Selasa, 04 November 2014

Skripsi Ekonomi: Penerapan Model Altman Z-Score Dalam Memprediksi Kebangkrutan Pada Perusahaan Go Public Di Indonesia Periode 2008 – 2013

 BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang.
Skripsi Ekonomi:  Penerapan Model Altman Z-Score Dalam Memprediksi Kebangkrutan Pada Perusahaan Go Public Di Indonesia Periode 2008 – 2013
Investasi pada pasar saham merupakan salah satu sarana bagi pemilik  modal  untuk  mendapatkan  keuntungan.  Investasi  diartikan  sebagai  penanaman  modal  untuk  satu  atau  lebih  aktiva  yang  dimiliki  dan  biasanya  berjangka  waktu  lama  dengan  harapan  mendapatkan  keuntungan  di  masamasa  yang  akan  datang  (Sunariyah,  2006:  4). Di  Indonesia,  investasi dalam  bentuk saham dilakukan melalui Bursa Efek Indonesia (BEI) yang bertindak  sebagai penghubung antara para investor dengan perusahaan ataupun intitusi  pemerintah  melalui  perdagangan  instrumen  keuangan  jangka  panjang.  Bagi  perusahaan  peminjam  dana  (emiten),  adanya  bursa  efek  dapat  membantu  menghimpun dana dalam jumlah besar sehingga dapat meningkatkan kinerja  dan  mengembangkan  bisnis  perusahaan.  Bagi  investor,  penanaman  modal  melalui pasar saham dapat memberikan keuntungan (return) berupa deviden  dan capital gain (keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual).

Bursa  efek  di  Indonesia  tidak  hanya  ditransaksikan  oleh  investor  domestik saja  melainkan  lebih  didominasi  oleh  investor  asing.  Adanya  dominasi  investor  asing  dalam  transaksi  efek  di  Indonesia  memberikan  pengaruh yang sangat besar bagi stabilitas pergerakan harga saham di bursa.
Adanya  investor  asing  dapat  memberikan  nilai  postif  dan  negatif.  Nilai  positifnya  adalah  modal  yang  dimiliki  para  investor  asing  sangat  besar  sehingga sangat memudahkan perusahaan dalam memperoleh dana, selain itu  transparansi dan profesionalitas perusahaan juga semakin dituntut agar tidak  timbul  asimetri  informasi.  Disamping  nilai  positif  yang  dapat  diperoleh,  adanya  investor  asing  juga  memiliki  nilai  negatif  salah  satunya  adalah  rentannya kondisi bursa terhadap kondisi global.
Terjadinya krisis keuangan global berpengaruh terhadap melemahnya  nilai  tukar  rupiah  terhadap  US  Dollar  dan  menyebabkan  situasi  bursa  tidak  stabil.  Dominasi  kepemilikan  efek  oleh  investor  asing  menyebabkan  situasi    global  berpengaruh  langsung  terhadap  pergerakan  Indeks  Harga  Saham  Gabungan  (IHSG)  di  Bursa  Efek  Indonesia.  Situasi  di  negara  asal  mempengaruhi  keputusan  para  investor  asing  tersebut  untuk  melakukan  investasi  (Outlook  Ekonomi  Indonesia  2009-2014,  Bank  Indonesia  2009).
Pada  saat  krisis  keuangan  global,  para  pemegang  efek  di  bursa  Amerika  secara  besar-besaran  menjual  efek  yang  dimiliki  untuk  mendapatkan  uang  tunai  secepatnya  karena  kepanikan  bahwa  harga  saham  akan  segera  jatuh.
Tidak hanya terjadi pada bursa saham Amerika, kepanikan pasar juga dialami  oleh bursa saham seluruh dunia. Pada periode Januari hingga Agustus 2008,  bursa saham di seluruh dunia mengalami penurunan secara bersamaan. Bursa  China  turun  paling  tajam,  sedangkan  penurunan  IHSG  berada  di  posisi  keenam (Detik Finance, 2008).
Di  Indonesia,  kepanikan  yang  terjadi  di  bursa  menyebabkan  indeks  bursa saham Indonesia harus ditutup sementara waktu. Bursa Efek Indonesia  mengalami penurunan indeks yang sangat besar yakni mencapai 10,38 % dari  hari sebelumnya. Melalui perintah langsung dari Presiden, maka pada tanggal  8  Oktober  2008  indeks  bursa  saham  Indonesia  tutup  sementara  untuk  mencegah kejatuhan pasar lebih lanjut dan untuk menenangkan pelaku pasar  (Kompas, 2008).
Gambar 1.1 Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan Tahun 2007 20 (Sumber: Bank Indonesia, 2013) 2.7 1.3 2.5 3.7 3.8 4.3 4.2  10 20 30 40 50 2007 2008 2009 2010 2011 2012 20 Pergerakan IHSG     Berdasarkan  gambar 1.1  dapat  diketahui  bahwa  pada  tahun  2008,  IHSG  terkena  dampak  negatif  yang  signifikan  dari  krisis  keuangan  global.
Pada  saat  itu,  IHSG  melemah  hampir  50%  karena  terjadi  aksi  jual  besarbesaran dari investor asing. Namun pada tahun 2009 dan 2010, IHSG mulai  mengalami pemulihan kembali dan penguatan yang cukup signifikan dengan  berhasil  mendekati  Rp  4.000.  Penguatan  yang  signifikan  pada  tahun  2010  tidak berlanjut pada tahun-tahun setelahnya karena hingga akhir tahun 2013,  pergerakan  IHSG  hanya  mampu  menguat  dalam  poin  kecil.  Hal  ini  dikarenakan perekonomian global yang masih belum stabil dan investor asing  yang masih enggan untuk berinvestasi besar melalui pasar saham.
Peristiwa  tutup  sementara  bursa  pada  tahun  2008  menjadi  peristiwa  yang  cukup  fenomenal.  Akibat  dari  kekacauan  yang  terjadi  di  lantai  bursa,  akhirnya banyak  investor  yang mengalami  kerugian  karena  kepanikan  pasar  menyebabkan  para  investor  tersebut  melakukan cut  loss dengan  menjual  saham  seketika  itu  tanpa  mempedulikan  jumlah  keuntungan  atau  kerugiannya. Aksi seperti ini mengakibatkan return para investor tidak sesuai  harapan. Kerugian karena cut loss merupakan salah satu bentuk resiko  yang  harus  ditanggung  oleh  para  investor  dalam  melakukan  investasi  saham.
Resiko  lainnya  yang  dapat  menjadi  beban  investor  antara  lain capital  loss  (harga  jual  lebih  rendah  daripada  harga  beli),  tidak  adanya  deviden  yang  diberikan  perusahaan,  dan  kehilangan  dana  investasi  karena  emiten  mengalami  kebangkrutan  dan  harus  dikeluarkan  dari  bursa.  Kenyataannya  isu-isu  krisis  global  tidak  akan  menjadi  masalah  ketika  para  pelaku  pasar  benar-benar  paham  dalam  bertransaksi  saham  dan  bukan  hanya  sekedar  berspekulasi,  serta  perusahaan go  public memiliki  fundamental  yang  benarbenar baik. Hal  ini dinyatakan pula oleh Marzuki Usman (1990:  22)  bahwa  isu-isu  yang  beredar saat ini  dapat  mempengaruhi  harga suatu saham, tetapi  kondisi  keuangan  dan kinerja perusahaan  masih  mempunyai pengaruh  yang  dominan terhadap pembentukan harga saham tersebut.
Kondisi  keuangan  perusahaan  dapat  diketahui  dengan  melakukan  analisis laporan keuangan. Laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari     proses  akuntansi  yang  dapat  digunakan  sebagai  alat  komunikasi  antara  data  keuangan  atau  aktivitas  suatu  perusahaan  dengan  pihak pihak  yang  berkepentingan  dengan  data  atau  aktivitas  perusahaan  tersebut. Laporan  ini  disajikan  untuk  menunjukkan  posisi  keuangan  perusahaan  baik  tentang  likuiditas, solvabilitas, profitabitas, dan stabilitas usaha. Menurut Adnan dan  Kurniasih  (2000),  dengan  melakukan  analisis  laporan  keuangan,  maka  para  pimpinan perusahaan dapat mengetahui perkembangan keuangan perusahaan  dan  hasil-hasil  yang  telah  dicapai.  Selain  itu,  dengan  melakukan  analisis  keuangan  di  waktu  lampau,  dapat  diketahui  kelemahan-kelemahan  perusahaan  serta  hasil-hasilnya  yang  dianggap  cukup  baik,  dan  mengetahui  potensi kebangkrutan perusahaan tersebut (Wijayanti, 2009: 27).
Analisis  tingkat  kesehatan  perusahaan  dianggap  penting  karena  dengan  adanya  hasil  analisis  tingkat  kesehatan  ini,  perusahaan  dapat  meningkatkan kinerjanya sehingga dapat terhindar dari potensi kebangkrutan.
Dengan  analisis  tingkat  kesehatan  perusahaan,  maka  akan  dapat  diketahui  kemampuan  perusahaan  untuk  memenuhi  kewajiban-kewajiban  jangka  pendeknya, hasil usaha atau pendapatan yang telah dicapai, beban-beban tetap  yang  harus  dibayar,  serta  memprediksi  kebangkrutan  yang  akan  dialami.
Hasil dari analisis prediksi kebangkrutan sangat bermanfaat bagi pihak-pihak  pemakai informasi laporan keuangan, diantaranya kreditur dan investor. Bagi  kreditur,  pernyataan  bangkrut  akan  mengakibatkan  kerugian  sebagai  akibat  hilangnya  tagihan  (pokok  pinjaman  piutang  beserta  bunganya)  sehingga  adanya  prediksi  ini  dapat  meminimalisasi  terjadinya  kerugian  atas  pengurangan  nominal  pinjaman.  Bagi  investor,  prediksi  kebangkrutan dapat  meminimalisasi  terjadinya  kerugian  akibat  kehilangan  ekuitas.  Hal  itu  dimungkinkan  apabila  perusahaan  mengalami  kesulitan  keuangan  yang  mengakibatkan  saham  perusahaan  tersebut  harus  dihapuskan  pencatatannya  dari bursa (delisting).
Delisting diartikan  sebagai  penghapusan  efek  dari  daftar  efek  yang  tercatat  di  bursa  efek. Penghapusan  pencatatan  efek  dapat  terjadi  karena  permohonan  penghapusan  dari  daftar  saham  oleh  perusahaan  yang     bersangkutan  (voluntary  delisting) atau  penghapusan dari  daftar  saham  oleh  bursa  saham  terkait  dengan  regulasi  bursa  saham  (force  delisting). Setelah  krisis  global,  beberapa  saham  di  bursa  akhirnya  harus  di  suspend (penghentian  sementara  perdagangan  efek)  karena  ketidakjelasan  keberlanjutan usahanya. Sebagian besar dari saham tersebut akhirnya harus di  delisting (penghentian pencatatan sebagai saham terbuka) paksa karena tidak  menunjukkan pemulihan  kinerja pasca di berhentikan sementara.  Terjadinya  penghapusan  paksa  (force delisting)  dapat  disebabkan  karena  emiten  yang  bersangkutan bermasalah, baik karena jumlah saham yang beredar dan jumlah  pemegang saham tidak sesuai dengan jumlah yang ditetapkan peraturan, tidak  adanya  keterbukaan  informasi,  maupun  karena  kinerja  operasional  yang  buruk sehingga saham yang beredar kurang diminati oleh investor.
Force  delisting  di  dominasi  karena  saham  yang  beredar  kurang  diminati  oleh investor  yang  berakibat  saham  yang  tercatat  di  bursa  menjadi  saham tidak aktif. Kurangnya minat investor dalam jangka waktu yang lama  disebabkan  karena  buruknya  fundamental  perusahaan  sehingga  saham  memiliki frekuensi perdagangan yang sangat rendah atau bahkan hampir tidak  diperdagangkan sama sekali. Dalam hal ini, analisis dan prediksi atas kondisi  keuangan  suatu  perusahaan  sangat  penting. Analisis  dari  laporan  keuangan  inilah  yang  dapat  menjadi  dasar  keputusan  investasi  bagi  investor  sehingga  investor dapat meminimalisasi kerugian dan memaksimalkan keuntungan.
Ada  berbagai  model  atau  teknik  yang  dapat  digunakan  dalam  melakukan  prediksi  kebangkrutan  perusahaan,  salah  satunya  dengan  menggunakan  rasio  keuangan. Rasio  keuangan  merupakan  perhitungan  dan  perbandingan antara  suatu  jumlah  tertentu  dengan  jumlah  yang lain,  dengan  menggunakan  analisis  ini  dapat  menjelaskan  atau  memberi  gambaran  mengenai  baik  buruknya  kondisi  atau  posisi  keuangan  suatu  perusahaan  (Munawir, 2010: 64).
Penelitian  mengenai  manfaat  rasio  keuangan  untuk  memprediksi  kebangkrutan telah banyak dilakukan, salah satunya melalui model Altman Zscore. Altman  (1968)  dengan  tujuan  untuk  memprediksi financial  distress     (khususnya  dalam  bankruptcy)  menggunakan  discriminant  analysis yang  dikenal  dengan  istilah Z-Score.  Z-Score  adalah  skor  yang  ditentukan  dari  tingkat  kemungkinan  kebangkrutan  perusahaan.  Formula  Altman  Z-score  tersebut didesain untuk digunakan pada perusahaan manufaktur yang telah go  public  saja,  sehingga  untuk  memperbaiki  kekurangan  tersebut  Altman  mengembangkan  dua  varian  model  Z- - -score.
-score dikembangkan untuk perusahaan nonpublic (perusahaan yang  tidak  go  public -score  dapat  diterapkan  pada  perusahaan  non  manufaktur  baik  perusahaan go  public maupun nonpublic  (White, Sondhi & Fried, 2003: 651).
Model Altman Z-score dianggap sebagai prediktor kebangkrutan yang  lengkap karena dibentuk dari rasio-rasio keuangan yang menunjukkan potensi  kebangkrutan  sehingga  model  ini  memiliki  tingkat  keakuratan  yang  cukup  tinggi  (80% - 90%)  dan  dapat  digunakan  untuk  berbagai  jenis  perusahaan.
Dalam  manajemen  keuangan,  rasio-rasio  yang  digunakan  dalam  model  Altman  ini  dapat  dikelompokkan  dalam tiga  kelompok  besar,  yaitu  rasio  likuiditas,  rasio  profitabilitas,  dan  rasio  aktivitas  (Riyanto,  2001).  Hal  ini  sejalan  dengan  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Hadi  dan  Anggraeni  (2008)  yang  menyimpulkan  bahwa  model  prediksi  Altman  merupakan  prediktor  delisting  terbaik  dibandingkan  dengan  model  Zmijewski  dan  model  Springate.  Penelitian  tersebut  menggunakan  sampel  42  perusahaan  yang  terdaftar di BEI tahun 2003   2007 dengan rincian 21 perusahaan delisted dan  21  perusahaan  aktif.  Penelitian  sejenis  juga  dilakukan  oleh  Karamzadeh  (2013) dengan menggunakan sampel 90 perusahaan yang terdaftar pada Bursa  Efek Iran (Iran Stock Exchange) pada tahun 2007   2010. Penelitian tersebut  menggunakan  model  Altman  dan  model  Ohlson  sebagai  model  prediksi  kebangkrutan.  Hasil  penelitian  Karamzadeh  menyimpulkan  bahwa  model  Altman  merupakan  model  prediksi  kebangkrutan  yang  lebih  baik  dibandingkan model Ohlson.
Penelitian  model  Altman  Z-score  yang  pada  awalnya  diterapkan  di  Amerika kini telah banyak dilakukan di Indonesia. Dalam penelitian financial     distress menggunakan  model  Altman  Z-score,  para  peneliti  mengambil  sampel perusahaan-perusahaan go public dan kemudian mengelompokkannya  dalam  tiga  kategori  yakni  kategori  perusahaan  sehat, gray  area (berpotensi  mengalami  kebangkrutan),  dan  kategori  bangkrut  sesuai  dengan  hasil  perhitungan  model  Altman  Z-score.  Namun  penelitian  sejenis  hanya  mengelompokkan  perusahaan  kedalam  ketiga  kategori  itu  saja  tanpa  ada  pembuktian  kebangkrutan  pada  perusahaan  yang  diteliti  setelah  perusahaan  tersebut masuk dalam kategori bangkrut. Selain itu beberapa penelitian yang  menggunakan model Altman Z-score tidak menerapkan model tersebut sesuai  dengan  sektor  perusahaan  yang  diteliti.  Beberapa  penelitian  tersebut  seperti  penelitian  Brimantyo,  Topowajono,  dan  Husaini  (2012)  yang  menggunakan  sampel  perusahaan telekomunikasi (sektor jasa) namun menerapkan formula  Z-score yaitu formula prediksi untuk perusahaan sektor manufaktur. Sarjono  (2007) juga melakukan penyimpangan serupa dengan menerapkan formula Zscore  pada  perusahaan  sektor  properti.  Penyimpangan  penerapan  model  Altman Z-score terdapat pula pada penelitian Iflaha (2008) yang menerapkan  formula  Z-score  pada  perusahaan  subsektor  restoran,  hotel,  dan  pariwisata  (sektor non manufaktur). Hal ini tentu tidak sesuai dengan penelitian Edward  Altman  yang  telah  mengelompokkan  penggunaan  formulanya  pada  perusahaan go  public  menjadi  dua  yakni  formula  Z-score  untuk  sektor  -score untuk sektor non manufaktur.
Berbeda  dengan  penelitian financial  distress  yang  lainnya,  dalam  penelitian  Ardhum, Taufik dan Anisma (2012), peneliti  menggunakan tahun  pertama  setelah  periode  penelitian  sebagai  pembanding  hasil  analisis.
Penelitian  tersebut  menyimpulkan  bahwa  perusahaan  yang  dikategorikan  bangkrut tidak terbukti mengalami kebangkrutan pada tahun pertama sesudah  penelitian  dilakukan.  Adanya  perbedaan  hasil  keakuratan  model  Altman  Zscore dengan fakta kebangkrutan perusahaan yang diteliti mendorong penulis  untuk  melakukan  penelitian  menggunakan  model  Altman  Z-score  dengan  menerapkan  model  tersebut  sesuai  dengan  sektor  bisnis  perusahaan.
Pembuktian  keakuratan  model  Altman  Z-score  akan  dilakukan  pada     perusahaan yang mengalami force delisting karena dinyatakan pailit dan/atau  tidak memiliki kejelasan going concern oleh bursa dan pada perusahaan yang  masih aktif di Bursa Efek Indonesia dengan judul: -Score  dalam  Memprediksi  Kebangkrutan  pada Perusahaan Go Public di Indonesia Periode 2008.
B.  Perumusan Masalah.
Berdasarkan  latar  belakang  masalah di  atas  maka  rumusan  masalah  pada penelitian ini adalah:.
1.  Apakah kondisi kebangkrutan  perusahaan  kategori force  delisting dapat  diprediksi menggunakan model Altman Z-Score pada periode lima tahun  sebelum perusahaan delisting?.
2.  Apakah  formula  Z-score  dan  form -score  dapat  memprediksi  kebangkrutan secara akurat?.
C.  Tujuan dan Manfaat Penelitian.
1.  Tujuan Penelitian.
Dari rumusan masalah di atas,  maka  tujuan penelitian ini yaitu  untuk  mengetahui  penerapan  model  Altman  Z-Score  dan  keakuratan  model  tersebut  dalam  memprediksi  kebangkrutan  pada  perusahaan go  public di Indonesia.
2.  Manfaat Penelitian.
Adapun manfaat penelitian yang penulis harapkan adalah:.
a.  Dapat  membantu  pihak  investor maupun  calon  investor  dalam  melakukan  analisis  tingkat  kebangkrutan  perusahaan  sehingga  meminimalisasi kerugian.
b.  Dapat menjadi referensi bacaan sehingga memberikan wawasan dan  pengetahuan bagi pembaca.

c.  Dapat  menjadi  referensi  bagi  peneliti  selanjutnya  dalam  mengembangkan topik bahasan yang sama.  
Skripsi Ekonomi:  Penerapan Model Altman Z-Score Dalam Memprediksi Kebangkrutan Pada Perusahaan Go Public Di Indonesia Periode 2008 – 2013 

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi