BAB I.
PENDAHULUAN.
A. LATAR BELAKANG MASALAH.
Skripsi Hukum: Analisis Yuridis Dalam Perkara Tindak Pidana Illegal Logging Yang Dilakukan Oleh Anggota Polri
Perhatian dunia
terhadap lingkungan hidup
pertama kali muncul pada
tahun 1950-an ketika
terjadi pencemaran lingkungan
terutama di negara
negara maju yang disebabkan oleh limbah industri, pertambangan dan
pestisida yang kemudian mendorong lahirnya
Konferensi Stockholm pada
tahun 1972, sehingga
pada waktu itu
masalah lingkungan menjadi masalah internasional. (Sumarwoto, 1991:2).
Pasca Konferensi Stockholm
ternyata tidak memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap penanggulangan masalah lingkungan dan bahkan permasalahan lingkungan menjadi semakin parah
pada waktu itu, sehingga Perserikatan Bangsa
bangsa (PBB) membentuk
komisi sedunia untuk lingkungan dan pembangunan yaitu World Commission on Environment and
Development (WCED) pada
bulan Desember 1983.
Komisi ini bertugas
menyusun rekomendasi tentang
strategi jangka panjang
konsep pembangunan berkelanjutan
dan menyelesaikan tugasnya pada tahun 1987 dengan
laporan yang berjudul Our
Common Future (Hari
Depan Kita Bersama). Laporan tersebut
dikenal dengan laporan
Brudtland karena diketuai
oleh Ny. Gro
Brundtland Perdana Menteri
Norwegia. Usulan konsep
pembangunan berkelanjutan dalam
laporan Brundtland 1987
itu juga merupakan
koreksi terhadap kelemahan
dari pembangunan yang berwawasan lingkungan
era Deklarasi Stockholm 1972 (Hardjasoemantri K, 1999: 12).
Hutan merupakan
bagian penting dari
lingkungan hidup. Dalam pengelolaan
hutan juga mempunyai asas yang sudah merupakan asas yang berlaku
secara internasional yaitu
asas hutan berkelanjutan
/ lestari (sustainable forest) dan asas ecolabelling
(Salim, 2003: 11).
Pemanfaatan dan
pengelolaan sektor kehutanan
dalam perkembangannya menjadi
salah satu bagian
terpenting dari lingkungan hidup.
Menjadi sorotan bukan
hanya secara nasional melainkan
menjadi wacana global.
Perhatian dunia terhadap kelestarian
hutan tampak dalam Konferensi
Tingkat Tinggi ( KTT) Bumi yang diadakan di Rio de jeneiro oleh
PBB pada tanggal
3 sampai 14
Juni 1992 yang
juga merupakan peringatan
20 tahun Konferensi
Stockholm 1972. Laporan
dari WCED kemudian digunakan sebagai materi dalam KTT Bumi di Rio de
Jeneiro.
Konferensi tersebut
dinamakan dengan United Nations
Conference on Environment and Development (UNCED)
(Harjasumantri, 1999: 19).
Seiring dengan perkembangan
kehidupan masyarakat modern dalam
menghadapi globalisasi serta
adanya proses industrialisasi dan modernisasi akan
menumbuhkan perubahan proses
sosial dalam tata kehidupan masyarakat.
Proses industrialisasi dan
modernisasi dan terutama di bidang industrialisasi kehutanan telah berdampak
besar pada kelangsungan hutan
sebagai penyangga hidup
dan kehidupan mahluk
di dunia. Hutan
merupakan sumber daya
yang sangat penting
tidak hanya sebagai
sumber daya kayu,
tetapi lebih sebagai
salah satu komponen lingkungan hidup.
Untuk itu
dalam kedudukannya hutan
sebagai salah satu
penentu sistem penyangga
kehidupan harus dijaga
kelestariaannya. sebagaimana landasan konstitusional Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 yang berbunyi, Bumi air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Kawasan hutan
merupakan sumber daya
alam yang terbuka, sehingga
akses masyarakat untuk
masuk memanfaatkannya sangat
besar.
Kondisi tersebut memacu
permasalahan dalam pengelolaan hutan. Seiring dengan semangat reformasi kegiatan penebangan
kayu dan pencurian kayu dihutan menjadi
semakin marak. Apabila
hal ini dibiarkan
berlangsung secara terus
menerus kerusakan hutan
Indonesia akan berdampak
pada terganggunya kelangsungan
ekosistem, terjadinya banjir,
erosi/tanah longsor, disfungsinya
hutan sebagai penyangga
keseimbangan alam serta dari
sisi pendapatan Negara
pemerintah Indonesia mengalami
kerugian yang dihitung
dari pajak dan
pendapatan yang seharusnya
masuk ke kas Negara.
Indonesia merupakan
rumah tertua bagi
hutan hujan terluas
di Asia. Sekitar tujuh
belas ribu pulau-pulau
di Indonesia membentuk kepulauan
yang membentang di dua alam
biogeografi - Indomalayan dan Australasian
- dan tujuh wilayah biogeografi, serta menyokong luar biasa banyaknya
keanekaragaman dan penyebaran
spesies. Di seluruh
dunia, hutan-hutan alami
sedang dalam krisis.
Tumbuhan dan binatang
yang hidup didalamnya terancam
punah. Dan banyak manusia dan kebudayaan yang
menggantungkan hidupnya dari
hutan juga sedang
terancam. Tapi tidak
semuanya merupakan kabar
buruk. Masih ada
harapan untuk menyelamatkan
hutan-hutan ini dan
menyelamatkan mereka yang
hidup dari hutan.Hutan purba
dunia sangat beragam.
Hutan-hutan ini
meliputi hutan boreal-jenis
hutan pinus yang
ada di Amerika Utara, hutan hujan
tropis, hutan sub tropis dan hutan magrove.
Bersama, mereka menjaga sistem
lingkungan yang penting bagi kehidupan di
bumi. Mereka mempengaruhi cuaca dengan mengontrol curah hujan dan penguapan
air dari tanah.
Mereka membantu menstabilkan
iklim dunia dengan menyimpan karbon dalam jumlah
besar yang jika tidak tersimpan akan
berkontribusi pada perubahan
iklim. Dampak kerusakan hutan
di Indonesia menurut
data Departemen Kehutanan
pada tahun 2003 menyebutkan bahwa
luas hutan Indonesia
yang mengalami kerusakan mencapai
43 juta hektar
dari total 120,35
hektar dengan laju
degradasi dalam 3
tahun terakhir mencapai
2,1 juta hektar
pertahun. Sejumlah laporan
bahkan menyebutkan antara
1,6 smpai 2,4
juta hektar hutan Indonesia hilang setiap
tahunnya. Hal itu
sama dengan luas
enam kali lapangan
sepakbola setiap menitnya.
(ICEL-Indonesian for Center Environmental Law, 19-10-2003: 2).
Bahkan, banyak
dari sisa-sisa hutan
tersebut yang bisa dikategorikan hutan
yang telah ditebangi
dan terdegradasi. Efek
dari berkurangnya hutan ini pun
meluas, tampak pada aliran sungai yang tidak biasa,
erosi tanah, dan
berkurangnya hasil dari
produk-produk hutan. Di pulau Irian
Jaya, satu-satunya sungai
es tropis memang
mulai menyurut akibat
perubahan iklim, namun juga akibat
lokal dari pertambangan
dan penggundulan hutan.
Penebangan kayu tropis
dan ampasnya merupakan penyebab utama dari berkurangnya hutan di
negara itu. Penebangan hutan di
Indonesia telah memperkenalkan beberapa daerah yang paling terpencil, dan terlarang, di dunia pada pembangunan.
Setelah berhasil
menebangi banyak hutan
di daerah yang
tidak terlalu terpencil,
perusahaan-perusahaan kayu ini
lantas memperluas praktek
mereka ke pulau
Kalimantan dan Irian
Jaya, dimana beberapa tahun terakhir ini banyak petak-petak hutan
telah dihabisi dan perusahaan kayu harus
masuk semakin dalam ke daerah interior untuk mencari pohon yang
cocok. Sebagai contoh,
di pertengahan 1990an,
hanya sekitar 7 persen dari ijin penambangan
berada di Irian
Jaya, namun saat
ini lebih dari 20 persen ada di kawasan tersebut.
Illegal logging telah menimbulkan masalah multidimensi
yang berhubungan dengan
aspek ekonomi, sosial, budaya
dan lingkungan. Hal
tersebut merupakan konsekuensi
logis dari fungsi
hutanyang pada hakekatnya
adalah sebuah ekosistem
yang di dalamnya mengandung tiga fungsi dasar, yaitu
fungsi produksi (ekonomi), fungsi
lingkungan (ekologi) serta fungsi sosial (Iskandar, 2000: 165).
Di Indonesia,
penebangan kayu secara
legal mempengaruhi 700.000-850.000 hektar
hutan setiap tahunnya, namun penebangan hutan illegal yang
telah menyebar meningkatkan
secara drastis keseluruhan daerah yang ditebang hingga 1,2-1,4 juta
hektar, dan mungkin lebih tinggi - di
tahun 2004. (Andriana, 2004: 1) Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim
mengatakan bahwa 75 persen dari
penebangan hutan di Indonesia ilegal. Meskipun ada larangan resmi
untuk mengekspor kayu
dari Indonesia, kayu
tersebut biasanya diselundupkan ke Malaysia, Singapura, dan
negara-negara Asia lain. Dari beberapa perkiraan,
Indonesia kehilangan pemasukan
sekitar Rp. 30 Trilyun pertahun dari
pajak akibat perdagangan
gelap ini. Penambangan ilegal
ini juga merugikan
bisnis kayu yang
resmi dengan berkurangnya suplai
kayu yang bisa
diproses, serta menurunkan
harga internasional untuk kayu
dan produk kayu. (Kompas, 25-1-2003:3) Aktifitas illegal logging
saat ini berjalan
dengan lebih terbuka, transparan
dan banyak pihak
yang terlibat dan
memperoleh keuntungan dari
aktifitas pencurian kayu,
modus yang biasanya
dilakukan adalah dengan
melibatkan banyak pihak
dan secara sistematis
dan terorganisir.
Pada umumnya,
mereka yang berperan
adalah buruh/penebang, pemodal (cukong),
penyedia angkutan dan
pengaman usaha (seringkali
sebagai pengaman usaha adalah
dari kalangan birokrasi, aparat pemerintah, polisi, TNI). Modus
yang digunakan dalam
praktek illegal logging adalah pengusaha
melakukan penebangan di
bekas areal lahan
yang dimiliki maupun
penebangan diluar jatah tebang (over
cutting) dan adakalanya illegal logging dilakukan melalui kerjasama
antara perusahaan pemegang izin
HPH (Hak Pengelolaan
Hutan) dengan para
cukong. Seringkali pemegang izin meminjamkan perusahaannya untuk
mengikuti lelang kayu sitaan kepada
pihak cukong yang
tidak ada hubungannya
sama sekali dengan perusahaan tersebut.
Dalam temuan
lain modus yang
biasa dilakukan dalam illegal logging adalah
pengusaha melakukan penebangan
di bekas areal
lahan yang dimilikinya
maupun penebangan diluar
jatah tebang, serta memanipulasi isi
dokumen Surat Keterangan
Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)
ataupun dengan membeli Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)
untuk melegalkan kayu
yang diperoleh dari
praktek illegal logging. Illegal
loging terjadi karena adanya kerjasama antara masyarakat lokal
berperan sebagai pelaksana
dilapangan dengan para
cukong bertindak sebagai
pemodal yang akan membeli kayu-kayu
hasil tebangan tersebut, adakalanya
cukong tidak hanya menampung dan membeli kayukayu hasil
tebangan namun juga
mensuplai alat-alat berat
kepada masyarakat untuk kebutuhan
pengangkutan. Pencegahan dan
penanganan tindak pidana
illegal logging merupakan
tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. (Tuti Budhi
Utami, 2010: 5) Untuk mewujudkan langkah-langkah yang
komprehensif dan terpadu
dalam pelaksanaan pencegahan
dan penanganan tersebut
perlu dibentuk gugus tugas.
Tindak pidana illegal logging merupakan kejahatan yang kemungkinan besar tidak
saja terjadi dalam
satu wilayah negara melainkan
juga antar negara.
Oleh karena itu,
perlu dikembangkan kerja sama internasional
dalam bentuk perjanjian
bantuan timbal balik
dalam masalah pidana
dan/ atau kerja
sama teknis lainnya
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.(Tuti
Budhi Utami, 2010: 6).
Untuk mengatasi
maraknya tindak pidana illegal logging jajaran aparat
penegak hukum (penyidik
Polri maupun penyidik
PPns yang lingkup
tugasnya bertanggungjawab terhadap
pengurusan hutan, Kejaksaan maupun Hakim) telah mempergunakan
Undang - Undang No.
41 tahun
1999 tentang Kehutanan
sebagai instrumen hukum
untuk menanggulanggi tindak
pidana illegal logging,
meskipun secara limitatif undang-undang tersebut tidak menyebutkan
adanya istilah illegal logging.
Dalam pemberantasan illegal logging
perlu dilakukan dengan
cara dan pendekatan
yang sistemik, dengan salah
satu cara upaya
melakukan antisipasi
terhadap meluasnya perbuatan
yang melanggar hukum
dengan memaksimalkan peranan
pengadilan pidana.
Dalam sisi
sistem, peradilan pidana
merupakan salah satu
usaha masyarakat untuk mengendalikan
terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas
tolerensi. Dengan demikian, esensi
dari tindak pidana illegal logging,
bahwa tindakan itu
menyebabkan kerusakan hutan
yang secara tidak langsung
merusak ekosistem yang ada
dan kelestarian fungsi hutan terganggu,
kemudian terabaikanya HAM, dalam hal ini dilanggarnya hakhak masyarakat
terhadap lingkungan yang sehat dan baik.
Banyak putusan bebas terhadap
kasus illegal logging, misalnya di Papua ada 14 putusan bebas dalam perkara illegal logging,
juga putusan bebas
pada kasus Dalianus
Lunggung Sitorus di
Padang, yang didakwa melakukan illegal logging
seluas 80.000 ha
dan lain-lain. Semua
itu menjadi renungan bersama, dalam
menyikapi putusan bebas
terhadap illegal logging,
beberapa hal-hal yang terjadi di pengadilan adalah proses pembuktian, dimana hukum administrasi lebih
diutamakan dari pada rana hukum pidana,
apalagi dengan saksi ahli yang mendukung. Hampir setiap hari
ada berita terjadinya
pencurian, perambahan, kerusakan
hutan, dan illegal logging, begitu besar nilai kekayaan sumber daya
hutan, sehingga menarik
beberapa oknum pejabat
dari tingkat kampung
sampai birokrat Jakarta
berebut untuk menikmati
madunya hutan dalam
ramuan korupsi dengan cara melakukan tindakan illegal logging
dan celakanya dalam rana hukum tindakan
dalam illegal logging yang dilakukan
mendapat putusan bebas. Terjadinya putusan bebas (verjspraak)
yang dijatuhkan oleh hakim, pada Pasal
191 ayat 1 KUHAP, jika pengadilaan berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan disidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan
yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdakwa
diputus bebas. Dengan
demikian dalam kasus illegal
logging, sangat susah untuk
membuktikan bahwa terdakwa
melakukan tindak pidana. (Siti Kotijah, 2009).
Mengingat besarnya
bahaya tindak pidana illegal logging
baik terhadap masyarakat, negara maupun
generasi penerus bangsa
Indonesia kedepan, maka upaya
pemberantasan tindak pidana illegal logging secara intenstif, efektif, dan komprehensif terhadap semua kalangan masyarakat luas
merupakan hal yang
sangat penting. Hal ini pula yang sedang
coba dilakukan oleh
Pengadilan Negeri Madiun dimana
terdapat satu kasus tindak pidana illegal logging yang telah diperiksa serta
diputus, dengan melibatkan
seorang terdakwa bernama Aris
Wibowo bin Noto
Diprojo yang merupakan anggota
Polri Polres Ponorogo.
Skripsi Hukum: Analisis Yuridis Dalam Perkara Tindak Pidana Illegal Logging Yang Dilakukan Oleh Anggota Polri
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi