BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Skripsi Ekonomi: Penerapan Model Altman Z-Score Dalam Memprediksi Kebangkrutan Pada Perusahaan Go Public Di Indonesia Periode 2008 – 2013
Investasi pada pasar saham
merupakan salah satu sarana bagi pemilik modal
untuk mendapatkan keuntungan.
Investasi diartikan sebagai penanaman
modal untuk satu
atau lebih aktiva
yang dimiliki dan
biasanya berjangka waktu
lama dengan harapan
mendapatkan keuntungan di
masamasa yang akan
datang (Sunariyah, 2006:
4). Di Indonesia, investasi dalam bentuk saham dilakukan melalui Bursa Efek
Indonesia (BEI) yang bertindak sebagai
penghubung antara para investor dengan perusahaan ataupun intitusi pemerintah
melalui perdagangan instrumen
keuangan jangka panjang.
Bagi perusahaan peminjam
dana (emiten), adanya
bursa efek dapat
membantu menghimpun dana dalam
jumlah besar sehingga dapat meningkatkan kinerja dan
mengembangkan bisnis perusahaan.
Bagi investor, penanaman
modal melalui pasar saham dapat
memberikan keuntungan (return) berupa deviden dan capital gain (keuntungan dari selisih
harga beli dan harga jual).
Bursa efek
di Indonesia tidak
hanya ditransaksikan oleh
investor domestik saja melainkan
lebih didominasi oleh
investor asing. Adanya dominasi
investor asing dalam
transaksi efek di
Indonesia memberikan pengaruh yang sangat besar bagi stabilitas
pergerakan harga saham di bursa.
Adanya investor
asing dapat memberikan
nilai postif dan negatif. Nilai positifnya adalah
modal yang dimiliki
para investor asing
sangat besar sehingga sangat memudahkan perusahaan dalam
memperoleh dana, selain itu transparansi
dan profesionalitas perusahaan juga semakin dituntut agar tidak timbul
asimetri informasi. Disamping
nilai positif yang
dapat diperoleh, adanya
investor asing juga
memiliki nilai negatif
salah satunya adalah rentannya kondisi bursa terhadap kondisi
global.
Terjadinya krisis keuangan global
berpengaruh terhadap melemahnya nilai tukar
rupiah terhadap US
Dollar dan menyebabkan
situasi bursa tidak stabil. Dominasi
kepemilikan efek oleh
investor asing menyebabkan
situasi global berpengaruh
langsung terhadap pergerakan
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
di Bursa Efek
Indonesia. Situasi di
negara asal mempengaruhi
keputusan para investor
asing tersebut untuk
melakukan investasi (Outlook
Ekonomi Indonesia 2009-2014,
Bank Indonesia 2009).
Pada saat
krisis keuangan global,
para pemegang efek
di bursa Amerika secara
besar-besaran menjual efek
yang dimiliki untuk
mendapatkan uang tunai
secepatnya karena kepanikan
bahwa harga saham
akan segera jatuh.
Tidak hanya terjadi pada bursa
saham Amerika, kepanikan pasar juga dialami oleh bursa saham seluruh dunia. Pada periode
Januari hingga Agustus 2008, bursa saham
di seluruh dunia mengalami penurunan secara bersamaan. Bursa China
turun paling tajam,
sedangkan penurunan IHSG
berada di posisi keenam (Detik Finance, 2008).
Di Indonesia,
kepanikan yang terjadi
di bursa menyebabkan
indeks bursa saham Indonesia
harus ditutup sementara waktu. Bursa Efek Indonesia mengalami penurunan indeks yang sangat besar
yakni mencapai 10,38 % dari hari
sebelumnya. Melalui perintah langsung dari Presiden, maka pada tanggal 8
Oktober 2008 indeks
bursa saham Indonesia
tutup sementara untuk mencegah
kejatuhan pasar lebih lanjut dan untuk menenangkan pelaku pasar (Kompas, 2008).
Gambar 1.1 Pergerakan Indeks
Harga Saham Gabungan Tahun 2007 20 (Sumber: Bank Indonesia, 2013) 2.7 1.3 2.5 3.7
3.8 4.3 4.2 10 20 30 40 50 2007 2008
2009 2010 2011 2012 20 Pergerakan IHSG Berdasarkan
gambar 1.1 dapat diketahui
bahwa pada tahun
2008, IHSG terkena
dampak negatif yang
signifikan dari krisis
keuangan global.
Pada saat
itu, IHSG melemah
hampir 50% karena
terjadi aksi jual
besarbesaran dari investor asing. Namun pada tahun 2009 dan 2010, IHSG
mulai mengalami pemulihan kembali dan
penguatan yang cukup signifikan dengan berhasil mendekati
Rp 4.000. Penguatan
yang signifikan pada
tahun 2010 tidak berlanjut pada tahun-tahun setelahnya
karena hingga akhir tahun 2013, pergerakan IHSG
hanya mampu menguat
dalam poin kecil.
Hal ini dikarenakan perekonomian global yang masih
belum stabil dan investor asing yang
masih enggan untuk berinvestasi besar melalui pasar saham.
Peristiwa tutup
sementara bursa pada
tahun 2008 menjadi
peristiwa yang cukup
fenomenal. Akibat dari
kekacauan yang terjadi
di lantai bursa, akhirnya banyak investor
yang mengalami kerugian karena
kepanikan pasar menyebabkan
para investor tersebut
melakukan cut loss dengan menjual saham
seketika itu tanpa
mempedulikan jumlah keuntungan
atau kerugiannya. Aksi seperti
ini mengakibatkan return para investor tidak sesuai harapan. Kerugian karena cut loss merupakan
salah satu bentuk resiko yang harus
ditanggung oleh para
investor dalam melakukan
investasi saham.
Resiko lainnya
yang dapat menjadi
beban investor antara
lain capital loss (harga
jual lebih rendah
daripada harga beli),
tidak adanya deviden
yang diberikan perusahaan,
dan kehilangan dana
investasi karena emiten mengalami
kebangkrutan dan harus
dikeluarkan dari bursa.
Kenyataannya isu-isu krisis
global tidak akan
menjadi masalah ketika
para pelaku pasar benar-benar paham
dalam bertransaksi saham
dan bukan hanya
sekedar berspekulasi, serta
perusahaan go public
memiliki fundamental yang
benarbenar baik. Hal ini
dinyatakan pula oleh Marzuki Usman (1990:
22) bahwa isu-isu
yang beredar saat ini dapat
mempengaruhi harga suatu saham,
tetapi kondisi keuangan
dan kinerja perusahaan masih mempunyai pengaruh yang dominan
terhadap pembentukan harga saham tersebut.
Kondisi keuangan
perusahaan dapat diketahui
dengan melakukan analisis laporan keuangan. Laporan keuangan
pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi
yang dapat digunakan
sebagai alat komunikasi
antara data keuangan
atau aktivitas suatu
perusahaan dengan pihak pihak
yang berkepentingan dengan
data atau aktivitas
perusahaan tersebut. Laporan ini disajikan untuk
menunjukkan posisi keuangan
perusahaan baik tentang likuiditas, solvabilitas, profitabitas, dan
stabilitas usaha. Menurut Adnan dan Kurniasih (2000),
dengan melakukan analisis
laporan keuangan, maka
para pimpinan perusahaan dapat
mengetahui perkembangan keuangan perusahaan dan
hasil-hasil yang telah
dicapai. Selain itu,
dengan melakukan analisis keuangan
di waktu lampau,
dapat diketahui kelemahan-kelemahan perusahaan
serta hasil-hasilnya yang
dianggap cukup baik,
dan mengetahui potensi kebangkrutan perusahaan tersebut
(Wijayanti, 2009: 27).
Analisis tingkat
kesehatan perusahaan dianggap
penting karena dengan
adanya hasil analisis
tingkat kesehatan ini,
perusahaan dapat meningkatkan kinerjanya sehingga dapat
terhindar dari potensi kebangkrutan.
Dengan analisis
tingkat kesehatan perusahaan,
maka akan dapat
diketahui kemampuan perusahaan
untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendeknya, hasil usaha atau pendapatan yang
telah dicapai, beban-beban tetap yang harus
dibayar, serta memprediksi
kebangkrutan yang akan
dialami.
Hasil dari analisis prediksi
kebangkrutan sangat bermanfaat bagi pihak-pihak pemakai informasi laporan keuangan,
diantaranya kreditur dan investor. Bagi kreditur, pernyataan
bangkrut akan mengakibatkan
kerugian sebagai akibat hilangnya
tagihan (pokok pinjaman
piutang beserta bunganya)
sehingga adanya prediksi
ini dapat meminimalisasi terjadinya
kerugian atas pengurangan
nominal pinjaman. Bagi
investor, prediksi kebangkrutan dapat meminimalisasi
terjadinya kerugian akibat
kehilangan ekuitas. Hal
itu dimungkinkan apabila
perusahaan mengalami kesulitan
keuangan yang mengakibatkan
saham perusahaan tersebut
harus dihapuskan pencatatannya dari bursa (delisting).
Delisting diartikan sebagai
penghapusan efek dari
daftar efek yang tercatat di
bursa efek. Penghapusan pencatatan
efek dapat terjadi
karena permohonan penghapusan
dari daftar saham
oleh perusahaan yang bersangkutan (voluntary
delisting) atau penghapusan
dari daftar saham
oleh bursa saham
terkait dengan regulasi
bursa saham (force
delisting). Setelah krisis global,
beberapa saham di
bursa akhirnya harus
di suspend (penghentian sementara
perdagangan efek) karena
ketidakjelasan keberlanjutan
usahanya. Sebagian besar dari saham tersebut akhirnya harus di delisting (penghentian pencatatan sebagai
saham terbuka) paksa karena tidak menunjukkan
pemulihan kinerja pasca di berhentikan
sementara. Terjadinya penghapusan
paksa (force delisting) dapat
disebabkan karena emiten
yang bersangkutan bermasalah,
baik karena jumlah saham yang beredar dan jumlah pemegang saham tidak sesuai dengan jumlah yang
ditetapkan peraturan, tidak adanya keterbukaan
informasi, maupun karena
kinerja operasional yang buruk
sehingga saham yang beredar kurang diminati oleh investor.
Force delisting
di dominasi karena
saham yang beredar
kurang diminati oleh investor
yang berakibat saham
yang tercatat di
bursa menjadi saham tidak aktif. Kurangnya minat investor
dalam jangka waktu yang lama disebabkan karena
buruknya fundamental perusahaan
sehingga saham memiliki frekuensi perdagangan yang sangat
rendah atau bahkan hampir tidak diperdagangkan
sama sekali. Dalam hal ini, analisis dan prediksi atas kondisi keuangan
suatu perusahaan sangat
penting. Analisis dari laporan
keuangan inilah yang
dapat menjadi dasar
keputusan investasi bagi
investor sehingga investor dapat meminimalisasi kerugian dan
memaksimalkan keuntungan.
Ada berbagai
model atau teknik
yang dapat digunakan
dalam melakukan prediksi
kebangkrutan perusahaan, salah
satunya dengan menggunakan
rasio keuangan. Rasio keuangan
merupakan perhitungan dan perbandingan
antara suatu jumlah
tertentu dengan jumlah
yang lain, dengan menggunakan
analisis ini dapat
menjelaskan atau memberi
gambaran mengenai baik
buruknya kondisi atau
posisi keuangan suatu
perusahaan (Munawir, 2010: 64).
Penelitian mengenai
manfaat rasio keuangan
untuk memprediksi kebangkrutan telah banyak dilakukan, salah
satunya melalui model Altman Zscore. Altman
(1968) dengan tujuan
untuk memprediksi financial distress (khususnya
dalam bankruptcy) menggunakan
discriminant analysis yang dikenal
dengan istilah Z-Score. Z-Score
adalah skor yang
ditentukan dari tingkat
kemungkinan kebangkrutan perusahaan.
Formula Altman Z-score tersebut didesain untuk digunakan pada
perusahaan manufaktur yang telah go public saja,
sehingga untuk memperbaiki
kekurangan tersebut Altman mengembangkan
dua varian model
Z- - -score.
-score dikembangkan untuk
perusahaan nonpublic (perusahaan yang tidak go
public -score dapat diterapkan
pada perusahaan non manufaktur
baik perusahaan go public maupun nonpublic (White, Sondhi & Fried, 2003: 651).
Model Altman Z-score dianggap
sebagai prediktor kebangkrutan yang lengkap
karena dibentuk dari rasio-rasio keuangan yang menunjukkan potensi kebangkrutan
sehingga model ini
memiliki tingkat keakuratan
yang cukup tinggi
(80% - 90%) dan dapat
digunakan untuk berbagai
jenis perusahaan.
Dalam manajemen
keuangan, rasio-rasio yang
digunakan dalam model Altman ini
dapat dikelompokkan dalam tiga
kelompok besar, yaitu
rasio likuiditas, rasio
profitabilitas, dan rasio
aktivitas (Riyanto, 2001).
Hal ini sejalan
dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hadi
dan Anggraeni (2008) yang
menyimpulkan bahwa model
prediksi Altman merupakan
prediktor delisting terbaik
dibandingkan dengan model
Zmijewski dan model Springate. Penelitian
tersebut menggunakan sampel
42 perusahaan yang terdaftar
di BEI tahun 2003 2007 dengan rincian
21 perusahaan delisted dan 21 perusahaan
aktif. Penelitian sejenis
juga dilakukan oleh
Karamzadeh (2013) dengan
menggunakan sampel 90 perusahaan yang terdaftar pada Bursa Efek Iran (Iran Stock Exchange) pada tahun
2007 2010. Penelitian tersebut menggunakan
model Altman dan
model Ohlson sebagai
model prediksi kebangkrutan.
Hasil penelitian Karamzadeh
menyimpulkan bahwa model Altman merupakan
model prediksi kebangkrutan
yang lebih baik dibandingkan
model Ohlson.
Penelitian model
Altman Z-score yang
pada awalnya diterapkan
di Amerika kini telah banyak
dilakukan di Indonesia. Dalam penelitian financial distress menggunakan model
Altman Z-score, para
peneliti mengambil sampel perusahaan-perusahaan go public dan
kemudian mengelompokkannya dalam tiga
kategori yakni kategori
perusahaan sehat, gray area (berpotensi mengalami
kebangkrutan), dan kategori
bangkrut sesuai dengan
hasil perhitungan model
Altman Z-score. Namun
penelitian sejenis hanya mengelompokkan perusahaan
kedalam ketiga kategori
itu saja tanpa
ada pembuktian kebangkrutan
pada perusahaan yang
diteliti setelah perusahaan tersebut masuk dalam kategori bangkrut. Selain
itu beberapa penelitian yang menggunakan
model Altman Z-score tidak menerapkan model tersebut sesuai dengan
sektor perusahaan yang
diteliti. Beberapa penelitian
tersebut seperti penelitian
Brimantyo, Topowajono, dan
Husaini (2012) yang
menggunakan sampel perusahaan telekomunikasi (sektor jasa) namun
menerapkan formula Z-score yaitu formula
prediksi untuk perusahaan sektor manufaktur. Sarjono (2007) juga melakukan penyimpangan serupa
dengan menerapkan formula Zscore
pada perusahaan sektor
properti. Penyimpangan penerapan
model Altman Z-score terdapat
pula pada penelitian Iflaha (2008) yang menerapkan formula
Z-score pada perusahaan
subsektor restoran, hotel,
dan pariwisata (sektor non manufaktur). Hal ini tentu tidak
sesuai dengan penelitian Edward Altman yang
telah mengelompokkan penggunaan
formulanya pada perusahaan go
public menjadi dua
yakni formula Z-score
untuk sektor -score untuk sektor non manufaktur.
Berbeda dengan
penelitian financial
distress yang lainnya,
dalam penelitian Ardhum, Taufik dan Anisma (2012),
peneliti menggunakan tahun pertama
setelah periode penelitian
sebagai pembanding hasil
analisis.
Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa perusahaan
yang dikategorikan bangkrut tidak terbukti mengalami kebangkrutan
pada tahun pertama sesudah penelitian dilakukan.
Adanya perbedaan hasil
keakuratan model Altman
Zscore dengan fakta kebangkrutan perusahaan yang diteliti mendorong
penulis untuk melakukan
penelitian menggunakan model
Altman Z-score dengan menerapkan
model tersebut sesuai
dengan sektor bisnis
perusahaan.
Pembuktian keakuratan
model Altman Z-score
akan dilakukan pada perusahaan yang mengalami force delisting
karena dinyatakan pailit dan/atau tidak
memiliki kejelasan going concern oleh bursa dan pada perusahaan yang masih aktif di Bursa Efek Indonesia dengan
judul: -Score dalam Memprediksi
Kebangkrutan pada Perusahaan Go
Public di Indonesia Periode 2008.
B. Perumusan Masalah.
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas
maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah:.
1. Apakah kondisi kebangkrutan perusahaan
kategori force delisting dapat diprediksi menggunakan model Altman Z-Score
pada periode lima tahun sebelum
perusahaan delisting?.
2. Apakah
formula Z-score dan
form -score dapat memprediksi kebangkrutan secara akurat?.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
1. Tujuan Penelitian.
Dari rumusan masalah di
atas, maka tujuan penelitian ini yaitu untuk
mengetahui penerapan model
Altman Z-Score dan
keakuratan model tersebut
dalam memprediksi kebangkrutan
pada perusahaan go public di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian.
Adapun manfaat penelitian yang
penulis harapkan adalah:.
a. Dapat
membantu pihak investor maupun calon
investor dalam melakukan
analisis tingkat kebangkrutan
perusahaan sehingga meminimalisasi kerugian.
b. Dapat menjadi referensi bacaan sehingga
memberikan wawasan dan pengetahuan bagi
pembaca.
c. Dapat
menjadi referensi bagi
peneliti selanjutnya dalam mengembangkan
topik bahasan yang sama.
Skripsi Ekonomi: Penerapan Model Altman Z-Score Dalam Memprediksi Kebangkrutan Pada Perusahaan Go Public Di Indonesia Periode 2008 – 2013
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi