BAB I.
PENDAHULUAN.
A.Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Fungsi Pengaturan Dan Pengawasan Perbankan Di Indonesia Setelah Disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
Indonesia merupakan
salah satu negara
di dunia yang
laju pertumbuhan perekonomiannya terus
berkembang, untuk dapat
mencapai pembangunan perekonomian
yang berkualitas perlu
diperhatikannya hal-hal penting
dalam menjalankan kegiatan
perekonomian yaitu dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi
harus lebih memperhatikan
keserasian, keselarasan dan
keseimbangan dari segala
unsur-unsur pemerataan pembangunan,
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional.
Hal tersebut haruslah
diperhatikan karena kegiatan perekonomian yang ada di Indonesia sudah seharusnya dijalankan sesuai
dengan dasar dan
ideologi negara yaitu
Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Pembangunan
dalam bidang perekonomian
nasional telah diatur
dalam dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan
dan dikembangkan demi
tercapainya kesejahteraan masyarakat.
Untuk menunjang pembangunan ekonomi yang
telah dijalankan dan
yang akan dijalankan,
maka diperlukan suatu
lembaga yang mempunyai
tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat, yakni salah satu
lembaga tersebut adalah
lembaga keuangan atau lembaga
penyedia jasa keuangan.
Sesuai dengan laju
pertumbuhan ekonomi dan gerak
pembangunan suatu bangsa, lembaga
keuangan tumbuh dengan
berbagai alternatif jasa
yang ditawarkan. Lembaga
keuangan merupakan lembaga
perantara dari pihak
yang memiliki kelebihan dana
(surplus of funds) dengan pihak yang
kekurangan dana (lack of
funds),memiliki fungsi sebagai perantara keuangan masyarakat (financial intermediary) (Muchdarsyah Sinungan, 1987:111).
Lembaga keuangan, sebagaimana
halnya suatu lembaga atau institusi pada hakikatnya
berada dan ada
di tengah-tengah masyarakat.
Lembaga yang merupakan
organ masyarakat merupakan
sesuatu yang keberadaannya
adalah untuk memenuhi
tugas sosial dan
kebutuhan khusus masyarakat.
Berbagai jenis lembaga
yang ada dan
dikenal dalam masyarakat
yang masing-masing mempunyai tugas sendiri sesuai dengan maksud
dan tujuan dari tiap lembaga yang bersangkutan
(Sri Redjeki Hartono, 2001:4).
Lembaga keuangan
atau lembaga penyedia
jasa keuangan di
Indonesia berperan sangat
penting bagi aktifitas
perekonomian. Salah satu
lembaga keuangan yang
memiliki peran penting
dalam stabilitas pembangunan
nasional adalah perbankan.
Di Indonesia, lembaga
perbankan memiliki misi
dan fungsi sebagai
agen pembangunan (agent of
development), yaitu sebagai
lembaga yang bertujuan
menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak
(Neni Sri Imaniyati,
2010:14). Tujuan dari
lembaga perbankan tersebut
tercantum di dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (untuk selanjutnya
disebut UU Perbankan).
Keberadaan lembaga
perbankan dipengaruhi dan
bergantung pada kepercayaan
masyarakat, agar kepercayaan
dan rasa aman
masyarakat dapat terpelihara
dan tujuan pembangunan
perekonomian dapat berjalan
lancar, diperlukan suatu
lembaga/institusi/badan yang mengatur
dan mengawasi perbankan,
yaitu Bank Sentral.
Bank sentral merupakan
lembaga yang memiliki peran
penting dalam perekonomian,
terutama di bidang
moneter, keuangan dan perbankan. Di
Indonesia, yang merupakan
Bank Sentral Negara
Republik Indonesia adalah
Bank Indonesia (BI)
dengan tugas-tugas utama
yaitu menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter, mengatur dan mengawasi bank serta menjaga kelancaran sistem pembayaran.
Tugas
utama yang dimiliki
oleh bank sentral
disuatu negara berbeda dengan tugas utama bank sentral di negara
lainnya, misalnya terdapat bank sentral yang hanya
bertugas menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter
serta menjaga kelancaran sistem pembayaran,
sementara terdapat juga bank sentral
di negara lain
yang hanya bertugas
menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter. Selain
itu pada umumnya
di beberapa negara
ada yang menyatukan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan
dalam otoritas bank sentral, namun terdapat
pula beberapa negara yang melakukan pemisahan fungsi pengaturan dan pengawasan
perbankan dari bank
sentral. Dalam melaksanakan
pengaturan dan pengawasan
perbankan, beberapa negara
menyerahkan kewenangan tersebut kepada lembaga lain diluar bank sentral dan ada
pula yang membentuk lembaga khusus yang independen untuk mengatur dan
mengawasi perbankan.
Negara Singapura
memiliki lembaga yaitu Monetary Authority
of Singapore (MAS), yang
bertugas menetapkan perizinan
dan pengawasan bank, lembaga pembiayaan, perusahaan asuransi,
serta perdagangan valas. Lembaga
di Amerika Serikat
yaitu The Federal Reserve
(The Fec), melakukan tugas pembinaan dan
pengawasan terhadap perbankan. Bank of
Japan (BoJ), adalah lembaga
yang berada di
negara Jepang yang
tidak melakukan tugas
pembinaan dan pengawasan
terhadap perbankannya, sebab
tugas tersebut dilakukan
oleh Financial Services
Agency (FSA) yang masih
dapat mempertahankan stabilitas kinerja
badan pengawas perbankannya
dan dianggap berhasil
dalam menjaga stabilitas sistem keuangannya. Sedangkan di
Australia sejak tahun 1998 dibentuk The
Australian Prudential Regulation
Authority (APRA), yang bertugas
untuk mengawasi perbankan
dan beberapa lembaga
jasa keuangan lainnya
(Zaidatul Amina, 2012:11-18).
Sasaran pokok
dari pengaturan dan
pengawasan perbankan adalah
untuk mendorong keamanan dan
kesehatan lembaga-lembaga keuangan melalui evaluasi dan pemantauan yang berkesinambungan termasuk
penilaian terhadap manajemen risiko, kondisi
keuangan dan kepatuhan
terhadap Undang-Undang dan
regulasi (Sukarela Batunangar,
2006:2).
Pengawasan
perbankan merupakan salah
satu tugas bank
sentral, namun yang
terjadi saat ini
adalah untuk melaksanakan
fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan,
dibentuk suatu lembaga
baru yang terpisah
dari bank sentral
dan kewenangannya juga
diperluas yaitu tidak
hanya mengawasi perbankan
saja, tetapi juga
mengawasi lembaga keuangan
seperti lembaga pembiayaan dan perusahaan asuransi.
Negara Indonesia sendiri pada
akhirnya juga melakukan pemisahan fungsi pengaturan
dan pengawasan perbankan
dengan membentuk suatu
lembaga baru yang
independen. Tujuannya agar
BI lebih memfokuskan
tugasnya pada pengendalian inflasi dan nilai tukar sehingga
tidak perlu melakukanpengawasan bank
karena bank merupakan sektor dalam perekonomian. Selain itu, akibat krisis keuangan
yang pernah terjadi
di Indonesia membuat
trauma tersendiri bagi perekonomian negara,
yaitu krisis keuangan yang
memporak-porandakan sistem keuangan
pada tahun 1997.
Berbagai perombakan-perombakan dalam
sistem keuangan nasional pun
dilakukan, dengan tujuan menciptakan pondasi yang kuat sehingga
ekonomi Indonesia tidak
mudah terserang virus
goncangan ekonomi yang
meruntuhkan sendi-sendi perekonomian
nasional (Andika Hendra Mustaqim, 2010:2).
Krisis ekonomi
1997-1998 yang dialami
Indonesia mengharuskan pemerintah melakukan pembenahan di sektor
perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi sistem
keuangan dan mencegah
terulangnya krisis. Langkah
yang ditempuh Pemerintah
adalah dengan penandatanganan persetujuan
Pemerintah Indonesia dengan International Monetery
Fund (IMF) dalam bentuk Letter
of Intent (LoI) yang
ditandatangani oleh Menteri
Keuangan dan Gubernur
Bank Indonesia pada
tanggal 31 Oktober
1997, LoI tersebut berisi sejumlah
langkah yang akan
dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia untuk menyelamatkan perekonomian
negara. Dalam rangka
menindaklanjuti LoI IMF pada tanggal
1 November 1997 dilakukan
pencabutan izin usaha 16 (enam belas) bank, sehingga bank-bank tersebut berstatus
bank dalam likuidasi.
Setelah itu BI
mengeluarkan kebijakan Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) yang dikenal
sejak 15 Januari
1998 untuk membantu
kesulitan likuidasi perbankan.
Akan tetapi kebijakan
BLBI tersebut tidak
berjalan efektif karena
banyaknya dana bantuan yang
disalahgunakan oleh sejumlah
pihak. Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) menyimpulkan bahwa terdapat indikasi
penyimpangan dalam penyaluran maupun penggunaan BLBI
dan menimbulkan potensi kerugian
negara sebesar Rp 138, 5 triliun
(Bank Indonesia, 2002:8-12).
Kritik terhadap BI
timbul terutama pada kegiatan pemberian
bantuan likuiditas dan
dikaitkan dengan tidak
efektifnya pengawasan atas
kegiatan pinjaman tersebut,
sebab pengurus dan
pemilik bank yang telah mendapat bantuan likuiditas
ternyata melakukan penyimpangan dalam menggunakan
bantuan tersebut yang dipengaruhi oleh dinamika kehidupan politik dan budaya hukum yang tidak lepas dari praktek
korupsi, kolusi dan nepotisme.
Tidak hanya
kasus BLBI, masalah
pengawasan perbankan di
Indonesia sampai saat ini masih
selalu mendapat sorotan. Kasus Bank Century yang terjadi pada
tahun 2008, BI dinyatakan
tidak efektif dalam melakukan
pengawasannya.
Kasus tersebut
berawal ketika Bank
Century terbentuk dari
hasil merger antara Bank
CIC, Bank Pikko
dan Bank Danpac.
Merger didahului dengan
akuisisi Danpac dan Pikko serta
kepemilikan saham CIC oleh Chinkara, yaitu perusahaan yang
berdomisili di Bahama
yang saham mayoritasnya
dipegang oleh Rifat
Ali Rizvi dan
terbukti tidak terpenuhi
persyaratan administratif, yaitu
tidak ada laporan
keuangan Chinkara selama
3 (tiga) tahun
terakhir, surat-surat berharga fiktif
yang melibatkan Chinkara
dan tidak ada
rekomendasi otoritas moneter negara asal. Sebagai pengawas bank, BI tetap
mengizinkan dilakukannya merger meskipun terdapat
pelanggaran adminstratif, yang
seharusnya BI membatalkan persetujuan merger 3 (tiga) bank tersebut.
Selain itu, BI juga merekomendasikan dana talangan
kepada Bank Century
sebesar Rp 6,7
triliun dan menyalurkan fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) terkait
fungsinya sebagai lender of the last
resort dalam rangka mengatasi terjadinya resiko sistemik dan
dana talangan tersebut dipermasalahkan oleh
DPR karena dinilai
adanya kesalahan prosedur dalam penyelamatan bank dan masih berbuntut
panjang sampai sekarang (Zaidatul Amina,
2012:3-4).
Mengenai ketidakefektifan pengawasan
perbankan tersebut, ada beberapa pendapat
yang dikemukakan yaitu,
Menurut Darmin Nasution,
tingginya beban kerja BI dalam menjalankan kedua fungsi yaitu
pengaturan dan pengawasan bank, terbatasnya
sarana dan sumber daya pengawasan yang dimiliki, menjadi salah satu penyebab
ketidakefektifan kegiatan pengawasan
perbankan yang dilakukannya.
Sedangkan Menurut
Wimboh Santosa, bahwa
penyebab utama lemahnya
fungsi pengawasan oleh
BI sebelum berlakunya
UU BI adalah
adanya intervensi atau campur tangan
Pemerintah terhadap kebijakan
yang seharusnya menjadi wewenang BI (Sulistyandari, 2012:3-4).
Skripsi Hukum: Fungsi Pengaturan Dan Pengawasan Perbankan Di Indonesia Setelah Disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi