BAB I.
PENDAHULUAN.
1.1.LATAR BELAKANG MASALAH.
Skripsi Ekonomi: Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Di Indonesia Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Reformasi di
Indonesia timbul sebagai
salah satu akibat
dari ketidakpuasan rakyat
terhadap sistem pemerintahan
yang sedang berlangsung terjadi pada tahun 1998 di tengah krisis
ekonomi yang melanda negara -negara di Asia,
termasuk Indonesia. Reformasi ini dipicu oleh terlalu lamanya pemerintahan otoriter
orde baru yang
dipimpin oleh Presiden
Soeharto sejak tahun
1966 dan ketidakberhasilan pemerintah dalam mengatasi
krisis ekonomi yang sedang terjadi saat
itu. Harga kebutuhan masyarakat seperti Sembilan Bahan Pokok (Sembako) dan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang semakin naik
memperburuk pemerintahan dan mengakibatkan
demonstrasi besar-besaran terjadi
dimana-mana. Pergantian rezim
dari rezim otoritan
menjadi rezim yang
lebih demokratis yang
dipimpin oleh Presiden
Habibie menemui tantangan
yang serius untuk
mengantarkan Indonesia menjadi
negara yang Demokratis.
Pemerintahan yang baru
di era reformasi
ini juga memiliki
tugas yang berat
untuk menggerakkan birokrat
di Daerah yang
sudah terlanjur terbiasa
menunggu “petunjuk” dari
pusat (Mardiasmo, 2002).
Reformasi membawa
banyak perubahan yang
besar terhadap struktur pemerintahan
Indonesia. Salah satu
aspek yang berubah
adalah pemerintahan yang dulunya Sentralistik menjadi Desentralistik.
Pemerintahan Habibie pada saat itu
memberlakukan dasar hukum Desentralisasi, yaitu dengan disahkanya UU No.
22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pusat dan
Daerah. UU No. 22 Tahun
1999 mendelegasikan kekuasaan
tertentu kepada Pemerintah
Daerah dan membentuk proses
politik daerah. Sedangkan
UU No. 25
Tahun 1999 mendorong Desentralisasi
dengan memberikan pembagian
sumber daya fiskal
kepada Pemerintah Daerah. Kuncoro
(2004) memaparkan dua misi politik utama dengan latar belakang pembentukan UU No. 22 Tahun 1999 (yang telah diganti
dengan UU No.32 Tahun 2004) dan UU No. 25 Tahun 1999. Pertama, untuk
memuaskan semua daerah dengan memberikan
ruang partisispasi politik yang tinggi di tingkat daerah. Hal ini diwujudkan dengan
“Desentralisasi Politik” dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah dan
memberikan kesempatan dan
kepuasan politik kepada
masyarakat daerah dengan
memberikan kesempatan untuk
menikmati simbol-simbol utama
demokrasi lokal (misalnya
pemilihan Kepala Daerah).
Kedua, Untuk
memuaskan daerah-daerah kaya
sumber daya alam
yang memberontak dengan
memberikan akses yang
lebih besar untuk
menikmati sumber daya alam yang
ada di daerah mereka masing-masing.
Desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada
daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia (UU
No.32 tahun 2004
tentang Pemerintahan daerah,
Bab 1, Ayat
1, nomor 7).
Dengan adanya Desentralisasi
inilah otonomi daerah dibentuk sebagai bentuk pelimpahan wewenang
Pemerintah Pusat terhadap
Pemerintah Daerah atau
Daerah di bawahnya
untuk mengurus urusan
rumah tangga pemerintahannya sendiri berdasarkan
prakarsa dan aspirasi
dari rakyatnya dalam
kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Otonomi
daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakatnya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan (UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, Bab 1, Ayat 1, nomor 5).
Salah satu
efek dari pelimpahan
kewenangan atau Desentralisasi ini mengakibatkan Daerah
Otonom harus membuat
pertanggungjawaban yang diwujudkan
dalam Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD).
Pengelolaan keuangan dan
pertanggungjawaban Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD)
diatur dalam PP.
Nomor 24 tahun
2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan (SAP)
dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No.13
tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
PSAP Nomor
24 tahun 2005
tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan mengatakan bahwa
Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah (LKPD) merupakan laporan
yang terstruktur mengenai
posisi keuangan dan
transaksi-transaki yang dilakukan oleh suatu Pemerintah Daerah. Tujuan
umum laporan keuangan adalah menyajikan
informasi mengenai posisi keuangan, realisasi anggaran, arus kas, dan kinerja
keuangan suatu entitas
pelaporan yang bermanfaat
bagi para pengguna dalam
membuat dan mengevaluasi
keputusan mengenai alokasi
sumber daya.
Secara spesifik,
tujuan pelaporan keuangan
pemerintahan adalah untuk menyajikan informasi
yang berguna untuk
pengambilan keputusan dan
untuk menunjukkan akuntabilitas
entitas pelaporan atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya.
Menurut Mardiasmo
(2004), Akuntansi dan
laporan keuangan mengandung
pengertian sebagai suatu
proses pengumpulan, pengolahan,
dan pengomunikasian informasi
yang bermanfaat untuk
pembuatan keputusan dan untuk
menilai kinerja organisasi.
Karena kebutuhan informasi
disektor publik lebih
bervariasi, maka informasi
tidak terbatas pad a
informasi keuangan yang dihasilkan
dari sistem akuntansi organisasi. Informasi non-moneter seperti ukuran output
pelayanan harus juga
dipertimbangkan dalam pembuatan
keputusan.
Dengan kata
lain, Akuntansi dan
Laporan Keuangan Pemerintahan
selain memiliki tujuan
keuangan juga harus
memiliki tujuan non-keuangan
yang berbasis kinerja pelayanan
publik.
Ketua BPK
Anwar Nasution pada
www.Vivanews.com tanggal 15 Oktober
2008 (diakses tanggal 11 Juni 2013), berpendapat bahwa selama 4 tahun sejak
tahun 2004-2007 akuntabilitas
keuangan daerah belum
menunjukkan perbaikan sama
sekali. Kondisi ini
dapat dilihat dari
persentase Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD)
yang mendapatkan Opini
Wajar Tanpa Pengecualian
dan Wajar Dengan
Pengecualian yang semakin
menurun set iap tahunnya.
Persentase LKPD pada
tahun 2004 yang
mendapat penilaian Wajar Tanpa Pengecualian
turun dari 7%
menjadi 5% pada
tahun 2006 dan
1% pada tahun
2007. Sebaliknya Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah
(LKPD) dengan opini Tidak Memberi Pendapat semakin meningkat dari 2% pada 2004, menjadi 17%
pada 2007. Untuk
periode yang sama
opini Tidak Wajar
naik dari 3% menjadi
19%. Hal ini mengindikasikan bahwa masih betapa buruknya Pemerintah Daerah
dalam hal penyusunan
Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah (LKPD)-nya.
Sedangkan menurut
Ikhtisar Hasil Pemeriksaaan
Semester II tahun 2012 (BPK, 2012),
Persentase Laporan Keuangan
Pemerintah daerah (LKPD)
yang memperoleh opini
Wajar Tanpa Pengecualian
(WTP) pada tahun
2011 adalah sebanyak
13%, meningkat 6%
dari tahun 2010
yaitu sebanyak 7%.
Persentase Laporan Keuangan
Pemerintah daerah (LKPD)
yang memperoleh opini
Wajar Dengan Pengecualian (WDP)
pada tahun 2011 adalah sebanyak 67%, meningkat 2%
dari tahun 2010
yaitu sebanyak 65%.
Persentase Laporan Keuangan Pemerintah
daerah (LKPD) yang
memperoleh opini Tidak
Wajar (TW) pada tahun 2011
adalah sebanyak 2%,
menurun 3% dari
tahun 2010 yaitu
sebanyak 5%. Persentase Laporan
Keuangan Pemerintah daerah (LKPD) yang memperoleh opini
Disclaimer pada tahun 2011 adalah
sebanyak 18%, menurun 5% dari tahun 2010 yaitu
sebanyak 33%. Adanya
kenaikan persentase opini
WTP dan WDP, serta penurunan
persentase opini TW dan Disclaimer
secara umum menggambarkan adanya perbaikan yang dicapai
oleh entitas pemerintahan daerah dalam
menyajikan suatu laporan keuangan yang wajar sesuai dengan prinsip yang berlaku.
Buruknya kualitas
Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah (LKPD) ini menjadi penting untuk
diteliti dan diuji
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Penelitian mengenai
hal ini harus
mendapatkan perhatian serius
karena menyangkut akuntabilitas
pemerintahan daerah pada
era Desentralisasi di Indonesia.
Darmastuti (2009)
yang meneliti tentang
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Pengungkapan Belanja Bantuan
Sosial pada Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah
pada Tahun 2009
memberikan hasil bahwa
Pendapatan Asli Daerah
(PAD) memiliki pengaruh
marjinal terhadap pengungkapan
belanja bantuan sosial.
Karakteristik eksternal yaitu
pembiayaan utang, dan intergovermental revenue
memiliki pengaruh signifikan
terhadap pengungkapan atas
belanja bantuan sosial.
Hasil dalam penelitian
ini menunjukkan bahwa pemerintah
cenderung akan mengungkapkan rincian belanja jika ada tuntutan dari Pemerintah
Pusat sebagai pihak
yang memiliki dana.
Hasil dalam penelitian
ini juga menunjukan bahwa rakyat
juga dapat mendorong Pemerintah Daerah untuk mengungkapkan belanja bantuan sosial karena
sumber dana dari belanja sosial itu sendiri
berasal dari masyarakat. Variabel lain yang digunakan dalam penelitia n ini diantaranya
adalah kapasitas fiskal,
jumlah anggota DPRD,
Jumlah SKPD, Spesialisasi pemerintahan, jumlah asset, dan
umur administratif pemerintahan.
Suhardjanto (2011)
meneliti tentang Pengaruh
Karakteristik Pemerintah Daerah
terhadap Pengungkapan dalam
Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah.
Dari hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa Pengungkapan pada LKPD di Indonesia masih sangat rendah. Penelitian ini
menggunakan variabel independen ukuran daerah,
jumlah SKPD, dan
status daerah, sedangkan
lokasi Pemerintah Daerah, dan Jumlah Anggota DPRD digunakan
sebagai variable kontrol.
Martani (2012)
dalam penelitiannya “Local
Government Financial Statement
Disclosure in Indonesia”
memberikan hasil bahwa
jumlah penduduk berhubungan
positif dan signifikan
terhadap Pengungkapan Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah
(LKPD). Hasil ini
sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Liestiani (2008) yang menunjukkan bahwa
jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap
tingkat pengungkapan. Namun
hasil penelitian ini
berbeda dengan penelitian
yang dilakukan oleh
Ingram (1984) dan
Robbins dan Austin (1986)
yang menunjukkan bahwa
jumlah penduduk berpengaruh
positif tetapi tidak signifkan terhadap Pengungkapan.
Skripsi Ekonomi: Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Di Indonesia Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi