Sabtu, 16 Agustus 2014

Skripsi Syariah:TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENETAPAN SYARAT DAN AKIBATNYA DALAM TRANSAKSI JUAL BELI SAWAH DI DESA KARANGREJO KEC. GEMPOL - PASURUAN


BAB I  PENDAHULUAN  
A.  Latar Belakang Masalah  Allah SWT menciptakan alam semesta dan seisinya diperuntukkan bagi  manusia, selaku kholifahdi muka bumi ini, untuk dikelola dan dimanfaatkan  demi kelangsungan hidupnya. Allah SWT membekali manusia dengan otak  untuk dicurahkan dalam memikirkan segalasesuatu yang ada di alam semesta  ini, selain itu Allah SWT juga menanamkan fitrah di dalam diri manusia untuk  mencari ke-Esaan dan keagungan Allah SWT yaitu dengan memeluk agama  Islam yang telah diridhoi Allah SWT.
 Sumber dan pedoman bagi umat Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah  yang mengandung ajaran-ajaran tentang aqidahdan syari’at, kemudian syari’at  dibagi menjadi dua yaitu ibadah dan mu’amalah.
  Mu’amalah secara umum  dapat difahami sebagai aturan-aturan (hukum) Allah SWT yang ditujukan untuk  mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniawian dan sosial masyarakat.

 Dengan demikian, apapun aktifitas manusia di dunia ini senantiasa  mengabdikan diri kepada Allah SWT. Sebagaimana firmanNya dalam surat  az\-Z\|a>riya>t ayat: 56   Mahmud Syaltut, Islam Sebagai Aqidah dan Syari’at, h. 1   ِ”Dan Allah SWT tidak menciptakan jin dan manusia  kecuali untuk  menyembah padanya”(QS. az\-Z|\a>riya>t ayat: 56)   Telah menjadi sunatullahbahwa manusia hidup bermasyarakat, tolongmenolong antara satu dengan yang lainnya. Sebagai makhluk sosial manusia  menerima dan memberikan andilnya pada orang lain, selain bermu’amalah atau  bekerjasama dengan orang lain dalam rangka memenuhi hajat hidup dan mencapai  kemajuan dalam hidup.
 Hal ini tidak dapat dipungkiri, bahwa manusia menyesuaikan diri dengan  peraturan atau hukum Allah SWT (al-Qur’an dan as-Sunnah) dan bagi siapa yang  telah menentang hukum Allah SWT tersebutdengan mengasingkan diri dari hidup  bermasyarakat, maka ia akan sangat menderita dalam hidupnya.
 Untuk mencapai tujuan dan kemajuanhidup manusia, diperlukan adanya  kerjasama antara sesama manusia seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat alMa>idah ayat: 2  ...dan tolong menolonglah kamu sekalian dalam (mengerjakan)  kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa  dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya  Allah sangatlah berat siksa-Nya.(QS. al-Ma>idah ayat: 2)   Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah, h. 523   Ibid, h. 106   Bermu’amalah dengan jalan saling tolong menolong, ini akan lebih  memudahkan manusia dalam mencapai kemajuan dalam hidupnya, karena manusia  tidak mungkin dapat memenuhi hajat hidupnyaseorang diri tanpa orang lain.
 Dalam memenuhi hajat hidupnya manusiadilarang merugikan pihak lain  dengan cara yang tidak wajar dan diserukan agar tetap memelihara Ukhuwah  Islamiyah. Dalam aturan hukum Islam manusia telah dilarang memakan harta sesama  atau memakan harta yang diperoleh dengan jalan bat}il (tidak sah) seperti halnya  telah dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam surat an-Nisa>’ ayat: 29  ً Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta  sesamamu dengan jalan yang bat}il, kecuali dengan jalan perniagaan  yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah  kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang  kepadamu. ( QS. an-Nisa>’ ayat: 29 )  Salah satu usaha untuk mencapai hajat hidup dengan meningkatkan taraf hidup  adalah dengan cara melakukan transaksi jual-beli, pada prinsipnya jual beli adalah  halal selama tidak melanggar aturan-aturan syari’at Islam, bahkan usaha jual beli ini  dianggap mulia apabila dilakukan dengan jujur dan tidak ada unsur tipu-menipu   Ibid, h. 83   antara satu dengan yang lainnya dan benar-benar harus berdasarkan prinsip syari’at  Islam.
 Jual beli merupakan transaksi yang disyari’atkan dalam arti telah terdapat  hukumnya yang jelas dalam Islam, yang berkenaan dengan hukum taklifi, hukumnya  boleh atau kebolehannya dapat ditemukan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah Nabi  SAW.
  Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat: 275  َ Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan  seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)  penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan  mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan  riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
 Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu  terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah  diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)  kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu  adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(QS. alBaqarah ayat: 275)   Dari penjelasan al-Qur’an di atas bahwa Allah SWT telah mengharamkan riba  dan menghalalkan jual beli. Orang yang memakan atau mengambil riba jiwanya   Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh Islam, h. 139   Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah, h. 47   tidak tentram lantaran kemasukan syaitan, dan barang siapa yang mengulangi  mengambil riba setelah mereka mengetahui bahwa riba itu haram, maka mereka akan  menjadi penghuni neraka.
 Dan terdapat juga padahadis| di bawah ini  ( Dari Wa>’il abi> Bakar dari Aba>yah bin Rifa>’ah bin Ro>fi’, Rif’ah  bin Kho>dij dari kakeknya berkata Rasulullah SAW pernah ditanya  orang, apakah usaha yang paling baik, beliau menjawab: usaha  seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang  mabrur.(HR. Ahmad)  Dalam hadis| Nabi tersebut, jual beli dimasukkan ke dalam usaha yang lebih  baik dengan catatan mabrur, secara umum diartikan atas dasar suka sama suka dan  bebas dari penipuan serta pengkhianatan, ini merupakan prinsip pokok suatu  transaksi.
  Dalam melakukan transaksi jual beli, hal yang penting diperhatikan ialah  mencari barang yang halal dan dengan jalan yang halal pula, artinya carilah barang  yang halal untuk diperjualbelikan kepada orang lain atau diperdagangkan dengan  cara-cara yang sejujur-jujurnya, bersih dari segala sifat yang dapat merusak jual beli  seperti halnya penipuan, pencurian, perampasan, riba dan lain-lain.
   Imam Ahmad bin Hanbal,Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal jilid 4, h. 141   Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh Islam, h. 194   Ibnu Mas’ud, Zainal Abidin, Fiqh Madhab Syafi’i, h. 24   Seluruh aspek jual beli atau perdagangan terdapat aturannya, dengan demikian  tatkala pedagang atau penjual melakukan aktifitas perdagangan atau jual-belinya  maka wajib mematuhi seluruh aturan yang diterapkan Allah SWT dan Rasulnya agar  tidak terjadi konflik yang menyebabkan manusia akan kehilangan peluang untuk  memenuhi kebutuhan hidupnya.
 Dalam jual beli, jumhur ulama’ membagi jual beli menjadi dua macam, yaitu  jual beli yang dikategorikan Sah (S}ahih) yaitu jual beli yang memenuhi ketentuan  Syara’ (baik rukun maupun syaratnya), dan jualbeli tidak Sah adalah jual beli yang  tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual beli menjadi rusak  (fa>sid) atau batal. Adapun Ulama’ Hanafiyah membagi jual beli menjadi tiga yaitu  jual beli sah, jual beli batal dan jual beli rusak (fa>sid).
  Berkenaan dengan jual beli yang dilarang Islam, Wahbah Az-Zuhayly yang  dikutib oleh oleh Rahmat Syafi’i meringkasnya sebagai berikut :  1.  Terlarang sebab Ahliah(Ahli Akad), ulama’ telah sepakat bahwa jual beli  dikategorikan s{ahih apabila dilakukan oleh orang yang baligh, berakal dapat  memilih dan mampu membelanjakan harta (bertas|aruf) secara bebas dan baik,  mereka yang dipandang tidak sah jual belinya adalah jual beli yang dilakukan  oleh orang gila, jual beli anak kecil, jual beli orang yang terhalang.
 2.  Terlarang sebab Sig{<ot, Ulama’ Fiqh sepakat atassahnya jual beli yang  didasarkan pada keridhohan diantara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian   Rahmad Syafi’i, Fiqh Mu’alamah, h. 91-92   Ibid, h. 93-95    diantara ijab dan qabul berada di satutempat dan tidak terpisah oleh suatu  pemisah.
 Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut diatas dipandang tidak sah.
 Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para  ulama’, salah satunya adalah jual belidengan persyaratan. Jual beli dengan  persyaratan, para ulama’ berbeda pendapat dalam menjelaskan aplikasi bentuk jual  beli ini:  1.  Kalangan Malikiyah berpendapat bahwa jualbeli bersyarat ini adalah jual beli  dengan syarat yang bertentangan dengan konsekuensi akad jual beli seperti akad  jual beli agar tidak menjualkan rusaknyaharga seperti syarat peminjaman dari  salah satu pihak yang terlibat.
 2.  Kalangan Hanabilah memahami jual belibersyarat itu sebagai jual beli yang  bertentangan dengan akad halal dicontohkan sebelumnya dan bertentangan  dengan konsekuensi ajaran syariat seperti mempersyaratkan adanya bentuk usaha  lain, baik itu jual beli atau persyaratan yang membuat jual beli tergantung seperti  menyatakan saya jual ini kepadamu kalau sifulan ridho.
 3.  Kalangan Hanafiyah memahami jual belibersyarat sebagai jual beli yang  menetapkan syarat yang tidak termasuk dalam konsekuensi perjanjian jual beli,  dan tidak relevan dengan perjanjian tersebut namun bermanfaat bagi salah satu  pihak yang terlibat, seperti menjual rumah dengan syarat untuk dibangun Masjid   Abdullah al-Muslih, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, h. 40   diatasnya atau bermanfaat bagi obyek perjanjian seperti menjual seorang budak  wanita dengan syarat memerdekakannya.
 4.  Kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa jualbeli bersyarat sebagai jual beli yang  rusak.
  Syarat manfaat yang dinyatakan oleh kalangan Hanafiyah di atas masih harus  diteliti lagi, berdasarkan hadis| Jabir yang menjual untanya kepada Nabi lalu  memberikan persyaratan untuk memfaatkannya hingga sampai kota Madinah.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi