang
merugikan pihak lain dengan cara yang
tidak wajar dan diserukan agar tetap memelihara Ukhuwah Islamiyah. Dalam aturan hukum Islam manusia
telah dilarang memakan harta sesama atau
memakan harta yang diperoleh dengan jalan bat}il (tidak sah) seperti halnya telah dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam
surat an-Nisa>’ ayat: 29 ً Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang bat}il, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. ( QS. an-Nisa>’ ayat: 29 ) Salah satu usaha untuk mencapai hajat hidup
dengan meningkatkan taraf hidup adalah
dengan cara melakukan transaksi jual-beli, pada prinsipnya jual beli adalah halal selama tidak melanggar aturan-aturan
syari’at Islam, bahkan usaha jual beli ini dianggap mulia apabila dilakukan dengan jujur
dan tidak ada unsur tipu-menipu Ibid,
h. 83 antara satu dengan yang lainnya
dan benar-benar harus berdasarkan prinsip syari’at Islam.
Jual beli merupakan transaksi yang
disyari’atkan dalam arti telah terdapat hukumnya
yang jelas dalam Islam, yang berkenaan dengan hukum taklifi, hukumnya boleh atau kebolehannya dapat ditemukan dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah Nabi SAW.
Sebagaimana
dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat: 275 َ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.(QS. alBaqarah ayat: 275) Dari
penjelasan al-Qur’an di atas bahwa Allah SWT telah mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli. Orang yang memakan
atau mengambil riba jiwanya Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh Islam, h. 139 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah,
h. 47 tidak tentram lantaran kemasukan
syaitan, dan barang siapa yang mengulangi mengambil riba setelah mereka mengetahui bahwa
riba itu haram, maka mereka akan menjadi
penghuni neraka.
Dan terdapat juga padahadis| di bawah ini ( Dari Wa>’il abi> Bakar dari Aba>yah
bin Rifa>’ah bin Ro>fi’, Rif’ah bin
Kho>dij dari kakeknya berkata Rasulullah SAW pernah ditanya orang, apakah usaha yang paling baik, beliau
menjawab: usaha seseorang dengan
tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur.(HR. Ahmad) Dalam hadis| Nabi tersebut, jual beli
dimasukkan ke dalam usaha yang lebih baik
dengan catatan mabrur, secara umum diartikan atas dasar suka sama suka dan bebas dari penipuan serta pengkhianatan, ini
merupakan prinsip pokok suatu transaksi.
Dalam
melakukan transaksi jual beli, hal yang penting diperhatikan ialah mencari barang yang halal dan dengan jalan
yang halal pula, artinya carilah barang yang
halal untuk diperjualbelikan kepada orang lain atau diperdagangkan dengan cara-cara yang sejujur-jujurnya, bersih dari
segala sifat yang dapat merusak jual beli seperti halnya penipuan, pencurian,
perampasan, riba dan lain-lain.
Imam
Ahmad bin Hanbal,Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal jilid 4, h. 141 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh
Islam, h. 194 Ibnu Mas’ud, Zainal
Abidin, Fiqh Madhab Syafi’i, h. 24 Seluruh
aspek jual beli atau perdagangan terdapat aturannya, dengan demikian tatkala pedagang atau penjual melakukan
aktifitas perdagangan atau jual-belinya maka
wajib mematuhi seluruh aturan yang diterapkan Allah SWT dan Rasulnya agar tidak terjadi konflik yang menyebabkan manusia
akan kehilangan peluang untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Dalam jual beli, jumhur ulama’ membagi jual
beli menjadi dua macam, yaitu jual beli
yang dikategorikan Sah (S}ahih) yaitu jual beli yang memenuhi ketentuan Syara’ (baik rukun maupun syaratnya), dan
jualbeli tidak Sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun
sehingga jual beli menjadi rusak (fa>sid)
atau batal. Adapun Ulama’ Hanafiyah membagi jual beli menjadi tiga yaitu jual beli sah, jual beli batal dan jual beli
rusak (fa>sid).
Berkenaan
dengan jual beli yang dilarang Islam, Wahbah Az-Zuhayly yang dikutib oleh oleh Rahmat Syafi’i meringkasnya
sebagai berikut : 1. Terlarang sebab Ahliah(Ahli Akad), ulama’
telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan
s{ahih apabila dilakukan oleh orang yang baligh, berakal dapat memilih dan mampu membelanjakan harta
(bertas|aruf) secara bebas dan baik, mereka
yang dipandang tidak sah jual belinya adalah jual beli yang dilakukan oleh orang gila, jual beli anak kecil, jual
beli orang yang terhalang.
2.
Terlarang sebab Sig{<ot, Ulama’ Fiqh sepakat atassahnya jual beli
yang didasarkan pada keridhohan diantara
pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian Rahmad Syafi’i, Fiqh Mu’alamah, h. 91-92 Ibid, h. 93-95 diantara
ijab dan qabul berada di satutempat dan tidak terpisah oleh suatu pemisah.
Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan
tersebut diatas dipandang tidak sah.
Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah
atau masih diperdebatkan oleh para ulama’,
salah satunya adalah jual belidengan persyaratan. Jual beli dengan persyaratan, para ulama’ berbeda pendapat
dalam menjelaskan aplikasi bentuk jual beli
ini: 1.
Kalangan Malikiyah berpendapat bahwa jualbeli bersyarat ini adalah jual
beli dengan syarat yang bertentangan
dengan konsekuensi akad jual beli seperti akad jual beli agar tidak menjualkan rusaknyaharga
seperti syarat peminjaman dari salah
satu pihak yang terlibat.
2.
Kalangan Hanabilah memahami jual belibersyarat itu sebagai jual beli
yang bertentangan dengan akad halal
dicontohkan sebelumnya dan bertentangan dengan
konsekuensi ajaran syariat seperti mempersyaratkan adanya bentuk usaha lain, baik itu jual beli atau persyaratan yang
membuat jual beli tergantung seperti menyatakan
saya jual ini kepadamu kalau sifulan ridho.
3.
Kalangan Hanafiyah memahami jual belibersyarat sebagai jual beli yang menetapkan syarat yang tidak termasuk dalam
konsekuensi perjanjian jual beli, dan
tidak relevan dengan perjanjian tersebut namun bermanfaat bagi salah satu pihak yang terlibat, seperti menjual rumah
dengan syarat untuk dibangun Masjid Abdullah
al-Muslih, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, h. 40 diatasnya atau bermanfaat bagi obyek
perjanjian seperti menjual seorang budak wanita dengan syarat memerdekakannya.
4.
Kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa jualbeli bersyarat sebagai jual
beli yang rusak.
Syarat
manfaat yang dinyatakan oleh kalangan Hanafiyah di atas masih harus diteliti lagi, berdasarkan hadis| Jabir yang
menjual untanya kepada Nabi lalu memberikan
persyaratan untuk memfaatkannya hingga sampai kota Madinah.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi