Senin, 10 November 2014

Skripsi Ekonomi: Analisis desentralisasi fiskal pada era otonomi daerah tahun 2007-2011 (Studi Kasus Kota Surakarta)

  BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Skripsi Ekonomi: Analisis desentralisasi fiskal pada era otonomi daerah tahun 2007-2011 (Studi Kasus Kota Surakarta)
Masalah seks  pada  remaja seringkali mencemaskan para  orang  tua,  juga pendidik,  pejabat  pemerintah,  para  ahli,  dan  sebagainya.  Permasalahan  yang umum dihadapi oleh para remaja adalah dorongan yang ada pada seorang remaja sangat  tinggi.  Dorongan  yang  tinggi  membuat  para  remaja  ingin  tahu  tentang segala sesuatu yang belum mereka ketahui. Dorongan-dorongan yang ada dalam diri  remaja  tersebut  sangatlah  bermacam-macam.  Salah  satunya  dorongandorongan  tentang  seksual.  Permasalahan  seksualitas  yang  umum  dihadapi  oleh remaja  adalah  dorongan  seksual  yang  semakin  meningkat.  Data  di  Indonesia menurut BKKBN menyebutkan, bahwa pada tahun 2006 15% remaja usia 10-2tahun yang jumlahnya sekitar 62 juta jiwa telah melakukan hubungan seksual di luar nikah (BKKBN, 2006).

Remaja di Indonesia tidak sedikit yang sudah memasuki pada tahap yang paling tinggi dalam perilaku seksual mereka, yaitu melakukan hubungan seksual.
Hasil survei yang dilakukan di Jakarta dan Surabaya dengan mengambil sampel siswa SMA dan Mahasiswa Perguruan Tinggi menunjukkan, bahwa yang pernah melakukan  hubungan  seks  di  luar  nikah  di  Jakarta  sebanyak  10,9  persen  dan  di Surabaya sebanyak 12,4 persen. Di Jakarta kebanyakan remaja yang melakukan hubungan  seks  di  luar  nikah  adalah  pada  umur  18  tahun  (Sri  Dewi  Lisnawaty, dkk., 2011).
  Fenomena  perkembangan  perilaku  seksual  yang  terjadi  di  Klaten  pada akhir  bulan  Februari  lalu,  terdapat  aksi  asusila  dua  remaja  di  hutan  kota,  yang terekam video amatir. Kendati kawasan hutan kota berdekatan dengan jalan raya yang  ramai  dengan  kendaraan,  keduanya  tidak  enggan  untuk  berbuat  mesum.
Selain itu yang lebih memprihatinkan, hutan kota tersebut juga berada berdekatan dengan kawasan sekolah (Detik Forum, 2013).
Perilaku  seksual  remaja  dapat  dikatakan  sangat  kompleks,  karena  telah banyak  peneliti  yang  menunjukkan  hasil  penelitian  tentang  tema  ini.  Hasil penelitian Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) yang dilakukan pada tahun  1998-1999  di  20  kabupaten  pada  empat  provinsi, mencakup  Jawa  Timur (Ngawi, Jombang, Sampang, Pamekasan, dan Trenggalek), Jawa Tengah (Brebes, Cilacap, Jepara, Pemalang, dan Rembang), Jawa Barat (Indramayu dan Bandung) dan Lampung  (Lampung  Barat,  Selatan,  Utara,  Tengah, dan  Bandar  Lampung), dengan melibatkan 8000 responden, menunjukkan bahwa sekitar 2,9% responden pernah  berhubungan  seksual  pranikah,  sekitar  34,9%  responden  laki-laki  dan 31,2%  responden  perempuan,  mempunyai  teman  yang  sudah  pernah  melakukan hubungan  seks  pranikah  (Widjayanto,  2003).  Pada  tahun  1995,  tim  peneliti kependudukan  Universitas  Diponegoro  (Undip)  bekerja  sama  dengan  Kantor Dinas  Kesehatan  Jawa  Tengah  meneliti  tentang  perilaku  siswa  SMU.  Hasilnya menunjukkan, bahwa  sekitar  60.000  siswa  se-Jawa  tengah  (dari  600.000  orang yang dilibatkan dalam survei atau sekitar 10%-nya) pernah melakukan hubungan seksual  pranikah  (Widjayanto,  2003).  Hal  tersebut  menunjukkan, bahwa  angka perilaku seksual remaja sangatlah mengkhawatirkan.
  Remaja adalah periode peralihan ke masa dewasa, yang seyogyanya untuk mulai  mempersiapkan  diri  menuju  kehidupan  dewasa,  termasuk  dalam  aspek seksualnya.  Dengan  demikian, memang  dibutuhkan  sikap  yang  sangat  bijaksana dari para orang tua, pendidik, dan masyarakat pada umumnya, serta tentunya dari para  remaja  itu sendiri,  agar  mereka  dapat  melewati  masa  transisi  itu  dengan selamat.  Di  Indonesia,  remaja  perempuan  dan  remaja  laki-laki  usia  14-19  tahun mengaku  mempunyai  teman  sebaya  yang  pernah  melakukan  hubungan  seksual pranikah  masing-masing  mencapai  34,7%  dan  30,9%.  Remaja  perempuan  dan laki-lakiusia 20-24 tahun yang mengaku punya teman sebaya pernah melakukan hubungan  seksual  pranikah  masing-masing  mencapai  48,6%  dan  46,5%  (BPS dkk., 2003).
Data dari Komnas Perlindungan Anak menyatakan, 62,7% remaja SMP di Indonesia  sudah  tidak  lagi  perawan.  KPAI  memperkirakan  dengan  semakin banyaknya  peredaran  video  mesum  seperti  sekarang,  angka  tersebut  berpotensi semakin  meningkat.  Data  tersebut  juga  mengungkapkan,  bahwa  93,7%  siswa SMP dan SMA pernah melakukan ciuman, 21,2% remaja SMP mengaku pernah aborsi, dan 97% remaja SMP serta SMA pernah menonton film porno (Yulianto, 2010).
Sebagian ahli mempertanyakan alasan keterlibatan remaja dalam perilaku seksual yang membuatnya terjebak pada risiko yang berhubungan dengan aspek sosial,  emosional, maupun  kesehatan.  Alasan  yang  melandasi  perilaku  remaja adalah  berkaitan  dengan  upaya  pembuktian  perkembangan  identitas  diri,  belajar menyelami  lawan  jenis,  menguji  kejantanan,  menikmati  perasaan  dominan,   pelampiasan kemarahan (terhadap seseorang), peningkatan harga diri, mengatasi depresi,  menikmati  perasaan  berhasil  menaklukan  lawan  jenis,  menyenangkan pasangan, dan  mengatasi  rasa  kesepian.  Berbagai  kegiatan  yang  mengarah  pada pemuasan  dorongan  seksual  pada  dasarnya  menunjukkan  tidak  berhasilnya seseorang dalam mengendalikannya atau kegagalan untuk mengalihkan dorongan tersebut  ke  kegiatan positif lain  yang  sebenarnya  masih  dapat  dikerjakan (Jakarimba, 2011).
Remaja  memiliki  berbagai  macam  dorongan  pada  diri  mereka.  Hal tersebut  berkaitan  dengan  kebutuhan-kebutuhan  yang  sangat  khas  bagi  remaja.
Kebutuhan-kebutuhan  yang  khas  tersebut  diantaranya, untuk  mendapatkan curahan  kasih  sayang,  dapat  diterima  oleh  kelompok,  keinginan  dapat  mandiri, mampu  berprestasi,  mendapat  pengakuan,  dapat  dihargai, dan  memperoleh falsafah  hidup  (Garison,  dalam  Ifzanul,  2010).  Apabila  kebutuhan-kebutuhan remaja tersebut dapat dipenuhi, maka dorongan seksual yang ada pada diri mereka dapat  dialihkan.  Pengalihan  dorongan  seksual  tersebut  dapat  diartikan  bahwa remaja mampu mengendalikan emosi yang mereka miliki.
Remaja  memiliki  tugas-tugas  perkembangan  yang  harus  dapat  dipenuhi diantaranya  belajar  lepas  dari  orang  tua  secara  emosional  dan  belajar  bergaul dengan kelompok anak lawan jenisnya (Havighurst, dalam Monks, 1982). Emosi yang  meledak-ledak  ini  dapat  menyulitkan  terutama  untuk  orang  lain  dalam memahami  jiwa  remaja.  Akan  tetapi  hal  ini  dapat  juga  bermanfaat  bagi  remaja yang sedang mencari jati diri mereka. Namun jika seorang remaja tidak berhasil mengatasi  masa-masa  kritis  dalam  rangka  konflik  peran  itu  karena  terlalu   mengikuti  gejolak  emosinya,  maka  besar  kemungkinan  ia  akan  terperangkap masuk  ke  jalan  yang  salah,  seperti  penyalahgunaan  seks,  penyalahgunaan  obatobat  terlarang, atau  kenakalan-kenakalan  remaja  lainnya. Kenakalan-kenakalan remaja  tersebut  disebabkan  oleh  kurangnya  kemampuan  remaja  mengarahkan emosi  mereka  secara  positif.  Dalam  hal  ini,  regulasi  emosi  dibutuhkan  untuk menghindari  kenakalan-kenakalan  remaja  tersebut  yang  telah  disebutkan sebelumnya  (Sarwono,  1986). Regulasi  emosi  merupakan  pengendali  utama perkembangan  seksual  remaja,  sehingga  tidak  tergelincir  pada  hal-hal  yang menjurus pada perilaku seksual pranikah.
Manusia  tidak  hanya  sekedar  memiliki  emosi  tetapi  juga  harus  dapat mengendalikannya  (Fridja,  1986,  dalam  Febriyanty,  2012).  Remaja  yang  dapat mengendalikan  emosinya  mampu  mendatangkan  kebahagiaan  bagi  diri  mereka.
Remaja  memiliki  rasa  keingintahuan  yang  tinggi.  Mereka  menjadi  tertantang untuk  mencoba  hal-hal  yang  baru.  Selain  itu, remaja  juga memiliki  emosi  yang kurang stabil dan kadang sulit untuk dikontrol. Kedua hal tersebut dapat membuat remaja menjadi tertantang dan nekat untuk merasakan ataupun mencoba hal baru yang  belum  pernah  mereka  coba  sebelumnya.  Tanpa  mempedulikan  akibat  dari hal  yang  mereka  lakukan. Untuk  itulah  regulasi  emosi  berperanpenting  dalam mengontrol dan melakukan kalkulasi tentang keuntuntungan dan resiko akibat apa yang akan mereka lakukan, termasuk dalam perkembangan seksual.
Regulasi  emosi  atau  pengaturan  emosi  yang  berkaitan  dengan  perilaku seksual  berhubungan  dengan  proses  afektif  lain,  salah  satunya  adalah  motivasi untuk melakukan hubungan seksual (Scherer, dalam Febriyanty, 2012). Ada pula   yang berpendapat, bahwa untuk menghindari perilaku seksual pranikah seseorang harus  dapat  mengontrol  emosi  yang  mereka  miliki,  yaitu  dengan  cara  berpikir positif  pada  setiap  masalah  dan  keadaan  yang  dihadapinya  (Yuanita,  dalam Febriyanty,  2012). Remaja  untuk  bisa  mengontrol  emosi  dan  mampu  berpikir positif  dalam  setiap  menghadapi  permasalahan  diperlukan  komunikasi  dan perhatian dari  orang  tua  yang  merupakan  orang  terdekat  dikeluarganya.  Untuk itulah  salah  satu  yang  dibutuhkan  dalam  perkembangan  remaja  adalah  curahan kasih sayang dari orang tua.
Remaja  membutuhkan  curahan  kasih  sayang  dari  keluarga,  khususnya orang  tua.  Keluarga  merupakan  tempat  remaja  pertama  kali  berinteraksi  dan mendapatkan  pengetahuan  baru.  Salah  satu  cara  keluarga  untuk  menyalurkan kasih sayang yang dibutuhkan oleh remaja yaitu dengan komunikasi interpersonal.
Komunikasi  interpersonal  yang  baik  akan  membuat  remaja  nyaman  dan  merasa dihargai.  Selain  itu,  dengan  komunikasi  interpersonal  yang  baik,  maka  akan terjadi  saling  mengetahui  keinginan  satu sama  lain, sehingga  remaja akan  dapat lebih  terarahkan.  Apabila  remaja  sudah  terpenuhi  kebutuhannya  yaitu  curahan kasih  sayang  di  dalam  keluarga,  maka  dorongan  seksual  yang  ada  pada  remaja akan dapat dialihkan kepada hal-hal yang lebih positif lainnya.
Pada dasarnya, komunikasi selalu terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, karena  hal  tersebut  merupakan  suatu  kebutuhan  fundamental  bagi  seseorang dalam bermasyarakat. Liliwery (1994) mengemukakan, bahwa antara lingkungan yang  ada,  lingkungan  keluarga  merupakan  hal  yang  sangat  berperan  penting dalam  mempengaruhi kehidupan  seseorang  sebab intensitas  dan  frekuensinya  yang  cenderung  tetap  dan  rutin.  Keluarga  merupakan  lingkungan  awal  yang diperoleh  seseorang,  karena  semenjak  lahir  keluarga  merupakan  sarana  untuk berkomunikasi  yang  paling  utama  dan  pertama.  Seorang  anak  memperoleh pendidikan  yang  paling  awal  berasal  dari  keluarga.  Pada  proses  penyampaian pendidikan  tidak  lepas  dari  komunikasi  yang  dibentuk  oleh  orang  tua  terhadap anak.  Penyampaian  pendidikan  ini  tidak  akan  mungkin  lepas  dari  proses pertukaran informasi dari orang tua kepada anak, sehingga anak menjadi mengerti dan paham tentang sesuatu yang belum mereka ketahui sebelumnya.
Komunikasi  dalam  keluarga  merupakan  komunikasi  yang tercipta  antara orang  tua,  anak, dan  anggota  keluarga  lainnya.  Komunikasi  interpersonal  atau komunikasi antara dua orang maupun lebih adalah komunikasi yang terjadi secara sederhana dalam proses penyampaian informasi, sehingga dapat diketahui timbalbaliknya secara langsung. Komunikasi interpersonal yang baik merupakan impian setiap keluarga. Komunikasi yang tercipta tanpa ada batasan antara orang tua dan anak,  sehingga  harapannya  setiap  masalah  yang  ada  dapat  diselesaikan  dengan musyawarah  yang  baik.  Ketika  menyelesaikan  masalah  tersebut  otomatis  akan terjadi suatu keterbukaan antara orang tua dengan anak. Orang tua dapat sebagai pengontrol dalam dalam pergaulan teman sebayanya.
Selain  hubungan  dalam  keluarga,  hal yang sangat  akrab  dalam  dunia remaja  adalah  pergaulan.  Pergaulan  dengan  teman  sebaya  sangatlah  dibutuhkan untuk remaja. Bersama dengan teman, seorang remaja menjadi tahu dan berbagi tentang apa yang telah ia dapatkan. Pada kehidupan sosial remaja, perkembangan organ reproduksi mempunyai pengaruh dalam minat remaja terhadap lawan jenis.

 Skripsi Ekonomi: Analisis desentralisasi fiskal pada era otonomi daerah tahun 2007-2011 (Studi Kasus Kota Surakarta)

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi