Jumat, 05 Desember 2014

Skripsi Hukum: Analisis Yuridis Dalam Perkara Tindak Pidana Illegal Logging Yang Dilakukan Oleh Anggota Polri

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. LATAR BELAKANG MASALAH.
Skripsi Hukum: Analisis Yuridis Dalam Perkara Tindak Pidana Illegal Logging Yang Dilakukan Oleh Anggota Polri
Perhatian  dunia  terhadap  lingkungan  hidup  pertama  kali  muncul  pada  tahun  1950-an   ketika  terjadi  pencemaran  lingkungan  terutama  di  negara   negara maju yang disebabkan oleh limbah industri, pertambangan  dan  pestisida  yang  kemudian mendorong  lahirnya  Konferensi  Stockholm  pada  tahun  1972,  sehingga  pada  waktu  itu  masalah  lingkungan  menjadi  masalah internasional. (Sumarwoto, 1991:2).

Pasca Konferensi Stockholm ternyata tidak memberikan pengaruh  yang signifikan terhadap penanggulangan masalah lingkungan dan bahkan  permasalahan lingkungan menjadi semakin parah pada waktu itu, sehingga  Perserikatan  Bangsa   bangsa  (PBB)  membentuk  komisi  sedunia  untuk  lingkungan  dan pembangunan  yaitu World Commission on  Environment  and  Development  (WCED)  pada  bulan  Desember  1983.  Komisi  ini  bertugas  menyusun  rekomendasi  tentang  strategi  jangka  panjang  konsep  pembangunan berkelanjutan dan menyelesaikan tugasnya pada tahun 1987  dengan  laporan  yang  berjudul Our  Common  Future  (Hari  Depan  Kita  Bersama). Laporan  tersebut  dikenal  dengan  laporan  Brudtland  karena  diketuai  oleh  Ny.  Gro  Brundtland  Perdana  Menteri  Norwegia.  Usulan  konsep  pembangunan  berkelanjutan  dalam  laporan  Brundtland  1987  itu  juga  merupakan  koreksi  terhadap  kelemahan  dari  pembangunan  yang  berwawasan  lingkungan  era Deklarasi  Stockholm  1972 (Hardjasoemantri  K, 1999: 12).
Hutan  merupakan  bagian  penting  dari  lingkungan  hidup.  Dalam  pengelolaan hutan juga mempunyai asas yang sudah merupakan asas yang     berlaku  secara  internasional  yaitu  asas  hutan  berkelanjutan  /  lestari  (sustainable forest) dan asas ecolabelling (Salim, 2003: 11).
Pemanfaatan  dan  pengelolaan  sektor  kehutanan  dalam  perkembangannya  menjadi  salah  satu  bagian  terpenting  dari  lingkungan  hidup.  Menjadi  sorotan  bukan  hanya  secara nasional  melainkan  menjadi  wacana  global.  Perhatian dunia terhadap kelestarian  hutan  tampak  dalam  Konferensi Tingkat Tinggi ( KTT) Bumi yang diadakan di Rio de jeneiro  oleh  PBB  pada  tanggal  3  sampai  14  Juni  1992  yang  juga  merupakan  peringatan  20  tahun  Konferensi  Stockholm  1972.  Laporan  dari  WCED  kemudian digunakan  sebagai materi dalam KTT Bumi di Rio de Jeneiro.
Konferensi  tersebut  dinamakan  dengan United  Nations  Conference  on  Environment and Development (UNCED) (Harjasumantri, 1999: 19).
Seiring dengan  perkembangan  kehidupan  masyarakat  modern  dalam  menghadapi  globalisasi  serta  adanya  proses  industrialisasi  dan  modernisasi  akan  menumbuhkan  perubahan  proses  sosial  dalam  tata  kehidupan  masyarakat.  Proses  industrialisasi  dan  modernisasi  dan  terutama di bidang  industrialisasi kehutanan telah berdampak besar pada  kelangsungan  hutan  sebagai  penyangga  hidup  dan  kehidupan  mahluk  di  dunia.  Hutan  merupakan  sumber  daya  yang  sangat  penting  tidak  hanya  sebagai  sumber  daya  kayu,  tetapi  lebih  sebagai  salah  satu  komponen  lingkungan hidup.
Untuk  itu  dalam  kedudukannya  hutan  sebagai  salah  satu  penentu  sistem  penyangga  kehidupan  harus  dijaga  kelestariaannya.  sebagaimana  landasan konstitusional Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, Bumi  air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara  dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kawasan  hutan  merupakan  sumber  daya  alam  yang  terbuka,  sehingga  akses  masyarakat  untuk  masuk  memanfaatkannya  sangat  besar.
Kondisi tersebut memacu permasalahan dalam pengelolaan hutan. Seiring  dengan semangat reformasi kegiatan penebangan kayu dan pencurian kayu  dihutan  menjadi  semakin  marak.  Apabila  hal  ini  dibiarkan  berlangsung     secara  terus  menerus  kerusakan  hutan  Indonesia  akan  berdampak  pada  terganggunya  kelangsungan  ekosistem,  terjadinya  banjir,  erosi/tanah  longsor,  disfungsinya  hutan  sebagai  penyangga  keseimbangan  alam serta  dari  sisi  pendapatan  Negara  pemerintah  Indonesia  mengalami  kerugian  yang  dihitung  dari  pajak  dan  pendapatan  yang  seharusnya  masuk  ke  kas  Negara.
Indonesia  merupakan  rumah  tertua  bagi  hutan  hujan  terluas  di  Asia. Sekitar  tujuh  belas  ribu  pulau-pulau  di  Indonesia  membentuk  kepulauan  yang membentang di dua  alam biogeografi - Indomalayan dan  Australasian - dan tujuh wilayah biogeografi, serta menyokong luar biasa  banyaknya  keanekaragaman  dan  penyebaran  spesies.  Di  seluruh  dunia,  hutan-hutan  alami  sedang  dalam  krisis.  Tumbuhan  dan  binatang  yang  hidup didalamnya terancam punah. Dan banyak manusia dan kebudayaan  yang  menggantungkan  hidupnya  dari  hutan  juga  sedang  terancam.  Tapi  tidak  semuanya  merupakan  kabar  buruk.  Masih  ada  harapan  untuk  menyelamatkan  hutan-hutan  ini  dan  menyelamatkan  mereka  yang  hidup  dari hutan.Hutan purba dunia sangat beragam.
Hutan-hutan  ini  meliputi  hutan  boreal-jenis  hutan  pinus  yang  ada  di Amerika Utara, hutan hujan tropis, hutan sub tropis dan hutan magrove.
Bersama, mereka menjaga sistem lingkungan yang penting bagi kehidupan  di bumi. Mereka mempengaruhi cuaca dengan mengontrol curah hujan dan  penguapan  air  dari  tanah.  Mereka  membantu  menstabilkan  iklim  dunia  dengan menyimpan karbon dalam jumlah besar  yang jika tidak tersimpan  akan  berkontribusi  pada  perubahan  iklim. Dampak  kerusakan  hutan  di  Indonesia  menurut  data  Departemen  Kehutanan  pada  tahun  2003  menyebutkan  bahwa  luas  hutan  Indonesia  yang  mengalami  kerusakan  mencapai  43  juta  hektar  dari  total  120,35  hektar  dengan  laju  degradasi  dalam  3  tahun  terakhir  mencapai  2,1  juta  hektar  pertahun.  Sejumlah  laporan  bahkan  menyebutkan  antara  1,6  smpai  2,4  juta  hektar  hutan  Indonesia  hilang setiap  tahunnya.  Hal  itu  sama  dengan  luas  enam  kali  lapangan  sepakbola  setiap  menitnya.  (ICEL-Indonesian  for  Center  Environmental Law, 19-10-2003: 2).
Bahkan,  banyak  dari  sisa-sisa  hutan  tersebut  yang  bisa  dikategorikan  hutan  yang  telah  ditebangi  dan  terdegradasi.  Efek  dari  berkurangnya hutan ini pun meluas, tampak pada aliran sungai yang tidak  biasa,  erosi  tanah,  dan  berkurangnya  hasil  dari  produk-produk  hutan.  Di     pulau  Irian  Jaya,  satu-satunya  sungai  es  tropis  memang  mulai  menyurut  akibat  perubahan  iklim,  namun  juga  akibat  lokal  dari  pertambangan  dan  penggundulan  hutan.  Penebangan  kayu  tropis  dan  ampasnya  merupakan  penyebab utama dari berkurangnya hutan di negara itu. Penebangan hutan  di Indonesia telah memperkenalkan beberapa daerah yang paling terpencil,  dan terlarang, di dunia pada pembangunan.
Setelah  berhasil  menebangi  banyak  hutan  di  daerah  yang  tidak  terlalu  terpencil,  perusahaan-perusahaan  kayu  ini  lantas  memperluas  praktek  mereka  ke  pulau  Kalimantan  dan  Irian  Jaya,  dimana  beberapa  tahun terakhir ini banyak petak-petak hutan telah dihabisi dan perusahaan  kayu harus masuk semakin dalam ke daerah interior untuk mencari pohon  yang  cocok.  Sebagai  contoh,  di  pertengahan  1990an,  hanya  sekitar  7  persen  dari  ijin  penambangan  berada  di  Irian  Jaya,  namun  saat  ini  lebih  dari 20 persen ada di kawasan tersebut. Illegal logging telah menimbulkan  masalah  multidimensi  yang  berhubungan  dengan  aspek  ekonomi,  sosial,  budaya  dan  lingkungan.  Hal  tersebut  merupakan  konsekuensi  logis  dari  fungsi  hutanyang  pada  hakekatnya  adalah  sebuah  ekosistem  yang  di  dalamnya mengandung tiga fungsi dasar, yaitu fungsi produksi (ekonomi),  fungsi lingkungan (ekologi) serta fungsi sosial (Iskandar, 2000: 165).
Di  Indonesia,  penebangan  kayu  secara  legal  mempengaruhi 700.000-850.000  hektar  hutan  setiap tahunnya,  namun penebangan  hutan  illegal  yang  telah  menyebar  meningkatkan  secara  drastis  keseluruhan  daerah yang ditebang hingga 1,2-1,4 juta hektar, dan mungkin lebih tinggi  - di tahun 2004. (Andriana, 2004: 1) Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim mengatakan bahwa 75  persen dari penebangan hutan di Indonesia ilegal. Meskipun ada larangan  resmi  untuk  mengekspor  kayu  dari  Indonesia,  kayu  tersebut  biasanya  diselundupkan ke Malaysia, Singapura, dan negara-negara Asia lain. Dari  beberapa  perkiraan,  Indonesia  kehilangan  pemasukan  sekitar Rp.  30  Trilyun pertahun  dari  pajak  akibat  perdagangan  gelap  ini.  Penambangan  ilegal  ini  juga  merugikan  bisnis  kayu  yang  resmi  dengan  berkurangnya  suplai  kayu  yang  bisa  diproses,  serta  menurunkan  harga  internasional untuk kayu dan produk kayu. (Kompas, 25-1-2003:3)     Aktifitas illegal  logging  saat  ini  berjalan  dengan  lebih  terbuka,  transparan  dan  banyak  pihak  yang  terlibat  dan  memperoleh  keuntungan  dari  aktifitas  pencurian  kayu,  modus  yang  biasanya  dilakukan  adalah  dengan  melibatkan  banyak  pihak  dan  secara  sistematis  dan  terorganisir.
Pada  umumnya,  mereka  yang  berperan  adalah  buruh/penebang,  pemodal  (cukong),  penyedia  angkutan  dan  pengaman  usaha  (seringkali  sebagai  pengaman usaha adalah dari kalangan birokrasi, aparat pemerintah, polisi,  TNI). Modus  yang  digunakan  dalam  praktek illegal  logging  adalah  pengusaha  melakukan  penebangan  di  bekas  areal  lahan  yang  dimiliki  maupun  penebangan  diluar  jatah  tebang  (over  cutting)  dan  adakalanya  illegal logging dilakukan melalui kerjasama antara  perusahaan pemegang  izin  HPH  (Hak  Pengelolaan  Hutan)  dengan  para  cukong.  Seringkali  pemegang izin meminjamkan perusahaannya untuk mengikuti lelang kayu  sitaan  kepada  pihak  cukong  yang  tidak  ada  hubungannya  sama  sekali  dengan perusahaan tersebut.
Dalam  temuan  lain  modus  yang  biasa  dilakukan  dalam illegal  logging adalah  pengusaha  melakukan  penebangan  di  bekas  areal  lahan  yang  dimilikinya  maupun  penebangan  diluar  jatah  tebang,  serta  memanipulasi  isi  dokumen  Surat  Keterangan  Sahnya  Hasil  Hutan  (SKSHH) ataupun dengan membeli Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan  (SKSHH)  untuk  melegalkan  kayu  yang  diperoleh  dari  praktek illegal  logging. Illegal loging terjadi karena adanya kerjasama antara masyarakat  lokal  berperan  sebagai  pelaksana  dilapangan  dengan  para  cukong  bertindak sebagai pemodal  yang akan membeli kayu-kayu hasil tebangan  tersebut, adakalanya cukong tidak hanya menampung dan membeli kayukayu  hasil  tebangan  namun  juga  mensuplai  alat-alat  berat  kepada  masyarakat untuk  kebutuhan  pengangkutan. Pencegahan  dan penanganan  tindak  pidana  illegal  logging  merupakan  tanggung  jawab  pemerintah,  pemerintah daerah dan masyarakat. (Tuti Budhi Utami, 2010: 5) Untuk  mewujudkan  langkah-langkah  yang  komprehensif  dan  terpadu  dalam  pelaksanaan  pencegahan  dan  penanganan  tersebut  perlu  dibentuk gugus tugas. Tindak pidana illegal logging merupakan kejahatan  yang kemungkinan  besar tidak  saja  terjadi  dalam  satu  wilayah  negara  melainkan  juga  antar  negara.  Oleh  karena  itu,  perlu  dikembangkan  kerja  sama  internasional  dalam  bentuk  perjanjian  bantuan  timbal  balik  dalam     masalah  pidana  dan/  atau  kerja  sama  teknis  lainnya  sesuai  dengan  ketentuan Peraturan Perundang-undangan.(Tuti Budhi Utami, 2010: 6).
Untuk  mengatasi  maraknya  tindak  pidana illegal  logging jajaran  aparat  penegak  hukum  (penyidik  Polri  maupun  penyidik  PPns  yang  lingkup  tugasnya  bertanggungjawab  terhadap  pengurusan  hutan,  Kejaksaan maupun Hakim) telah mempergunakan Undang - Undang  No.
41  tahun  1999  tentang  Kehutanan  sebagai  instrumen  hukum  untuk  menanggulanggi  tindak  pidana illegal  logging, meskipun  secara  limitatif  undang-undang tersebut tidak menyebutkan adanya istilah illegal logging.
Dalam  pemberantasan illegal  logging  perlu  dilakukan  dengan  cara  dan  pendekatan  yang  sistemik, dengan  salah  satu  cara  upaya  melakukan  antisipasi terhadap  meluasnya  perbuatan  yang  melanggar  hukum  dengan  memaksimalkan peranan pengadilan pidana.
Dalam  sisi  sistem,  peradilan  pidana  merupakan  salah  satu  usaha  masyarakat untuk  mengendalikan  terjadinya  kejahatan agar  berada dalam  batas-batas  tolerensi. Dengan  demikian,  esensi  dari  tindak  pidana illegal  logging,  bahwa  tindakan  itu  menyebabkan  kerusakan  hutan  yang  secara  tidak langsung  merusak  ekosistem yang  ada  dan kelestarian  fungsi  hutan  terganggu, kemudian terabaikanya HAM, dalam hal ini dilanggarnya hakhak masyarakat terhadap lingkungan yang sehat dan baik.
Banyak putusan bebas terhadap kasus illegal logging, misalnya di  Papua  ada 14 putusan  bebas dalam perkara illegal  logging,  juga  putusan  bebas  pada  kasus  Dalianus  Lunggung  Sitorus  di  Padang, yang  didakwa  melakukan illegal  logging  seluas  80.000  ha  dan  lain-lain.  Semua  itu  menjadi  renungan bersama,  dalam  menyikapi  putusan  bebas  terhadap  illegal logging, beberapa hal-hal yang terjadi di pengadilan adalah proses  pembuktian, dimana hukum administrasi lebih diutamakan dari pada rana  hukum pidana, apalagi dengan saksi ahli yang mendukung. Hampir setiap  hari  ada  berita  terjadinya  pencurian,  perambahan,  kerusakan  hutan,  dan  illegal logging, begitu besar  nilai kekayaan  sumber daya  hutan, sehingga  menarik beberapa  oknum  pejabat  dari  tingkat  kampung  sampai  birokrat  Jakarta  berebut  untuk  menikmati  madunya  hutan  dalam  ramuan  korupsi  dengan cara melakukan tindakan illegal logging dan celakanya dalam rana  hukum  tindakan  dalam illegal  logging yang  dilakukan  mendapat  putusan  bebas. Terjadinya putusan bebas (verjspraak) yang dijatuhkan oleh hakim,  pada Pasal 191 ayat 1 KUHAP, jika pengadilaan berpendapat bahwa dari   hasil  pemeriksaan  disidang,  kesalahan  terdakwa  atas  perbuatan  yang  didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, maka  terdakwa  diputus  bebas.  Dengan  demikian  dalam  kasus illegal  logging, sangat  susah  untuk  membuktikan  bahwa  terdakwa  melakukan  tindak  pidana. (Siti Kotijah, 2009).
Mengingat  besarnya  bahaya  tindak  pidana illegal  logging  baik  terhadap masyarakat,  negara maupun  generasi  penerus  bangsa  Indonesia  kedepan, maka upaya pemberantasan tindak pidana illegal logging secara  intenstif, efektif,  dan komprehensif terhadap  semua kalangan  masyarakat  luas  merupakan  hal  yang  sangat  penting. Hal ini pula  yang sedang  coba  dilakukan  oleh  Pengadilan  Negeri Madiun  dimana  terdapat  satu  kasus  tindak  pidana illegal  logging yang telah diperiksa  serta  diputus,  dengan  melibatkan  seorang  terdakwa  bernama Aris  Wibowo  bin  Noto  Diprojo  yang merupakan anggota Polri Polres Ponorogo.

 Skripsi Hukum: Analisis Yuridis Dalam Perkara Tindak Pidana Illegal Logging Yang Dilakukan Oleh Anggota Polri

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi