BAB I.
Pendahuluan.
A. Latar Belakang.
Skripsi Ekonomi: Pengungkapan Akuntabilitas Pada Pemerintah Daerah Di Indonesia
Saat ini telah terjadi perubahan
lingkungan eksternal yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan
negara, yaitu meningkatnya kesadaran
masyarakat untuk memiliki pemerintahan
yang bersih, akuntabel,
dan transparan dalam mengelola keuangan negara (Nuraeni et
al.,2012). Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
mewajibkan Presiden dan
Gubernur/Bupati/Walikota untuk menyampaikan laporan
pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN/APBD berupa laporan keuangan
yang setidaknya meliputi
Laporan Realisasi APBN/APBD, Neraca, Laporan
Arus Kas, dan
Catatan atas Laporan
Keuangan (Suhardjantodan Rena,
2011).
Penyampaian laporan
pertanggungjawaban, yaitu
laporan keuangan merupakan salah
satu bentuk akuntabilitas agent kepada principal (Wulandari,2008).
Stanburry et al. (2003) berpendapat bahwa akuntabilitas diartikan sebagai
bentuk kewajiban mempertanggungjawabkan keberhasilan
atau kegagalan pelaksanaan misi
organisasi dalam mencapai
tujuan dan sasaran
yang telah ditetapkan sebelumnya,
melalui suatu media
pertanggungjawaban yang dilaksanakan
secara periodik (Sumiatiet al., 2010). Dalam memenuhi akuntabilitas, pemerintah dituntut
untuk menyajikan dan
mengungkapkan elemen akuntansi laporan keuangan pemerintah daerah
(LKPD) sesuai dengan standar yang berlaku,
yaitu standar akuntansi
pemerintah yang mempunyai kekuatan
hukum (BastiandanSoepriyanto, 2007), sehingga kesesuaian pengungkapan
dengan standar akuntansi menunjukkan adanya kepatuhan terhadap standar
akuntansi pemerintahan (SAP) (Suhardjanto dan Rena, 2011).
Pengungkapan akuntabilitas
menduduki posisi penting
dalam LKPD sehingga rakyat berhak
mengetahui segala tindakan
yang dilakukan oleh pemerintahnya karena hal tersebut merupakan
suatu konsep dasar dari akuntabilitas publik (Suryanto, 2010). Dalam hal
akuntabilitas keuangan, transparansi memiliki pengertian prinsip
yang menjamin akses
atau kebebasan bagi
setiap orang untuk memperoleh informasi
tentang penyelenggaraan pemerintahan,
yakni informasi tentang kebijakan,
proses pembuatan dan
pelaksanaannya, serta hasil-hasil
yang dicapai (Sukhemi, 2011).
Schiavo-Campo and
Tomasi (1999) dalam Mardiasmo (2006)
menyatakan bahwa pembuatan laporan
keuangan merupakan suatu
bentuk kebutuhan transparansi yang
merupakan syarat pendukung
adanya akuntabilitas yang
berupa keterbukaan
pemerintah atas aktivitas
pengelolaan sumber daya
publik (Sukhemi,2011). Dengan
diterbitkannya SAP undang-undang
dan peraturan pemerintah yang
mendukung, maka pemerintah baik pemerintah daerah, pemerintah tingkat provinsi
dan pemerintah pusat
telah menyusun laporan
keuangan sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan
yang sesuai dengan
peraturan perundangundangan yang
berlaku meskipun kelengkapan informasi laporan keuangan sampai saat ini masih
dipertanyakan (Adella, 2010).
Jones (1985) dan Stecollini (2002)
berpendapat bahwa ketidakmampuan laporan keuangan dalam
melaksanakan akuntabilitas, tidak saja disebabkan karena laporan tahunan yang
tidak memuat semua informasi relevan yang dibutuhkan para pengguna, akan tetapi
karena laporan tersebut tidak dapat secara langsung tersedia dan aksesibel
pada para pengguna
potensial (Mustofa, 2012). Hal
tersebut mewajibkan
pemerintah daerah untuk
meningkatkan aksesibilitas laporan keuangannya, tidak sekedar
menyampaikan ke DPRD saja, tetapi juga menyediakan fasilitas kepada
masyarakat secara luas
agar laporan keuangan
dapat diperoleh dengan mudah
(Mustofa, 2012).
Masyarakat berperan sebagai
shareholder dari pemerintah daerah memiliki hak
untuk mengetahui penganggaran
daerah, bagaimana suatu
anggaran direncanakan, dan bagaimana suatu anggaran dilaksanakan
sehingga dengan hal ini publik akan mampu
mengukur kinerja dari
anggaran daerah (Sukhemi, 2011).
Permasalahan teknis-administratif, bahwa
pelaporan keuangan pemerintah
daerah belum sepenuhnya memenuhi
standar akuntansi pemerintahan
sehingga laporan keuangan daerah
yang disampaikan belum
memiliki kualitas yang
diharapkan (Suryanto, 2010).
Penelitian ini merupakan
penelitian replikasi dari
penelitian Christine Ryanet al.(2002)
di Queensland. Sampel penelitian
tersebut terdiri berjumlah 3dari 125 kabupaten pada tahun 1998.
Penelitian tersebut dilakukan untuk menguji kualitas pengungkapan
pemerintah daerah di
Queensland dengan menggunakan model
Modified Accountability Disclosures (MAD) yang
dikembangkan oleh Marston
dan Shrives (1991) menunjukkan terdapat
perbedaan pengungkapan di tiap-tiap
daerah Queensland sehingga
kualitas laporan tahunan
tiap pemerintah daerah di
Queensland juga berbeda.George
dan Jennifer Law
dalam penelitian ”Accountability and
Local Authority Annual
Reports:the case of
Weilsh district councils”yang meneliti
laporan tahunan tahun
1981/1982 sampai dengan 1988/1989 menyimpulkan bahwa
kualitas laporan tahunan
yang dihasilkan oleh Weilsh sangat rendah.
Di Indonesia terdapatpenelitian
Suhardjanto dan Rena (2011) yang menguji karakteristik dan kepatuhan
pengungkapan wajib serta menguji
adanya perbedaan pengungkapan pemerintah
kota/kabupaten Indonesia yang
terdapat di Pulau
Jawa dan Pulau Bali,menunjukkan nilai rata-rata pengungkapan wajib
pemerintah daerah di Indonesia tahun 2006,yaitu sebesar 10,49 atau 30,85%
dengan nilai maksimum sebesar 55,88% (Kabupaten Sinjai) dan nilai minimum
14,70% (Kota Sukabumi).
Hal tersebut
memperlihatkan bahwa pemerintah
daerah belum sepenuhnya mengungkapkan elemen pengungkapan
wajib akuntansi.
Penelitian Suhardjanto dan Rena (2011) didukung dengan
pernyataan Sumiatiet al. (2010)
yang menjelaskan bahwa akuntabilitas
kinerja instansi Pemerintah setiap
daerah berbeda-beda karena dapat
dilihat dari beberapa
faktor yang mempengaruhi akuntabilitas kinerja tersebut, yaitu penerapan
sistem akuntansi pemerintah daerah, akuntabilitas
keuangan, dan ketaatan pada peraturan perundangan. Hal tersebut
diungkapkan karena pemerintah daerah cenderung tidak mengimplementasikan peraturan
perundangan dan belum
ada kepedulian secara konkrit (Sumiatiet al., 2010).
Adella (2010) mengungkapkan
adanya ketidakseragaman dalam pengungkapan informasi
dalam LKPD karena rata-rata pemerintah
daerah hanya mengungkapkan informasi
umum dan tidak
menjelaskan secara rinci.
Munculnya ketidakseragaman dalam pengungkapan disebabkan belum adanya
pengaturan lebih lanjut mengenai seberapa
luas informasi yang
harus diungkapkan dan
informasi mana yang dianjurkan. Hal tersebut dikarenakan bukan hanya
kinerja keuangan saja yang dibutuhkan untuk diungkapkan akan tetapi kinerja non
keuangan juga penting untuk diungkapkan
dengan alasan informasi tersebut
juga sangat menarik
bagi pengguna laporan keuangan pemerintah (Adella, 2010). Dari item-item
yang harus diungkapkan berdasarkan SAP, sebagian daerah telah mengungkapkan dan
sebagian lagi tidak mengungkapkan, sehingga terdapat ketidakseragaman di tiap-tiap
daerah dalam pengungkapan informasi
(Adella, 2010). Pelaksanaan
transparansi dan akuntabilitas keuangan
negara di Indonesia sampai detik
ini masih jauh
dari apa yang diharapkan
(BPK,Memori Jabatan 2004-2009).
Selain itu, penelitian Hartanti
(2010) dalam artikel "Analisa Pengungkapan Laporan Keuangan
Opini Wajar Tanpa
Pengecualian" dengan studi
kasus Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman menyimpulkan bahwa
tidak ada perbedaan kualitas pengungkapan
kedua laporan keuangan
kedua pemerintah daerah
tersebut, sedangkan penelitian Suhardjanto dan Rena (2011)
juga menunjukkan tidak adanya
perbedaan pengungkapan wajib
antara pemerintah daerah
di Jawa/Bali dengan
pemerintah daerah di
luar Jawa/Bali. Adanya ketidaksamaan hasil
penelitian tentang pengungkapan
akuntabilitas dalam pemerintah daerah
menyebabkan peneliti ingin
meneliti lebih lanjut
mengenai pengungkapan akuntabilitas di pemerintah daerah Indonesia.
Terdapat hubungan antara
persaingan politik dengan pengungkapan pemerintah daerah melalui website
(Serrano et al., 2008). Menurut Laswadet al.
(2005) kepala daerah
yang terpilih melalui kompetisi
politik yang besar akan mengungkapkan informasi melalui
website daripada mereka yang bukan (Serrano et al., 2008). Hal
tersebut terjadi pada Provinsi Jawa
Tengah yang melakukan pergantian kepala daerah
setiap 5
tahun. Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah akan berusaha melakukan
pengungkapan secara lengkap karena kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan akan berusaha
mengakomodasi pengawasan yang dilakukan
oleh koalisi pemilih dengan cara menyediakan informasi yang
berguna dalam pemantauan dari tindakan kepala daerah (Febriyanty, 2011).
Berbeda dengan Provinsi DIY yang
mendapatkan status istimewa atau otonomi
khusus dari pemerintah pusat
(Kurniawati, 2013), dengan adanya
status istimewa tersebut, DIY mendapatkan substansi keistimewaan
diantaranya pemilihan kepala pemerintahan DIY yang dijabat oleh Sultan dan
Adipati (Kurniawati, 2013).
Dengan adanya hak tersebut, persaingan politik untuk memperebutkan kursi kepemimpinan
DIY tidak terjadi. Selain itu, Provinsi DIY terkenal sarat akan nilainilai
budaya dan tradisinya. Menurut Abdullah (2004) jenis daerah mempengaruhi kelengkapan
pengungkapan dikarenakan adanya perbedaan karakteristik masyarakat sehingga masyarakat tradisional
tidak memiliki kontrol sosial yang kuat seperti masyarakat kota (Suhardjanto
dan Rena, 2011).
Terjadinya perbedaan kondisi
persaingan politik dan budaya tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan uji
beda dalam hal pengungkapan akuntabilitas antara Provinsi Jawa Tengah dan
Provinsi DIY. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini menguji
tingkat perbedaan pengungkapan akuntabilitas yang terdapat di Provinsi Jawa
Tengah dan DIY.
1.2.Perumusan Masalah.
Berdasarkan uraian latar belakang
permasalahan di atas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:.
1. Bagaimana tingkat pengungkapan
akuntabilitas pada masing-masing provinsi di Indonesia?.
2. Apakah terdapat
perbedaan pengungkapan akuntabilitas
di tiap provinsi
di Indonesia?.
1.3.Tujuan Penelitian dan Manfaat
Penelitian.
1.3.1.Tujuan Penelitian.
Tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut: 1. Mengukur
tingkat pengungkapan akuntabilitas
kabupaten/kota yang terdapat
di wilayah provinsi Jawa Tengah dan DIY.
2. Membuktikan bahwa terdapat
perbedaan tingkat pengungkapan
akuntabilitas antara pemerintah daerah di wilayah provinsi Jawa Tengah
dan DIY.
1.3.2.Manfaat Penelitian.
a. Penelitian
ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi
akademik sebagai berikut:.
1. Memberi sumbangan
referensi bagi pengembangan
ilmu akuntansi Sector publik terutama
dalam bidang akuntabilitas
demi terwujudnya transparansi.
2. Memberi masukan
bagi kegiatan penelitian
yang lain di
bidang Akuntansi sektor
publik terutama mengenai
pentingnya akuntabilitas bagi organisasi sektor publik.
b. Kegunaan penelitian ini bagi
sektor pemerintahan adalah: 1. Memberi
sumbangan referensi bagi
pemerintah daerah dalam
pengambilan kebijakan
mengenai akuntabilitas laporan
keuangan dan memberikan kontribusi
bagi perkembangan Undang-undang Otonomi Daerah di Indonesia.
2. Memberi sumbangan
referensi bagi organisasi
sektor publik yangberwenang dalam menentukan
pedoman penyelenggaraan pemerintahan
terutama dalam kaitanya dengan
akuntabilitas laporan keuangan.
Skripsi Ekonomi: Pengungkapan Akuntabilitas Pada Pemerintah Daerah Di Indonesia
Download lengkap Versi PDF
filenya kok tidak tersedia ya kak?
BalasHapus