I. PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Analisis Terhadap Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Melakukan Pengawasan Hakim Ad Hoc Tipikor
Indonesia merupakan salah satu
negara dengan jumlah hakim yang banyak yaitu lebih dari 8000 (delapan ribu)
hakim termasuk didalamnya hakim karir dan nonkarir. Tidak dapat kita pungkiri bahwa
hakim merupakan satu-satunya profesi yang memiliki wewenang untuk memutus secara
langsung perkara-perkara dalam suatu pengadilan
di wilayah tertentu
yang sudah ditetapkan
untuk diproses oleh hakim pengadilan
tersebut. Oleh karena,
itu profesi hakim
disebut juga sebagai wakil Tuhan di dunia. Hal ini tidak lepas dari
pandangan disemua agama bahwa hanya Tuhan
lah yang dapat
memutus benar ataupun
salahnya suatu kejadian.
Dengan memiliki
kewenangan yang seharusnya
dimiliki oleh Tuhan
semata, semua hakim mustahil jauh
dari ajaran-ajaran agama dimana
sifat-sifat, perilaku, dan pemikiran
seseorang benar-benar murni
karena akan memutuskan
sesuatu berdasarkan kewenangan
yang dimilikinya. Namun, pada realitanya
justru banyak kasus-kasus penyelewengan
yang dilakukan oleh hakim.
Sebagai profesi
yang berada diujung
tombak suatu lembaga
peradilan, hakim sangatlah
mudah untuk membuat
semua hal menjadi
seperti yang diinginkan oleh pihak-pihak tertentu.
Kemudahan akses dengan para hakim di era modern
ini membuat para
pihak yang berkepentingan semakin
leluasa untuk menjalankan
segala keinginannya, termasuk
untuk membujuk para
hakim.
Kemudahan-kemudahan untuk
menerobos celah yang ada di pengadilan
ini tentu saja menjadi
sesuatu yang sangat
dikhawatirkan oleh masyarakat.
Pasalnya Pengadilan merupakan
tempat atau usaha
terakhir yang dapat
dilakukan oleh masyarakat
dalam menyelesaikan suatu
sengketa. Peranan hakim
sangat berpengaruh pada segala
kejadian yang ada di dalam pengadilan mengingat semua hal yang dilaksanakan dalam persidangan
dikendalikan oleh majelis hakim. Oleh sebab
itu, hakim merupakan objek sasaran bagi para pihak berperkara agar dapat dibujuk
untuk mempermudah proses
persidangan seperti yang
diinginkan oleh pihak terkait.
Tindakan-tindakan seperti bujukan
ini dapat membuat
suatu hakim memutus
perkara dengan mengesampingkan keadilan
berdasarkan hukum, rasa keadilan
dan hati nurani, maka negara melakukan tindakan dengan mengadakan sesuatu
yang disebut sebagai
Independensi Kekuasaan Kehakiman.
Prinsip ini sangat
dibutuhkan suatu negara
untuk melindungi kekuasaan
kehakiman dari intervensi, bujukan, rayuan, paksaan maupun
pengaruh-pengaruh yang datang dari suatu lembaga,
teman sejawat, atau
bahkan atasan sehingga
dalam memutus perkara hakim tersebut murni semata-mata demi
keadilan dan hati nurani majelis hakim. Dengan
adanya Independensi Kekuasaan
Kehakiman ini bukan
berarti tidak boleh ada lembaga
maupun pihak lain yang berwenang untuk mengurus halhal yang
berkaitan dengan hakim.
Dalam perekrutan maupun
pengawasannya tidak hanya
dilakukan oleh sesama
hakim saja, perlu
adanya keterlibatan pihak atau lembaga
lain untuk mengurus
hal ini agar
terlaksana suatu checks
and balance sehingga diharap
tidak ada rasa tebang pilih dalam mengatur hakim.
Negara Indonesia merupakan negara
dengan tingkat tindak pidana korupsi yang
tinggi. Hal ini
sesuai dengan data
yang diperoleh Transparency International
(lembaga anti korupsi
internasional) yang mengadakan
penelitian terhadap negara-negara
khusus mengenai kasus korupsi dimana
Indonesia menduduki peringkat
64 dari 177
negara yang dinilai
berdasarkan indeks yang telah
ditetapkan. Korupsi menurut Pasal 2
Undang-Udang Nomor 31 Tahun 1999 “Setiap orang
yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau
perekonoman negara”. Tindak pidana ini merupakan kejahatan yang merugikan kekayaan negara paling tinggi di
Indonesia. Oleh sebab itu pada tahun 2003 dibentuk
Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) sebagai lembaga
yang mengatasi, menanggulangi
dan memberantas korupsi
di Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor
30 Tahun 2002
mengenai Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Upaya Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam
memberantas korupsi patut
diberi apresiasi karena semenjak
didirikannya komisi ini terkuak tindak pidana korupsi diberbagai tempat bahkan hampir kebanyakan
yang diungkap berasal dari orang- orang
petinggi negara layaknya yang baru saja
terjadi terhadap Menteri Pemuda dan Olah
Raga Indonesia yaitu
Andi Malarangeng. Sontak
apresiasi dari masyarakat
terhadap Komisi Pemberantasan
Korupsi melambung tinggi
karena keberanian dalam
mengungkapkan tindak pidana
disekitar petinggi-petinggi negara.
Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam melaksanakan
tugasnya menggunakan badan
peradilan hukum yang
khusus mengadili perkara-perkara tindak
pidana korupsi yaitu
Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi ( Tipikor).
Pengadilan Tipikor
memiliki tugas dan
wewenang dalam memeriksa
dan memutus perkara-perkara tindak
pidana korupsi yang
diajukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi. Dalam memutus
perkara, Pengadilan Tipikor
memiliki dua macam hakim, yaitu
Hakim Karir dan Hakim Ad hoc. Suatu
perkara biasanya ditangani oleh
5 hakim yang
terdiri dari 3
hakim karir dan
2 hakim Ad hoc.
Hakim-hakim yang
terpilih untuk menjadi
hakim Tipikor tentu
saja merupakan hasil penilaian yang terbaik dari seluruh
Indonesia. tapi pada kenyataannya masih ada
kemungkinan terjadi tindakan yang tidak baik dapat mendatangi para hakimhakim
ini.
Komisi Yudisial
adalah lembaga negara
yang memiliki tugas
dan wewenang untuk
mengawasi hakim di
seluruh wilayah Indonesia.
Lembaga ini selain untuk mengatur pergerakan hakim juga
sebagai lembaga yang memberikan perlindungan terhadap
hakim dari pengaruh-pengaruh luar
mengenai suatu perkara
yang ditangani hakim.
Banyaknya kasus-kasus mengenai
“sisi gelap” hakim membuat Komisi Yudisial harus bekerja
keras disemua wilayah.
Banyak masyarakat
hanya mengetahui salah
satu tugas Komisi
Yudisial adalah melakukan
pengawasan terhadap hakim
diseluruh Indonesia. Tetapi banyak
yang tidak mengetahui
sebenarnya seperti apa
bentuk dari pengawasan yang
dilakukan oleh Komisi
Yudisial ini karena
dalam peraturan perundangundanganpun tidak
disebutkan secara rinci
bagaimana prosedur atau
langkahlangkah yang ditempuh
Komisi Yudisial dalam
fungsinya menegakkan kehormatan
dan keluhuran martabat
serta menjaga prilaku
hakim karir maupun hakim
ad hoc. Sehingga
dapat dikatakan bahwa
kewenangan yang dimiliki Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan
terhadap hakim tidak jelas.
Pengawasan yang dilakukan oleh
Komisi Yudisial terhadap prilaku hakim karir dan
hakim ad hoc
dirasa akan mampu
memberantas kasus-kasus yang menjatuhkan martabat
hakim di Indonesia.
Tapi dalam kenyataannya
masih banyak terjadi
pelanggaran terhadap kode
etik kehakiman yang
dilakukan oleh hakim.
Sangat disayangkan suatu
profesi yang diharapkan
menjadi solusi akhir dalam menyelesaikan
permasalahan justru menjadi
lahan bisnis oleh
para penegaknya.
Kasus-kasus mafia
hukum yang sering
terjadi tidak hanya
menghampiri hakim-hakim karir
dalam pengadilan negeri. Bahkan belum lama ini telah terbukti hakim ad hoc
Tipikor Semarang Asmadinata menerima suap yang diberikan oleh terdakwa
demi mempermudah proses persidangannya. Jelas disini terlihat bahwa tidak
peduli dilingkungan manapun
tetap terdapat intervensi-intervensi yang mendatangi
para hakim. Salah satu yang menjadi pertanyaan adalah kenapa bisa pengadilan sekelas Tipikor dapat terkena kasus
suap terhadap hakim ad hoc-nya.
Tentu saja
masyarakat juga mempertanyakan apa
yang dimaksud dengan
hakim ad hoc
dan apa bedanya
dengan hakim-hakim yang
lain. Apakah terdapat perbedaan
dalam melakukan pengawasan
yang dilakukan oleh
Komisi Yudisial terhadap hakim karir dan hakim ad hoc sehingga dapat terjadi kasus suap
maupun intervensi lainnya.
Berdasarkan latar belakang
masalah tersebut penulis merasa tertarik untuk mengadakan
penelitian mengenai pengawasan
terhadap hakim Ad
hoc Tipikor yang dilakukan
oleh Komisi Yudisial.
Maka dari itu
muncul sebuah gagasan untuk
membuat suatu skripsi
dengan judul “ANALISIS
TERHADAP KEWENANGAN KOMISI
YUDISIAL DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN
HAKIM AD HOC
TIPIKOR TERKAIT DENGAN INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN” B.
Rumusan Masalah.
Perumusan masalah merupakan hal
yang sangat penting dalam penelitian yang bertujuan
untuk mendapatkan jawaban
atas permasalahan yang
diteliti.
Berdasarkan uraian dan latar
belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk membahas
masalah tersebut lebih
lanjut dengan menitikberatkan pada
rumusan masalah:.
1. Apakah
kewenangan Komisi Yudisial
dalam melaksanakan pengawasan terhadap hakim Ad Hoc Tipikor?.
2. Apakah kewenangan Komisi
Yudisial dalam mangawasi hakim Ad Hoc Tipikor tidak bertentangan dengan prinsip
independensi kekuasaan kehakiman?.
C. Tujuan Penelitian.
Setiap penelitian
pasti mempunyai tujuan
tertentu yang ingin
dicapai, untuk menjadi
arahan dalam melaksanakan
penelitian tersebut, sehingga mendapatkan
hasil yang maksimal
dalam menjawab permasalahan
yang ada.
Adapun tujuan yang ingin dicapai
penulis:.
1. Tujuan Obyektif .
a. Mengetahui wewenang Komisi Yudisial sebagai lembaga yang
mengawasi kinerja hakim di Republik
Indonesia.
b. Mengetahui
bagaimana kewenangan Komisi
Yudisial untuk mengawasi hakim
tidak bertentangan dengan
prinsip independensi kekuasaan kehakiman.
2. Tujuan Subyektif .
a. Memenuhi persyaratan akademis guna mencapai
gelar sarjana hukum pada bidang ilmu
hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
b. Menambah
pengetahuan hukudan pemahaman
penulis dalam penelitian hukum di bidang Tata Negara.
c. Untuk
memberikan sumbangan pikiran
bagi ilmu hukum
agar dapat memberikan wawasaan dan manfaat.
d. Mengembangkan penalaran yang dimiliki oleh penulis dari pengetahuan yang didapatkan selama masa perkuliahan.
D. Manfaat Penelitian.
Adapun manfaat yang didapat dari
penelitian ini adalah Sebuah penulisan hukum diharapkan dapat memberikan manfaat yang
berguna bagi perkembangan ilmu hukum
itu sendiri juga
dapat diterapkan dalam
praktik. Adapun manfaat yang diharapkan penulis adalah:.
1. Manfaat Teoritis.
a. Penelitian
ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran
dan manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan
di bidang hukum
pada umumnya dan hukum tata
negara pada khususnya.
b. Memberikan
pemikiran mengenai kewenangan
Komisi Yudisial dalam melakukan
pengawasan terhadap hakim.
c. Diharapkan hasil penelitian ini dapat
memperkaya referensi dan literatur dalam
dunia kepustakaan serta sebagai acuan terhadap panelitian sejenis dimasa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis.
a. Memberikan
informasi dan gambaran
kepada masyarakat mengenai peran dan
wewenang Komisi Yudisial
dalam pengawasan terhadap hakim ad hoc Tipikor.
b. Memberikan informasi mengenai implikasi
pengawasan Komisi Yudisial terhadap
hakim terkait independensi kekuasaan kehakiman.
c. Dapat
mengembangkan penalaran, pola
pikir dinamis dan
untuk mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan
ilmu hukum yang diperoleh
selama perkuliahan.
d. Dapat
membantu memberikan tambahan
masukan dan pengetahuan kepada
pihak-pihak terkait dengan
masalah yang diteliti,
juga kepada berbagai pihak yang berminat pada permasalahan
yang sama.
Skripsi Hukum: Analisis Terhadap Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Melakukan Pengawasan Hakim Ad Hoc Tipikor
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi