Senin, 08 Desember 2014

Skripsi Hukum: Eksistensi Pranata Hak Atas Tanah Adat Dalam Sistem Hukum Agraria Nasional

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
 Skripsi Hukum: Eksistensi Pranata Hak Atas Tanah Adat Dalam Sistem Hukum Agraria Nasional
Tanah  adalah  hak  dasar  setiap  orang  yang  keberadaanya  dijamin  dalam  UUD  1945.  Tanah  merupakan  salah  satu  sumber  daya  yang  yang  menjadi  kebutuhan  dan  kepentingan  semua  orang,  badan  hukum  dan  atau  sektor-sektor  pembangunan.  Tanah  menjadi  soal  hidup  dan  mati,  menyatu  dengan  peluh,  sehingga untuk  itu seseorang bersedia melakukan apa saja.  Tanah menjadi sangat  penting  karena  dibutuhkan  untuk  melaksanakan  aktivitas,  oleh  karena  itu  tanah  perlu  diatur  melalui  kebijakan  dan  peraturan  perundangan  yang  tepat,  konsisten  dan  berkeadilan.  Sesuai  sifatnya  yang  multidimensi  dan  sarat  dengan  persoalan  keadilan,  permasalahan  menganai  tanah  seakan  tidak  pernah  surut.  Satu  permasalahan belum terselesaikan, telah muncul permasalahan lain, atau mungkin  juga  permasalahan  yang  sama  muncul  kembali  di  saat  yang  lain  karena  belum  diperoleh cara yang tepat untuk mengatasinya.

Undang Undang Dasar Negara Republik  Indonesia Tahun 1945 Pasal 33  ayat  (3)  menyatakan  bahwa  “Bumi,  air  dan  kekayaan  alam  yang  terkandung  di  dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran  rakyat”.  Dari  bunyi  pasal  tersebut,  terkandung  makna  bahwa  bumi,  termasuk  didalamnya tanah dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Tanah adalah bagian dari bumi, oleh sebab itu tanah dikuasai oleh negara, konsep  dikuasai oleh negara artinya negara yang mengatur. Negaralah yang mempunyai  kewenangan mengelola dan mengatur tanah guna sebesar-besarnya kemakmuran  rakyat. Dalam konteks tersebut, terdapat hakikat dari sebesar-besar kemakmuran  rakyat dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya  agraria,  harus  didukung  dengan  penataan  sistem  hukum  yang  berpihak  kepada  rakyat.
Menurut  Pasal  1  Ayat  (3)  Peraturan  Menteri  Agraria/Kepala  Badan  Pertanahan  Nasional  Nomor  5  Tahun  1999  tentang  Pedoman  Penyelesaian  Masalah  Hak  Ulayat  Masyarakat  Hukum  Adat,  masyarakat  adat  adalah    sekelompok  orang  yang  terkait  oleh  tatanan  hukum  adatnya  sebagai  warga  bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas  dasar  keturunan.  Masyarakat  adat  dapat  dibentuk  berdasarkan  ikatan  darah  (genealogis)  atau  berdasarkan  ikatan  daerah  (territorial).  Masyarakat  adat  genealogis  adalah  yang  terdiri  dari  penduduk  yang  merasa  terikat  semata-mata  karena keturunan dari nenek moyang yang sama, sedangkan masyarakat adat yang  bersifat  territorial  adalah  masyarakat  adat  yang  anggota-anggotanya  merasa  terikat kepada daerah tempat kediamannya yang tertentu. Perlindungan hak asasi  masyarakat adat diakui dalam Pasal 18 B Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945,  yaitu : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum  adat  beserta  hak-hak  tradisionalnya  sepanjang  masih  hidup  dan  sesuai  dengan  perkembangan masyarakat dan prinsip negara  kesatuan Republik Indonesia yang  diatur dalam undang-undang”. Hak masyarakat adat juga dilindungi dalam Pasal  28 I Ayat (3) yang menyatakan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional  dihormati selaras engan perkembangan zaman dan peradaban.” Penegasan  ini  menunjukkan  bahwa  masyarakat  adat  di  Indonesia  diakui  eksistensinya  secara  konstitusional.  Dukungan  konstitusi  ini  memperkuat  pemahaman  dan  kesadaran  untuk  menghormati  dan  melindungi  hak  mereka.
Selain  itu,  dalam  Pasal  3  Undang-Undang  Nomor  5  Tahun  10960  tentang  Peraturan  Dasar  Pokok-Pokok  Agraria  (yang  selanjutnya  disebut  UUPA)  juga  terdapat pengakuan atas hak ulayat masyarakat adat atau yang serupa dengan hal  trsebut.
Dengan  mengingat  ketentuan-ketentuan  dalam  Pasal  1  dan  2,  pelaksanaan  hak  ulayat  dan  hak-hak  serupa  dengan  itu  dari  masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya  masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan  nasional  dan  negara,  yang  berdasarkan  atas  persatuan  bangsa  serta  tidak  boleh  bertentangan  dengan  undang-undang  dan  peraturanperaturan lain yang lebih tinggi.
Berdasarkan Pasal 3 tersebut di atas, pengakuan hak ulayat dibatasi pada  dua  hal yakni berkenaan dengan eksistensi dan pelaksanaannya. Pemikiran yang  melandasi  penyusun  undang-undang  saat  itu  lebih  didorong  oleh  pengalaman  empiris  berupa  hambatan  ketika  Pemerintah  memerlukan  tanah  yang  dipunyai    masyarakat  hukum  adat  untuk  proyek  pertanian  di  Sumatera  Selatan  menjelang  tahun  1960,  yang  antara  lain  membuahkan  pokok-pokok  pikiran  bahwa  kepentingan  masyarakat  hukum  adat  harus  tunduk  kepada  kepentingan  nasional  dan  bahwa  hak  ulayat  tidak  bersifat  eksklusif  (Maria  S.W.  Sumardjono,  2009:  171-172).
Pada  tahun  2003,  pemerintah  menerbitkan  SK  Menteri  Kehutanan  No.
175/2003  tentang  perluasan  taman  nasional  dari  40.000  ha  menjadi  113.357  ha  dan  dinamakan  sebagai  Taman  Nasional  Gunung  Halimun-Salak.  Kebijakan  ini  mengangkat  kembali  konflik  tenurial  antara  masyarakat  kasepuhan  dengan  pemerintah.  Pemerintah  berkeyakinan  bahwa  status  tanahtanah  tersebut  merupakan kawasan hutan negara dan telah dikuasai serta diselesaikan penataan  batasnya  sejak  tahun  1923.  Di  lain  pihak,  masyarakat  adat  mengaku  bahwa  mereka  telah  menggarap  tanah-tanah  tersebut  secara  turun-temurun  sejak  tahun  1910  sebagai  tanah-tanah  huma.  Oleh  karena  itu,  sejarah  diharapkan  dapat  membantu menjelaskan dan memahami terjadi konflik tenurial tersebut di Lebak,  Banten  (Kurnia Warman, dkk.  Studi Kebijakan Penguatan Tenurial Masyarakat  Dalam  Penguasaan  Hutan.    Bogor:  Social  Forestry  Specialist,  World  Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional).
Pada  tahun  1961  di  Angola  juga  terjadi  masalah  mengenai  pertanahan dengan pemerintah, dikutip dari Strengthening Land Tenure And  Property Rights Final Report in Angola : Land  ownership  has  been  problematic  since  the  first  Portuguese  settlement  in  Angola.  In  1961,  the  Portuguese  population  of  6,000  households  occupied  a  land  area  of  4.5  million  hectares  and  a  subsistence  population  of  1  million  Angolan  farming  households  occupied  another  4.3  million  hectares.  After  independence  in  1975  and a new Constitution, the Angolan government transferred all land  ownership to the state. All land use decisions were to be defined by  the government and no private land ownership was recognized. In the  early 1990s, a new land law was put in place to grant surface rights to  large  commercial  farmers  to  promote  agricultural  investment.  This  reinforced public perception that the government believed only large  commercial  farms  to  be  viable  players  in  the  Angolan  agriculture  sector‟s  economic  growth.  This  disenfranchised  most  households  in  Angola and drove them to participate in informal or unrecognized land  markets.  In  2004,  the  government  passed  a  new  land  law  that    redefined  land  use  and  rights.  It  became  mandatory  for  all  land  occupants  to  initiate  regularization  of  their  land  rights  before  July  2010.  If  land  was  not  regularized  at  this  time,  it  would  all  revert  to  state control. This law did not provide any guidance on how to initiate  this process or any direction to government ministries on how to assist  households. It is estimated that over 50% of the Angolan population  moved  to  urban  centers  during  the  civil  war.  This  increased  urbanization led to more pressure on land resources in an environment  where  rights  to  provide  any  sense  of  security  are  lacking.  In  rural  areas,  subsistence  farming  households  compete  for  land  with  concessions  granted by the central  government for large  commercial  farms  that  may  overlap  with  community  boundaries,  or  even  completely  encompass  a  community  (Robin  Nielsen  Staff  Attorney,  Rural  Development  Institute  April  28,  2008  STRENGTHENING  LAND TENURE AND PROPERTY RIGHTS IN ANGOLA: FINAL  REPORT).
Tentang  pengakuan  terhadap  keberadaan  hak  ulayat,  UUPA  tidak  memberikan kriterianya. Boedi Harsono menyebutkan alasan para perancang dan  pembentuk  UUPA  untuk  tidak  mengatur  tentang  hak  ulayat  adalah  karena  pengaturan  hak  ulayat,  baik  dalam  penentuan  kriteria  eksistensi  maupun  pendaftarannya, akan melestarikan keberadaan keberadaan hak ulayat, sedangkan  secara alamiah terdapat kecenderungan melemahnya hak ulayat (Boedi Harsono,  1999).
Dalam  kenyataannya  ketiadaan  kriteria  persyaratan  eksistensi  hak  ulayat  merupakan  salah  satu  faktor  yang  berpengaruh  terhadap  marjinalisasi  hak  masyarakat hukum adat. Tanpa adanya kriteria obyektif, pihak  yang berhadapan  dengan  masyarakat  hukum  adat  (Pemerintah  atau  swasta)  dapat  secara  sepihak  mengesampingkan  keberadaan  suatu  masyarakat  hukum  adat.  Secara  obyektif,  posisi  tawar  masyarakat  hukum  adat  berhadapan  dengan  pihak  yang  posisinya  lebih kuat dari segi politik ataupun modal sudah jelas tidak seimbang.
Berbagai  kasus  terdesaknya  hak  masyarakat  hukum  adat  seiring  dengan  derasnya  investasi  maupun  proyek  pembangunan  pemerintah  semenjak  tahun  1970-an  telah  mendorong  pemikiran  untuk  menentukan  suatu  kriteria  obyektif  tentang  keberadaan  hak  ulayat  berkenaan  dengan  subyek,  obyek  dan  kewenangannya (Sumardjono, 1993). Melalui berbagai diskusi dan pendapat pro  serta  kontra,  akhirnya  pada  tahun  1999,  Menteri  Negara  Agraria/Kepala  Badan    Pertanahan  Nasional  menerbitkan  Peraturan  Menteri  Negara  Agraria/Kepala  Badan  Pertanahan  Nasional  Nomor  5  Tahun  1999  (Permen)  tentang  Pedoman  Penyelesaian  Masalah  Hak  Ulayat  Masyarakat  Hukum  Adat.  Dalam  Permen  tersebut disebutkan antara lain kriteria keberadaan  hak ulayat berkenaan  dengan  subyek, obyek dan kewenangannya (Sumardjono, 1999).
Pasal  2  Peraturan  Menteri  tersebut  menyebutkan  tentang  kriteria  penentu  tentang  keberadaan  hak  ulayat  yang  terdiri  dari  tiga  unsur,  yakni:  adanya  masyarakat  hukum  adat  tertentu,  adanya  hak  ulayat  tertentu  yang  menjadi  lingkungan hidup dan tempat mengambil keperluan hidup masyarakat hukum adat  itu,  dan  adanya  tatanan  hukum  adat  mengenai  pengurusan,  penguasaan  dan  penggunaan  tanah  ulayat  yang  berlaku  dan  ditaati  oleh  masyarakat  hukum  adat.
Keberadaan hak ulayat dinyatakan dalam peta pendaftaran, tetapi terhadap tanah  ulayat  tidak  diterbitkan  sertipikat  karena  hak  ulayat  bukan  obyek  pendaftaran  tanah,  disamping  itu  sifatnya  yang  dinamis  memungkinkan  terjadinya  individualisasi  secara  alamiah  karena  faktor  sosial-ekonomis  yang  membawa  pengaruh  terhadap  perubahan  internal  di  kalangan  masyarakat  hukum  adat  itu  sendiri.
Masalah  tanah  adalah  masalah  yang  sangat  menyentuh  keadilan  karena  sifat  tanah  yang  langka  dan  terbatas,  dan  merupakan  kebutuhan  dasar  setiap  manusia,  tidak  selalu  mudah  untuk  merancang  suatu  kebijakan  pertanahan  yang  dirasakan adil untuk semua pihak. Suatu kebijakan yang memberikan kelonggaran  yang  lebih  besar  kepada  sebagian  kecil  masyarakat  dapat  dibenarkan  apabila  diimbangi  dengan  kebijakan  serupa  yang  ditujukan  kepada  kelompok  lain  yang  lebih besar (Maria S.W. Sumardjono, 2007: 19).
Hukum  tanah  di  Indonesia  dari  zaman  penjajahan  terkenal  bersifat  „dualisme‟, yang dapat diartikan bahwa status hukum atas tanah ada yang dikuasai  oleh  hukum  Eropa  di  satu  pihak,  dan  yang  dikuasai  oleh  hukum  adat,  di  pihak  lain. Keadaan seperti ini tidak lepas sebagai peninggalan atau warisan dari politik  agraria Pemerintah Hindia Belanda, yang pada dasarnya juga mempunyai alasan  untuk pemisahan antara kepentingan rakyat pribumi dan kepentingan modal asing.
Hal ini dapat terlihat dari komentar Prof. Ter Haar Bzn yang menyebutkan bahwa    dengan usaha bersama dicoba memberikan jaminan tentang nikmat ekonomi atas  tanah:  syarat  hidup  bagi  penduduk  pribumi,  syarat  berdiri  bagi  pengusaha  – pengusaha perkebunan Eropa. Terlepas dari itu, diseluruh Indonesia kita melihat  adanya  hubungan  –  hubungan  antara  persekutuan  hukum  dengan  tanah  dalam  wilayahnya,  atau  dengan  kata  lain,  persekutuan  hukum  itu  mempunyai  hak  atas  tanah  –  tanah  itu,  yang  dinamakan  Beschikkingsrecht.  Hal  ini  membawa  kita  kepada suatu pemahaman bahwa tanah adat atau hukum tanah adat di Indonesia  mempunyai  pengaruh  yang  sangat  besar  dalam  pola  hidup  dalam  persekutuan  masyarakat  hukum  adat.  Tetapi  masalah  hukum  tanah  adat  tidaklah  mudah  adanya. Karena masih di bawah pengaruh dualisme hukum tanah yang ada selama  masa Pemerintah Hindia Belanda.
Berdasarkan hal diatas, maka Penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam  mengenai  status  hukum  tanah  adat  dalam  sistem  hukum  agraria  nasional  dalam sebuah  penelitian  yang  berjudul  “EKSISTENSI  PRANATA  HAK  ATAS  TANAH ADAT DALAM SISTEM HUKUM AGRARIA NASIONAL”.
B.  Rumusan Masalah.
Berdasarkan  latar  belakang  yang  telah  dijelaskan  di  atas,  maka  penulis  mengangkat beberapa permasalahan untuk selanjutnya diteliti dan dibahas dalam  penulisan skripsi ini, yaitu sebagai berikut :.
1.  Bagaimana pranata mengenai hak penguasaan atas tanah dalam hukum adat di  Indonesia ?.
2.  Apakah sistem hukum agraria nasional menjamin kedudukan pranata hak atas  tanah adat?.
C.  Tujuan Penelitian.
Tujuan penelitian sangat diperlukan terkait dengan perumusan masalah dan  judul dari penelitian tersebut sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi yang  disebut  sebagai  tujuan  obyektif.  Sedangkan  untuk  memenuhi  kebutuhan    perseorangan,  merupakan  tujuan  subyektif  dari  penelitian  tersebut.  Tujuan  yang  akan di capai dari penelitian ini adalah :.
1.  Tujuan Obyektif.
a.  Untuk  mengetahui  pranata  mengenai  hak  penguasaan  atas  tanah  dalam  hukum adat di Indonesia.
b.  Untuk  mengetahui  dijamin  atau  tidaknya  kedudukan  hak  atas  tanah  adat  dalam sistem hukum agraria nasional.
2.  Tujuan Subyektif.
a.  Untuk  menambah,  memperluas,  dan  memperdalam  pengetahuan  dan  wawasan  penulis  tentang  hukum  administrasi  negara  terkait  masalah  eksistensi  pranata  hak  atas  tanah  adat  dalam  sistem  hukum  agraria  nasional.
b.  Untuk  memenuhi  persyaratan  akademis  guna  memperoleh  gelar  sarjana  dalam  bidang  Ilmu  Hukum  pada  Fakultas  Hukum  Universitas  Sebelas  Maret.
c.  Untuk mengasah dan menerapkan ilmu dan teori-teori hukum  yang telah  penulis  peroleh  agar  dapat  memberi  manfaat  bagi  penulis  sendiri  serta  memberikan  kontribusi  positif  bagi  perkembangan  ilmu  pengetahuan  di  bidang hukum.
D.  Manfaat Penelitian.
Suatu  penelitian  diharapkan  dapat  memberi  manfaat,  khusunya  bagi  ilmu  pengetahuan  di  bidang  penelitian  tersebut.  Adapun  manfaat  dari  penelitian  ini  adalah:.
1.  Manfaat Teoritis.
a.  Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu  pengetahuan  di  bidang  ilmu  hukum  pada  umumnya  serta  Hukum  Administrasi Negara tentang pranata mengenai hak penguasaan atas tanah  dalam hukum adat di Indonesia.
b.  Hasil penelitian dan  penulisan ini diharapkan dapat memperkaya referensi  dan  literatur  dalam  dunia  kepustakaan  mengenai  dijamin  atau  tidaknya    kedudukan  pranata  hak  atas  tanah  adat  dalam  sistem  hukum  agraria  nasional,  serta  dapat  digunakan  sebagai  acuan  terhadap  penelitianpenelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2.  Manfaat Praktis.
Manfaat  praktis  yaitu  manfaat  dari  penulisan  hukum  ini  yang  berkaitan  dengan  pemecahan  masalah.  Manfaat  praktis  dari  penulisan  ini  adalah sebagai berikut:.
a.  Menjadi jawaban atas permasalahan yang telah diteliti.
b.  Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan pola  pikir  ilmiah  sekaligus  untuk  mengetahui  kemampuan  penulis  dalam  menerapkan ilmu yang telah diperoleh.
c.  Hasil  penelitian  dan  penulisan  ini  diharapkan  dapat  membantu  memberi masukan  kepada  semua  pihak  yang  membutuhkan  pengetahuan  terkait  dengan permasalahan  yang diteliti dan dapat dipakai sebaga sarana  yang efektif  dan  memadai  dalam  upaya  mempelajari  dan  memahami  ilmu  hukum khususnya Hukum Asministrasi Negara.

 Skripsi Hukum: Eksistensi Pranata Hak Atas Tanah Adat Dalam Sistem Hukum Agraria Nasional

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi