BAB I.
PENDAHULUAN.
A. LATAR BELAKANG MASALAH.
Skripsi Ekonomi: Analisis Kinerja Operasi Pra-Merger Dan Pasca-Merger Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2005-2009
Deregulasi ekonomi telah
memberikan sektor korporasi dengan segudang kesempatan untuk mengeksploitasi
tuntutan yang muncul di pasar yang besar. Ekspansi dapat
dibedakan menjadi dua
yaitu ekspansi usaha
dan ekspansi finansial.
Ekspansi usaha yaitu
ekspansi yang dilakukan
tanpa mengubah struktur modalnya, sedangkan ekspansi
finansial dilakukan dengan menambah aktiva tetap
dengan mendirikan pabrik
baru, membeli perusahaan
lain dan memerlukan
dana jangka panjang
sehingga mengubah struktur
modalnya.
Salah satu
strategi ekspansi adalah
strategi akuisisi dan
merger yang merupakan strategi ekspansi eksternal. Merger
adalah penggabungan dua atau lebih
perusahaan menjadi satu perusahaan dengan cara pengalihan aktiva dan kewajiban suatu perusahaan ke perusahaan lain.
Merger dan akuisisi ditujukan untuk
meningkatkan kinerja perusahaan. Merger
dan akuisisi (M & As) telah menjadi sarana utama konsolidasi industri.
Sebuah pengambilalihan, yang pada dasarnya adalah
akuisisi, berbeda dari
merger dalam pendekatan
untuk kombinasi bisnis.
Kegiatan merger yang
relatif mempengaruhi lebih
kepada stakeholder perusahaan. Hal ini sangat konsekuensial pada
tingkat perusahaan dan ekonomi.
Tujuan umum
perusahaan melakukan merger
dan akuisisi adalah
untuk memperoleh sinergi
atau nilai tambah
yang lebih bersifat
jangka panjang dibanding
nilai tambah yang
bersifat sementara saja
(Payamta dan Setiawan, 2004, 266). Strategi ini juga merupakan
upaya restrukturisasi perusahaan agar dapat bersinergi,
baik melalui pencapaian
economic of scale
dan financial economics,
pemanfaatan complemantary resources
dan peningkatan market power
(Wibowo dan Pakereng, 2001, hal
372). Merger dan akuisisi dapat pula menjadi cara
untuk menyelamatkan usaha
dari kebangkrutan (Muktiyanto, 2005, hal 57). Menurut Racmawati dan
Tandelilin (2001, 155), alasan
utama perusahaan di Indonesia melakukan
merger dan akuisisi pada dasarnya adalah
untuk
penghematan pajak. Namun
ada juga perusahaan
yang melakukan akuisisi dengan tujuan go public atau pendaftaran saham tanpa melakukan IPO dari
anak perusahaan yang
diakuisisi oleh perusahaan
publik. Cara ini merupakan
upaya yang paling
efisien dan tidak
berbelit-belit dan dapat menikmati fasilitas
sebagai perusahaan publik
tanpa melewati prosedur
yang rumit di BAPEPAM.
Merger dan Akuisisi (M&A)
merupakan fenomena bisnis paradoksial.
Di satu sisi, intensitasnya terus
meningkat tetapi di sisi lain tingkat kegagalannya juga cukup
tinggi. Sebagai gambaran,
Schweiger, Csiszar and
Napier (1993) mengemukakan bahwa
sejak tahun 1983 penggabungan usaha yang
terjadi di Amerika, setiap tahunnya
mencapai angka 2500
lebih. Angka ini
belum termasuk keterlibatan
perusahaan Amerika dalam
M&A antar negara
yang jumlahnya juga
meningkat drastis. Selain
Amerika, trend yang
sama juga terjadi di Eropa, Asia dan wilayah negara lain. Di Cina misalnya antara
tahun 1985-1996 terjadi
M&A dengan total
nilai US $
5,3 milyar (Milman,
1999).
Sedangkan di Indonesia, meski
tidak ada angka pasti dan kegiatannya pun tidak setinggi negara-negara maju, tidak luput
dari M&A. Pertengahan tahun 1980an sampai
awal tahun 1990an merupakan masa-masa
subur bagi kegiatan merger dan akuisisi
di Indonesia. Secara keseluruhan, seperti dikatakan Cartwright and Cooper
(1993a, 1993b, 1993c;
1995), Legare (1998),
dan Marks and
Mirvis (1997, 1998), M&A yang terjadi pada tahun
1980-an dan periode sesudahnya meningkat
hampir dua kali lipat dibandingkan dengan boom M&A tahun 1960-an. Di sisi lain tingkat kegagalan M&A juga
relatif tinggi berkisar antara 50% sampai
70% (Cartwight and
Cooper 1993c). Termasuk
dalam kategori kegagalan M&A
misalnya: penggabungan usaha
tersebut tidak mencapai tujuan finansial yang dikehendaki
(Chatterjee, et al.1992), tidak meningkatkan harga saham
di pasar bursa
(Schweiger, Csizar, Napier,
1993), tidak menciptakan
sinergi yang biasa
disebut “2+2 =
5 effect” (Mirvis
and Marks, 1992),
tujuan menggabungkan usaha
melalui merger diharapkan
dapat memperoleh sinergi, yaitu
nilai keseluruhan perusahaan
setelah merger yang lebih besar
daripada penjumlahan nilai
masing-masing perusahaan sebelum merger.
dan ujung- ujungnya
terjadi perceraian kembali
tidak lama setelah penggabungan usaha tersebut berlangsung (Cartwight and Cooper
1993a,b,c).
Karena secara
historis M&A adalah
domain para ekonom
dan para strategist (Cartwright
and Cooper, 1993c)
maka kegagalan M&A
biasanya hanya dikaitkan
dengan faktor-faktor berikut:
(1) jeleknya pengambilan
keputusan karena membeli perusahaan
lain dengan harga
yang terlalu tinggi,
(2) terjadi kesalahan dalam
mengelola keuangan sehingga
realisasi bertambahnya skala ekonomi
dan rasio-rasio laba
yang diharapkan tidak
tercapai, dan (3)
terjadi perubahan pasar yang mendadak.
Banyak penelitian
yang dilakukan untuk
mengetahui pengaruh merger terhadap
kinerja perusahaan, tetapi
hasilnya tidak selalu
sama. Alimin yang meneliti faktor-faktor
yang mempengaruhi merger
di Indonesia (1993:
28), yaitu: peningkatan
skala ekonomi, pengamanan
bahan baku, perluasan
pasar, penghematan pajak,
pemanfaatan kapasitas hutang,
peningkatan laba dan pengurangan persaingan.
Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa semua faktor
tersebut signifikan kecuali
faktor pengaman bahan
baku dan pemanfaatan
kapasitas hutang. Kemudian
Ravenscraft dan Sherer
(1998) melakukan penelitian
terhadap profitabilitas sebelum merger perusahaan target dan
hasil operasinya setelah
merger. Penelitiannya dilakukan
terhadap perusahaan manufaktur
di Amerika Serikat
yang melakukan merger
sebelum periode 1957-1977.
Hipotesis yang dilakukan
dalam penelitian mereka
ada dua, yaitu
bahwa perusahaan target
tidak mendapat laba
dan bahwa merger memperbaiki profitabilitasnya secara
rata-rata. Profitabilitas sebelum merger di ukur
dengan rasio laba
operasi (sebelum bunga
dan pajak serta
biaya luar usaha)
terhadap asset pada
akhir periode, sedangkan
profitabilitas setelah merger
di ukur dengan tiga rasio yaitu: 1) rasio laba operasi, 2) rasio operasi
laba penjualan, 3) rasio arus kas. Dari
hipotesis pertama tidak dapat dibuktikan karena
ketiadaan dukungan statistik,
sedangkan pada hipotesis
kedua disimpulkan bahwa
tidak terdapat kenaikan
yang signifikan terhadap profitabilitas setelah merger.
Sejumlah penelitian pada
pengukuran kinerja operasi
pasca-merger perusahaan di
negara-negara Barat menunjukkan hasil yang beragam, sebagian besar melaporkan tidak signifikan bahwa merger
yang memberikan keuntungan kepada
perusahaan. Berdasarkan latar belakang
tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul: “ANALISIS KINERJA OPERASI PRAMERGER DAN
PASCA-MERGER PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG
TERDAFTAR DI BURSA
EFEK INDONESIA PERIODE TAHUN 2005 -2009”.
B. RUMUSAN MASALAH.
Bagaimana kinerja operasi
pra-merger dan pasca-merger
perusahan yang melakukan merger?.
Apakah ada perubahan
yang disebabkan oleh merger
dalam hal kinerja operasi perusahaan dan sinergis?.
C. TUJUAN PENELITIAN.
Untuk mengukur kinerja
operasi pra-merger dan
pasca-merger perusahan yang melakukan merger.
Untuk mengidentifikasi ada
tidaknya perubahan yang
disebabkan oleh merger dalam hal kinerja operasi perusahaan
dan sinergis.
D. MANFAAT.
Bagi Perusahaan Hasil penelitian bisa menjadi referensi bagi perusahaan
manufaktur yg telah melakukan merger
ataupun yang akan
melakukan merger dalam
menilai kinerja operasi
prusahaannya.
Bagi Kalangan Akademis Hasil penelitian
ini bisa menjadi
tambahan referensi bagi
kalangan akademisi maupun
praktisi dalam mengembangkan hubungan
antara merger dengan kinerja operasi dan
faktor apa saja yang mempengaruhinya.
Bagi peneliti Dapat menambah pengetahuan mengenai aktivitas merger
perusahaan dalam hal ini kinerja
keuangan perusahaan manufaktur yang melakukan merger.
Skripsi Ekonomi: Analisis Kinerja Operasi Pra-Merger Dan Pasca-Merger Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2005-2009
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi