Rabu, 12 November 2014

Skripsi Ekonomi: Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Di Indonesia Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan

   BAB I.
PENDAHULUAN.
1.1.LATAR BELAKANG MASALAH.
Skripsi Ekonomi: Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Di Indonesia Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Reformasi  di  Indonesia  timbul  sebagai  salah  satu  akibat  dari  ketidakpuasan  rakyat  terhadap  sistem  pemerintahan  yang  sedang  berlangsung  terjadi pada tahun 1998 di tengah krisis ekonomi yang melanda negara -negara di  Asia, termasuk Indonesia. Reformasi ini dipicu oleh terlalu lamanya pemerintahan  otoriter  orde  baru  yang  dipimpin  oleh  Presiden  Soeharto  sejak  tahun  1966  dan  ketidakberhasilan pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi yang sedang terjadi  saat itu. Harga kebutuhan masyarakat seperti Sembilan Bahan Pokok (Sembako)  dan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang semakin naik memperburuk pemerintahan  dan  mengakibatkan  demonstrasi  besar-besaran  terjadi  dimana-mana.  Pergantian  rezim  dari  rezim  otoritan  menjadi  rezim  yang  lebih  demokratis  yang  dipimpin  oleh  Presiden  Habibie  menemui  tantangan  yang  serius  untuk  mengantarkan  Indonesia  menjadi  negara  yang  Demokratis.  Pemerintahan  yang  baru  di  era  reformasi  ini  juga  memiliki  tugas  yang  berat  untuk  menggerakkan  birokrat  di  Daerah  yang  sudah  terlanjur  terbiasa  menunggu  “petunjuk”  dari  pusat  (Mardiasmo, 2002).

Reformasi  membawa  banyak  perubahan  yang  besar  terhadap  struktur  pemerintahan  Indonesia.  Salah  satu  aspek  yang  berubah  adalah  pemerintahan  yang dulunya Sentralistik menjadi Desentralistik. Pemerintahan Habibie pada saat  itu memberlakukan dasar hukum Desentralisasi, yaitu dengan disahkanya  UU No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan  UU No. 25 Tahun 1999 tentang  Perimbangan  Keuangan  antara  Pusat  dan  Daerah.  UU  No.  22  Tahun  1999     mendelegasikan  kekuasaan  tertentu  kepada  Pemerintah  Daerah  dan  membentuk  proses  politik  daerah.  Sedangkan  UU  No.  25  Tahun  1999  mendorong  Desentralisasi  dengan  memberikan  pembagian  sumber  daya  fiskal  kepada  Pemerintah Daerah. Kuncoro (2004) memaparkan dua misi politik utama dengan  latar belakang pembentukan  UU No. 22 Tahun 1999 (yang telah diganti dengan  UU No.32 Tahun 2004) dan  UU No. 25 Tahun 1999. Pertama, untuk memuaskan  semua daerah dengan memberikan ruang partisispasi politik yang tinggi di tingkat  daerah. Hal ini diwujudkan dengan “Desentralisasi Politik” dari Pemerintah Pusat  kepada  Pemerintah  Daerah  dan  memberikan  kesempatan  dan  kepuasan  politik  kepada  masyarakat  daerah  dengan  memberikan  kesempatan  untuk  menikmati  simbol-simbol  utama  demokrasi  lokal  (misalnya  pemilihan  Kepala  Daerah).
Kedua,  Untuk  memuaskan  daerah-daerah  kaya  sumber  daya  alam  yang  memberontak  dengan  memberikan  akses  yang  lebih  besar  untuk  menikmati  sumber daya alam yang ada di daerah mereka masing-masing.
Desentralisasi  adalah  penyerahan  wewenang   pemerintahan  oleh  Pemerintah  kepada  daerah  otonom  untuk  mengatur  dan  mengurus  urusan  pemerintahan  dalam  sistem  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia   (UU  No.32  tahun  2004  tentang  Pemerintahan  daerah,  Bab  1,  Ayat  1,  nomor  7).  Dengan  adanya Desentralisasi inilah otonomi daerah dibentuk sebagai bentuk pelimpahan  wewenang  Pemerintah  Pusat  terhadap  Pemerintah  Daerah  atau  Daerah  di  bawahnya  untuk  mengurus  urusan  rumah  tangga  pemerintahannya  sendiri  berdasarkan  prakarsa  dan  aspirasi  dari  rakyatnya  dalam  kerangka  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia.   Otonomi  daerah  adalah  hak,   wewenang,  dan  kewajiban  daerah  otonom  untuk  mengatur  dan  mengurus  sendiri  urusan     pemerintahan  dan  kepentingan  masyarakatnya  sesuai  dengan  peraturan  perundang-undangan  (UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Bab 1,  Ayat 1, nomor 5).
Salah  satu  efek  dari  pelimpahan  kewenangan  atau  Desentralisasi  ini  mengakibatkan  Daerah  Otonom  harus  membuat  pertanggungjawaban  yang  diwujudkan  dalam  Laporan  Keuangan  Pemerintah  Daerah  (LKPD).  Pengelolaan  keuangan  dan  pertanggungjawaban  Laporan  Keuangan  Pemerintah  Daerah  (LKPD)  diatur  dalam  PP.  Nomor  24  tahun  2005  tentang  Standar  Akuntansi  Pemerintahan  (SAP)  dan  Peraturan  Menteri  Dalam  Negeri  No.13  tahun  2006  tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
PSAP  Nomor  24  tahun  2005  tentang  Standar  Akuntansi  Pemerintahan  mengatakan  bahwa  Laporan  Keuangan  Pemerintah  Daerah  (LKPD)  merupakan  laporan  yang  terstruktur  mengenai  posisi  keuangan  dan  transaksi-transaki  yang  dilakukan oleh suatu Pemerintah Daerah. Tujuan umum laporan keuangan adalah  menyajikan informasi mengenai posisi keuangan, realisasi anggaran, arus kas, dan  kinerja  keuangan  suatu  entitas  pelaporan  yang  bermanfaat  bagi  para  pengguna  dalam  membuat  dan  mengevaluasi  keputusan  mengenai  alokasi  sumber  daya.
Secara  spesifik,  tujuan  pelaporan  keuangan  pemerintahan  adalah  untuk  menyajikan  informasi  yang  berguna  untuk  pengambilan  keputusan  dan  untuk  menunjukkan akuntabilitas entitas pelaporan atas sumber daya yang dipercayakan  kepadanya.
Menurut  Mardiasmo  (2004),  Akuntansi  dan  laporan  keuangan  mengandung  pengertian  sebagai  suatu  proses  pengumpulan,  pengolahan,  dan  pengomunikasian  informasi  yang  bermanfaat  untuk  pembuatan  keputusan  dan     untuk  menilai  kinerja  organisasi.  Karena  kebutuhan  informasi  disektor  publik  lebih  bervariasi,  maka  informasi  tidak  terbatas  pad a  informasi  keuangan  yang  dihasilkan dari sistem akuntansi organisasi. Informasi non-moneter seperti ukuran  output  pelayanan  harus  juga  dipertimbangkan  dalam  pembuatan  keputusan.
Dengan  kata  lain,  Akuntansi  dan  Laporan  Keuangan  Pemerintahan  selain  memiliki  tujuan  keuangan  juga  harus  memiliki  tujuan  non-keuangan  yang  berbasis kinerja pelayanan publik.
Ketua  BPK  Anwar  Nasution  pada  www.Vivanews.com  tanggal  15  Oktober 2008 (diakses tanggal 11 Juni 2013), berpendapat bahwa selama 4 tahun  sejak  tahun  2004-2007  akuntabilitas  keuangan  daerah  belum  menunjukkan  perbaikan  sama  sekali.  Kondisi  ini  dapat  dilihat  dari  persentase  Laporan  Keuangan  Pemerintah  Daerah  (LKPD)  yang  mendapatkan  Opini  Wajar  Tanpa  Pengecualian  dan  Wajar  Dengan  Pengecualian  yang  semakin  menurun  set iap  tahunnya.  Persentase  LKPD  pada  tahun  2004  yang  mendapat  penilaian  Wajar  Tanpa  Pengecualian  turun  dari  7%  menjadi  5%  pada  tahun  2006  dan  1%  pada  tahun  2007.  Sebaliknya  Laporan  Keuangan  Pemerintah  Daerah  (LKPD)  dengan  opini Tidak Memberi Pendapat semakin  meningkat dari 2% pada 2004, menjadi  17%  pada  2007.  Untuk  periode  yang  sama  opini  Tidak  Wajar  naik  dari  3%  menjadi 19%. Hal ini mengindikasikan bahwa masih betapa buruknya Pemerintah  Daerah  dalam  hal  penyusunan  Laporan  Keuangan  Pemerintah  Daerah  (LKPD)-nya.
Sedangkan  menurut  Ikhtisar  Hasil  Pemeriksaaan  Semester  II tahun  2012  (BPK,  2012),  Persentase  Laporan  Keuangan  Pemerintah  daerah  (LKPD)  yang  memperoleh  opini  Wajar  Tanpa  Pengecualian  (WTP)  pada  tahun  2011  adalah     sebanyak  13%,  meningkat  6%  dari  tahun  2010  yaitu  sebanyak  7%.  Persentase  Laporan  Keuangan  Pemerintah  daerah  (LKPD)  yang  memperoleh  opini  Wajar  Dengan Pengecualian (WDP) pada tahun 2011 adalah sebanyak 67%, meningkat  2%  dari  tahun  2010  yaitu  sebanyak  65%.  Persentase  Laporan  Keuangan  Pemerintah  daerah  (LKPD)  yang  memperoleh  opini  Tidak  Wajar   (TW)  pada  tahun  2011  adalah  sebanyak  2%,  menurun  3%  dari  tahun  2010  yaitu  sebanyak  5%. Persentase Laporan Keuangan Pemerintah daerah (LKPD) yang memperoleh  opini  Disclaimer  pada tahun 2011 adalah sebanyak 18%, menurun 5% dari tahun  2010  yaitu  sebanyak  33%.  Adanya  kenaikan  persentase  opini  WTP  dan  WDP,  serta  penurunan  persentase  opini  TW  dan  Disclaimer  secara  umum  menggambarkan adanya perbaikan yang dicapai oleh entitas pemerintahan daerah  dalam menyajikan suatu laporan keuangan yang wajar sesuai dengan prinsip yang  berlaku.
Buruknya  kualitas  Laporan  Keuangan  Pemerintah  Daerah  (LKPD)  ini  menjadi   penting  untuk  diteliti  dan  diuji  faktor-faktor  yang  mempengaruhinya.
Penelitian  mengenai  hal  ini  harus  mendapatkan  perhatian  serius  karena  menyangkut  akuntabilitas  pemerintahan  daerah  pada  era  Desentralisasi  di  Indonesia.
Darmastuti  (2009)  yang  meneliti  tentang  Faktor-faktor  yang  Mempengaruhi  Pengungkapan  Belanja  Bantuan  Sosial  pada  Laporan  Keuangan  Pemerintah  Daerah  pada  Tahun  2009  memberikan  hasil  bahwa  Pendapatan  Asli  Daerah  (PAD)  memiliki  pengaruh  marjinal  terhadap  pengungkapan  belanja  bantuan  sosial.  Karakteristik  eksternal  yaitu  pembiayaan  utang,  dan  intergovermental  revenue  memiliki  pengaruh  signifikan  terhadap  pengungkapan     atas  belanja  bantuan  sosial.  Hasil  dalam  penelitian  ini  menunjukkan  bahwa  pemerintah cenderung akan mengungkapkan rincian belanja jika ada tuntutan dari  Pemerintah  Pusat  sebagai  pihak  yang  memiliki  dana.  Hasil  dalam  penelitian  ini  juga menunjukan bahwa rakyat juga dapat mendorong Pemerintah Daerah untuk  mengungkapkan belanja bantuan sosial karena sumber dana dari belanja sosial itu  sendiri berasal dari masyarakat. Variabel lain yang digunakan dalam penelitia n ini  diantaranya  adalah  kapasitas  fiskal,  jumlah  anggota  DPRD,  Jumlah  SKPD,  Spesialisasi pemerintahan, jumlah asset, dan umur administratif pemerintahan.
Suhardjanto  (2011)  meneliti  tentang  Pengaruh  Karakteristik  Pemerintah  Daerah  terhadap   Pengungkapan  dalam  Laporan  Keuangan  Pemerintah  Daerah.
Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Pengungkapan pada LKPD di  Indonesia masih sangat rendah. Penelitian ini menggunakan variabel independen  ukuran  daerah,  jumlah  SKPD,  dan  status  daerah,  sedangkan  lokasi  Pemerintah  Daerah, dan Jumlah Anggota DPRD digunakan sebagai variable kontrol.

Martani  (2012)  dalam  penelitiannya  “Local  Government  Financial  Statement  Disclosure  in  Indonesia”  memberikan  hasil  bahwa  jumlah  penduduk  berhubungan  positif  dan  signifikan  terhadap  Pengungkapan  Laporan  Keuangan  Pemerintah  Daerah  (LKPD).  Hasil  ini  sejalan  dengan  penelitian  yang  dilakukan  oleh Liestiani (2008) yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk berpengaruh  positif   terhadap   tingkat   pengungkapan.   Namun  hasil  penelitian  ini  berbeda  dengan  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Ingram  (1984)  dan  Robbins  dan  Austin  (1986)  yang  menunjukkan  bahwa  jumlah  penduduk  berpengaruh  positif  tetapi  tidak signifkan terhadap Pengungkapan.   
Skripsi Ekonomi: Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Di Indonesia Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi