Kamis, 27 November 2014

Skripsi Ekonomi: Fraud Risk Factor (Opportunity) Dan Fraudulent Financial Statement

BAB 1.
PENDAHULUAN.
1.1  Latar Belakang Masalah.
 Skripsi Ekonomi: Fraud Risk Factor (Opportunity) Dan Fraudulent Financial Statement
Setiap  perusahaan  publik  berkewajiban  melaporkan  aktivitasnya  dalam  pemanfaatan  sumber  daya  ekonomi  perusahaan  ke  dalam  sebuah  media  tertulis  yang  dinamakan  laporan  keuangan  (financial  statement).  Laporan  keuangan  merupakan  sarana  mengkomunikasikan  informasi  keuangan  kepada  pihak  eksternal, khususnya investor dan kreditor (Kieso, Weygandt, dan Kimmel, 2011).

Berdasarkan  laporan  keuangan  tersebut,  para  pemakai  laporan  keuangan  mengambil keputusan investasi, peminjaman, dan lainnya. Karena fungsinya yang  begitu penting, sebuah laporan keuangan harus memenuhi karakteristik kualitatif.
Karakteristik  kualitatif  adalah  karakteristik  yang  mampu  membedakan  antara  informasi  yang  lebih  bermanfaat  dan  kurang  bermanfaat  (inferior)  dalam kaitannya dengan tujuan pengambilan keputusan (Kieso, et al., 2011).
Proses  pengambilan  keputusan  harus  didasarkan  pada  informasi  keuangan  yang dihasilkan dari proses akuntansi yang benar. Dokumen dan proses yang tidak  benar akan menciptakan peluang untuk melakukan kecurangan (Wiersema, 2012).
Pihak  manajemen  perusahaan  bertanggung  jawab  untuk  melakukan  proses  akuntansi  yang  benar.  Proses  akuntansi  yang  benar  adalah  proses  yang  sesuai  dengan  Standar  Akuntansi  Keuangan  (SAK).  Manajemen,  di  sisi  lain,  juga  memiliki  tujuan  pribadi  yang  seringkali  berbeda  dengan  tujuan  perusahaan.
Mereka memiliki  keinginan  untuk  melaporkan  hasil  keuangan  yang  positif    sehingga  para  pemegang  saham  senang  dan  harga  saham  menjadi  meningkat.
Dengan  alasan  tersebut,  manajemen perusahaan  melakukan  tindakan  tidak  etis  agar laporan keuangan terlihat baik (Schilit dan Perler, 2010).
Kecurangan yang dilakukan Enron dan Worldcom menjadi salah satu kasus  kecurangan terbesar dalam sejarah. Enron, yang merupakan salah satu perusahaan  energi  terbesar  saat  itu, memalsukan  pendapatannya  dengan melebihsajikan pendapatan sebesar 151%. Manajemen Enron memanipulasi angka yang dijadikan  sebagai  dasar  kompensasi  moneter.  Sedangkan Worldcom  memanipulasi  laba  bersih dan arus kas mereka dengan memindahkan biaya operasi dari laporan labarugi  ke  neraca  (Schilit  dan  Perler,  2010).  Manipulasi  menyebabkan  penggelembungan (mark up) laba bersih sebesar $11 milyar. CEO Worldcom juga  menggunakan uang perusahaan untuk menutup kerugian bisnis pribadinya. Kasus  kecurangan membuat kedua raksasa bisnis itu tumbang.
Indonesia  juga  tak  lepas  dari  catatan  kasus  kecurangan  laporan  keuangan.
Salah satu BUMN terbesar, PT. Kimia Farma, telah melakukan salah saji laporan  keuangan yang mengakibatkan lebih saji laba bersih untuk tahun yang berakhir 31  Desember 2001 sebesar Rp 32,7 milyar yang merupakan 2,3% dari penjualan dan  24,7% dari laba bersih. Salah saji tersebut dilakukan dengan overstated penjualan  dan  persediaan.  Selain  itu,  pihak  manajemen  juga  melakukan  pencatatan  ganda  atas penjualan pada 2 unit usaha. Pencatatan  ganda itu dilakukan pada  unit-unit  yang tidak disampling oleh auditor eksternal (Koroy, 2008)  Kecurangan  (fraud)  merupakan  tindakan  penipuan  yang  disengaja,  baik  melalui  penghilangan  ataupun  tidak,  yang  menyebabkan  korbannya  menderita    kerugian ekonomi dan pelaku memperoleh keuntungan (Kranacher, 2010). Dalam  Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan W.J.S Poerwodarminto (1976), curang  berarti tidak jujur, tidak lurus, tidak adil, dan keculasan. Definisi tersebut memang  tidak  berlebihan,  karena fraud yang  terjadi  dalam  organisasi  bisnis  khususnya  membawa dampak buruk yang begitu signifikan bagi korbannya.
The  ACFE  (Association  of  Certified  Fraud  Examiners)  membagi  kecurangan  menjadi  tiga  kategori  utama,  yaitu  penyimpangan  atas  aset  (asset  misappropriations),  korupsi  (corruption),  dan  kecurangan  laporan  keuangan  (fraudulent financial statement). Dalam Report to The Nation tahun 2008, ACFE  mencatat bahwa kecurangan laporan keuangan mengakibatkan kerugian tiga belas  kali lebih besar dari penyalahgunaan aset dan lima kali lebih besar dari kerugian  yang  ditimbulkan  oleh  korupsi.  Menariknya,  kecurangan  laporan  keuangan  menduduki peringkat terendah dalam kasus kecurangan.
Manipulasi laporan keuangan dapat menyebabkan kerugian jutaan dolar dan  merusak kepercayaan investor di pasar (Skousen dan Twedt, 2009). Dalam Report  to The Nation tahun 2012, ACFE memperkirakan bahwa cost of fraud mencapai  5%  dari  pendapatan  tahunan  bisnis.  Kecurangan  menyebabkan  kerugian  yang  sangat  signifikan.  Menurut  survei Pricewaterhouse  Coopers pada  tahun  2005,  perusahaan  yang  terlibat  kecurangan  akan  kehilangan  reputasinya,  motivasi  staf  menurun, dan menurunkan hubungan bisnis (Kranacher, 2010).
Pendeteksian  kecurangan  laporan  keuangan  masih  menjadi satu  masalah  yang belum ditemukan solusinya. Hal tersebut dikarenakan kecurangan biasanya  melibatkan kolusi manajemen dan disertai dengan tindakan penyembunyian.
  Selain itu, untuk menentukan apakah suatu salah saji itu dilakukan secara sengaja atau  tidak  merupakan  suatu  hal  yang  tidak  mudah  dilakukan,  misalnya  dalam  penggunaan  kebijakan  dan  estimasi  akuntansi.  Para  akademisi,  praktisi,  dan  pengambil kebijakan selalu berusaha untuk merumuskan cara terbaik mendeteksi  adanya kecurangan laporan keuangan. Regulasi baru terbukti mengurangi peluang  melakukan kecurangan (Albrecht dan Albrecht, 2008).
Kasus Enron menjadi titik balik dalam prosedur  pendeteksian kecurangan.
Pada tahun 2002, AICPA mengeluarkan Statement on Auditing Standards (SAS) 99 yang berjudul Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit sebagai  pengganti  SAS  82.  Melalui  SAS  99,  AICPA  memperkuat  prosedur  audit  untuk  meyakinkan  bahwa  laporan  keuangan  bebas  dari  salah  saji  material  yang  disebabkan  oleh kecurangan  (fraud) (Buchholz,  2012). Pada  tahun  yang  sama,  IASB  juga  mengeluarkan International  Standards  on  Auditing (ISA)  240  yang  berjudul Auditors’  Responsibility  to  Consider  Fraud  in  an  Audit  of  Financial  Statements.
Tujuan  utama  SAS  99  adalah  meningkatkan  keefektifan  auditor  dalam  mendeteksi  kecurangan  melalui  penilaian  faktor  risiko  kecurangan  perusahaan  (Skousen, Smith, dan Wright, 2008). Faktor risiko kecurangan (fraud risk factors)  menjadi konsep sentral dalam SAS 99. ISA 240 menjelaskan bahwa faktor risiko  kecurangan  adalah  “kejadian-kejadian  atau  kondisi  yang  mengindikasikan  insentif/tekanan  untuk  mendorong  kecurangan,  peluang  untuk  melaksanakan  kecurangan,  atau  sikap  atau  rasionalisasi  untuk  membenarkan  atau    menjustifikasikan  tindakan-tindakan  kecurangan”. Faktor  risiko  kecurangan  ini  seringkali menjadi indikasi terjadinya kecurangan.
Penelitian terkait fraud risk factor dan fraudulent financial statement masih  jarang  ditemui.  Skousen  (1998)  menguji  bagaimana fraud  risk  factors  yang  diadopsi SAS 99 mampu menjelaskan kecurangan laporan keuangan. Faktor risiko  kecurangan  (peluang) diproksikan  dengan  rasio  piutang  dan rasio persediaan  terhadap  penjualan,  ukuran  dewan  komisaris,  karakteristik  komite  audit,  kepemilikan  blockholder,  dan  pergantian  Chief  Executive  Officer (CEO).
Penelitian  tersebut membuktikan  bahwa dua  proksi  dari opportunity,  yaitu  independensi  komite  audit  dan  pergantian  CEO  mampu  digunakan  untuk  membedakan antara perusahaan fraud dan non-fraud.
Skousen  dan  Wright  (2006)  menguji  bagaimana  faktor  risiko  kecurangan  dapat  memprediksi  terjadinya  kecurangan  laporan  keuangan  serta  membangun  model prediksi kecurangan menggunakan kerangka fraud risk factor. Faktor risiko  kecurangan (peluang), diproksikan dengan persentase foreign sales, independensi  dewan, karakteristik komite audit, dan CEO duality. Hasil penelitian tersebut juga  membuktikan bahwa opportunity (keberadaan komite audit, independensi komite  audit,  dan  CEO duality)  berpengaruh  signifikan  terhadap  kecurangan  laporan  keuangan.
Lou  dan  Wang  (2009)  juga  melakukan  penelitian  untuk  menilai  kemungkinan  terjadinya  kecurangan  pelaporan  keuangan  melalui fraud  risk  factors.  Penelitian  tersebut  juga  membuktikkan  bahwa  kecurangan  pelaporan  keuangan  berkorelasi  positif  dengan  faktor  risiko  kecurangan.  Variabel  yang    berkorelasi positif tersebut adalah tekanan keuangan perusahaan, transaksi pihak  istimewa,  integritas  manajemen,  dan  hubungan  antara  perusahaan  dan  auditor  eksternal.
Di  Indonesia,  penelitian  terkait fraud  risk  factor dan fraudulent  financial  statement masih  sedikit  ditemukan.  Molida  (2011)  menguji  efektivitas fraud  triangle dalam  mendeteksi financial  statement  fraud.  Penelitian  tersebut  tidak  berhasil membuktikan bahwa faktor risiko kecurangan (peluang) yang diproksikan  dengan ukuran komite audit berpengaruh signifikan terhadap kecurangan laporan  keuangan.  Kurniawati  (2012)  menganalisis  faktor-faktor  yang  mempengaruhi  kecurangan  laporan  keuangan  dalam  perspektif fraud  triangle.  Hasil  penelitian  tidak  menemukan  adanya  pengaruh  signifikan  dari  faktor  risiko  kecurangan  (peluang)  yang  diproksikan  dengan  rasio  dewan  komisaris  independen  terhadap  kecurangan laporan keuangan. Oleh karena masih jarang ditemui penelitian terkait  faktor  risiko  kecurangan  dan  kecurangan  laporan  keuangan  dan  kurang  konsistennya hasil penelitian sebelumnya, maka penulis tertarik untuk melakukan  penelitian terkait fraud risk factor dan fraudulent financial statement.
Ketiadaan  pengendalian  internal  yang  memadai  mengindikasikan  adanya  risiko  yang  tinggi  terjadinya  kecurangan  (Green,  2004).  Dorminey  (2010)  mengatakan  bahwa  semua  yang  dibutuhkan  oleh  pelaku  kecurangan  adalah  peluang,  pelaku  tidak  membutuhkan  adanya  tekanan  yang  mendorong  untuk  melakukan kecurangan. Bahkan dengan tekanan yang cukup besar, mereka yang  percaya  akan  dihukum  ketika  melakukan  kecurangan,  jarang  sekali  melakukan  kecurangan (Albrecht dan Albrecht, 2008). Selain itu, hasil penelitian sebelumnya    masih menemukan hasil yang berbeda terkait pengaruh faktor risiko kecurangan  (peluang)  terhadap  terjadinya  kecurangan  laporan  keuangan.  Oleh  karena  itu,  penelitian  ini  hanya  menguji  pengaruh  faktor  risiko  kecurangan  (peluang)  terhadap kecurangan laporan keuangan.
Penelitian  ini  bertujuan  untuk  menguji  bagaimana  pengaruh  faktor  risiko  kecurangan  (peluang)  terhadap  terjadinya  kecurangan laporan  keuangan.  Dalam  SAS 99, terdapat tiga kategori dari faktor risiko kecurangan (peluang), yaitu sifat  industri, pengawasan yang lemah (ineffective monitoring), dan struktur organisasi.
Sifat  industri  diproksikan  dengan  rasio  perubahan  piutang  dan  rasio  persediaan  terhadap  penjualan.  Pengawasan  yang  lemah  diproksikan  dengan ukuran  dewan  komisaris, independensi dewan komisaris, komposisi komite audit, independensi  komite  audit,  pelaporan  keuangan  interim,  dan  transaksi  pihak  berelasi.
Sedangkan  struktur  organisasi,  tidak  digunakan  dalam  penelitian  ini, karena  penulis tidak menemukan proksi yang tepat untuk struktur organisasi di Indonesia.
Opini auditor independen dipilih sebagai proksi variabel dependen, karena dalam  55%  kasus  kecurangan,  perusahaan  terlibat  mendapatkan  opini  unqualified (Albrecht  dan  Albrecht,  2008).  Berdasarkan  latar  belakang  di  atas,  maka  judul  skripsi  ini  adalah “Fraud  Risk  Factor  (Opportunity)  dan  Fraudulent  Financial  Statement: Studi Empiris pada Perusahaan Nonkeuangan di Indonesia”.

 Skripsi Ekonomi: Fraud Risk Factor (Opportunity) Dan Fraudulent Financial Statement

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi