Rabu, 26 November 2014

Skripsi Ekonomi: Pola Hubungan Volatilitas Nilai Tukar Terhadap Ekspor Di Asean 5 Periode 1998.Q1 – 2011.Q2

 BAB I.
PENDAHULUAN.
1.1 Latar Belakang Masalah.
 Skripsi Ekonomi: Pola Hubungan Volatilitas Nilai Tukar Terhadap Ekspor Di Asean 5 Periode 1998.Q1 – 2011.Q2
Krisis ekonomi Asia pada tahun 1997/1998 mendorong lahirnya beberapa  pendapat  tentang  hubungan  volatilitas  nilai  tukar  dengan  ekspor.  Pendapat  pertama  menyatakan  bahwa  terdapat  hubungan  antara  volatilitas  nilai  tukar  dengan  ekspor.  Seperti  diteliti  oleh  Choeng  (2002)  di  Inggris,  Aliyu  (2003)  di  Nigeria, Egert (2005) di Eropa Timur, Boug (2007) di Norwegia, Chit dkk (2008)  di  China  dan  Asia  Tenggara,  Serenis  (2008)  di  Eropa  Tengah,  Prusty  (2008)  di  India,  Jiranyakul  (2010)  di  Thailand,  Mukhtar  (2010)  di  Asia  Selatan,  Listiani  (2010) di Indonesia, dan Oskooee (2012) di Korea.

Sementara  itu,   pendapat  yang  menyatakan  bahwa  tidak  ada  hubungan  antara  volatilitas  nilai  tukar  dengan  ekspor  dilakukan  oleh  Sekmen  (2007)  dan  Yuksel  (2012)  di  Turki,Seneris  (2010)  di  Eropa  Utara  dan  Barat,Denaux  dan  Falks (2012) di Uni Eropa, dan Nawatmi (2012) di Indonesia. Sehubungan dengan  itu,  studi  ini  akan  membuktikan  apakah  di  ASEAN-5  yakni  di  Indonesia,  Malaysia,  Filipina,  Singapura,  dan  Thailand  terdapat  hubungan  kausalitas  serta  memiliki hubungan pada jangka pendek dan jangka panjang antara volatilitas nili  tukar dengan ekspor.
Penelitian  Mukhtar  (2010)  dalam  hasil  penelitian  menunjukan  bahwa  volatilitas  nilai  tukar  memberikan  pengaruh  hubungan  yang  negatif  terhadap  pertumbunhan ekspor baik pada jangka pendek maupun jangka panjang di India,   Pakistan,  dan  Sri  Lanka.  Penelitian  Seneris  (2008),  menyebutkan  bahwa  pada  jangka  pendek  keempat  negara (Norwegia, Swis,  Hunggaria, Polandia) memiliki  hasil  yang  sama  yaitu  dengan  meningkatnya  volatilitas  nilai  tukar  akan  memberikan dampak negatif pada ekspor. Sedangkan Hasil penelitian dari Aliyu  (2003) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif dan ada hubungan jangka  panjang (kointegrasi) antara volatilitas Nira dengan ekspor non-oil di Nigeria.
Selanjutnya  penelitian  dari  Jiranyakul  (2010)  yang  meneliti  hubungan  volatilitas  Bath  terhadap  ekspor  Thailand  dengan  Amerika  dan  Jepang.  Hasil  penelitian  menyebutkan  bahwa  hasil  yang  berbeda  yaitu  volatilitas  Bath  berpengaruh negatif terhadap ekspor Thailand dengan Amerika, namun hasil tidak  signifikan  terdapat  pada  ekspor  menuju  Jepang.  Goeltom  (1997)  menjelaskan  bahwa  terdapat  hubungan  yang  erat  volatilitas  nilai  tukar  dengan  ekspor  pada  jangka pendek.
Hasil yang  sedikit berbeda  diperoleh  dari  penelitian  Listiani  (2010)  yang  menganalisis hubungan jangka panjang serta jangka pendek hubungan volatilitas  dengan  permintaan  ekspor  Indonesia  terhadap  5  (lima)  negara  tujuan  utama  ekspor.  Hasilnya  diperoleh  ada  hubungan  negatif  antara  volatilitas  nilai  tukar  dengan  permintaan  ekspor  jangka  panjang  pada  negara  Amerika  Serikat,  Hongkong,  Malaysia,  Jepang,  dan  Singapura.  Kemudian  hasil  signifikan  positif  antara volatilitas nilai tukar  rupiah dengan ekspor pada jangka pendek di negara  Jepang dan Singapura.
Hasil penelitian berbeda dari  sebelumnya yaitu terdapat  hubungan  positif  antara  volatilitas  nilai  tukar  dengan  ekspor.  Menurut  penelitian  Prusty  (2008)   yang  menjelaskan  bahwa  nilai  tukar  berpengaruh  positif  pada  jangka  panjang  terhadap  ekspor.  Terdapat  hubungan  kausalitas  dua  arah  antara  nilai  tukar  dan  pertumbuhan  ekspor  di  India.  Pada  saat  nilai  tukar  Rupee  mengalami  apresiasi  justru pertumbuhan ekspor mengalami peningkatan.
Penelitian  yang  memberikan  hasil  bertentangan  dengan  diatas  adalah  penelitian Sekmen (2007) yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan korelasi  antara volatilitas  nilai  tukar dengan ekspor, namun terdapat  hubungan  kausalitas  antara  ekspor  dan  impor  di  Turki.  Hasil  penelitian  Denaux  dan  Falks  (2012)  menyebutkan  bahwa  tidak  ada  pengaruh  yang  signifikan  antara  volatilitas  nilai  tukar Lira dengan arus perdagangan ke eropa pada negara Turki.
Penelitian  Nawatmi  (2012)  dengan  menggunakan  metode  ARCH  menyebutkan  bahwa  tidak  ada  hubungan  antara  volatilitas  nilai  tukar  dengan  perdagangan  Internasional  di  Indonesia. Berdasarkan  penelitian  diatas  dapat  disimpulkan bahwa tidak ada perubahan saat volatilitas nilai tukar bernilai tinggi  atau  rendah.  Di  negara  industri  (negara  maju)  makin  volatil  atau  tidaknya  nilai  tukar  tidak  terlalu  berdampak  pada  pertumbuhan  ekonomi  negara  tersebut.
Kemudian  volatilitas  nilai  tukar  di  negara  berkembang  akan  lebih  volatil  dibanding  dengan  negara  maju  dan  dapat  berakibat  pada  pertumbuhan  ekonomi  yang berjalan lemah (Levy : 2003).
Alasan  dari  perbedaan  dua  pendapat  para  ahli  ekonomi  tersebut  dapat  sering  terjadi  seiring  makin  berkembangnya  alat  analisis  yang  makin  canggih.
Peluangbesar bagi para peneliti untuk memberikan hasil yang berbeda-beda pula  sesuai  hasil  alat  analisisnya.  Kemudian  setiap  negara  akan  selalu  memajukan   sistem  keuangannya  sehingga  dapat  meminimalkan  dampak  dampak  negatif  yang  akan  diterima  suatu  negara  termasuk  resiko  dari  volatilitas  nilai  tukar  ini  (Cote : 1994; Ozturk : 2008).
Era  globalisasi  ini  volatilitas  nilai  tukar  (kurs)  menjadi  salah  satu  komponen  utama  dalam  perdagangan  internasional.  Kajian  mengenai  volatilitas  nilai  tukar  ini  mempunyai  implikasi yang  penting  dalam  pemilihan  sistem  keuangan moneter yang baik bagi perekonomian negara. Terlebih pasca kejatuhan  sistem  Bretton  Woods  pada  tahun  1973  membuat  keberadaan  nilai  tukar  makin  rentan  terhadap  faktor  non  ekonomi  (politik)  dan  ekonomi.  Kemudian  berkembanglah  dua  rezim  sistem  nilai  tukar  yaitu  sistem  nilai  tukar  tetap  dan  sistem nilai tukar mengambang. Hampir seluruh negara pernah mengadopsi kedua  sistem  nilai  tukar  tersebut  khususnya  negara  ASEAN-5  (Indonesia,  Malaysia,  Filipina, Thailand, dam Singapura).
Pengaruh  positif  dan  negatif  terdapat  pada  kedua  rezim  sistem  tersebut.
Krisis  moneter  yang  terjadi  tahun  1997  silam  membuat  hampir  seluruh  negara  berkembang  seperti  Thailand,  Indonesia,  Argentina  dan  Meksiko  mengubah  sistem nilai tukar tetap menjadi sistem nilai tukar mengambang. Saat itu dianggap  dengan mengubah sistem nilai tukar menjadi mengambang akan dapat mengobati  keterpurukan  nilai  tukar  di  negara  tersebut  (Vithessonthi  :  2008).  Kemunculan  pengaruh volatilitas nilai tukar mulai dirasakan oleh negara yang menganut sistem  nilai tukar mengambang.
Boug  (2007)  dalam  penelitiannya  menjelaskan  bahwa  negara  yang  menganut  sistem  nilai  tukar  mengambang  yang  dalam  penentuan  nilai  mata   uangnya ditentukan oleh pasar, harus menghadapi adanya resiko pelemahan nilai  tukar  (volatilitas).  Volatilitas  nilai  tukar  tersebut  akan  mempengaruhi  pertumbuhan perdagangan dunia. Pada jangka panjang dan pendek akan semakin  berdampak  pada  pertumbuhan  ekonomi  (Miles  :  2006). Sangatlah diperlukan  kebijakan  ekonomi  dalam negeri  dan  internasional  yang  cermat  dalam  menekan  volatilitas nilai tukar (Horne : 2004).
Kalangan  pelaku  bisnis  yang  salah  satu  menjadi  subyek  penentu  dalam  kegiatan ekspor impor. Dalam penelitian (Chit et all : 2008) menjelaskan bahwa  volatilitas  nilai tukar  akan  berdampak  negatif  terhadap  ekspor,   karena  pelaku  bisnis akan mengambil  tindakan risk-averse(menghindari kerugian).  Akibatnya  pelaku  bisnis  yang  sangat  berhati-hati  dalam  melakukan  ekspor  maupun  impor  karena  mereka  tidak  ingin  mengalami  kerugian  yang  disebabkan  oleh  ketidakpastian nilai tukar dalam negeri.
Faktor-faktor  lain  yang  mempengaruhi  perdagangan  ekspor  selain  nilai  tukar  menurut  Mankiw  (2006:84-85)  antara  lain  selera  masyarakat  dunia,  pendapatan, harga barang, ongkos transportasi, dankebijakan pemerintah. Dalam  penelitian  dari Giovanni (2008), Son  (2011), dan Streckfuss  (2013) menjelaskan  bahwa  terdapat  hubungan  antara  bentuk  pemerintahan  suatu  negara  dengan  volatilitas  nilai  tukar. Sememntara  itu, dalam  penelitian  Hau  (2002),  Naseem  (2008) menjelaskan bahwa bentuk perekonomian juga menjadi faktor yang kerap  memberikan pengaruh terhadap nilai tukar dan perdagangan.
Berdasarkan  uraian  di  atas,  penelitian  ini  akan  meneliti  ASEAN  5  yaitu  Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura.Alasan memilih kelima negara   tersebut  karena  kelima negara  tersebut memiliki  persamaan  dalam  struktur  ekonominya  yaitu  perekonomian  yang  terbuka,  kemudian lebih  rentan  terhadap  pengaruh  ekonomi  global  khusunya  nilai  tukar. Alasan  non-ekonominya  adalah  kelima  negara  ini  memiliki  letak  geografis  yang  saling  bedekatan  kemudian  merdeka di waktu yang bersamaan, sehingga memulai pembangunan negaranya di  waktu yang hampir bersamaan. Apabila melihat sejarah perkembangan nilai tukar  di ASEAN-5 sewaktu terjadinya krisis moneter 1997/1998 (krisis nilai tukar) akan  sangat  terlihat  dari  grafik  dibawah  yaitu  nilai  tukar  sangat  dipengaruhi  oleh  kondisi-kondisi global.
Gambar 1.1. Grafik Perkembangan Fluktuasi Nilai Tukar Mata Uang ASEAN 5 Sebelum dan Sesudah Krisis Moneter 1997/1998 Sumber : Olahan data excel 2003 Grafik diatas menjelaskan fluktuasi dari nilai tukar ASEAN 5 sebelum dan  sesudah krisis moneter 1997/1998 yaitu data tahunan 1990sampai dengan 2010.
Hasil  dari  diatas  menunjukan  sebelum  krisis  moneter  1997/1998fluktuasi nilai  tukar  mata  uang  lebih stabil  di  ASEAN  5. Goncangan  mulai  terlihat  pada  saat   krisi  moneter  1997/1998  yaitu  pada  grafik  ditunjukan  terjadi  peningkatan  nilai  tukar  mata  uang  di  ASEAN  5  artinya  ke  lima  negara  mengalami  peningkatan  volatilitasnilai tukar.
Indonesia  menjadi  negara  yang  paling  volatil  dibandingkan  keempat  negara lainnya ditunjukan dengan peningkatan nilai Rupiah (apresiasi) yang tajam  dari grafik diatas. Thailand menjadi negara paling volatil kedua setelah Indonesia  pada  saat  krisis  moneter  1997/1998  dan  disusul  dengan  Filipina  dibawahnya.
Berikutnya  di  tempati  oleh  Malaysia  yang  mampu  menjaga  fluktuasi  nilai  tukar  ringgit,  namun  tetap  tejadi  apresiasi  pada  nilai  tukarnya  pada  saat  krisis.
Singapura  menjadi  negara  yang memiliki  fluktuasi paling  kecil dan ditunjukan  pada grafik diatas bahwa nilai tukar Dollar Singapura hanya mengalami fluktuasi  sedikit  yang  artinya  volatitas  nilai  tukarnya  rendah  pada  saat  krisis  moneter  terjadi.
Faktor utama yang menjadi penyebab berfluktuasi atautidaknya nilai tukar  adalah  sistem  nilai  tukar  itu  sendiri.  Pemilihan  salah  satu  dari  sistem  ini  akan  sangat  berpengaruh  dalam  penentuan  dan  fluktuasi  nilai  tukar. Sebagian  besar  kelima  negara  ASEAN  5ini  sebelum  kriris  adalah  menganut  sistem  nilai  tukar  tetap  (fix)  dimana  nilai  tukar  dikendalikan  oleh  pemerintah  dalam  ini  ini  bank  sentral masing-masing. Akibatnya fluktuasi nilai tukar lebih normal dan volatilitas  nilai  tukar  juga  cenderung  datar  (Chong  :  2007).  Namun,  setelah  terjadi  krisis  moneter  banyaknegara-negara  yang  mulai  mengubah  sistem  nilai  tukarnya  menjadi mengambang  (floating), dan akibatnya penentuan nilai tukar  diserahkan  sepenuhnya oleh  pasar  dan kontrol  pemerintah hanya  sebatas tindakan  preventif   (mengobati)  maka  nilai  tukar  semakin  berfluktuasi.  Makin  berfluktuasinya  nilai  tukar maka akan menyebabkan makin bervolatile nilai tukar (Muklis : 2011).
Fluktuasi  (volatilitas)  nilai  tukar  yang  semakin  meningkat  dapat  berdampak  buruk  bagi  kondisi  makroekonomi  dalam  negeri.  Khususnya  akan  berdampak secara  langsung  kepada  perdagangan  internasional  suatu  negara.
Kegiatan ekspor dan impor menjadi suatu hubungan yang tidak dapat dipisahkan  dari nilai tukar itu sendiri.
Gambar 1.2. Grafik Perkembangan Ekspor ASEAN 5 Sebelum dan Sesudah Krisis Moneter 1997/1998(Satuan Juta $US) Sumber : Olahan data excel 2003 Gambar  grafik  diatas  secara  tren  menunjukan  bahwa  terjadi  penurunan  yang  hampir  bersamaan  pada  saat  krisis  moneter  1997/1998  dan  krisis  global  2008/2009.  Tren  penurunan  ekspor  pada  tahun  1997/1998penyebab  utamanya  yaitu  karena  tidak  terkendalinya  fluktuasi  nilai  tukar  mata  uang  di  ASEAN-5, sehingga  pelaku  bisnis  yang  ingin  melakukan  perdagangan  internasional  baik   ekspor  maupun  impor  saat  itu  mengalami  keraguan  terhadap  integritas  mata  uangnya  masing-masing.  Tindakan risk  averse lebih  dipilih  oleh  pelaku  bisnis  yaitu  menghindari  terjadinya  resiko  yang  besar  maka  dilakukannya  pembatasan  ekspor maupun impor.
Pada tahun2008/2009 terjadinya krisisglobal yang dialami semua negara  khususnya  negara maju. Akibat  krisisnya  negara majutersebut  secara  otomatis  pasti  akan  memberikan  dampak  yang  negatif pula  untuk  negara-negara  berkembang  seperti  ASEAN-5.  Kurangnya  pesanan  ekspor  dari  negara  maju  membuat menurunya permintaan ekspor yang notabene ASEAN 5 adalahnegara  pengekspor bahan baku dari negara industri.
Fundamental  perekonomian  yang  tidak  stabil  dalam  negara  dapat  berdampak  pada  ketidakstabilan  ekonomi  makro.  Salah  satu  indikator  makroekonomi  yang sensitif terhadap goncangan perekonomian eksternal adalah nilai  tukar  mata  uang.  Nilai  tukar  mata  uang  mencerminkan  kekuatan  perekonomian dalam perdagangan global. Semakin stabil nilai tukar suatu negara  terhadap  mata  uang  negara  lain,  menunjukkan  semakin  kuat  kekuatan  fundamental  negara  tersebut.  Hal  tersebut  menunjukkan  bahwa  pemerintah  dengan menjaga kestabilan nilai tukar, maka dapat mendorong peningkatan daya  saing perdaganggan internasional (Muklis : 2011).
Fluktuasi  nilai  tukar  menjadi  salah  satu  faktor  yang  mempengaruhi  perdagangan  internasional  masing-masing  negara.  Makin  tidak  stabil  nilai  tukar  dapat mempengaruhi perdaganggan internasional. Maka salah satu cara yang perlu   dilakukan  adalah  pengendalian  volatilitas  nilai  tukar  yaitu  dengan  menjaga  stabilitas nilai tukar.
1.2 Perumusan Masalah.
Berdasarkan latang belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:.
1. Apakah  ada  hubungan kausal antara  volatilitas  nilai  tukar  dengan  ekspor  di  ASEAN-5?.
2. Apakah  ada  hubungan  jangka  panjang  antara  volatilitas  nilai  tukar  dengan  ekspor di ASEAN-5?.
3. Apakah  ada  hubungan  jangka  pendek  antara  volatilitas  nilai  tukar  dengan  ekspor di ASEAN-5?.
1.3. Tujuan Penelitian .
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :.
1. Untuk mengetahui  apakah  ada  hubungan kausal  antara volatilitas nilai tukar  dengan ekspor di ASEAN-5.
2. Untuk  mengetahui  apakah  ada  hubungan  jangka  panjang  antara  volatilitas  nilai tukar dengan ekspor di ASEAN-5.
3. Untuk mengetahui apakah ada hubungan jangka pendek antara volatilitas nilai  tukar dengan ekspor di ASEAN-5.
 1.4 Manfaat penelitian.
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :.
1.Memberikan pemahaman empirik tentang pola pengaruh volatilitas nilai tukar  terhadap eksport di negara ASEAN-5.
2.Memberikan  masukan  sebagai  bahan  penentuan  kebijakan  internasional  bagi  pihak yang berkepentingan.
3.Menambah  dan  melengkapi  hasil-hasil    penelitian    yang    telah    ada,  khususnya di bidang ekonomidengan menjadikan penelitian ini sebagai acuan  untuk penelitian selanjutnya .

 Skripsi Ekonomi: Pola Hubungan Volatilitas Nilai Tukar Terhadap Ekspor Di Asean 5 Periode 1998.Q1 – 2011.Q2

Download lengkap Versi PDF

1 komentar:

pesan skripsi