BAB I.
PENDAHULUAN.
A.Latar Belakang.
Skripsi Hukum: Analisis Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46Puu-Viii2010 Terhadap Pengakuan Secara Hukum Anak Di Luar Perkawinan
Anak merupakan
generasai penerus bangsa
sehingga suatu bangsa
akan menjadi bangsa
yang tumbuh dengan pesat apabila
generasi penerusnya tumbuh dengan perlindungan
negara. Pembinaan seorang anak
merupakan kewajiban keluarga,
masyarakat, lingkungan dan
negara. Perlindungan terhadap
anak tersebut juga
akan menentukan tumbuh
kembangnya seorang anak
baik sacara fisik
dan mental anak
tersebut. Dalam proses
pembangunan negara apabila pemerintah
tidak menciptakan perlindungan
untukanak sebagai penerus bangsa maka
akan menimbulkan permasalahan
sosial. Anak dalam
hukum dan pemerintahan
merupakan suatu subyek
hukum, pemegang hak
dan kewajiban yang perlu mendapatkan perlindungan hukum oleh
negara demi tercapainya kader kader
penerusbangsa yang ideal (Evalina Alissa, 2009: 1) Hasil uji materi Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mempunyai
implikasi yakni keberadaan
anak hasil hubungan
diluar perkawinan kini
dilindungi hukum, khususnya
mengenai hubungan keperdataan
dengan ayahnya. Mahkamah Konstitusi
telah mengeluarkan putusan uji materi atas Pasal 43 Ayat (1) Undang Undang
Nomor 1 Tahun1974 Tentang Perkawinan.
Putusan tersebut mengatakan
bahwa Pasal43 Ayat (1)
anak diluar perkawinan
hanya mempunyai hubungan
keperdataan dengan ibunya.
Pasal43 ayat (1) tersebut dinilai
bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945
dan Hak Asasi Manusia. Permohonan yang diajukan oleh Machicha Mochtar tesebut diputusan oleh Mahkamah Konstitusiyang
mengubah bunyi Pasal43 Ayat (1)
Undang-UndangPerkawinan yang berbunyi anak diluar perkawinan memiliki hubungan
perdata dengan ibu
dan ayah biologis
dan keluarga laki
laki yang terbukti secara ilmu pengetahuan sebagai
ayahnya.
Tabel 1. Uji materiilPutusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 Undang-Undang Dasar1945 Undang-UndangNo. 1
tahun 1974 tentang perkawinan Pasal28 B
ayat (1) “Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan Pasal2 ayat (2) “Tiap tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan
perundang undangan yang berlaku “
Pasal28 B Ayat (2) “Setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang
serta berhak mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi”
Pasal43 ayat (1) “Anak yang dilahirkan
diluar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata
dengan ibu dan keluarga
ibunya” Pasal28 D ayat (1) “Setiap orang
berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum” Sumber : Majalah Renvoi edisi
Nomor12.108 Mei 2012 halaman 29 Sedangkan
berdasarkan pertimbangan
hukum terhadap putusan Mahkamah Konstitusi
memberikan Putusan mengabulkan
sebagian permohonan pemohon.
Pasal2 ayat (2)
Undang-Undangperkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib
administrasi yng dimaksudkan agar perkawinan dipandang
sebagai perbuatan hukum
yang penting dan
mempunyai implikasi hukum yang sangat
luas terhadap anak hasil perkawinan tersebut.
Sedangkan Pasal43 ayat
(1) dikabulkan karena hubungan anak
dengan serorang laki
laki sebagai bapak
tidak semata mata
karena adanya ikatan perkawinan saja, akan tetapi dapat didasarkan
pada pembuktian adanya hubungan darah antara
anak dan laki
laki sebagai bapak
biologisnya. Dengan demikian terlepas mengenai prosedur
atauadministrasi perkawinan anak yang
terlahir dari suatu perkawinan harus mendapat perlindungan
hukum.
Perdebatan panjang
mewarnai putusan Mahkamah
Konstitusi ini, pro kontra yang
terjadi terkait perubahan
Pasal 43 ayat (1)
Undang Undang Perkawinan ini telah merebut banyak perhatian.
Masing masing pihak mempunyai argumentasi yang
mendasari pernyataan setuju
atau tidak terhadap
putusan ini.
Pihak kontra
yang seperti disampaikan
Majelis Mujahidin menolak
putusan ini karena dikhawatirkan dampak buruk dari putusan
itu akan memfasilitasi kebejatan moral, prostitusi,
dan perselingkuhan. Sebab
perempuan jika hamil
dan melahirkan anak
luar kawin maka
tidak perlu khawatir
terkait pemenuhan hak keperdataan terhadap
ayah biologisnya. Selain
itu utusan ini
berdampak buruk terhadap ahli waris sah dari laki-laki
tersebut terkait hak hak yang terampas akibat kehadiran anak Luar Kawin tersebut.
Alasan lain yang disampaikan oleh
Majelis Mujahidin tersebut antara lain
sebagai berikut: a. Perubahan Pasal 43
ayat (1) Undang-Undang Perkawinan telah melecehkan ajaran
agama dan prinsip
kemanusiaan yang adil
dan beradab, sebab Pasal43
ayat (1)
Undang-UndangPerkawinan dibuat sebagai
implementasi Pasal29 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang Dasar1945.
b. Para Hakim
Mahkamah Konstitusi telah
diperalat oleh misi
dan kepentingan tertent,
sehingga putusan Uji
Materiil Undang-Undang Perkawinan
ini bertentangan dengan
ajarana agama dan UndangUndang Dasar1945 yang hendak melestarikan
dengan budaya jahiliyah dimana anak
hasil perzinahan disetarakan dengan anak sah. Tidak ada satu
agamapun di Indonesia yang
menyatakan bahwa anak yang
lahir dari perzinahan
memiliki hak keperdataan
yang setara dengan
anak yang lhir dari perkawinan
yang sah.
c. Bangsa
Indonesia menganut prinsip
kemanusiaan yang adil
dan beradab, kemudian apakah
perbuatan perzinahan, prostitusi dan kumpul kebo
dapat disamakan dengan
sebuah prosesi pernikahan
yang diatur oleh agama?
Bagaimana Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut dapat mengantisipasi para perempuan dari
perselingkuhan dan prostitusi yang menuntut
diakui eksistensi dan hak perdatanya sehinga mengintervensi hak istri yang sah? d. Mendesak Presiden
agar menolak putusan
Mahkamah Konstitusi dan tidak memasukkannya
dalam lembaran negara,
sebab bertentangan dengan ajaran agama, moralitas, dan nilai
luhur bangsa yang beradab.
e. Putusan Mahkamah
Konstitusi ini terkesan
misterius sehingga mahkamah
konstitusi ini seharusnya
berani mempertanggungjawabkan dalam
suatu forum debat
publik sebelum dimasukkan kedalam lembaran negara.
Berbeda lagi
dengan pendapat proterhadap putusan Mahkamah
Konstitusi, Eka N.A.M. Sihombing
mengatakan bahwa kekhawatiran yang dikemukakan oleh pihak
yang menolak putusan
ini menurutnya tidak
beralasan, sebab sejatinya putusan
ini justru memberikan
pesan moral kepada
laki laki untuk
tidak sembarangan melakukan
hubungan seks diluar
pernikahan, sebab ada
implikasi yang akan
dipertanggungjawabkan akibat perbuatan
tersebut. Mahkamah Konstitusi
bermaksud agar anak
yang diluar perkawinan
mendapatkan perlindungan hukum yang
memadai, karena pada prinsipnya
anak tersebut tidak berdosa
dan kelahiran itu
diluar kehendaknya. Anak
yang dilahirkan tanpa kejelasan status
ayah seringkali mendapatkan
perlakuan yang tidak
adil dan stigma
negative dari masyarakat.
Hukum harus memberikan
perlindungan dan kepastian
terhadap status seorang
anak yang dilahirkan
meskipun keabsahan perkawinannya
masih dipersengketakan (Eka
N.A.M. sihombing dalam D.Y.
Witanto. 2012 : 260).
Selain itu
pendapat ahli dalam
persidangan juga memberikan
argumentasi bahwa permohonan uji
materiil Pasal43 ayat (1) Undang-UndangPerkawinan ini merupakan
salah satu bentuk
ijtihad dari Mahkamah
Konstitusi, sebab putusan tersebut
tidak menganut aliran
mazhab. Namun apabila
din ilai putusan tersebut lebih mendekati Mazhab Abu
Hanifah yang menyatakan bahwa selama
ayahnya mengakui maka hak anak
diberikan.
Anak yang
dilahirkan tanpa memiliki
kejelasan status ayah
seringkali mendapat mendapatkan
perlakuan yang tidak
adil dan stigma
ditengah tengah masyarakat. Hukum harus
memberikan perlindungan dan
kepastian hukum yang adil terhadap
status seorang anak
yang dilahirkan dan
hak hak anak
tersebut, seperti hak untuk
mendapatkan pengakuan dimata hukum.
Namun dalam
memberikan putusan tersebut
terdapat perbedaan sudut pandang (concurring opinion) dari hakim
konstitusi Maria Farida terkait permohonan uji materiil Pasal2 ayat
(2) dan Pasal43 ayat (1) Undang-UndangPerkawinan.
Menurut Maria Farida Pasal2 ayat (2) Undang-UndangPerkawinan a
quo yang mensyaratkan
pencatatan, meskipun faktanya
menambah persyaratan untuk
melangsungkan perkawinan, namun
ketiadaannya tidak menghalangi
adanya pernikahan itu
sendiri. Pembatasan untuk
melakukan pencatatan perkawinan
semacam ini mendapatkan
pembenaran dalam paham konstitusionalisme yang
sejalan dengan Pasal28 J
ayat (2) UndangUndang Dasar1945
“ dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajjib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang undang
dengan maksud semata
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai
nilai agama, keamanan
dan ketertiban umum
dalam suatu masyrakat
demokratis”. Sehingga keberadaan Pasal 2 ayat
(2) Undang-UndangPerkawinan tetap
diperlukan.
Mengenai uji materiil Pasal43
ayat (1) Undang-UndangPerkawinan Maria Farida
berpendapat bahwa: “Perkawinan yang tidak
didasarkan pada Undang-Undang Perkawinan juga
memiliki potensi untuk
merugikan anak yang dilahirkan
dari perkawinan tersebut. Potensi kerugian bagi anak yang terutama
adalah tidak diakuinya
hubungan anak dengan
bapak kandungnya yang
tentunya mengakibatkan tidak
dapat dituntutnya kewajiban bapak kandungnya untuk membiayai
kebutuhan hidup anak dan hak hak
keperdataan lainnya. Selain itu
masyarakat yang masih berupaya
mempertahankan kearifan nilai nilai tradisional, pengertian keluarga selalu merujuk pada pengertian
keluarga batih atau keluarga elementer, yaitu
keluarga yang tidak
memiliki kelengkapan keluarga unsure
batih atau tidak memiliki
pengakuan dari bapak
biologisnya, akanmemberikan stigma negative, misal
sebagi anak haram. Stigma ini
adalah sebuah potensi
kerugian secara sosial-psikologis, yang sebenarnya
dapat dicegah dengan tetap mengakui hubungan anak dan bapak biologisnya.” Berdasarkan pertimbangan
tersebut Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dirubah
sebagai berikut“anak yang
dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang
menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Tentunya putusan tersebut merupakan pengakuan atas jaminan
pemberian hak untuk anak luar kawin yang selama
ini kedudukannya lemah
dimata hukum. Namun
apakah putusan tersebut
dapat menjamin pemberian hak hak
keperdataan tersebut terhadap
anak luar kawin?
bagaimanakah kedudukan dimata
hukum anak luar
kawin pasca putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor
terkait uji materiil
Undang-Undang Perkawinan?Hal ini yang akan dikaji mendalam didalam
penulisan hukum ini.
Berdasarkan paparan
diatas menjadikan penulis
tertarik untuk mengkaji permasalahan
tersebut dalam penulisan
hukum dengan judul “ANALISIS KRITIS
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 46/PUUVIII/2010TERHADAP
PENGAKUAN SECARA HUKUM
ANAK DI LUAR PERKAWINAN”.
B.Rumusan Masalah.
Perumusan masalah merupakan
bagian penting dalam suatu penulisan hukum agar
terarah dan tujuan
tidak menyimpang dari pokok
permasalahan sehingga sangat
diperlukan untuk memfokuskan
masalah agar dapat
dipecahkan secara sistematis. Berdasarkan latar belakang di atas
maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut: .
1. Asas Hukum
apakah yang dipakai
pertimbangan oleh hakim
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010?.
2. Bagaimana akibat hukum dari
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010terhadap pengakuan anak diluar
perkawinan?.
C.Tujuan Penelitian.
Penelitian merupakan
sarana yang dipergunakan
oleh manusia untuk memperkuat, membina
serta mengembangkan ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan
yang merupakan pengetahuan
yang tersusun secara
sistematis dengan menggunakankekuatan pemikiran,
pengetahuan mana senantiasa
dapat diperiksa dan ditelaah
secara kritis, akan berkembang terus
atas dasar penelitianpenelitian
yang dilakukan oleh
pengasuh-pengasuhnya. Dalam suatu
penelitian dikenal ada dua macam
tujuan, yaitu tujuan objektif dan tujuan subjektif.Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis adalah
sebagai berikut:.
1.Tujuan Objektif.
Tujuan objektif
merupakan tujuan penulisan dilihat
dari tujuan umum yang
berasal dari penelitian itu sendiri, yaitu sebagai berikut dengan :.
a. Untuk mengetahui
asas asas yang
dipakai dalampertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010.
b. Untuk mengetahui
akibat hukum Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Pundang-Undang-VII/2010 terkait
Pengakuan terhadap anak diluar
perkawinan.
2. Tujuan Subjektif.
Tujuan Subjektif merupakan tujuan penulisan dilihat dari
tujuan pribadi penulis sebagai
dasar dalam melakukan penelitian, yaitu sebagai berikut:.
a.Untuk memperoleh
data dan informasi
sebagai bahan utama
dalam menyusun penulisan
hukum (skripsi) agar
dapat memenuhi persyaratan akademis
guna memperoleh gelar
sarjana hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b.Untuk menerapkan
ilmu dan teori-teori
hukum yang telah
fpenulis peroleh agar
dapat memberi manfaat
bagi penulis sendiri
serta memberikan kontribusi
positif bagi perkembangan
ilmu pengetahuan di bidang
hukum.
c.Untuk memperluas pengetahuan
dan pengalaman serta pemahaman aspek hukum di
dalam teori dan praktik penulis dalam
bidang hukum tata Negara.
Skripsi Hukum: Analisis Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46Puu-Viii2010 Terhadap Pengakuan Secara Hukum Anak Di Luar Perkawinan
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi