Senin, 10 November 2014

Skripsi Ekonomi: Analisis faktor pendapatan pedagang gladag langen bogan kota

  BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang.
Skripsi Ekonomi: Analisis faktor pendapatan pedagang gladag langen bogan kota
Upaya  mengatasi  persoalan  pembangunan,  khususnya  masalah  kemiskinan  dan  kesenjangan  distribusi  pendapatan,  sebenarnya  bukan  merupakan  hal  yang  baru.  Negara-negara  berkembang  yang  memperoleh  tingkat  pertumbuhan  ekonomi  yang  cukup  tinggi  sejak  tahun  1960-an  ternyata  belum  memberikan  pengaruh  yang  berarti  bagi  kesejahteraan  masyarakat,  bahkan  terjadi  penurunan  tingkat  kehidupan  riil.  Tingkat  pengangguran  dan  pengangguran  semu  meningkat  di  daerah  pedesaan  dan  perkotaan,  ketimpangan  distribusi  pendapatan  antara  kaum  kaya  dan  kelompok  miskin,  dan  ketimpangan  regional  telah  melahirkan  “gap”  yang  semakin melebar. Untuk konteks Indonesia, semakin ke Timur pembangunan  yang  tidak  merata  disebabkan  oleh  kebijakan  pembangunan  yang  lebih  memprioritaskan  bagi  pertumbuhan  di  kawasan  Indonesia  Bagian  Barat  (Kuncoro, 2000:13).

Menurut Nazara (1997:44), distribusi pendapatan merupakan masalah  perbedaan  pendapatan  antara  individu  yang  paling  kaya  dengan  pendapatan  individu yang paling miskin. Semakin besar jurang pendapatan (income gap)  semakin  besar  pula  variasi dalam  distribusi  pendapatan.  Pernyataan  di  atas  mengandung  makna,  jika  ketimpangan  terus  dibiarkan  terjadi  antara  kelompok kaya dan kaum miskin, maka perekonomian tersebut benar-benar    menggambarkan  pertumbuhan  yang  tidak  merata,  yang  disebut  kesenjangan  distribusi  pendapatan.  Dalam  praktik,  penanggulangan  kemiskinan  juga  terbukti  tidak  selalu  efektif,  karena  cenderung  melihat  program  tersebut  sebagai  proyek  kepentingan  bagi  oknum-oknum  tertentu.  Apalagi  melihat  latar  belakang  terjadinya  masalah  kemiskinan  yang  bersumber  dari  proyekproyek yang selalu mengatasnamakan pembangunan dengan menggusur dan  menindas hak-hak rakyat (Yustika, 2003:5).
Selama ini kebijakan pemerintah banyak yang tidak berpihak terhadap  masyarakat  miskin.  Misalnya  program  revolusi  hijau yang  padat  teknologi  dan padat modal telah menggusur banyak petani. Program IDT (Inpres Desa  Tertinggal)  dan  PKS  (Program  Keluarga  Sejahtera)  implementasi  banyak  yang  salah  sasaran.  Kegagalan  program  ini  di  lapangan,  karena  pemerintah  hanya melihat bagaimana proyek itu bisa berjalan dan bagaimana proyek ini  menghabiskan  alokasi  dana  yang  ada.  Di  samping  itu,  juga  tidak  menjadi  suatu ukuran bahwa masyarakat telah benar-benar berdaya atau tidak dengan  intervensi program tersebut. Program-program pengentasan kemiskinan yang  seharusnya  diperuntukkan  kepada  orang  miskin,  justru  jatuh  kepada  orangorang yang mempunyai status sosial sangat baik.
Pelaksanaan pembangunan tidak semata-mata diarahkan hanya untuk  mengejar  pertumbuhan  ekonomi  yang  tinggi,  tetapi  juga  ditekankan  pada  peningkatan pemerataan pendapatan,  yang pada gilirannya diharapkan dapat  mengurangi  kesenjangan  pendapatan  antargolongan  penduduk  dan  mengentaskan  kemiskinan.  Dalam  kaitannya  dengan  penanggulangan    kemiskinan,  pemerintah  telah  dan  sedang  melaksanakan  sekitar  69  program  penanggulangan  kemiskinan  (Anonimous,  2003:1).  Secara  teoritis,  semakin  banyaknya  program  penanggulangan  kemiskinan  menjadikan  jumlah  kemiskinan  dapat  ditekan  serendah  mungkin.  Sistem  pemerintahan  desentralisasi  juga  memungkinkan  pelayanan  kepada  masyarakat  miskin  semakin  cepat  dan  sesuai  dengan  kebutuhan  masyarakat.  Sayangnya,  dari  sejumlah hasil penelitian tentang program-program pengentasan kemiskinan,  ternyata  hasilnya  masih  sama  dengan  sebelum  digulirkan  program  pengentasan kemiskinan tersebut.
Secara operasional, pemerintah telah menyalurkan dana melalui DAU  (Dana  Alokasi  Umum)  dan  DAK  (Dana  Alokasi  Khusus)  serta  sektoral.
Melalui  14  bank  umum,  pemerintah  telah  menyalurkan  dana  kredit  bagi  UKM (Unit Kegiatan Masyarakat) sebesar 32,5 triliun. Dana ini tersalur 90%  ke  daerah  yang  seharusnya  membuka  peluang  dan  akses  bagi  masyarakat  miskin.  Walaupun  begitu,  tampaknya  upaya  tersebut  belum  mencapai  hasil  optimal  karena  keterbatasan  konsep  pengurangan  kemiskinan  yang  sesuai  dengan karakteristik  masing-masing  daerah.  Pernyataan  ini,  sangat  terkait  dengan  pernyataan  Halim  (2003:1)  bahwa  salah  satu  faktor  penyebab  kegagalan penanggulangan kemiskinan, yakni pemerintah belum mempunyai  peta masalah serta potensi yang ada di setiap masyarakat.
Potensi setiap masyarakat pun saat ini juga dituntut dengan tantangan  ke  depan  yang  semakin  serius  dan  semakin  berat.  Globalisasi  dan  isu-isu  perdagangan  bebas  merupakan  tantangan  eksternal  Indonesia  ke  depan,  di    samping  masalah-masalah  dalam  negeri  seperti  krisis  multidimensi  yang  berkepanjangan,  otonomi  daerah,  serta  isu-isu  disintegrasi  bangsa.  Ada  dua  pelajaran penting yang dapat ditarik dari krisis ekonomi sejak delapan tahun  silam.  Pertama,  pembangunan  ekonomi  yang  tidak  berbasis  pada  kekuatan  sendiri,  tetapi  bertumpu  pada  utang  dan  impor,  ternyata  sangat  rentan  terhadap perubahan faktor eksternal dan membawa negara dalam krisis yang  berkepanjangan.  Kedua,  pendekatan  pembangunan  yang  serba  sentralistik,  seragam,  dan  hanya  berpusat  pada  pemerintah  ternyata  tidak  menghasilkan  struktur sosial ekonomi yang memiliki fondasi yang kukuh, tetapi cenderung  menghasilkan  struktur  ekonomi  yang  didominasi  usaha  skala  besar  (yang  dihuni  oleh  sekelompok  kecil  orang)  dengan  kinerja  sangat  rapuh.  Dua  pelajaran  berharga  ini  harus  dapat  diaktualisasikan  ke  dalam  rancangan  strategi  dan  kebijakan  pembangunan  berikutnya  agar  tidak  terjerumus  kesalahan yang sama.
Salah  satu  bentuk  aktualisasi  tersebut  adalah  dengan  munculnya  wacana  pengembangan  usaha  mikro,  kecil,  dan menengah  (UMKM)  yang  memang  merepresentasikan  kedua  pelajaran  di  atas.  UMKM  menjadi  perwujudan  konkret  dari  kegiatan  ekonomi  rakyat  yang  bertumpu  pada  kekuatan sendiri, terdesentralisasi, beragam, dan merupakan kelompok usaha  yang  mampu  menjadi  “buffer”  saat  perekonomian  Indonesia  dilanda  krisis.
Keragaman  usaha  UMKM  seperti  peternak  kecil,  petani  gurem,  petani  tunalahan, nelayan tanpa perahu, industri kecil, industri rumah tangga, usaha  kerajinan,  pedagang  kecil/eceran,  tukang  sayur,  abang  becak,  sopir  angkot,    tukang  sewa  pompa,  tukang  kredit  keliling  kampung,  pengecer  koran,  dan  seterusnya  adalah  pelaku  ekonomi  yang  memberi  andil  cukup  besar  dalam  menggerakkan denyut nadi kehidupan masyarakat.
Fungsi dan peranan UMKM saat ini dirasakan begitu penting, karena  sektor ini bukan saja sebagai sumber mata pencaharian orang banyak, tetapi  juga menyediakan secara langsung lapangan kerja bagi mereka yang tingkat  pengetahuan  dan  keterampilannya  rendah.  Sebagai  kelompok  usaha  kecil,  UMKM selalu terjebak dalam problem keterbatasan modal, teknik produksi,  pemasaran,  manajemen,  dan  teknologi.  Sebagai  upaya  untuk  meningkatkan  kemampuan  usaha  kecil  dalam  rangka  memperluas  peranannya  di  dalam  perekonomian  nasional,  diperlukan  serangkaian  pembinaan  secara  terpadu  dan  berkelanjutan  untuk  mengatasi  berbagai  masalah  tersebut,  terutama  bersumber  pada  masalah  keterbatasan  pengetahuan,  informasi,  dan  permodalan (Hafsah, 2000:8).
Kota  Solo  atau  juga  dikenal  dengan  Surakarta  (Hadiningrat)  merupakan  salah  satu  kota  yang  ada  di  Propinsi  Jawa  Tengah  dengan  luas  wilayah sekitar 44,04 km yang dihuni oleh 501.650 jiwa denganrasio jenis  jenis  kelamin  sebesar  95,68;yang  artinya  bahwa  pada  setiap100  penduduk  perempuanterdapat sebanyak 96 penduduklaki-laki.Jumlah Penduduk bekerja  dikota Surakarta pada tahun 2011mencapai 249.368, atau sebesar 49,71% dari  seluruh  penduduk  kota  Surakarta  (kota  Surakarta  dalam  angka  2011).
Sebagian  lahan  di  kota  Solo  digunakan  sebagai  tempat  pemukiman  sebesar  61,68%,sedangkan untuk kegiatan ekonomi juga menggunakan tempat  yang   cukup besar sekitar 20% dari luas lahan yang ada. Proses perkembangan kota  yang cukup pesat juga bisa dilihat dari maraknya pembangunan sentra-sentra  perdagangan,jasa, industri kecil dan menengah (Handayani, 2012).

Tabel 1.Banyaknya Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kota Surakarta 201Kecamatan Petani  Sendiri Buruh  Tani Pengusaha Buruh  Industri Buruh  Bangunan Pedagang  Angkutan  PNS/TNI/POLRI  Pensiunan Lainlain Jumlah District  Farmers Farm  Workers Enterpreneur Industry  Workers Worker of  Constructor Retail  Transporstation Civil Servants/  Army/ Police Retirement  Others  Total (1)  (2)  (3)  (4)  (5)  (6)  (7)  (8)  (9)  (10)  (11)  (12) Laweyan  50  34  1.542  16.108  12.852  7.380  4.204  4.386  3.298  38.245  88.09Serengan  -  -  1.980  6.996  5.042  5.285  2.284  1.454  819  25.398  49.25Pasar  Kliwon -  -  3.238  15.852  11.389  11.373  5.995  2.365  1.983  22.604  74.79Jebres  85  -  2.219  16.633  16.089  5.120  2.711  8.043  3.651  48.050  102.60Banjarsari  346  724  3.764  20.829  23.676  10.368  5.938  8.095  7.835  36.803  118.64Kota  481  758  12.743  76.418  68.048  39.796  21.132  24.343  17.586  171.100  433.402010  480  755  11.970  72.084  65.628  36.484  20.062  24.388  17.142  166.408  415.382009  478  452  9.399  68.556  58.346  33.526  38.644  26.395  19.602  194.011  430.432008  456  429  8.254  70.034  62.759  32.374  15.776  26.424  22.683  162.290  401.172007  450  438  8.752  74.655  63.114  32.710  15.347  26.445  16.974  162.526  401.41Sumber: Kota Surakarta dalam angka 2011, halaman  
Skripsi Ekonomi: Analisis faktor pendapatan pedagang gladag langen bogan kota

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi