BAB I.
PENDAHULUAN.
1.1. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Ekonomi: Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah, Derajat Desentralisasi, Ketergantungan Keuangan Daerah, Dan Efektivitas Pad Terhadap Alokasi Belanja Modal
Desentralisasi dimulai
dengan berakhirnya rezim Orde
Baru pada tahun 1989, digantikan
dengan era reformasi
yang lebih bebas
dan demokratis. Pengalihan sistem
pemerintahan yang sentralistis menjadi desentralisasi tentu memerlukan banyak
penyesuaian dan penetapan
peraturan agar perubahan
yang terjadi dapat memberi pengaruh yang baik secara signifikan untuk
perkembangan negara. Pada masa peralihan ini, otonomi daerah pun mulai
direalisasikan dengan ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun
1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah (Halim, 2004: 3).
Peraturan otonomi daerah dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 19 tentang
Pemerintahan Daerah dianggap
tidak sesuai lagi
dengan perkembangan, ketatanegaraan dan
tuntutan penyelenggaraan otonomi
daerah, sehingga pada tahun
2004 diganti dengan
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat
dan Daerah juga digantikan dengan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Menurut UU
No. 32 Tahun
2004 Pasal 1,
pengertian otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Kewenangan
yang dimaksud mencakup dalam
seluruh bidang pemerintahan, kecuali wewenang dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, agama, serta kewenangan
lainnya.
Thesaurianto (2007)
menyebutkan bahwa salah
satu alasan penyelenggaraan otonomi
daerah adalah agar
pembangunan di daerah
berjalan seiring dengan pembangunan
pusat. Ini merupakan
bentuk koreksi atas pelaksanaan pembangunan ekonomi yang
selama ini menitikberatkan pembangunan di
pusat dan kurang
memperhatikan perkembangan pembangunan daerah. Terlihat
pada pemerintahan pada
masa Orde Baru dengan
sistem kebijakan sentralistis sampai dengan tahun 1997, di mana
pemerintah kurang bisa membiayai
proyek-proyek pembangunan dikarenakan
kurangnya pendapatan internal
pemerintah, terutama dari bidang pajak dan retribusi.
Kebijakan pemerintah
yang memusat tersebut
menyebabkan terjadinya disparitas dan
ketidakseimbangan
pelaksanaan pembangunan di
pemerintahan pusat maupun daerah.
Akibatnya hampir seluruh
potensi ekonomi di
daerah tersedot ke pusat
sehingga daerah tidak
mampu berkembang secara
memadai.
Kesenjangan sosial, pembangunan,
dan pemerataan pendapatan antar daerah serta golongan pun ikut menjadi momok
keruntuhan perekonomian Indonesia pada saat itu, karena
menyebabkan timbulnya gejolak
sosial dan geliat
kekacauan dalam kehidupan
sosial ekonomi masyarakat. Ditambah lagi
dengan mencuatnya krisis moneter yang
makin membuka mata pemerintah
akan kelemahan sistem
perekonomiannya. Maka dengan pelaksanaan otonomi daerah,
terkandung maksud dari pemerintah pusat untuk memperbaiki kekeliruan
selama ini dengan cara memberikan peluang kepada daerah untuk mendapatkan dana
lebih besar dan kebebasan untuk mengelolanya sendiri.
Dengan dijalankannya
otonomi daerah, diharapkan
daerah-daerah di Indonesia dapat
lebih menggali potensi
daerahnya dan mengembangkan
sistem serta tata daerah
yang mencangkup struktural
maupun infrastruktur, sehingga daerah-daerah otonom
tersebut mampu menghasilkan
pendapatan guna merealisasikan
pemerataan pembangunan daerah secara lebih nyata dan mandiri.
Dengan meningkatnya
kemampuan, pendapatan, dan potensi
daerah-daerah di Indonesia, otomatis
akan memperkuat perekonomian
sentral maupun perkembangan
sosial budaya Indonesia.
Menteri Dalam
Negeri Gamawan Fauzi
menuturkan, kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah telah
menjadi konsensus pendiri
bangsa.
Penyelenggaraan otonomi
daerah dan kebijakan
desentralisasi di Indonesia merupakan pilihan
yang tepat untuk
mengelola Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang begitu
luas (www.suaramerdeka.com). Melalui
otonomi daerah, pemerintah daerah
menjadi manajer yang
secara mandiri mengelola
keuangan daerahnya sendiri untuk
dapat mencapai peningkatan
kinerja ke arah yang
di inginkan oleh masyarakatnya. Setiap daerah adalah “unik dan khas”,
oleh sebab itulah harus dapat
mengembangkan local genius
masing-masing sebagai peningkatan
potensi comparative advantage (Rasul, 2008).
Penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab memerlukan kewenangan
dan kemampuan yang
menggali sumber keuangan sendiri yang
didukung oleh perimbangan
keuangan antara pusat
dan daerah (Frediyanto, 2010).
Kemampuan daerah dalam mengelola keuangan daerah akan menjadi indikasi
terlaksananya otonomi daerah
yang baik dan
efisien selaras dengan konsep
value for money.
Kinerja keuangan
pemerintah daerah perlu diukur
dengan rasio kinerja keuangan daerah agar dapat
menganalisis seberapa baik pemerintah daerah dalam mengelola keuangannya.
Halim (2007:148), menyatakan bahwa
hasil analisis rasio-rasio
keuangan ini dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam: 1. menilai kemandirian
keuangan daerah dalam
membiayai penyelenggaraan otonomi daerah, 2. mengukur efektivitas dan
efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah, 3. mengukur sejauh
mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya, 4.
mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan
daerah, dan 5. melihat pertumbuhan/ perkembangan perolehan pendapatan dan
pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu.
Sularso dan Restianto (2011)
dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada beberapa rasio
yang dapat digunakan
untuk mengukur kinerja
keuangan daerah, yaitu rasio kemandirian
daerah, derajat desentralisasi, rasio ketergantungan keuangan daerah, dan
rasio efektivitas Pendapatan Asli Daerah.
Analisis rasio keuangan adalah suatu proses yang mengidentifikasikan
ciriciri yang penting tentang keadaan keuangan dan kegiatan perusahaan
berdasarkan laporan keuangan yang tersedia. Salah satu alat ukur kinerja adalah
analisis rasio keuangan yang dapat
digunakan sebagai konsep
pengelolaan organisasi pemerintah untuk
menjamin pertanggungjawaban publik
oleh lembaga-lembaga pemerintah
kepada masyarakat luas (Nugroho, 2012). Penggunaan analisis rasio pada
sektor publik khususnya
terhadap APBD belum
banyak dilakukan, sehingga
secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah
pengukurannya. Meskipun demikian dalam
rangka pengelolaan keuangan
daerah yang transparan,
jujur, demokratis, efektif,
efisien, dan accountable,
analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan (Sidik, 2008).
Kemandirian keuangan
daerah (otonomi fiskal)
kabupaten/ kota adalah kemampuan
keuangan daerah otonom tersebut dalam mendanai belanja daerahnya dengan
kemampuan sendiri, yaitu dari penghasilan asli
daerah atau PAD.
Kemandirian keuangan
daerah ini dapat
diukur dengan menggunakan
rasio kemandirian daerah (Dwirandra, 2006). Semakin baik tingkat
kemandirian suatu daerah, maka daerah tersebut terbukti dapat melaksanakan
otonomi daerah secara efektif, dan mampu
mengembangkan potensi daerahnya
sendiri tanpa perlu bergantung pada pendanaan eksternal.
Menurut penjelasan
dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor Tahun 2006
Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah, daerah
otonom adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur
dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Jadi, telah sangat
jelas disebutkan bahwa
berhasil tidaknya otonomi daerah
tergantung dari seberapa besar prakarsa
pemerintah dan kemandirian
daerah untuk memenuhi kepentingannya sendiri.
Pemerintah daerah harus mampu
menggali potensi daerah guna menunjang PAD,
dan mencari faktor–faktor
yang berpengaruh secara signifikan
terhadap PAD untuk
mewujudkan kemandirian daerah.
Sebagai upaya peningkatan
PAD, perlu diambil langkah
kebijakan efisiensi di dalam
pelaksanaan anggaran yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD), sehingga ada saving yang
dapat dimanfaatkan untuk
investasi daerah yang
dialokasikan pada badan usaha
baik milik daerah
sendiri maupun swasta yang
mau diajak bekerjasama agar
mendapatkan hasil yang
lebih bermanfaat untuk
menambah penerimaan daerah selain dari sektor pajak dan retribusi daerah
serta dari transfer pemerintah
pusat melalui pengalokasian
DAU atau dana
perimbangan (Thesaurianto, 2007).
Derajat desentralisasi
menunjukkan derajat kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah. Semakin
besar kontribusi pendapatan asli daerah, maka dapat disimpulkan bahwa daerah
tersebut telah berhasil membiayai kebutuhan keuangan daerahnya sendiri,
karena mampu menghasilkan
pendapatan yang relatif
besar dari siklus perekonomian masyarakat di daerah tersebut. Namun
kontribusi PAD yang kurang memadai akan
mengancam kemampuan daerah
tersebut dalam memenuhi kebutuhan
belanja dan pembangunan
daerah, sehingga agar
lancar dalam melaksanakan
kegiatan rutin, pemerintah
daerah akan terlalu
bergantung pada dana perimbangan dan hibah
dari pemerintah pusat.
Inilah yang akan memicu kegagalan dalam sistem
desentralisasi dan implementasi undang-undang otonomi daerah.
Seberapa besar ketergantungan
pemerintah daerah terhadap pengalokasian dana
dari pemerintah pusat dapat
diukur dengan rasio
ketergantungan keuangan daerah.
Rasio ini dihitung
dengan cara membandingkan
transfer penerimaan dengan total
penerimaan daerah. Semakin besar hasil yang didapat dari rasio ini, maka akan
semakin tinggi ketergantungan pemerintah
daerah terhadap transfer dari
pusat.
Rasio terakhir
yang akan diuraikan
dalam makalah ini
adalah rasio efektivitas Pendapatan
Asli Daerah. Efektivitas
PAD membandingkan berapa persen realisasi dari dana PAD yang telah
diberlakukan oleh pemerintah dengan target
yang telah ditetapkan.
Hal ini dapat
dikaitkan dengan terlaksana
atau tidaknya pembelanjaan daerah baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah menjelaskan bahwa kelompok belanja
langsung dari suatu kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat
(1) huruf b dibagi menurut jenis belanja yang terdiri atas: 1. belanja pegawai,
2. belanja barang dan jasa, dan 3. belanja modal.
Belanja langsung yang
terdiri dari belanja
pegawai, belanja barang
dan jasa, serta belanja modal untuk melaksanakan program dan kegiatan
pemerintahan daerah dianggarkan pada belanja SKPD berkenaan.
Belanja modal adalah pengeluaran
pemerintah dari total pendapatan, yang digunakan untuk
membiayai pembelian atau
pembangunan suatu aset
tetap dengan masa penggunaan
lebih dari 12 bulan. Belanja
modal berkaitan dengan penambahan aset
atau kekayaan daerah yang
juga akan menambah
investasi daerah. Seperti contohnya
pembangunan infrastruktur daerah
seperti pembelian tanah, mesin,
pembangunan jembatan, perbaikan
jalan, ataupun pembangunan gedung pemerintahan.
Pertumbuhan ekonomi
dalam suatu daerah,
dapat dilihat berdasarkan besarnya investasi
yang dikeluarkan pemerintah
daerah. Semakin besar
alokasi belanja modal, maka kemampuan keuangan
daerah tersebut semakin memadai.
Kinerja keuangan
yang baik, akan
berpengaruh pada jumlah pengalokasian belanja modal,
di mana akan juga
menambah besarnya investasi
dan aset yang dimiliki
daerah. Maka dapat diperkirakan bahwa terdapat
keterkaitan antara kinerja
keuangan yang akan diukur melalui rasio kemandirian
keuangan daerah, derajat desentralisasi, ketergantungan keuangan daerah, dan
efektivitas PAD, dengan seberapa
besar alokasi belanja modal di daerah.
Dengan berbagai alasan yang
telah disebutkan di
atas, maka dipilihlah judul penelitian
“Pengaruh Kemandirian Keuangan
Daerah, Derajat Desentralisasi, Ketergantungan Keuangan
Daerah, Dan Efektivitas
PAD Terhadap Alokasi Belanja
Modal (Studi Pada
Pemerintah Kabupaten Dan Kota Se-Pulau Jawa
Tahun 2012)”. Daerah
yang dirujuk dalam
penelitian ini adalah semua
kota dan kabupaten yang
terdapat di Pulau
Jawa, karena telah diketahui bahwa Pulau Jawa
adalah pulau yang
paling banyak populasi penduduknya dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi di antara pulau–pulau lain
di Indonesia. Selain
karena heterogenitas masyarakat
dan perekonomian di tiap
daerah yang beragam,
sistem pemerintahan yang
lebih kompleks juga terdapat di pulau ini, mengingat pemerintahan pusat
juga berada di Pulau Jawa.
Dalam pencarian
data dan referensi,
diketahui bahwa penelitian
sejenis masih sangat jarang,
maka diharapkan dengan
adanya penelitian ini dapat memberi manfaat dan rujukan bagi
penelitian-penelitian yang akan datang.
1.1. Perumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang yang
telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut ini.
1. Apakah kemandirian keuangan daerah
memiliki pengaruh terhadap
alokasi belanja modal?.
2. Apakah derajat
desentralisasi memiliki pengaruh
terhadap alokasi belanja modal ?.
3. Apakah ketergantungan keuangan
daerah memiliki pengaruh terhadap alokasi belanja modal ?.
4. Apakah efektivitas PAD
memiliki pengaruh terhadap alokasi belanja modal ?.
1.3 Tujuan Penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk
menguji ada tidaknya pengaruh kemandirian keuangan daerah,
derajat desentralisasi, ketergantungan keuangan
daerah, dan efektivitas PAD
terhadap alokasi belanja modal pada kabupaten dan kota se-Pulau Jawa Tahun 2012,
agar didapatkan bukti
yang valid dan
dapat dipertanggungjawabkan.
1.4. Manfaat Penelitian.
1.4.1. Implikasi Praktis.
1.4.1.1. Pihak Pemerintah
Republik Indonesia.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi yang bermanfaat mengenai
pengaruh kemandirian keuangan
daerah, derajat desentralisasi, ketergantungan keuangan
daerah, dan efektivitas
PAD terhadap alokasi belanja
modal pada kabupaten
dan kota se-Pulau Jawa
Tahun 2012.
Semoga penelitian
ini dapat menginspirasi dan menjadi
alat analisis pemerintah untuk mengukur
kinerja keuangan daerah
dan mengetahui perkembangan kemampuan daerah,
terutama bagi pihak
eksekutif guna mempertimbangkan kebijakan yang akan atau
yang telah dilakukan pada tahun sebelumnya agar dapat melakukan perbaikan di
masa mendatang.
1.4.1.2. Pihak masyarakat.
Diharapkan penelitian
ini dapat memberi informasi bagi
masyarakat dan kreditur mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah dan
pengalokasian belanja modal untuk pembangunan
daerah, sehingga masyarakat
dapat mengawasi dan mengetahui kinerja pemerintah daerah
terutama di Pulau Jawa.
1.4.2. Implikasi Teoritis.
Penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat
secara signifikan dan
mampu memberi tambahan pengetahuan
juga wawasan dan
referensi untuk penelitianpenelitian yang
selanjutnya, mengingat penelitian
mengenai Akuntansi Sektor Publik masih sangat terbatas.
Skripsi Ekonomi: Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah, Derajat Desentralisasi, Ketergantungan Keuangan Daerah, Dan Efektivitas Pad Terhadap Alokasi Belanja Modal
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi