Jumat, 05 Desember 2014

Skripsi Hukum: Analisis Harmonisasi Pengaturan Wewenang Penanaman Modal Ditinjau Dari Prinsip Birokrasi Kewirausahaan

BAB I.
PENDAHULUAN.
1.  Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Analisis Harmonisasi Pengaturan Wewenang Penanaman Modal Ditinjau Dari Prinsip Birokrasi Kewirausahaan
Liberalisasi  dan  globalisasi  ekonomi  sudah  melanda  seluruh  dunia,  termasuk  di  dalam  bidang  investasi  atau  penanaman  modal.  Dengan  adanya  liberalisasi dibidang penanaman modal, menarik para pemodal asing atau  investor  asing  untuk  menanamkan  modalnya  ke  suatu  negara  yang  dianggap  sebagai  negara yang paling menguntungkan. Dengan adanya globalisasi ekonomi di dunia  telah  meniadakan  sekat-sekat  batas  hubungan  ekonomi  internasional  negara  menjadi tanpa batas (borderless) (Rosyidah Rakhmawati,1998:1).

Pada era globalisasi ini investasi sangat dibutuhkan bagi tiap-tiap negara,  khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia. Dampak yang sangat terasa  dengan  terjadinya  globalisasi  yakni  arus  informasi  yang  begitu  cepat  sampai  di  tangan  masyarakat.   Sehingga  berbagai  pihak  khususnya  kalangan  pebisnis  berlomba-lomba  memburu  informasi,  sebab  siapa  yang  mampu  menguasai  informasi dengan cepat maka dialah yang terdepan (Elyani, 2010 :318) Penanaman  modal  adalah  segala  bentuk  kegiatan  menanamkan  modal,  baik oleh penanam modal dalam negeri maupun oleh penanam modal asing yang  melakukan  usaha  di  wilayah  Negara  Republik  Indonesia.  Di  suatu  negara  penanam modal memliki tujuan untuk mengolah potensi ekonomi menjadi suatu  kekuatan ekonomi yang nyata. Apabila modal dalam negeri dianggap tidak cukup,  maka  suatu  negara  akan  berusaha  menarik  pemodal  asing  untuk  menanamkan  modalnya  di  negara  tersebut.  Pembangunan  ekonomi  menjadi  salah  satu  jalan  dalam mensejahterakan masyarakat.
Dengan  adanya  iklim  investasi  yang  baik,  maka  perekonomian  nasional  dapat  tumbuh  dan  berkembang  sehingga  mampu  melanjutkan  pembangunan  di  bidang-bidang  lainnya,  termasuk  mengatasi  permasalahan  bangsa  yang  sangat  mendasar, yaitu kebodohan, kemiskinan, dan pengangguran. Iklim investasi dapat    terwujud dengan baik apabila birokrasi mampu memberikan pelayanan investasi  secara  professional,  efektif,  dan  efisien  dapat  terwujud  jika  sistem  hukum  yang  baik, terutama landasan  hukum  yang mengatur dan dijalankan birokrasi (Taufiq  Effendi, 2013:2).
Dalam penulisan ini penulis akan secara bergantian menggunakan istilah  investasi  maupun  penanaman  modal,  karena  tidak  terdapat  perbedaan  prinsipil  antara kedua istilah tersebut. Penggunaan kedua istilah tersebut akan disesuaikan  dengan konteks istilah apa yang dianggap paling tepat oleh penulis.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh World Bank bekerjasama dengan  International  Finance  Corporation  mengenai  tingkat  kemudahan  berbisnis  di  dunia, yang ditunjukkan dalam laporan tahunannya yang berjudul Doing Businnes  2013  Indonesia  menempati  peringkat  ke  116  dari  189  negara.  Kemudian  dalam  laporan  tahunannya  yang  berjudul  Doing  Business  2014  Indonesia  mengalami  penurunan menjadi peringkat 120 dari 189 negara.
Tabel 1. Peringkat Ease of Doing Business Tahun 201No.  Negara  Peringkat  No.  Negara  Peringkat 1  Australia  11  11  Thailand  12  Brunei  Darussalam 59  12  Amerika Serikat  3  Kanada  19  13  Cina  94  Indonesia  120  14  Hongkong  5  Jepang  27  15  Meksiko  56  Korea Selatan  7  16  Papua  New  Guinea 117  Malaysia  6  17  Chili   34    8  Selandia Baru  3  18  Peru   49  Filipina  108  19  Russia   910  Singapura   2  20  Vietnam   9Sumber  data  :  World  Bank  dan  International  Finance  Coorporation,  Doing  Business 201Laporan  di  atas  menunjukkan  bahwa  tingkat  kemudahan  berbisnis  di  Indonesia  masih berada di bawah negara lain yang tergabung di dalam APEC (Asia-Pasific  Economic  Cooperation)  atau  kerjasama  ekonomi  Asia  Pasifik  (http://www.doingbusiness.org/reports).
Tabel 2. Masalah-masalah Utama Dalam Melakukan Bisnis Di Indonesia Sumber  data  :  The  World  Economic  Forum,  The  Global  Competitiveness  Report 2012-201Data  diatas  merupakan  hasil  survey  yang  dilakukan  oleh  The  World  Economic  Forum  (WEF)  tahun  2012-2013  yang  hasilnya  ditunjukkan  di  dalam  laporan  tahunannya,  The Global Competitiveness Report.  Terdapat tiga faktor terpenting  penghambat  penanaman  modal  di  Indonesia,  yaitu  birokrasi  pemerintahan  yang  tidak efisien, korupsi dan infrastruktur yang tidak memadahi.
  Menyadari berbagai kendala tersebut, pemerintah kemudian menerbitkan  Undang  Undang  Penanaman  Modal  (UUPM)  yang  baru  yaitu  Undang-undang  Nomor 25 Tahun  2007 tentang Penanaman Modal menggantikan undang-undang  yang lama yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal  Asing  (PMA)  dan  Undang-undang  Nomor  6  Tahun  1968  tentang  Penanaman  Modal  Dalam  Negeri  (PMDN).  Diundangkannya  Undang-undang  Nomor  25  Tahun  2007  tentang  Penanaman  Modal  merupakan  perwujudan  untuk  lebih  mengakomodir  berbagai  kepentingan  baik  kepentingan  dalam  negeri  maupun  kepentingan  asing,  khususnya  yang  menyangkut  kepastian  dan  perlindungan  hukum bagi para penanam modal (investor), baik investor asing maupun investor  dalam  negeri  dengan  tetap  memperhatikan  kepentingan  ekonomi  nasional  (Sigit  Irianto,2013:1).
Undang-undang  Nomor  25  Tahun  2007  tentang  Penanaman  modal  mengatur mengenai Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang bertujuan untuk  membangun  penanaman  modal,  dengan  cara  mempercepat,  menyederhanakan  pelayanan, dan meringankan atau menghilangkan biaya pengurusan perizinan dan  nonperizinan. Tetapi sistem PTSP tidak dapat berjalan dengan optimal dan kurang  dapat  bersaing  dengan  negara-negara  lain.  Di  Indonesia  investor  membutuhkan  waktu  hingga  45  hari  untuk  mendapatkan  perizinan  memulai  usaha  dari  pemerintah. Apabila penulis  membandingkan dengan negara-negara APEC (AsiaPasific Economic Cooperation) atau kerjasama ekonomi Asia Pasifik, Indonesia  masih tertinggal jauh dalam hal efisiensi waktu untuk memulai usaha di Indonesia  (http://www.weforum.org/issues/global-competitiveness).
  Tabel 3. Waktu Yang Dibutuhkan Untuk Memulai Bisnis Di Suatu Negara No.  Negara  Waktu  No.  Negara  Waktu 1  Australia  2  11  Thailand  22  Brunei  Darussalam 101  12  Amerika Serikat  3  Kanada  5  13  Cina  34  Indonesia  45  14  Hongkong  5  Jepang  23  15  Meksiko  6  Korea Selatan  7  16  Papua  New  Guinea 47  Malaysia  6  17  Chili   8  Selandia Baru  1  18  Peru   29  Filipina  35  19  Russia   310  Singapura   3  20  Vietnam   4Sumber  data  :  The  World  Economic  Forum,  The  Global  Competitiveness  Report 2012-201Data  di  atas  merupakan  hasil  survey  yang  dilakukan  oleh  The  World  Economic  Forum  (WEF)  tahun  2012-2013  yang  hasilnya  ditunjukkan  di  dalam  laporan  tahunannya,  The  Global  Competitiveness  Report  (http://www.weforum.org/issues/global-competitiveness).
  Tabel 4. Prosedur Yang Dibutuhkan Dan Biaya Yang Dibutuhkan Untuk  Mendirikan Usaha di Negara APEC (Asia-Pasific Economic Cooperation) No.  Negara  Prosedur  Biaya*  No.  Negara  Prosedur  Biaya* 1  Australia  3  0,7  11  Thailand  4  6,2  Brunei  Darussalam 15  9,12  Amerika  Serikat 6  1,3  Kanada  1  0,4  13  Cina  3  2,4  Indonesia  10  20,5  14  Hongkong  3  0,5  Jepang  8  7,5  15  Meksiko  6  19,6  Korea  Selatan  5  14,16  Papua  New  Guinea 6  13,7  Malaysia  3  7,6  17  Chili   7  0,8  Selandia  Baru 1  0,18  Peru  5  10,9  Filipina  15  18,7  19  Russia   7  1,10  Singapura   3  0,6  20  Vietnam   10  7,* biaya dalam hitungan persen dari pendapatan perkapita suatu negara Sumber : World Bank and International Finance Corporation Doing Business 201Berdasarkan  survey  yang  dilakukan  oleh  World  Bank  bekerjasama  dengan  International Finance Corporation  diperoleh data bahwa untuk mendirikan usaha  di  Indonesia  membutuhkan  10  prosedur  dan  biaya  sebesar  20,5  persen  dari  pendapatan  perkapita.  Apabila  penulis  membandingkan  dengan  negara-negara  APEC  (Asia-Pasific  Economic  Cooperation)  atau  kerjasama  ekonomi  Asia  Pasifik,  Indonesia  masih  tertinggal  jauh  dalam  hal  jumlah  prosedur  yang  diperlukan  dan  biaya  yang  diperlukan  oleh  seorang  investor  untuk  melakukan    perizinan  penanaman  modal  di  suatu  negara  (http://www.doingbusiness.org/reports).
Padahal  perizinan  merupakan  salah  satu  aspek  penting  dalam  pelayanan  publik.  Proses  perizinan,  khususnya  dibidang  perizinan  usaha  dapat  secara  langsung  berpengaruh  terhadap  keinginan  dan  keputusan  calon  pengusaha  maupun  investor  untuk  menanamkan  modalnya.  Demikian  pula  sebaliknya,  apabila  proses  perizinan  tidak  efisien,  berbelit-belit,  dan  tidak  transparan  baik  dalam hal waktu, biaya maupun prosedur akan berdampak terhadap menurunnya  keinginan  orang  untuk  mengurus  perizinan  usaha,  dan  mereka  akan  mencari  tempat investasi lain yang prosesnya lebih jelas dan transparan.
Proses  perizinan  yang  tidak  efisien,  berbelit-belit,  dan  tidak  transparan  baik dalam hal waktu, biaya maupun prosedur  menurut penulis merupakan akibat  dari  pelayanan  publik  yang  tidak  optimal.  Pada  awal  abad  20an  banyak  konsep  dan  teori  dalam  optimalisasi  pelayanan  publik,  salah  satunya  adalah  gagasan  Reinventing Government  yang dicetuskan oleh David Osborne dan Ted  Gaebler  dimana  mereka  mengkritisi  dan  memperbaiki  konsep  optimalisasi  pelayanan  publik  sesuai  dengan  perkembangan  lingkungan  birokrasi.  Gagasan  David  Osborne dan Ted Gaebler tentang  Reinventing Government  mencakup 10 prinsip  untuk  mewirausahakan  birokrasi.  Dalam  rangka  melakukan  optimalisasi  pelayanan  publik,  10  prinsip  tersebut  seharusnya  dijalankan  oleh  pemerintah  sekaligus  dalam  suatu  sistem  pemerintahan.  Sehingga  pelayanan  publik  yang  dilakukan bisa berjalan  dengan lebih optimal dan maksimal. 10 prinsip tersebut  bertujuan  untuk  menciptakan  organisasi  pelayanan  publik  yang  smaller  (kecil,efisien),  faster  (kinerjanya cepat, efektif),  cheaper  (operasionalnya murah)  dan kompetitif (Mahmun Syarif Nasution, 2010: 3-4).
Pada  saat  ini  terdapat  cukup  banyak  undang-undang  yang  berkaitan  dengan  perizinan  penanaman  modal.  Sedangkan  undang-undang  yang  ada  pada  saat  ini  seolah-olah  telah  menjadi  milik  institusi  yang  bersangkutan  untuk  dilaksanakan,  diawasi,  dan  ditegakkan  secara  mandiri  oleh  institusi  itu  sendiri.
  Sebagai  akibatnya,  undang-undang  tersebut  seolah-olah  menjadi  milik  institusi  yang bersangkutan sehingga aparat di luar instansi yang bersangkutan tidak dapat  berpartisipasi  secara  maksimal.  Hal  tersebut  menimbulkan  adanya  disharmoni  antara suatu peraturan perundang-undangan satu dengan yang lainnya, baik secara  vertikal  maupun  horizontal.  Ketidakharmonisan  ini  tercermin  dalam  pasal-pasal  undang-undang sehingga tidak menjamin kepastian hukum dan proses perizinan  menjadi tidak efisen sehingga mengakibatkan perizinan memerlukan biaya tinggi.
Misalnya  dalam  Undang-undang  Nomor  25  Tahun  2007  tentang  Penanaman  Modal  denganUndang-undang  Nomor  32  Tahun  2004  tentang  Pemerintahan  Daerah  terdapat  disharmoni  mengenai  kewenangan  pemberian  perizinan  penanaman  modal  antara  pemerintah  pusat  dan  pemerintah  daerah.
Selain  itu  begitu  banyaknya  prosedur  yang  harus  dilalui  oleh  investor  untuk  mendapatkan perizinan penanaman modal di Indonesia. Hal tersebut secara tidak  langsung dapat mengakibatkan menurunnya keinginan orang untuk berinvestasi di  Indonesia. Sehingga menurut hemat penulis, Indonesia perlu melakukan reformasi  birokrasi yang berdasarkan pada prinsip birokrasi kewirausahaan dan melakukan  harmonisasi  antara  Undang-undang  Nomor  25  Tahun  2007  tentang  Penanaman  Modal  dengan  Undang-undang  Nomor  32  Tahun  2004  tentang  Pemerintahan  Daerah untuk menciptakan  kepastian hukum dan efisiensi birokrasi yang sejalan  dengan  prinsip  pemerintahan  kewirausahaan  agar  dapat  mendorong  investor  untuk  menanamkan modal di Indonesia. Hal tersebut kemudian melatarbelakangi  penulis  untuk  menyusun  penulisan  hukum  yang  berjudul  “ANALISIS  HARMONISASI  PENGATURAN  WEWENANG  PENANAMAN  MODAL  DITINJAU DARI PRINSIP BIROKRASI KEWIRAUSAHAAN”.
  2.  Rumusan Masalah.
Berdasarkan  latar  belakang  yang  telah  penulis  paparkan  diatas,  maka  penulis merumuskan permasalahan  yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah  sebagai berikut :.
1.  Apakah  pengaturan  penanaman  modal  di  Indonesia  telah  mencerminkan  prinsip  birokrasi  kewirausahaan  ditinjau  dari  segi  harmonisasi  hukum  terhadap  Undang-undang  Nomor  32  Tahun  2004  tentang  Pemerintahan  Daerah ?.
2.  Bagaimanakah  solusi  permasalahan  pengaturan  penanaman  modal  dari  segi  harmonisasi hukum terhadap Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang  Pemerintahan Daerah untuk memenuhi birokrasi kewirausahaan ?.
3.  Tujuan Penelitian.
Dalam suatu penelitian hukum pasti terdapat tujuan tertentu.  Berdasarkan  hal  tersebut  maka  tujuan  penelitian  yang  hendak  dicapai  penulis  adalah  sebagai  berikut:.
a.  Tujuan Objektif.
1)  Untuk  mengetahui  pengaturan  penanaman  modal  di  Indonesia  terkait  dengan  pencerminan  prinsip  birokrasi  kewirausahaan  ditinjau  dari  segi  harmonisasi  hukum  terhadap  Undang-undang  Nomor  32  Tahun  2004  tentang Pemerintah Daerah.
2)  Untuk  memberikan  solusi  permasalahan  pengaturan  penanaman  modal  dari segi harmonisasi hukum terhadap Undang-undang Nomor 32 Tahun  2004  tentang  Pemerintahan  Daerah  untuk  memenuhi  birokrasi  kewirausahaan.
b.  Tujuan Subjektif.
1)  Untuk  menambah  wawasan  dan  pengetahuan  penulis  di  bidang  ilmu  hukum  khususnya  di  bidang  hukum  tata  negara  mengenai  pengaturan    penanaman  modal  di  Indonesia  dan  apakah  pengaturan  tersebut  sudah  mencerminkan prinsip birokrasi kewirausahaan.
2)  Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar  dapat  memberikan  manfaat  bagi  penulis  sendiri  khususnya  dan  masyarakat pada umumnya.

 Skripsi Hukum: Analisis Harmonisasi Pengaturan Wewenang Penanaman Modal Ditinjau Dari Prinsip Birokrasi Kewirausahaan

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi