BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Aspek Kedudukan Hukum Etnis Rohingya Menurut hukum pengungsi internasional
Myanmar merupakan
salah satu negara
di Asia Tenggara.
Bentuk pemerintahan Myanmar
adalah junta militer yang dikenal dengan nama
The State Peace
and Development Council
(SPDC). Dahulu Myanmar
dikenal dengan nama Burma, namun
pada tanggal 18 Juni 1989 nama Burma diubah oleh
Junta Militer menjadi
Myanmar. Myanmar merupakan
negara multi agama dengan jumlah penduduk mencapai sekitar
60 juta orang. Data statistik menunjukkan
bahwa 89,3% penduduknya memeluk agama Budha, 5% adalah Kristen,
3,8% adalah Muslim,
dan sisanya menganut
agama-agama lain seperti Hindu maupun animisme. Selain itu
Myanmar juga merupakan rumah bagi lebih
dari 100 etnis
nasional, namun etnis
yang diakui dalam
Undang Undang Kewarganegaraan Myanmar
adalah Kachin, Kayah,
Karen, Chin, Burman,
Mon, Rakhine, dan
Shan (http://www.myanmarmissionny.org/
content/view/4/3/).
Salah satu
etnis lainnya yang
berada di Myanmar
adalah Rohingya. Rohingya merupakan
kelompok minoritas Muslim
yang berada di
Negara Bagian Arakan, yang
terletak di pantai barat Myanmar. Diperkirakan terdapat 800.000
orang muslim Rohingya
di Arakan yang
merupakan 25% dari populasi penduduk
Myanmar. Masyarakat Rohingya
bertempat tinggal terutama
di negara bagian
Arakan Utara, tepatnya
di kota-kota Buthidaung, Maungdaw,
dan Rathedaung. Namun
sejumlah besar etnis
Rohingya ini tinggal
di luar Myanmar,
termasuk lebih dari
200.000 orang berada
di Bangladesh (ICHR, 2010: 15).
Kondisi masyarakat Rohingya saat
ini sangat memprihatinkan karena mengalami kebijakan
pembatasan yang ekstrim
pada hak-hak dasarnya selama
beberapa dekade, seperti
kebebasan bergerak, hak
untuk melangsungkan perkawinan,
dan hak untuk
beribadah. Kementerian Urusan Perbatasan
Myanmar pun telah
menutup bantuan media
dan program makanan
pada bulan Juni
2012 dan menolak
untuk mengeluarkan otorisasi perjalanan
lembaga-lembaga kemanusiaan yang
masuk untuk Rohingya (Melanie Teff & Sarnata Reynolds, 2012: 3).
Menurut data Amnesty
Internasional menunjukkan bahwa sejak tahun 1978 etnis Rohingya telah menderita akibat
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di
bawah junta militer,
yaitu berbagai kekerasan
fisik yang berupa penganiayaan,
pengusiran secara paksa,
bahkan hingga diskriminasi
sosial.
Selain mengintimidasi mereka,
junta militer juga
menyerukan kampanye gerakan anti
Islam di kalangan masyarakat Myanmar maupun kaum Budha, bahkan tidak mengakui kewarganegaraan etnis
Rohingya (http://www.amnes ty.org/en/library/info/ASA16/005/2004/en/0e8bb8dbd5d5-11dd-bb241fb85fe
8fa05/asal60052004 en.pdf).
Menurut Pasal 10 Konstitusi
Myanmar 1948, “There shall be but one citizenship
throughout the Union; that is to say,
there shall be no citizenship of the
unit as distinct
from the citizenship
of the Union”,
dari ketentuan tersebut sebenarnya orang-orang Rohingya ini
masih dianggap sebagai warga negara Myanmar.
Namun setelah kudeta
militer pada tahun
1962, status kewarganegaraan mereka
diatur di bawah
Konstitusi 1974 dan
dinyatakan bukan sebagai salah
satu etnis pribumi. Pasal 3 Burma
Citizenship Law 198menyatakan
bahwa, nationals such
as the Kachin,
Kayah, Karen, Chin, Burman, Mon,
Rakhine or Shan
and ethnic grous
as have settled
in any of territories
included within the State as their permanent home from a periode anterior
to 1185 B.E,
1823 A.D are
Burma citizens. Hal
itu juga diperkuat pada tanggal 21 Februari 1992 Menteri Luar
Negeri Myanmar, U Ohn Gyaw menyatakan
bahwa (Aris Ananta & Evi Nurvidya Arifin, 2004: 267; ICHR, 2010: 23; Mohammed Ashraf Alam, 2011: 6) : In actual
fact, although there
are 135 national
races in Myanmar today,
the so-called Rohingya
people are not
one of them.
Historically, there
has never been a “Rohingya”
race in Myanmar…Since
the first Anglo-Myanmar
War in 1824,
people of Muslim
faith from the
adjacent country illegally
entered Myanmar Naing-Ngan, particularly Rakhine State.
Being illegal immigrants they do not
hold immigration papers like other nationals of the country.
Jadi warga negara haruslah salah
satu dari 135 etnis grup yang diakui oleh Konstitusi
dan mereka yang
nenek moyangnya telah
berada di Burma sebelum
tahun 1823 (Carl Grundy Warr dan Elaine Wong, 1997: 84). Undang Undang ini bersifat diskriminasi karena
Rohingya tidak diakui sebagai warga negara tetapi
justru diberikan status
sebagai imigran di
tanah kelahirannya sendiri.
Karena kurangnya dokumentasi
sebagai pelengkap persyaratan untuk pewarganegaraan, maka
pemerintah Myanmar pun
menolak permohonan untuk
mengakui kewarganegaraan dari
orang-orang Rohingya. Akibatnya mereka
menghadapi kendala diskriminasi
baik secara kultural,
hukum, dan sosial
yang pada akhirnya
mengakibatkan mereka tidak
memiliki suatu kewarganegaraan yang sah.
Kemudian pada
tahun 1978 ada
salah satu operasi
militer terbesar yang
diberi nama Operasi
Nagamin (Dragon King)
yang bertujuan untuk menghilangkan imigran
ilegal (Carl Grundy
Warr dan Elaine
Wong, 1997: 83). Operasi yang dilakukan oleh junta militer ini membuat hampir lebih dari 200.000
orang etnis Rohingya
melarikan diri ke
perbatasan
MyanmarBangladaseh. Operasi Nagamin
merupakan upaya untuk
memeriksa setiap individu yang berada di wilayah Myanmar,
mendata orang-orang yang masuk ke Myanmar
secara ilegal, kemudian
mendata status kewarganegaraannya.
Operasi ini
secara tidak langsung
memang ditujukan kepada
warga sipil Rohingya,
sehingga banyak warga
Rohingya yang menjadi
sasaran penangkapan dan
tindak kekerasan sewenang-wenang. Dengan
kata lain, operasi ini memang bertujuan untuk
mengembalikan orang-orang yang tidak seharusnya
berada di wilayah Myanmar.
Masyarakat Rohingya
saat ini tidak
dapat bekerja atau
bepergian dengan bebas
karena statusnya tidak
memiliki kewarganegaraan (stateless), sehingga
orang-orang Rohingya untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya tergantung
pada lembaga-lembaga kemanusiaan.
Pembatasan terhadap bantuan kemanusiaan memiliki dampak yang
serius terhadap kesehatan, gizi, dan keamanan
pangan pada masyarakat
Rohingya (Melanie Teff
& Sarnata Reynolds, 2012: 2).
Selain mendapat tekanan dari
pemerintah junta militer, Rohingya juga mendapat tekanan
dari kelompok etnis
lain yakni etnis
Rakhine yang mayoritas beragama Budha (Mohammed Ashraf
Alam, 2011: 9). Kedua etnis tersebut tinggal
di wilayah yang
sama yaitu di
Negara Bagian Arakan.
Perbedaan etnis dan agama
ditambah dengan sejarah panjang konflik diantara keduanya membuat gesekan sosial sering
terjadi. Dalam hal ini etnis Rakhine mempunyai
kekhawatiran terhadap bertambahnya jumlah populasi penduduk Rohingya
yang terus meningkat
sehingga kemungkinan akan
menggusur wilayah mereka dari
tanah kelahirannya. Bertambahnya penduduk Rohingya dibuktikan dengan meningkatnya populasi Rohingya dari jumlah 58.255 pada tahun 1871 sampai
178.647 pada tahun
1911 dan hingga
saat ini populasi penduduk Rohingya mencapai sekitar 1.033.212
orang yang berada di Arakan Utara, Myanmar.
Sehingga etnis Rohingya
pun telah menjadi
kelompok mayoritas di kota-kota
Maungdaw dan Buthedaung yang mewakili 94% dan 84%
masing-masing dari total
populasi di sana
(http://elevenmyanmar.com /politics/2738-international-experts-onrakhinehistory-say-no-rohingya-in
myanmar;http://joshuaproject.net/getinvolved.php?peo3=11359&rog3= BM).
Secara resmi tercatat jumlah
penduduk Arakan sebanyak 3.744.976 juta pada tahun 2007 dan di tahun 2010 diperkirakan
sebesar 3.83 juta orang. Mayoritas orang Arakan
beragama Budha (59.7%),
sedangkan sisanya adalah
Muslim (35.6%), dan sisanya 4.7%
memeluk agama lain (Mohammed Ashraf Alam, 2011: 2). Di sisi lain kelompok etnis Rakhine
juga khawatir akan terjadinya gerakan ekstrimis
yang pernah dilakukan
oleh etnis muslim
Rohingya pada beberapa tahun yang lalu.
Diskriminasi hal serupa
sebenarnya juga dialami oleh etnis minoritas lainnya
yang berada di
wilayah Myanmar. Etnis-etnis
minoritas tersebut diantaranya
adalah Kachin, Chin,
Mon, dan Shan
yang berdekatan dengan etnis
Siam di Thailand.
Tetapi Rohingya merupakan
etnis yang mengalami kekerasan paling parah, karena junta militer
menyatakan bahwa tidak pernah ada yang
disebut sebagai kelompok etnis minoritas Rohingya tersebut ada di dalam
sejarah Myanmar, baik
itu yang sebelum
maupun sesudah kemerdekaan (Aris Pramono, 2010: 3).
Tindakan kekerasan dan
sewenang-wenang yang dilakukan oleh junta militer
membuat ribuan warga
etnis Rohingya ketakutan
akan keselamatan jiwanya.
Adanya diskriminasi religi
dan sosial, maupun
kebijakan statelessness yang
ada di wilayah
negaranya dan lemahnya
jaminan perlindungan terhadap
hak-hak hidup mereka,memaksa mereka
memilih untuk menjadi
manusia perahu dan
meninggalkan Myanmar untuk
mencari perlindungan ke negara
lain.
Pengungsi Rohingya
kini telah menyebar
ke beberapa negara
di kawasan Asia
Tenggara, yaitu terutama
di Bangladesh, Thailand,
Malaysia, Singapura, dan
Indonesia. Bangladesh merupakan
negara terdekat dan mempunyai sejarah
yang sama dengan
etnis Rohingya sehingga
merupakan negara tujuan utama.
Namun di negara Bangladesh sendiri, banyak pengungsi Rohingya
yang ditolak untuk
masuk ke negara
tersebut dikarenakan sudah banyak para
pendatang ilegal yang
masuk sehingga pemerintah
Bangladesh tidak sanggup lagi
untuk menolong mereka. Selain itu pemerintah Bangladesh masih dibebani persoalan kelaparan yang
terjadi di wilayahnya karena warga negaranya sendiri
masih banyak yang
tergolong sebagai masyarakat
tidak mampu (Mahbubul Haque,
Tanpa Tahun: 10).
Indonesia merupakan
salah satu negara
terdekat dan memiliki
posisi strategis untuk dapat masuk dan menjadi tempat transit bagi para
pengungsi yang hendak
masuk atau mencari
suaka ke negara
ketiga (http://regional.kompas.com/read/2011/12/23/02491052/Dilema.Imigran.Gela
p). Data
dari Direktorat Jenderal
Imigrasi Republik Indonesia
pun menunjukkan bahwa
ketika banyak negara
di Asia Tenggara
yang menolak kedatangan
pengungsi Rohingya ini,
Indonesia justru menerima
kedatangan mereka dan sekarang
tercatat ada 152 pengungsi Rohingya di Kantor Imigrasi Polonia
Medan dan 82
pengungsi Rohingya ditampung
di Rumah Detensi Imigrasi
(Rudenim) di Tanjung
Pinang, Kepulauan Riau.
Gelombang pengungsian kelompok
minoritas muslim Myanmar
ini mulai masuk
ke wilayah Indonesia sejak
Februari 2012
(http://www.imigrasi.go.id/
index.php ?option=comcontent&task=view&id=859&Itemid=34).
Para pengungsi
Rohingya ini sangat
rentan mendapat perlakuan sewenang-wenang oleh
para penguasa, baik
itu di negara
asalnya sendiri maupun
di negara tempat
mereka mengungsi. Sebagai
individu, kelompok masyarakat,
dan sebagai manusia
mereka berhak mendapat
perlakuan yang manusiawi (Achmad Romsan, 2003: 138). Hak-hak
pengungsi tersebut adalah terpenuhinya standar
perlakuan minimum dan
penghormatan terhadap hak asasinya.
Perhatian dunia
internasional terhadap masalah
pengungsi ini telah dituangkan
dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Instrumen internasional tersebut
merupakan payung hukum
untuk menentukan kriteria
yang harus dipenuhi
seseorang agar orang
tersebut memiliki haknya
sebagai status pengungsi.
Konvensi tersebut tidak
melarang adanya gerakan
eksodus pengungsi, namun
dalam konvensi itu
memuat standar perlakuan
minimum terhadap pengungsi.
Standar perlakuan pokok itu berupa perlindungan untuk tidak
dikembalikan secara paksa
ke perbatasan wilayah
tempat hidup atau kebebasan mereka
akan terancam. Prinsip
perlindungan semacam ini kemudian
dikenal sebagai prinsip non refoulement.
Namun pada
kenyataannya hak-hak pengungsi
tersebut belum dapat sepenuhnya dinikmati
oleh pengungsi. Hal
ini dikarenakan banyak
negara yang belum
menjadi peserta dalam
instrumen internasional Hak
Asasi Manusia yang menjamin
hak-hak pengungsi tersebut. Tidak jarang kehadiran pengungsi di negara transit ataupun negara
tujuan dipulangkan secara paksa.
Tentunya perlakuan
semacam itu jelas
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum
internasional yang telah
diakui oleh bangsa-bangsa
yang beradab (Tamia Dian Ayu Faniati, 2012: 5).
Pemerintah Indonesia pun memiliki
persoalan tersendiri, yaitu belum melakukan aksesi,
ratifikasi terhadap Konvensi
1951 dan Protokol
1967 tentang Status Pengungsi.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam hal ini secara legal formal Pemerintah Indonesia
tidak memiliki tanggung jawab secara langsung
tentang kehidupan dan
penghidupan para pengungsi
dari Rohingya. Selain
itu pengungsi Rohingya
yang selama ini
berstatus tidak memiliki kewarganegaraan (stateless person)
ini juga akan menjadi masalah bersama karena
para pengungsi Rohingya
ini tentunya akan
menambah masalah baru di negara
tempat mereka terdampar atau masalah internasional lainnya.
Berdasarkan uraian pertimbangan
latar belakang tersebut diatas maka penulis mengambil
penulisan
hukumdenganberjudul “ASPEK KEDUDUKAN
HUKUM ETNIS ROHINGYA
MENURUT HUKUM PENGUNGSI
INTERNASIONAL (Studi Perlindungan
Hukum Etnis Rohingya di Indonesia)” B.
Perumusan Masalah.
Dalam suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah untuk mengidentifikasi persoalan yang diteliti
sehingga sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas,
tegas, terarah, serta
tercapai sasaran yang
diharapkan. Dari uraian latar belakang diatas maka peneliti mengambil suatu rumusan
masalah sebagai berikut:.
1. Bagaimana
kedudukan hukum dan
perlindungan bagi etnis
Rohingya menurut Hukum Pengungsi
Internasional?.
2. Bagaimana perlindungan hukum etnis Rohingya
yang berada di Indonesia?.
C. Tujuan Penelitian.
Tujuan penelitian
diperlukan karena terkait
erat dengan perumusan masalah
dan judul dari
penelitian itu sendiri.
Oleh karena itu
peneliti mempunyai tujuan
atau hal-hal yang
ingin dicapai melalui
penelitian ini.
Tujuan itu berupa tujuan secara
obyektif dan tujuan secara subyektif. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:.
1. Tujuan Objektif.
a. Untuk
mendeskripsikan kedudukan hukum
dan perlindungan bagi etnis
Rohingya menurut Hukum Pengungsi Internasional.
b. Untuk mengkaji perlindungan hukum
etnis Rohingya yang berada di Indonesia.
2. Tujuan Subjektif.
a. Untuk
memperdalam dan menambah
pengetahuan peneliti di
bidang Hukum Pengungsi
Internasional khususnya terkait
dengan masalah aspek
kedudukan hukum dan
perlindungan bagi etnis
Rohingya menurut Hukum Pengungsi
Internasional.
b. Untuk
memenuhi persyaratan akademis
guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
dalam bidang Ilmu
Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Skripsi Hukum: Aspek Kedudukan Hukum Etnis Rohingya Menurut hukum pengungsi internasional
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi