BAB 1.
PENDAHULUAN.
1.1 Latar Belakang Masalah.
Skripsi Ekonomi: Fraud Risk Factor (Opportunity) Dan Fraudulent Financial Statement
Setiap perusahaan
publik berkewajiban melaporkan
aktivitasnya dalam pemanfaatan
sumber daya ekonomi
perusahaan ke dalam
sebuah media tertulis yang
dinamakan laporan keuangan
(financial statement). Laporan
keuangan merupakan sarana
mengkomunikasikan informasi keuangan
kepada pihak eksternal, khususnya investor dan kreditor
(Kieso, Weygandt, dan Kimmel, 2011).
Berdasarkan laporan
keuangan tersebut, para
pemakai laporan keuangan mengambil keputusan investasi, peminjaman, dan
lainnya. Karena fungsinya yang begitu
penting, sebuah laporan keuangan harus memenuhi karakteristik kualitatif.
Karakteristik kualitatif
adalah karakteristik yang
mampu membedakan antara informasi
yang lebih bermanfaat
dan kurang bermanfaat
(inferior) dalam kaitannya dengan
tujuan pengambilan keputusan (Kieso, et al., 2011).
Proses pengambilan
keputusan harus didasarkan
pada informasi keuangan yang dihasilkan dari proses akuntansi yang
benar. Dokumen dan proses yang tidak benar
akan menciptakan peluang untuk melakukan kecurangan (Wiersema, 2012).
Pihak manajemen
perusahaan bertanggung jawab
untuk melakukan proses akuntansi
yang benar. Proses
akuntansi yang benar
adalah proses yang
sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan (SAK).
Manajemen, di sisi
lain, juga memiliki
tujuan pribadi yang
seringkali berbeda dengan
tujuan perusahaan.
Mereka memiliki keinginan
untuk melaporkan hasil
keuangan yang positif sehingga
para pemegang saham
senang dan harga
saham menjadi meningkat.
Dengan alasan
tersebut, manajemen
perusahaan melakukan tindakan
tidak etis agar laporan keuangan terlihat baik (Schilit
dan Perler, 2010).
Kecurangan yang dilakukan Enron
dan Worldcom menjadi salah satu kasus kecurangan
terbesar dalam sejarah. Enron, yang merupakan salah satu perusahaan energi
terbesar saat itu, memalsukan pendapatannya
dengan melebihsajikan pendapatan sebesar 151%. Manajemen Enron
memanipulasi angka yang dijadikan sebagai dasar
kompensasi moneter. Sedangkan Worldcom memanipulasi
laba bersih dan arus kas mereka
dengan memindahkan biaya operasi dari laporan labarugi ke neraca (Schilit
dan Perler, 2010).
Manipulasi menyebabkan penggelembungan (mark up) laba bersih sebesar
$11 milyar. CEO Worldcom juga menggunakan
uang perusahaan untuk menutup kerugian bisnis pribadinya. Kasus kecurangan membuat kedua raksasa bisnis itu
tumbang.
Indonesia juga
tak lepas dari
catatan kasus kecurangan
laporan keuangan.
Salah satu BUMN terbesar, PT.
Kimia Farma, telah melakukan salah saji laporan keuangan yang mengakibatkan lebih saji laba
bersih untuk tahun yang berakhir 31 Desember
2001 sebesar Rp 32,7 milyar yang merupakan 2,3% dari penjualan dan 24,7% dari laba bersih. Salah saji tersebut
dilakukan dengan overstated penjualan dan persediaan.
Selain itu, pihak
manajemen juga melakukan
pencatatan ganda atas penjualan pada 2 unit usaha.
Pencatatan ganda itu dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh auditor eksternal
(Koroy, 2008) Kecurangan (fraud)
merupakan tindakan penipuan
yang disengaja, baik melalui penghilangan
ataupun tidak, yang
menyebabkan korbannya menderita kerugian ekonomi dan pelaku memperoleh
keuntungan (Kranacher, 2010). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia karangan W.J.S Poerwodarminto (1976), curang berarti tidak jujur, tidak lurus, tidak adil,
dan keculasan. Definisi tersebut memang tidak berlebihan,
karena fraud yang terjadi dalam
organisasi bisnis khususnya membawa dampak buruk yang begitu signifikan
bagi korbannya.
The ACFE
(Association of Certified
Fraud Examiners) membagi kecurangan
menjadi tiga kategori
utama, yaitu penyimpangan
atas aset (asset misappropriations), korupsi
(corruption), dan kecurangan
laporan keuangan (fraudulent financial statement). Dalam Report
to The Nation tahun 2008, ACFE mencatat
bahwa kecurangan laporan keuangan mengakibatkan kerugian tiga belas kali lebih besar dari penyalahgunaan aset dan
lima kali lebih besar dari kerugian yang ditimbulkan
oleh korupsi. Menariknya,
kecurangan laporan keuangan menduduki peringkat terendah dalam kasus
kecurangan.
Manipulasi laporan keuangan dapat
menyebabkan kerugian jutaan dolar dan merusak
kepercayaan investor di pasar (Skousen dan Twedt, 2009). Dalam Report to The Nation tahun 2012, ACFE memperkirakan
bahwa cost of fraud mencapai 5% dari
pendapatan tahunan bisnis.
Kecurangan menyebabkan kerugian
yang sangat signifikan.
Menurut survei
Pricewaterhouse Coopers pada tahun
2005, perusahaan yang terlibat kecurangan
akan kehilangan reputasinya,
motivasi staf menurun, dan menurunkan hubungan bisnis
(Kranacher, 2010).
Pendeteksian kecurangan
laporan keuangan masih
menjadi satu masalah yang belum ditemukan solusinya. Hal tersebut
dikarenakan kecurangan biasanya melibatkan
kolusi manajemen dan disertai dengan tindakan penyembunyian.
Selain itu, untuk menentukan apakah suatu salah saji itu dilakukan
secara sengaja atau tidak merupakan
suatu hal yang
tidak mudah dilakukan,
misalnya dalam penggunaan
kebijakan dan estimasi
akuntansi. Para akademisi,
praktisi, dan pengambil kebijakan selalu berusaha untuk
merumuskan cara terbaik mendeteksi adanya
kecurangan laporan keuangan. Regulasi baru terbukti mengurangi peluang melakukan kecurangan (Albrecht dan Albrecht,
2008).
Kasus Enron menjadi titik balik
dalam prosedur pendeteksian kecurangan.
Pada tahun 2002, AICPA
mengeluarkan Statement on Auditing Standards (SAS) 99 yang berjudul
Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit sebagai pengganti
SAS 82. Melalui
SAS 99, AICPA
memperkuat prosedur audit
untuk meyakinkan bahwa
laporan keuangan bebas
dari salah saji
material yang disebabkan
oleh kecurangan (fraud)
(Buchholz, 2012). Pada tahun
yang sama, IASB
juga mengeluarkan
International Standards on
Auditing (ISA) 240 yang berjudul
Auditors’ Responsibility to
Consider Fraud in
an Audit of
Financial Statements.
Tujuan utama
SAS 99 adalah
meningkatkan keefektifan auditor
dalam mendeteksi kecurangan
melalui penilaian faktor
risiko kecurangan perusahaan (Skousen, Smith, dan Wright, 2008). Faktor
risiko kecurangan (fraud risk factors) menjadi
konsep sentral dalam SAS 99. ISA 240 menjelaskan bahwa faktor risiko kecurangan
adalah “kejadian-kejadian atau
kondisi yang mengindikasikan insentif/tekanan untuk
mendorong kecurangan, peluang
untuk melaksanakan kecurangan,
atau sikap atau
rasionalisasi untuk membenarkan
atau menjustifikasikan tindakan-tindakan kecurangan”. Faktor risiko
kecurangan ini seringkali menjadi indikasi terjadinya
kecurangan.
Penelitian terkait fraud risk
factor dan fraudulent financial statement masih jarang
ditemui. Skousen (1998)
menguji bagaimana fraud risk
factors yang diadopsi SAS 99 mampu menjelaskan kecurangan
laporan keuangan. Faktor risiko kecurangan (peluang) diproksikan dengan
rasio piutang dan rasio persediaan terhadap
penjualan, ukuran dewan
komisaris, karakteristik komite
audit, kepemilikan blockholder,
dan pergantian Chief
Executive Officer (CEO).
Penelitian tersebut membuktikan bahwa dua
proksi dari opportunity, yaitu independensi komite
audit dan pergantian
CEO mampu digunakan
untuk membedakan antara
perusahaan fraud dan non-fraud.
Skousen dan
Wright (2006) menguji
bagaimana faktor risiko
kecurangan dapat memprediksi
terjadinya kecurangan laporan
keuangan serta membangun model prediksi kecurangan menggunakan kerangka
fraud risk factor. Faktor risiko kecurangan
(peluang), diproksikan dengan persentase foreign sales, independensi dewan, karakteristik komite audit, dan CEO
duality. Hasil penelitian tersebut juga membuktikan
bahwa opportunity (keberadaan komite audit, independensi komite audit,
dan CEO duality) berpengaruh
signifikan terhadap kecurangan
laporan keuangan.
Lou dan
Wang (2009) juga melakukan penelitian
untuk menilai kemungkinan
terjadinya kecurangan pelaporan
keuangan melalui fraud risk factors. Penelitian
tersebut juga membuktikkan
bahwa kecurangan pelaporan keuangan
berkorelasi positif dengan
faktor risiko kecurangan.
Variabel yang berkorelasi positif tersebut adalah tekanan
keuangan perusahaan, transaksi pihak istimewa, integritas
manajemen, dan hubungan
antara perusahaan dan
auditor eksternal.
Di Indonesia,
penelitian terkait fraud risk
factor dan fraudulent financial statement masih sedikit
ditemukan. Molida (2011)
menguji efektivitas fraud triangle dalam
mendeteksi financial
statement fraud. Penelitian
tersebut tidak berhasil membuktikan bahwa faktor risiko
kecurangan (peluang) yang diproksikan dengan
ukuran komite audit berpengaruh signifikan terhadap kecurangan laporan keuangan.
Kurniawati (2012) menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi kecurangan
laporan keuangan dalam
perspektif fraud triangle. Hasil
penelitian tidak menemukan
adanya pengaruh signifikan
dari faktor risiko
kecurangan (peluang) yang
diproksikan dengan rasio dewan komisaris
independen terhadap kecurangan laporan keuangan. Oleh karena masih
jarang ditemui penelitian terkait faktor risiko
kecurangan dan kecurangan
laporan keuangan dan
kurang konsistennya hasil
penelitian sebelumnya, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait fraud risk factor dan
fraudulent financial statement.
Ketiadaan pengendalian
internal yang memadai
mengindikasikan adanya risiko
yang tinggi terjadinya
kecurangan (Green, 2004).
Dorminey (2010) mengatakan
bahwa semua yang
dibutuhkan oleh pelaku
kecurangan adalah peluang,
pelaku tidak membutuhkan
adanya tekanan yang
mendorong untuk melakukan kecurangan. Bahkan dengan tekanan
yang cukup besar, mereka yang percaya akan
dihukum ketika melakukan
kecurangan, jarang sekali
melakukan kecurangan (Albrecht
dan Albrecht, 2008). Selain itu, hasil penelitian sebelumnya masih menemukan hasil yang berbeda terkait
pengaruh faktor risiko kecurangan (peluang) terhadap
terjadinya kecurangan laporan
keuangan. Oleh karena
itu, penelitian ini
hanya menguji pengaruh
faktor risiko kecurangan
(peluang) terhadap kecurangan
laporan keuangan.
Penelitian ini
bertujuan untuk menguji
bagaimana pengaruh faktor
risiko kecurangan (peluang)
terhadap terjadinya kecurangan laporan keuangan.
Dalam SAS 99, terdapat tiga
kategori dari faktor risiko kecurangan (peluang), yaitu sifat industri, pengawasan yang lemah (ineffective
monitoring), dan struktur organisasi.
Sifat industri
diproksikan dengan rasio
perubahan piutang dan
rasio persediaan terhadap
penjualan. Pengawasan yang
lemah diproksikan dengan ukuran
dewan komisaris, independensi
dewan komisaris, komposisi komite audit, independensi komite
audit, pelaporan keuangan
interim, dan transaksi
pihak berelasi.
Sedangkan struktur
organisasi, tidak digunakan
dalam penelitian ini, karena penulis tidak menemukan proksi yang tepat
untuk struktur organisasi di Indonesia.
Opini auditor independen dipilih
sebagai proksi variabel dependen, karena dalam 55%
kasus kecurangan, perusahaan
terlibat mendapatkan opini
unqualified (Albrecht dan Albrecht,
2008). Berdasarkan latar
belakang di atas,
maka judul skripsi
ini adalah “Fraud Risk
Factor (Opportunity) dan
Fraudulent Financial Statement: Studi Empiris pada Perusahaan
Nonkeuangan di Indonesia”.
Skripsi Ekonomi: Fraud Risk Factor (Opportunity) Dan Fraudulent Financial Statement
Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi