BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Skripsi Ekonomi: Analisis desentralisasi fiskal pada era otonomi daerah tahun 2007-2011 (Studi Kasus Kota Surakarta)
Masalah seks pada
remaja seringkali mencemaskan para
orang tua, juga pendidik, pejabat
pemerintah, para ahli,
dan sebagainya. Permasalahan
yang umum dihadapi oleh para remaja adalah dorongan yang ada pada
seorang remaja sangat tinggi. Dorongan
yang tinggi membuat
para remaja ingin
tahu tentang segala sesuatu yang
belum mereka ketahui. Dorongan-dorongan yang ada dalam diri remaja
tersebut sangatlah bermacam-macam. Salah
satunya dorongandorongan tentang
seksual. Permasalahan seksualitas
yang umum dihadapi
oleh remaja adalah dorongan
seksual yang semakin
meningkat. Data di
Indonesia menurut BKKBN menyebutkan, bahwa pada tahun 2006 15% remaja
usia 10-2tahun yang jumlahnya sekitar 62 juta jiwa telah melakukan hubungan
seksual di luar nikah (BKKBN, 2006).
Remaja di Indonesia tidak sedikit
yang sudah memasuki pada tahap yang paling tinggi dalam perilaku seksual
mereka, yaitu melakukan hubungan seksual.
Hasil survei yang dilakukan di
Jakarta dan Surabaya dengan mengambil sampel siswa SMA dan Mahasiswa Perguruan
Tinggi menunjukkan, bahwa yang pernah melakukan
hubungan seks di
luar nikah di
Jakarta sebanyak 10,9
persen dan di Surabaya sebanyak 12,4 persen. Di Jakarta
kebanyakan remaja yang melakukan hubungan
seks di luar
nikah adalah pada
umur 18 tahun
(Sri Dewi Lisnawaty, dkk., 2011).
Fenomena perkembangan perilaku
seksual yang terjadi
di Klaten pada akhir
bulan Februari lalu,
terdapat aksi asusila
dua remaja di
hutan kota, yang terekam video amatir. Kendati kawasan
hutan kota berdekatan dengan jalan raya yang
ramai dengan kendaraan,
keduanya tidak enggan
untuk berbuat mesum.
Selain itu yang lebih
memprihatinkan, hutan kota tersebut juga berada berdekatan dengan kawasan
sekolah (Detik Forum, 2013).
Perilaku seksual
remaja dapat dikatakan
sangat kompleks, karena
telah banyak peneliti yang
menunjukkan hasil penelitian
tentang tema ini.
Hasil penelitian Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) yang
dilakukan pada tahun 1998-1999 di
20 kabupaten pada
empat provinsi, mencakup Jawa
Timur (Ngawi, Jombang, Sampang, Pamekasan, dan Trenggalek), Jawa Tengah
(Brebes, Cilacap, Jepara, Pemalang, dan Rembang), Jawa Barat (Indramayu dan
Bandung) dan Lampung (Lampung Barat,
Selatan, Utara, Tengah, dan
Bandar Lampung), dengan
melibatkan 8000 responden, menunjukkan bahwa sekitar 2,9% responden pernah berhubungan
seksual pranikah, sekitar
34,9% responden laki-laki
dan 31,2% responden perempuan,
mempunyai teman yang
sudah pernah melakukan hubungan seks
pranikah (Widjayanto, 2003).
Pada tahun 1995,
tim peneliti kependudukan Universitas
Diponegoro (Undip) bekerja
sama dengan Kantor Dinas
Kesehatan Jawa Tengah
meneliti tentang perilaku
siswa SMU. Hasilnya menunjukkan, bahwa sekitar
60.000 siswa se-Jawa
tengah (dari 600.000
orang yang dilibatkan dalam survei atau sekitar 10%-nya) pernah
melakukan hubungan seksual pranikah (Widjayanto,
2003). Hal tersebut
menunjukkan, bahwa angka perilaku
seksual remaja sangatlah mengkhawatirkan.
Remaja adalah periode peralihan ke masa dewasa, yang seyogyanya untuk mulai mempersiapkan
diri menuju kehidupan
dewasa, termasuk dalam
aspek seksualnya. Dengan demikian, memang dibutuhkan
sikap yang sangat
bijaksana dari para orang tua, pendidik, dan masyarakat pada umumnya,
serta tentunya dari para remaja itu sendiri,
agar mereka dapat
melewati masa transisi
itu dengan selamat. Di
Indonesia, remaja perempuan
dan remaja laki-laki
usia 14-19 tahun mengaku
mempunyai teman sebaya
yang pernah melakukan
hubungan seksual pranikah masing-masing
mencapai 34,7% dan
30,9%. Remaja perempuan
dan laki-lakiusia 20-24 tahun yang mengaku punya teman sebaya pernah
melakukan hubungan seksual pranikah
masing-masing mencapai 48,6%
dan 46,5% (BPS dkk., 2003).
Data dari Komnas Perlindungan Anak
menyatakan, 62,7% remaja SMP di Indonesia
sudah tidak lagi
perawan. KPAI memperkirakan
dengan semakin banyaknya peredaran
video mesum seperti
sekarang, angka tersebut
berpotensi semakin
meningkat. Data tersebut
juga mengungkapkan, bahwa
93,7% siswa SMP dan SMA pernah
melakukan ciuman, 21,2% remaja SMP mengaku pernah aborsi, dan 97% remaja SMP
serta SMA pernah menonton film porno (Yulianto, 2010).
Sebagian ahli mempertanyakan
alasan keterlibatan remaja dalam perilaku seksual yang membuatnya terjebak pada
risiko yang berhubungan dengan aspek sosial,
emosional, maupun kesehatan. Alasan
yang melandasi perilaku
remaja adalah berkaitan dengan
upaya pembuktian perkembangan
identitas diri, belajar menyelami lawan
jenis, menguji kejantanan,
menikmati perasaan dominan,
pelampiasan kemarahan (terhadap seseorang), peningkatan harga diri,
mengatasi depresi, menikmati perasaan
berhasil menaklukan lawan
jenis, menyenangkan pasangan,
dan mengatasi rasa
kesepian. Berbagai kegiatan
yang mengarah pada pemuasan
dorongan seksual pada
dasarnya menunjukkan tidak
berhasilnya seseorang dalam mengendalikannya atau kegagalan untuk
mengalihkan dorongan tersebut ke kegiatan positif lain yang
sebenarnya masih dapat
dikerjakan (Jakarimba, 2011).
Remaja memiliki
berbagai macam dorongan
pada diri mereka.
Hal tersebut berkaitan dengan
kebutuhan-kebutuhan yang sangat
khas bagi remaja.
Kebutuhan-kebutuhan yang
khas tersebut diantaranya, untuk mendapatkan curahan kasih
sayang, dapat diterima
oleh kelompok, keinginan
dapat mandiri, mampu berprestasi,
mendapat pengakuan, dapat
dihargai, dan memperoleh falsafah hidup
(Garison, dalam Ifzanul,
2010). Apabila kebutuhan-kebutuhan remaja tersebut dapat
dipenuhi, maka dorongan seksual yang ada pada diri mereka dapat dialihkan.
Pengalihan dorongan seksual
tersebut dapat diartikan
bahwa remaja mampu mengendalikan emosi yang mereka miliki.
Remaja memiliki
tugas-tugas perkembangan yang
harus dapat dipenuhi diantaranya belajar
lepas dari orang
tua secara emosional
dan belajar bergaul dengan kelompok anak lawan jenisnya
(Havighurst, dalam Monks, 1982). Emosi yang
meledak-ledak ini dapat
menyulitkan terutama untuk
orang lain dalam memahami jiwa
remaja. Akan tetapi
hal ini dapat
juga bermanfaat bagi
remaja yang sedang mencari jati diri mereka. Namun jika seorang remaja
tidak berhasil mengatasi masa-masa kritis
dalam rangka konflik
peran itu karena
terlalu mengikuti gejolak
emosinya, maka besar
kemungkinan ia akan
terperangkap masuk ke jalan
yang salah, seperti
penyalahgunaan seks, penyalahgunaan obatobat
terlarang, atau
kenakalan-kenakalan remaja lainnya. Kenakalan-kenakalan remaja tersebut
disebabkan oleh kurangnya
kemampuan remaja mengarahkan emosi mereka
secara positif. Dalam
hal ini, regulasi
emosi dibutuhkan untuk menghindari kenakalan-kenakalan remaja
tersebut yang telah
disebutkan sebelumnya
(Sarwono, 1986). Regulasi emosi
merupakan pengendali utama perkembangan seksual
remaja, sehingga tidak
tergelincir pada hal-hal
yang menjurus pada perilaku seksual pranikah.
Manusia tidak
hanya sekedar memiliki
emosi tetapi juga
harus dapat mengendalikannya (Fridja,
1986, dalam Febriyanty,
2012). Remaja yang
dapat mengendalikan emosinya mampu
mendatangkan kebahagiaan bagi
diri mereka.
Remaja memiliki
rasa keingintahuan yang
tinggi. Mereka menjadi
tertantang untuk mencoba hal-hal
yang baru. Selain
itu, remaja juga memiliki emosi
yang kurang stabil dan kadang sulit untuk dikontrol. Kedua hal tersebut
dapat membuat remaja menjadi tertantang dan nekat untuk merasakan ataupun
mencoba hal baru yang belum pernah
mereka coba sebelumnya.
Tanpa mempedulikan akibat
dari hal yang mereka
lakukan. Untuk itulah regulasi
emosi berperanpenting dalam mengontrol dan melakukan kalkulasi
tentang keuntuntungan dan resiko akibat apa yang akan mereka lakukan, termasuk
dalam perkembangan seksual.
Regulasi emosi
atau pengaturan emosi
yang berkaitan dengan
perilaku seksual berhubungan dengan
proses afektif lain,
salah satunya adalah
motivasi untuk melakukan hubungan seksual (Scherer, dalam Febriyanty,
2012). Ada pula yang berpendapat, bahwa
untuk menghindari perilaku seksual pranikah seseorang harus dapat
mengontrol emosi yang
mereka miliki, yaitu
dengan cara berpikir positif pada
setiap masalah dan
keadaan yang dihadapinya
(Yuanita, dalam Febriyanty, 2012). Remaja
untuk bisa mengontrol
emosi dan mampu
berpikir positif dalam setiap
menghadapi permasalahan diperlukan
komunikasi dan perhatian
dari orang tua
yang merupakan orang
terdekat dikeluarganya. Untuk itulah
salah satu yang
dibutuhkan dalam perkembangan
remaja adalah curahan kasih sayang dari orang tua.
Remaja membutuhkan
curahan kasih sayang
dari keluarga, khususnya orang tua.
Keluarga merupakan tempat
remaja pertama kali
berinteraksi dan mendapatkan pengetahuan
baru. Salah satu
cara keluarga untuk
menyalurkan kasih sayang yang dibutuhkan oleh remaja yaitu dengan
komunikasi interpersonal.
Komunikasi interpersonal
yang baik akan
membuat remaja nyaman
dan merasa dihargai. Selain
itu, dengan komunikasi
interpersonal yang baik,
maka akan terjadi saling
mengetahui keinginan satu sama
lain, sehingga remaja akan dapat lebih
terarahkan. Apabila remaja
sudah terpenuhi kebutuhannya
yaitu curahan kasih sayang
di dalam keluarga,
maka dorongan seksual
yang ada pada
remaja akan dapat dialihkan kepada hal-hal yang lebih positif lainnya.
Pada dasarnya, komunikasi selalu
terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, karena
hal tersebut merupakan
suatu kebutuhan fundamental
bagi seseorang dalam
bermasyarakat. Liliwery (1994) mengemukakan, bahwa antara lingkungan yang ada,
lingkungan keluarga merupakan
hal yang sangat
berperan penting dalam mempengaruhi kehidupan seseorang
sebab intensitas dan frekuensinya
yang cenderung tetap
dan rutin. Keluarga
merupakan lingkungan awal
yang diperoleh seseorang, karena
semenjak lahir keluarga
merupakan sarana untuk berkomunikasi yang
paling utama dan
pertama. Seorang anak
memperoleh pendidikan yang paling
awal berasal dari
keluarga. Pada proses
penyampaian pendidikan tidak lepas
dari komunikasi yang
dibentuk oleh orang
tua terhadap anak. Penyampaian
pendidikan ini tidak
akan mungkin lepas
dari proses pertukaran informasi
dari orang tua kepada anak, sehingga anak menjadi mengerti dan paham tentang
sesuatu yang belum mereka ketahui sebelumnya.
Komunikasi dalam
keluarga merupakan komunikasi
yang tercipta antara orang tua,
anak, dan anggota keluarga
lainnya. Komunikasi interpersonal
atau komunikasi antara dua orang maupun lebih adalah komunikasi yang
terjadi secara sederhana dalam proses penyampaian informasi, sehingga dapat
diketahui timbalbaliknya secara langsung. Komunikasi interpersonal yang baik
merupakan impian setiap keluarga. Komunikasi yang tercipta tanpa ada batasan
antara orang tua dan anak, sehingga harapannya
setiap masalah yang
ada dapat diselesaikan
dengan musyawarah yang baik.
Ketika menyelesaikan masalah
tersebut otomatis akan terjadi suatu keterbukaan antara orang
tua dengan anak. Orang tua dapat sebagai pengontrol dalam dalam pergaulan teman
sebayanya.
Selain hubungan
dalam keluarga, hal yang sangat akrab
dalam dunia remaja adalah
pergaulan. Pergaulan dengan
teman sebaya sangatlah
dibutuhkan untuk remaja. Bersama dengan teman, seorang remaja menjadi
tahu dan berbagi tentang apa yang telah ia dapatkan. Pada kehidupan sosial
remaja, perkembangan organ reproduksi mempunyai pengaruh dalam minat remaja
terhadap lawan jenis.
Skripsi Ekonomi: Analisis desentralisasi fiskal pada era otonomi daerah tahun 2007-2011 (Studi Kasus Kota Surakarta)
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi