BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Skripsi Ekonomi: Analisis faktor pendapatan pedagang gladag langen bogan kota
Upaya mengatasi
persoalan pembangunan, khususnya
masalah kemiskinan dan
kesenjangan distribusi pendapatan,
sebenarnya bukan merupakan
hal yang baru.
Negara-negara berkembang yang
memperoleh tingkat pertumbuhan
ekonomi yang cukup
tinggi sejak tahun
1960-an ternyata belum
memberikan pengaruh yang
berarti bagi kesejahteraan masyarakat,
bahkan terjadi penurunan
tingkat kehidupan riil.
Tingkat pengangguran dan
pengangguran semu meningkat
di daerah pedesaan
dan perkotaan, ketimpangan
distribusi pendapatan antara
kaum kaya dan kelompok miskin,
dan ketimpangan regional
telah melahirkan “gap”
yang semakin melebar. Untuk
konteks Indonesia, semakin ke Timur pembangunan yang
tidak merata disebabkan
oleh kebijakan pembangunan
yang lebih memprioritaskan bagi
pertumbuhan di kawasan
Indonesia Bagian Barat (Kuncoro,
2000:13).
Menurut Nazara (1997:44),
distribusi pendapatan merupakan masalah perbedaan pendapatan
antara individu yang paling
kaya dengan pendapatan individu yang paling miskin. Semakin besar
jurang pendapatan (income gap) semakin besar
pula variasi dalam distribusi
pendapatan. Pernyataan di
atas mengandung makna,
jika ketimpangan terus
dibiarkan terjadi antara kelompok kaya dan kaum miskin, maka
perekonomian tersebut benar-benar menggambarkan pertumbuhan
yang tidak merata,
yang disebut kesenjangan distribusi
pendapatan. Dalam praktik,
penanggulangan kemiskinan juga terbukti tidak
selalu efektif, karena
cenderung melihat program
tersebut sebagai proyek
kepentingan bagi oknum-oknum
tertentu. Apalagi melihat latar
belakang terjadinya masalah
kemiskinan yang bersumber
dari proyekproyek yang selalu
mengatasnamakan pembangunan dengan menggusur dan menindas hak-hak rakyat (Yustika, 2003:5).
Selama ini kebijakan pemerintah
banyak yang tidak berpihak terhadap masyarakat miskin.
Misalnya program revolusi
hijau yang padat teknologi dan padat modal telah menggusur banyak petani.
Program IDT (Inpres Desa Tertinggal) dan
PKS (Program Keluarga
Sejahtera) implementasi banyak yang
salah sasaran. Kegagalan
program ini di
lapangan, karena pemerintah hanya melihat bagaimana proyek itu bisa
berjalan dan bagaimana proyek ini menghabiskan alokasi
dana yang ada.
Di samping itu,
juga tidak menjadi suatu ukuran bahwa masyarakat telah benar-benar
berdaya atau tidak dengan intervensi
program tersebut. Program-program pengentasan kemiskinan yang seharusnya
diperuntukkan kepada orang
miskin, justru jatuh
kepada orangorang yang mempunyai
status sosial sangat baik.
Pelaksanaan pembangunan tidak
semata-mata diarahkan hanya untuk mengejar pertumbuhan
ekonomi yang tinggi,
tetapi juga ditekankan
pada peningkatan pemerataan
pendapatan, yang pada gilirannya
diharapkan dapat mengurangi kesenjangan
pendapatan antargolongan penduduk
dan mengentaskan kemiskinan.
Dalam kaitannya dengan
penanggulangan kemiskinan, pemerintah
telah dan sedang
melaksanakan sekitar 69
program penanggulangan kemiskinan
(Anonimous, 2003:1). Secara
teoritis, semakin banyaknya
program penanggulangan kemiskinan
menjadikan jumlah kemiskinan
dapat ditekan serendah
mungkin. Sistem pemerintahan desentralisasi
juga memungkinkan pelayanan
kepada masyarakat miskin semakin
cepat dan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.
Sayangnya, dari sejumlah hasil penelitian tentang
program-program pengentasan kemiskinan, ternyata hasilnya
masih sama dengan
sebelum digulirkan program pengentasan kemiskinan tersebut.
Secara operasional, pemerintah
telah menyalurkan dana melalui DAU (Dana Alokasi
Umum) dan DAK
(Dana Alokasi Khusus)
serta sektoral.
Melalui 14
bank umum, pemerintah
telah menyalurkan dana
kredit bagi UKM (Unit Kegiatan Masyarakat) sebesar 32,5
triliun. Dana ini tersalur 90% ke daerah
yang seharusnya membuka
peluang dan akses
bagi masyarakat miskin.
Walaupun begitu, tampaknya
upaya tersebut belum
mencapai hasil optimal
karena keterbatasan konsep
pengurangan kemiskinan yang
sesuai dengan karakteristik masing-masing
daerah. Pernyataan ini, sangat terkait dengan
pernyataan Halim (2003:1)
bahwa salah satu
faktor penyebab kegagalan penanggulangan kemiskinan, yakni pemerintah
belum mempunyai peta masalah serta
potensi yang ada di setiap masyarakat.
Potensi setiap masyarakat pun
saat ini juga dituntut dengan tantangan ke depan
yang semakin serius
dan semakin berat.
Globalisasi dan isu-isu perdagangan
bebas merupakan tantangan
eksternal Indonesia ke
depan, di samping
masalah-masalah dalam negeri
seperti krisis multidimensi
yang berkepanjangan, otonomi
daerah, serta isu-isu
disintegrasi bangsa. Ada
dua pelajaran penting yang dapat
ditarik dari krisis ekonomi sejak delapan tahun silam.
Pertama, pembangunan ekonomi
yang tidak berbasis
pada kekuatan sendiri,
tetapi bertumpu pada
utang dan impor,
ternyata sangat rentan terhadap
perubahan faktor eksternal dan membawa negara dalam krisis yang berkepanjangan. Kedua,
pendekatan pembangunan yang
serba sentralistik, seragam,
dan hanya berpusat
pada pemerintah ternyata
tidak menghasilkan struktur sosial ekonomi yang memiliki fondasi
yang kukuh, tetapi cenderung menghasilkan struktur
ekonomi yang didominasi
usaha skala besar
(yang dihuni oleh
sekelompok kecil orang)
dengan kinerja sangat
rapuh. Dua pelajaran
berharga ini harus
dapat diaktualisasikan ke
dalam rancangan strategi
dan kebijakan pembangunan
berikutnya agar tidak
terjerumus kesalahan yang sama.
Salah satu
bentuk aktualisasi tersebut
adalah dengan munculnya wacana
pengembangan usaha mikro,
kecil, dan menengah (UMKM)
yang memang merepresentasikan kedua
pelajaran di atas.
UMKM menjadi perwujudan
konkret dari kegiatan
ekonomi rakyat yang
bertumpu pada kekuatan sendiri, terdesentralisasi, beragam,
dan merupakan kelompok usaha yang mampu
menjadi “buffer” saat
perekonomian Indonesia dilanda
krisis.
Keragaman usaha
UMKM seperti peternak
kecil, petani gurem,
petani tunalahan, nelayan tanpa
perahu, industri kecil, industri rumah tangga, usaha kerajinan,
pedagang kecil/eceran, tukang
sayur, abang becak,
sopir angkot, tukang
sewa pompa, tukang
kredit keliling kampung,
pengecer koran, dan seterusnya adalah
pelaku ekonomi yang
memberi andil cukup
besar dalam menggerakkan denyut nadi kehidupan masyarakat.
Fungsi dan peranan UMKM saat ini
dirasakan begitu penting, karena sektor
ini bukan saja sebagai sumber mata pencaharian orang banyak, tetapi juga menyediakan secara langsung lapangan
kerja bagi mereka yang tingkat pengetahuan dan
keterampilannya rendah. Sebagai
kelompok usaha kecil, UMKM selalu terjebak dalam problem
keterbatasan modal, teknik produksi, pemasaran, manajemen,
dan teknologi. Sebagai
upaya untuk meningkatkan kemampuan
usaha kecil dalam
rangka memperluas peranannya
di dalam perekonomian
nasional, diperlukan serangkaian
pembinaan secara terpadu dan
berkelanjutan untuk mengatasi
berbagai masalah tersebut,
terutama bersumber pada
masalah keterbatasan pengetahuan,
informasi, dan permodalan (Hafsah, 2000:8).
Kota Solo
atau juga dikenal
dengan Surakarta (Hadiningrat) merupakan
salah satu kota
yang ada di
Propinsi Jawa Tengah
dengan luas wilayah sekitar 44,04 km yang dihuni oleh
501.650 jiwa denganrasio jenis jenis kelamin
sebesar 95,68;yang artinya
bahwa pada setiap100
penduduk perempuanterdapat
sebanyak 96 penduduklaki-laki.Jumlah Penduduk bekerja dikota Surakarta pada tahun 2011mencapai
249.368, atau sebesar 49,71% dari seluruh penduduk
kota Surakarta (kota
Surakarta dalam angka
2011).
Sebagian lahan
di kota Solo
digunakan sebagai tempat
pemukiman sebesar 61,68%,sedangkan untuk kegiatan ekonomi juga
menggunakan tempat yang cukup besar sekitar 20% dari luas lahan yang
ada. Proses perkembangan kota yang cukup
pesat juga bisa dilihat dari maraknya pembangunan sentra-sentra perdagangan,jasa, industri kecil dan menengah
(Handayani, 2012).
Tabel 1.Banyaknya Penduduk
Menurut Mata Pencaharian di Kota Surakarta 201Kecamatan Petani Sendiri Buruh Tani Pengusaha Buruh Industri Buruh Bangunan Pedagang Angkutan
PNS/TNI/POLRI Pensiunan Lainlain Jumlah
District Farmers Farm Workers Enterpreneur Industry Workers Worker of Constructor Retail Transporstation Civil Servants/ Army/ Police Retirement Others
Total (1) (2) (3)
(4) (5) (6)
(7) (8) (9)
(10) (11) (12) Laweyan
50 34 1.542
16.108 12.852 7.380
4.204 4.386 3.298
38.245 88.09Serengan -
- 1.980 6.996
5.042 5.285 2.284
1.454 819 25.398
49.25Pasar Kliwon - -
3.238 15.852 11.389
11.373 5.995 2.365
1.983 22.604 74.79Jebres
85 - 2.219
16.633 16.089 5.120
2.711 8.043 3.651
48.050 102.60Banjarsari 346
724 3.764 20.829
23.676 10.368 5.938
8.095 7.835 36.803
118.64Kota 481 758
12.743 76.418 68.048
39.796 21.132 24.343
17.586 171.100 433.402010
480 755 11.970
72.084 65.628 36.484
20.062 24.388 17.142
166.408 415.382009 478
452 9.399 68.556
58.346 33.526 38.644
26.395 19.602 194.011
430.432008 456 429
8.254 70.034 62.759
32.374 15.776 26.424
22.683 162.290 401.172007
450 438 8.752
74.655 63.114 32.710
15.347 26.445 16.974
162.526 401.41Sumber: Kota
Surakarta dalam angka 2011, halaman
Skripsi Ekonomi: Analisis faktor pendapatan pedagang gladag langen bogan kota
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi