Senin, 08 Desember 2014

Skripsi Hukum: Aspek Kedudukan Hukum Etnis Rohingya Menurut hukum pengungsi internasional

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Aspek Kedudukan Hukum Etnis Rohingya Menurut hukum pengungsi internasional
Myanmar  merupakan  salah  satu  negara  di  Asia  Tenggara.  Bentuk  pemerintahan Myanmar adalah junta militer yang dikenal dengan nama  The  State  Peace  and  Development  Council  (SPDC).  Dahulu  Myanmar  dikenal  dengan nama Burma, namun pada tanggal 18 Juni 1989 nama Burma diubah  oleh  Junta  Militer  menjadi  Myanmar.  Myanmar  merupakan  negara  multi  agama dengan jumlah penduduk mencapai sekitar 60 juta orang. Data statistik  menunjukkan bahwa 89,3% penduduknya memeluk agama Budha, 5% adalah  Kristen,  3,8%  adalah  Muslim,  dan  sisanya  menganut  agama-agama  lain  seperti Hindu maupun animisme. Selain itu Myanmar juga merupakan rumah  bagi  lebih  dari  100  etnis  nasional,  namun  etnis  yang  diakui  dalam  Undang  Undang  Kewarganegaraan  Myanmar  adalah  Kachin,  Kayah,  Karen,  Chin,  Burman,  Mon,  Rakhine,  dan  Shan  (http://www.myanmarmissionny.org/  content/view/4/3/).

Salah  satu  etnis  lainnya  yang  berada  di  Myanmar  adalah  Rohingya. Rohingya  merupakan  kelompok  minoritas  Muslim  yang  berada  di  Negara  Bagian Arakan, yang terletak di pantai barat Myanmar. Diperkirakan terdapat  800.000  orang  muslim  Rohingya  di  Arakan  yang  merupakan  25%  dari  populasi  penduduk  Myanmar.  Masyarakat  Rohingya  bertempat  tinggal  terutama  di  negara  bagian  Arakan  Utara,  tepatnya  di  kota-kota  Buthidaung,  Maungdaw,  dan  Rathedaung.  Namun  sejumlah  besar  etnis  Rohingya  ini  tinggal  di  luar  Myanmar,  termasuk  lebih  dari  200.000  orang  berada  di  Bangladesh (ICHR, 2010: 15).
Kondisi masyarakat Rohingya saat ini sangat memprihatinkan karena  mengalami  kebijakan  pembatasan  yang  ekstrim  pada  hak-hak  dasarnya  selama  beberapa  dekade,  seperti  kebebasan  bergerak,  hak  untuk  melangsungkan  perkawinan,  dan  hak  untuk  beribadah.  Kementerian  Urusan    Perbatasan  Myanmar  pun  telah  menutup  bantuan  media  dan  program  makanan  pada  bulan  Juni  2012  dan  menolak  untuk  mengeluarkan  otorisasi  perjalanan  lembaga-lembaga  kemanusiaan  yang  masuk  untuk  Rohingya  (Melanie Teff & Sarnata Reynolds, 2012: 3).
Menurut data Amnesty Internasional menunjukkan bahwa sejak tahun  1978 etnis Rohingya telah menderita akibat pelanggaran Hak Asasi Manusia  (HAM)  di  bawah  junta  militer,  yaitu  berbagai  kekerasan  fisik  yang  berupa  penganiayaan,  pengusiran  secara  paksa,  bahkan  hingga  diskriminasi  sosial.
Selain  mengintimidasi  mereka,  junta  militer  juga  menyerukan  kampanye  gerakan anti  Islam di kalangan masyarakat Myanmar maupun kaum Budha,  bahkan tidak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya  (http://www.amnes ty.org/en/library/info/ASA16/005/2004/en/0e8bb8dbd5d5-11dd-bb241fb85fe 8fa05/asal60052004 en.pdf).
Menurut Pasal 10 Konstitusi Myanmar 1948, “There shall be but one  citizenship throughout the Union; that  is to say, there shall be no citizenship  of  the  unit  as  distinct  from  the  citizenship  of  the  Union”,  dari  ketentuan  tersebut sebenarnya orang-orang Rohingya ini masih dianggap sebagai warga  negara  Myanmar.  Namun  setelah  kudeta  militer  pada  tahun  1962,  status  kewarganegaraan  mereka  diatur  di  bawah  Konstitusi  1974  dan  dinyatakan  bukan sebagai salah satu etnis pribumi. Pasal 3  Burma Citizenship Law 198menyatakan  bahwa,  nationals  such  as  the  Kachin,  Kayah,  Karen,  Chin,  Burman,  Mon,  Rakhine  or  Shan  and  ethnic  grous  as  have  settled  in  any  of  territories included within the State as their permanent home from a periode  anterior  to  1185  B.E,  1823  A.D  are  Burma  citizens.  Hal  itu  juga  diperkuat  pada tanggal 21 Februari 1992 Menteri Luar Negeri Myanmar, U Ohn Gyaw  menyatakan bahwa (Aris Ananta & Evi Nurvidya Arifin, 2004: 267; ICHR,  2010: 23; Mohammed Ashraf Alam, 2011: 6) : In  actual  fact,  although  there  are  135  national  races  in  Myanmar  today,  the  so-called  Rohingya  people  are  not  one  of  them.
Historically,  there  has  never  been  a  “Rohingya”  race  in  Myanmar…Since  the  first  Anglo-Myanmar  War  in  1824,  people  of  Muslim  faith  from  the  adjacent  country  illegally  entered  Myanmar    Naing-Ngan, particularly Rakhine State. Being illegal immigrants they  do not hold immigration papers like other nationals of the country.
Jadi warga negara haruslah salah satu dari 135 etnis grup yang diakui  oleh  Konstitusi  dan  mereka  yang  nenek  moyangnya  telah  berada  di  Burma  sebelum tahun 1823 (Carl Grundy Warr dan Elaine Wong, 1997: 84). Undang  Undang ini bersifat diskriminasi karena Rohingya tidak diakui sebagai warga  negara  tetapi  justru  diberikan  status  sebagai  imigran  di  tanah  kelahirannya  sendiri.
Karena kurangnya dokumentasi sebagai pelengkap persyaratan untuk  pewarganegaraan,  maka  pemerintah  Myanmar  pun  menolak  permohonan  untuk  mengakui  kewarganegaraan  dari  orang-orang  Rohingya.  Akibatnya  mereka  menghadapi  kendala  diskriminasi  baik  secara  kultural,  hukum,  dan  sosial  yang  pada  akhirnya  mengakibatkan  mereka  tidak  memiliki  suatu  kewarganegaraan yang sah.
Kemudian  pada  tahun  1978  ada  salah  satu  operasi  militer  terbesar  yang  diberi  nama  Operasi  Nagamin  (Dragon  King)  yang  bertujuan  untuk  menghilangkan  imigran  ilegal  (Carl  Grundy  Warr  dan  Elaine  Wong,  1997:  83). Operasi yang dilakukan oleh junta  militer ini membuat hampir lebih dari  200.000  orang  etnis  Rohingya  melarikan  diri  ke  perbatasan  MyanmarBangladaseh.  Operasi  Nagamin  merupakan  upaya  untuk  memeriksa  setiap  individu yang berada di wilayah Myanmar, mendata orang-orang yang masuk  ke  Myanmar  secara  ilegal,  kemudian  mendata  status  kewarganegaraannya.
Operasi  ini  secara  tidak  langsung  memang  ditujukan  kepada  warga  sipil  Rohingya,  sehingga  banyak  warga  Rohingya  yang  menjadi  sasaran  penangkapan  dan  tindak  kekerasan  sewenang-wenang.  Dengan  kata  lain,  operasi ini memang bertujuan untuk mengembalikan orang-orang yang tidak  seharusnya berada di wilayah Myanmar.
Masyarakat  Rohingya  saat  ini  tidak  dapat  bekerja  atau  bepergian  dengan  bebas  karena  statusnya  tidak  memiliki  kewarganegaraan  (stateless),  sehingga  orang-orang  Rohingya  untuk  memenuhi  kebutuhan  dasarnya  tergantung  pada  lembaga-lembaga  kemanusiaan.  Pembatasan  terhadap    bantuan kemanusiaan memiliki dampak yang serius terhadap kesehatan, gizi,  dan  keamanan  pangan  pada  masyarakat  Rohingya  (Melanie  Teff  &  Sarnata  Reynolds, 2012: 2).
Selain mendapat tekanan dari pemerintah junta militer, Rohingya juga  mendapat  tekanan  dari  kelompok  etnis  lain  yakni  etnis  Rakhine  yang  mayoritas beragama Budha (Mohammed Ashraf Alam, 2011: 9). Kedua etnis  tersebut  tinggal  di  wilayah  yang  sama  yaitu  di  Negara  Bagian  Arakan.
Perbedaan etnis dan agama ditambah dengan sejarah panjang konflik diantara  keduanya membuat gesekan sosial sering terjadi. Dalam hal ini etnis Rakhine  mempunyai kekhawatiran terhadap bertambahnya jumlah populasi penduduk  Rohingya  yang  terus  meningkat  sehingga  kemungkinan  akan  menggusur  wilayah mereka dari tanah kelahirannya. Bertambahnya penduduk Rohingya  dibuktikan dengan meningkatnya  populasi Rohingya dari jumlah 58.255 pada  tahun  1871  sampai  178.647  pada  tahun  1911  dan  hingga  saat  ini  populasi  penduduk Rohingya mencapai sekitar 1.033.212 orang yang berada di Arakan  Utara,  Myanmar.  Sehingga  etnis  Rohingya  pun  telah  menjadi  kelompok  mayoritas di kota-kota Maungdaw dan Buthedaung yang mewakili 94% dan  84%  masing-masing  dari  total  populasi  di  sana  (http://elevenmyanmar.com /politics/2738-international-experts-onrakhinehistory-say-no-rohingya-in myanmar;http://joshuaproject.net/getinvolved.php?peo3=11359&rog3=  BM).
Secara resmi tercatat jumlah penduduk Arakan sebanyak 3.744.976 juta pada  tahun 2007 dan di tahun 2010 diperkirakan sebesar 3.83 juta orang. Mayoritas  orang  Arakan  beragama  Budha  (59.7%),  sedangkan  sisanya  adalah  Muslim  (35.6%), dan sisanya 4.7% memeluk agama lain (Mohammed Ashraf Alam,  2011: 2). Di sisi lain kelompok etnis Rakhine juga khawatir akan terjadinya  gerakan  ekstrimis  yang  pernah  dilakukan  oleh  etnis  muslim  Rohingya  pada  beberapa tahun yang lalu.
Diskriminasi hal serupa sebenarnya juga dialami oleh etnis minoritas  lainnya  yang  berada  di  wilayah  Myanmar.  Etnis-etnis  minoritas  tersebut  diantaranya  adalah   Kachin,  Chin,  Mon,  dan  Shan  yang  berdekatan  dengan  etnis  Siam  di  Thailand.  Tetapi  Rohingya  merupakan  etnis  yang  mengalami    kekerasan paling parah, karena junta militer menyatakan bahwa tidak pernah  ada yang disebut sebagai kelompok etnis minoritas Rohingya tersebut ada di  dalam  sejarah  Myanmar,  baik  itu  yang  sebelum  maupun  sesudah  kemerdekaan (Aris Pramono, 2010: 3).
Tindakan kekerasan dan sewenang-wenang yang dilakukan oleh junta  militer  membuat  ribuan  warga  etnis  Rohingya  ketakutan  akan  keselamatan  jiwanya.  Adanya  diskriminasi  religi  dan  sosial,  maupun  kebijakan  statelessness  yang  ada  di  wilayah  negaranya  dan  lemahnya  jaminan  perlindungan  terhadap  hak-hak  hidup  mereka,memaksa  mereka  memilih  untuk  menjadi  manusia  perahu  dan  meninggalkan  Myanmar  untuk  mencari  perlindungan ke negara lain.
Pengungsi  Rohingya  kini  telah  menyebar  ke  beberapa  negara  di  kawasan  Asia  Tenggara,  yaitu  terutama  di  Bangladesh,  Thailand,  Malaysia,  Singapura,  dan  Indonesia.  Bangladesh  merupakan  negara  terdekat  dan  mempunyai  sejarah  yang  sama  dengan  etnis  Rohingya  sehingga  merupakan  negara tujuan utama. Namun di negara Bangladesh sendiri, banyak pengungsi  Rohingya  yang  ditolak  untuk  masuk  ke  negara  tersebut  dikarenakan  sudah  banyak  para  pendatang  ilegal  yang  masuk  sehingga  pemerintah  Bangladesh  tidak sanggup lagi untuk menolong mereka. Selain itu pemerintah Bangladesh  masih dibebani persoalan kelaparan yang terjadi di wilayahnya karena warga  negaranya  sendiri  masih  banyak  yang  tergolong  sebagai  masyarakat  tidak  mampu (Mahbubul Haque, Tanpa Tahun: 10).
Indonesia  merupakan  salah  satu  negara  terdekat  dan  memiliki  posisi  strategis untuk dapat  masuk dan menjadi tempat transit bagi para pengungsi  yang  hendak  masuk  atau  mencari  suaka  ke  negara  ketiga  (http://regional.kompas.com/read/2011/12/23/02491052/Dilema.Imigran.Gela p).  Data  dari  Direktorat  Jenderal  Imigrasi  Republik  Indonesia  pun  menunjukkan  bahwa  ketika  banyak  negara  di  Asia  Tenggara  yang  menolak  kedatangan  pengungsi  Rohingya  ini,  Indonesia  justru  menerima  kedatangan  mereka dan sekarang tercatat ada 152 pengungsi Rohingya di Kantor Imigrasi  Polonia  Medan  dan  82  pengungsi  Rohingya  ditampung  di  Rumah  Detensi    Imigrasi  (Rudenim)  di  Tanjung  Pinang,  Kepulauan  Riau.  Gelombang  pengungsian  kelompok  minoritas  muslim  Myanmar  ini  mulai  masuk  ke  wilayah Indonesia sejak Februari 2012  (http://www.imigrasi.go.id/  index.php ?option=comcontent&task=view&id=859&Itemid=34).
Para  pengungsi  Rohingya  ini  sangat  rentan  mendapat  perlakuan  sewenang-wenang  oleh  para  penguasa,  baik  itu  di  negara  asalnya  sendiri  maupun  di  negara  tempat  mereka  mengungsi.  Sebagai  individu,  kelompok  masyarakat,  dan  sebagai  manusia  mereka  berhak  mendapat  perlakuan  yang  manusiawi (Achmad Romsan, 2003: 138). Hak-hak pengungsi tersebut adalah  terpenuhinya  standar  perlakuan  minimum  dan  penghormatan  terhadap  hak  asasinya.
Perhatian  dunia  internasional  terhadap  masalah  pengungsi  ini  telah  dituangkan dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Instrumen internasional  tersebut  merupakan  payung  hukum  untuk  menentukan  kriteria  yang  harus  dipenuhi  seseorang  agar  orang  tersebut  memiliki  haknya  sebagai  status  pengungsi.  Konvensi  tersebut  tidak  melarang  adanya  gerakan  eksodus  pengungsi,  namun  dalam  konvensi  itu  memuat  standar  perlakuan  minimum  terhadap pengungsi. Standar perlakuan pokok itu berupa perlindungan untuk  tidak  dikembalikan  secara  paksa  ke  perbatasan  wilayah  tempat  hidup  atau  kebebasan  mereka  akan  terancam.  Prinsip  perlindungan  semacam  ini  kemudian dikenal sebagai prinsip non refoulement.
Namun  pada  kenyataannya  hak-hak  pengungsi  tersebut  belum  dapat  sepenuhnya  dinikmati  oleh  pengungsi.  Hal  ini  dikarenakan  banyak  negara  yang  belum  menjadi  peserta  dalam  instrumen  internasional  Hak  Asasi  Manusia yang menjamin hak-hak pengungsi tersebut. Tidak jarang kehadiran  pengungsi di negara transit ataupun negara tujuan dipulangkan secara paksa.
Tentunya  perlakuan  semacam  itu  jelas  bertentangan  dengan  prinsip-prinsip  hukum  internasional  yang  telah  diakui  oleh  bangsa-bangsa  yang  beradab  (Tamia Dian Ayu Faniati, 2012: 5).
Pemerintah Indonesia pun memiliki persoalan tersendiri, yaitu belum  melakukan  aksesi,  ratifikasi  terhadap  Konvensi  1951  dan  Protokol  1967    tentang Status Pengungsi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam hal  ini secara legal formal Pemerintah Indonesia tidak memiliki tanggung jawab  secara  langsung  tentang  kehidupan  dan  penghidupan  para  pengungsi  dari  Rohingya.  Selain  itu  pengungsi  Rohingya  yang  selama  ini  berstatus  tidak  memiliki kewarganegaraan (stateless person) ini juga akan menjadi masalah  bersama  karena  para  pengungsi  Rohingya  ini  tentunya  akan  menambah  masalah baru di negara tempat mereka terdampar atau masalah internasional  lainnya.
Berdasarkan uraian pertimbangan latar belakang tersebut diatas maka  penulis  mengambil  penulisan  hukumdenganberjudul  “ASPEK  KEDUDUKAN  HUKUM  ETNIS  ROHINGYA  MENURUT  HUKUM  PENGUNGSI  INTERNASIONAL  (Studi  Perlindungan  Hukum  Etnis  Rohingya di Indonesia)”  B.  Perumusan Masalah.
Dalam suatu penelitian  diperlukan adanya perumusan masalah untuk  mengidentifikasi persoalan yang diteliti sehingga sasaran yang hendak dicapai  menjadi  jelas,  tegas,  terarah,  serta  tercapai  sasaran  yang  diharapkan.  Dari  uraian latar belakang  diatas maka peneliti mengambil suatu rumusan masalah  sebagai berikut:.
1.  Bagaimana  kedudukan  hukum  dan  perlindungan  bagi  etnis  Rohingya  menurut Hukum Pengungsi Internasional?.
2.  Bagaimana perlindungan hukum etnis Rohingya yang berada di Indonesia?.
C.  Tujuan Penelitian.
Tujuan  penelitian  diperlukan  karena  terkait  erat  dengan  perumusan  masalah  dan  judul  dari  penelitian  itu  sendiri.  Oleh  karena  itu  peneliti  mempunyai  tujuan  atau  hal-hal  yang  ingin  dicapai  melalui  penelitian  ini.
Tujuan itu berupa tujuan secara obyektif dan tujuan secara subyektif. Adapun  tujuan dari penelitian ini adalah:.
  1.  Tujuan Objektif.
a.  Untuk  mendeskripsikan  kedudukan  hukum  dan  perlindungan  bagi  etnis Rohingya menurut Hukum Pengungsi Internasional.
b.  Untuk mengkaji perlindungan  hukum  etnis Rohingya  yang berada di  Indonesia.
2.  Tujuan Subjektif.
a.  Untuk  memperdalam  dan  menambah  pengetahuan  peneliti  di  bidang  Hukum  Pengungsi  Internasional  khususnya  terkait  dengan  masalah  aspek  kedudukan  hukum  dan  perlindungan  bagi  etnis  Rohingya  menurut Hukum Pengungsi Internasional.
b.  Untuk  memenuhi  persyaratan  akademis  guna  memperoleh  gelar  Sarjana  Hukum  dalam  bidang  Ilmu  Hukum  di  Fakultas  Hukum  Universitas Sebelas Maret Surakarta.

 Skripsi Hukum: Aspek Kedudukan Hukum Etnis Rohingya Menurut hukum pengungsi internasional

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi