Selasa, 09 Desember 2014

Skripsi Hukum: Implementasi sistem pembebasan bersyarat terhadap narapidana narkotika di lembaga pemasyarakatan narkotika

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang.
Skripsi Hukum: Implementasi sistem pembebasan bersyarat terhadap narapidana narkotika di lembaga pemasyarakatan narkotika
Negara Indonesia saat ini telah menjadi salah satu negara sasaran peredaran gelap  narkotika.  Dewasa  ini  Indonesia  bukan  lagi  dinilai  sebagai  konsumen  narkotika, bahkan telah berkembang menjadi salah satu negara produsen narkotika.

Peredaraan  gelap  dan  penyalahgunaan  narkoba  sudah  menjadi  suatu  kejahatan  yang  berskala  transnasional  dan  internasional.  Para  pelaku  kejahatan  ini  adalah  para  sindikat  yang  sangat  profesional  dan  militan.  Kegiatan  operasionalnya  dilakukan secara konsepsional, terorganisir dengan rapi, sistematis, menggunakan  modus  operandi  yang  berubah-ubah,  didukung  oleh  dana  yang  tidak  sedikit  dan  dilengkapi dengan alat serta peralatan yang berteknologi tinggi dan canggih.
Di  tengah  situasi  meningkatnya  kejahatan  narkoba  seperti  dewasa  ini,  maka  realitas  penegakan  hukum  di  atas  potensial  menjadi  faktor  kriminogen  bagi  timbul  dan  meluasnya  kejahatan  narkoba  itu  sendiri.
Sebab  efektivitas  berlakunya  hukum  di  masyarakat  seringkali  justru  ditentukan  oleh  bagaimana  hukum  tersebut  ditampilkan  secara  kongkrit  oleh para petugas hukum (M. Abdul Kholiq AF.2003:63).
Kecenderungan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika ini setiap  tahun terus mengalami peningkatan, hal ini telah menjadi ancaman bahaya yang  serius terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, masyarakat, dan bangsa.  “Di  dalam buku Badan Narkotika Nasional Menyebutkan Penanggulangan tidak saja  membutuhkan  komitmen  dan  kesanggupan  semua  pihak,  tetapi  juga  aksi  nyata  semua  jajaran  pemerintah,  pihak  legislatif  baik  pusat  maupun  daerah  dan  partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat”(Anang Iskandar, 2009:1).
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang  Narkotika yang berlaku di Indonesia, pengertian dari narkotika itu sendiri adalah  “zat  atau  obat  yang  berasal  dari  tanaman  atau  bukan  tanaman,  baik  sintesis  maupun  semi  sintesis,  yang  dapat  menyebabkan  penurunan  atau  perubahan  kesadaran,  hilangnya  rasa,  mengurangi  sampai  menghilangkan  rasa  nyeri,  dan  dapat menimbulkan ketergantungan”. Undang-undang No 35 Tahun 2009 Tentang    Narkotika  tidak  melarang  penggunaan  narkotika,  apabila  narkotika  tersebut  digunakan sebagaimana mestinya untuk keperluan medis dan keperluan penelitian  atau ilmu pengetahuan.
Taufik Makarao menyatakan : Narkotika apabila dipergunakan secara proporsial, artinya sesuai menurut  asas  pemanfaatan,  baik  untuk  kesehatan  maupun  untuk  kepentingan  penelitian  ilmu  pengetahuan,  maka  hal  tersebut  tidak  dapat  dikualisir  sebagai tindak pidana narkotika. Akan tetapi apabila dipergunakan untuk maksud-maksud  yang  lain  daripada  itu,  maka  perbuatan  tersebut  dapat  dikategorikan sebagai perbuatan yang jelas sebagai perbuatan pidana dan  atau penyalahgunaan narkotika (Taufik Makarao, 2003:43-44).
Tindak  pidana  narkotika  dapat  diartikan  dengan  suatu  perbuatan  yang  melanggar  ketentuan-ketentuan  hukum  narkotika,  dalam  hal  ini  adalah  UndangUndang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang  termasuk  dan/atau  tidak  bertentangan  dengan  undang-undang  tersebut.  Tindak  pidana narkotika  tersebut dapat berupa penyalahgunaan narkotika dan peredaran  gelap narkotika.
Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika telah menentukan  perbuatan-perbuatan  apa  saja  yang  dilarang  dan  diancam  dengan  sanksi  pidana  dalam  hubungannya  dengan  narkotika,  perbuatan-perbuatan  tersebut  dikenal  sebagai  tindak  pidana  narkotika.  Undang-undang  Narkotika  tersebut  telah  menjelaskan  penyalahgunaan  narkotika  termasuk  kualifikasi  perbuatan  pidana  (delict)  yang  pelakunya  diancam  dengan  sanksi  pidana  karena  pemakaian  narkotika dilakukan oleh seseorang yang tanpa hak dan melawan hukum.  Seperti  yang  di  tegaskan  dalam  Jurnal  Internasional  yang  berjudul  Is  Proverty  To  Be  Blamed For Narcotic Abuse? A Case Study Of Pakistan,  bahwa   “Narcotic abuse  is  defined  by  impaired  function  and  interference  in  the  daily  life  of  the  users.
Users  often  develop  serious  physical,  social,  and  mental  health  problems  that  compromise  wellbeing  and  affect  family  and  friends”  (Mohammad  Raza  Ullah  Khan Niazi, 2009:147-148).    Artinya Penyalahgunaan narkotika ini didefinisikan  oleh  fungsi  gangguan  dan  gangguan  dalam  kehidupan  sehari-hari  pengguna.
Pengguna  sering  mengembangkan  serius  gejala  fisik,  sosial,  dan  masalah    kesehatan  mental  yang  kompromi  kesejahteraan  serta  dapat  mempengaruhi  keluarga dan teman.
Pengedar narkotika dalam terminologis hukum dikatagorikan sebagai pelaku  (daders) akan tetapi pengguna dapat dikatagorikan baik sebagai pelaku atau korban.
Pelaku  penyalahguna  narkotika  terbagi  atas  dua  katagori  yaitu  pelaku  sebagai  pengedar  dan/atau  pemakai.  Secara  eksplisit  tidak  dijelaskan  pengertian  pengedar  narkotika,  tetapi  secara  implisit  dan  sempit  dapat  dikatakan  bahwa  pengedar  narkotika  adalah  orang  yang  melakukan  kegiatan  penyaluran  dan  penyerahan  narkotika. “Akan tetapi, secara luas pengertian pengedar narkotika tersebut juga dapat  dilakukan  dan  berorientasi  kepada  dimennsi  penjual,  pembeli  untuk  diedarkan,  menyangkut,  menyimpan,  menguasai,  menyediakan,  melakukan  kegiatan  mengekpor  dan  mengimport  narkotika”(http://pn-kepanjen.go.id/  option  =com_content &task= view&id= 163/ diakses tanggal 20 Februari 2012).
Melihat  banyaknya  pelaku  tindak  pidana  narkotika,  pemerintah  telah  berinisiatif  membuat  lembaga  pemasyarakatan  narkotika  yang  dikhususkan  bagi  para  produsen  dan  pengedar  narkotika,  sedangkan  bagi  pengguna  atau  korban  narkotika telah dibuatkan tempat rehabilitasi. Penyalahguna narkotika yang telah  terbukti  bersalah  dan  diputuskan  oleh  hakim  untuk  menjalani  pidana  penjara  di  Lembaga  Pemasyarakatan  (LAPAS)  Narkotika  yang  di  dalam  Undang-Undang  Narkotika  bahwa  narapidana  narkotika  harus  dilakukan  perawatan  di  Lembaga  Pemasyarakatan  Narkotika  karena  hal  tersebut  sebagai  bagian  dari  pembinaan.
Fungsi dari pidana penjara, tidak hanya sekedar penjaraan tetapi  juga merupakan  suatu usaha rehabilitas dan reintegrasi sosial.
Konsep pemasyarakatan di Indonesia memiliki tujuan dari pidana penjara  di  samping  menimbulkan  derita  pada  terpidana  karena  dihilangkannya  kemerdekaan  bergerak,  juga  ditujukan  untuk  membimbing  terpidana  agar  bertaubat,  mendidik  supaya  ia  menjadi  anggota  masyarakat  Indonesia  yang  berguna.  “Pemasyarakatan  sebagai  tujuan  dari  pidana  penjara,  pada  tanggal  27  April  1964  dalam  Konferensi  Jawatan  Kepenjaraan  yang  dilaksanakan  di  Lembang  Bandung,  istilah  pemasyarakatan  dibakukan  sebagai  pengganti  kepenjaraan”(Harsono, 2005:1).
  Secara  filosofis  pemasyarakatan  adalah  sistem  pemidanaan  yang  sudah  jauh  bergerak  meninggalkan  filosofis  retributif  (Pembalasan),  deterence  (Penjeraan)  dan  resosialisasi.  Menurut  Pasal  1  Angka  (1)  Peraturan  Pemerintah  No.  32  Tahun  1999  Tentang  Syarat  Dan  Tata  Cara  Pelaksanaan  Hak  Warga  Binaan  Pemasyarakatan  bahwa  Pembinaan  adalah  kegiatan  untuk  meningkatkan  kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku,  professional,  kesehatan  jasmani  dan  rohani  Narapidana  dan  Aanak  Didik  Pemasyarakatan.  Pembinaan  yang  dilaksanakan  dalam  sistem  pemasyarakatan  tidak  terlepas  dari  instansi  pelaksanaannya.  Pembinaan  yang  dilakukan  hanya  dapat diberikan kepada narapidana  bukan kepada tahanan karena disamping yang  mempunyai  kekuatan  hukum  yang  tetap  ia  juga  masih  dalam  tahap  proses  penyidikan, penuntutan maupun persidangan di pengadilan.
Berdasarkan  Pasal  2  Undang–undang  No.12  Tahun  1995  Tentang  Pemasyarakatan  ditegaskan  bahwa  tujuan  dari  sistem  pemasyarakatan  diselenggarakan  dalam  rangka,  membentuk  warga  binaan  pemasyarakatan  agar  menjadi  manusia  seutuhnya,  menyadari  kesalahan,  memperbaiki  diri,  dan  tidak  mengulangi  tindak  pidana,  sehingga  diterima  kembali  dilingkungan  masyarakat,  dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar, sebagai  warga  yang  baik  dan  bertanggung  jawab,  untuk  tercapainya  tujuan  dari  sistem  pemasyarakatan tersebut diberikan program kepada narapidana narkotika  berupa  Pembebasan  bersyarat  dan  Cuti  mengunjungi  keluarga.  Pembinaan  yang  dilaksanakan  dalam  sistem  pemasyarakatan,  menurut  Undang-Undang  Republik  Indonesia  Nomor  12  Tahun  1995  tentang  Pemasyarakatan  di  dalam  Pasal  6  menyebutkan  “Bahwa  pembinaan  dapat  dilakukan  secara  intramural  dan  ekstramural  yaitu  di  dalam  Lembaga  Pemasyarakatan  dan  di  luar  Lembaga  Pemasyarakatan, dengan arti kata pembinaan itu dijalankan secara bertahap”.
Pembinaan  di  luar  Lembaga  Pemasyarakatan  ini  merupakan  pembinaan  pada tahap integrasi yaitu dalam bentuk pembebasan bersyarat dan cuti menjelang  bebas.  Pembinaan  dan  pengawasannya  dilaksanakan  oleh  Balai  Pemasyarakatan  (BAPAS)  (Soedjono  Dirdjo  Sisworo,  1984:  21-24).  “Maksudnya  adalah  pembinaan dalam tahap integrasi ini dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan, dan    pengawasan terhadap pembinaan dalam tahap integrasi ini juga dilaksanakan oleh  Balai  Pemasyarakatan  merupakan  suatu  pranata  untuk  melaksanakan  bimbingan  klien  pemasyarakatan”(Pasal  1  Angka  (4)  Undang-Undang  No.  12  Tahun  1995  Tentang Pemasyarakatan).
Pemberian  Pembebasan  bersyarat  jika  dilihat  secara  implisit  maupun  eksplisit merupakan  hadiah atau remisi dari Negara bagi narapidana untuk  bebas  lebih awal dari masa hukuman yang sebenarnya. Untuk mendapatkan pembebasan  bersyarat, narapidana narkotika harus  memenuhi syarat dan tata cara yang diatur  dalam  Pasal  42  A  ayat  (3)  Peraturan  Pemerintah  Nomor  32  Tahun  1999  jo  Peraturan  Pemerintah  Nomor  28  Tahun  2006  Tentang  Syarat  dan  Tata  Cara  Pelaksanaan  Hak  Warga  Binaan  Pemasyarakatan,  yang  dimana  peraturan  pemerintah tersebut menyebutkan bahwa  Bagi Narapidana yang dipidana karena  melakukan  tindak  pidana  terorisme,  narkotika  dan  psikotropika,  korupsi,  kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat,  dan  kejahatan  transnasional  terorganisasi  lainnya,  diberikan  Cuti  Menjelang  Bebas oleh Menteri apabila memenuhi persyaratan.
Pembebasan  Bersyarat  bagi  narapidana,  berada  sepenuhnya  di  tengahtengah keluarga dan masyarakat dengan maksud memberikan kesempatan kepada narapidana  untuk  belajar  bergaul  dengan  keluarga  dan  masyarakat  yang  selama  mereka  di  dalam  Lembaga  Pemasyarakatan  (LAPAS)  terputus,  agar  kelak  nanti  setelah menjalani pidananya mereka dapat hidup wajar di tengah-tengah keluarga  dan  masyarakat.  Namun,  proses  pembinaan  melalui  pemberian  Pembebasan  Bersyarat kepada narapidana pelaksanaannya tidaklah mudah, karena dibutuhkan  persiapan,  kemampuan  dan  kerja  keras  dari  petugas  Lembaga  Pemasyarakatan  (LAPAS) dan Balai Pemasyarakatan (BAPAS).
Dewasa ini pelaksanaan pembebasan bersyarat masih mengalami kendala  bagi  para  narapidana.  Pelaksanaan  pembebasan  bersyarat  tersebut  mengalami  suatu  permasalahan  yang  menyulitkan  Lapas  Narkotika  atau  Narapidana  yang  sudah  menjalani  syarat  dan  ketentuan  yang  diatur  dalam  Peraturan  Pemerintah  Nomor 32 Tahun 1999 jo Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang  Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
  Berdasarkan  latar  belakang  diatas,  penulis  ingin  meneliti  lebih  lanjut  tentang pelaksanaan syarat dan tata cara untuk mendapatkan sistem pembebasan  bersyarat  dan  kendala  apa  yang  menghalangi  atau  yang  menjadi  suatu  permasalahan  bagi  narapidana  yang  ingin  mendapatkan  sistem  pembebasan  bersyarat.  Oleh  karena  itu  sangat  penting  untuk  dilakukan  kajian  lebih  jauh,  sehingga  penulis  memilih  judul  penelitian:  IMPLEMENTASI  SISTEM  PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA  DI  LEMBAGA  PEMASYARAKATAN  NARKOTIKA  KLAS  II  A  YOGYAKARTA.
B.  Rumusan Masalah.
Berdasarkan  latar  belakang  yang  telah  diapaparkan  diatas,  maka  penulis  merumuskan  masalah  untuk  mempermudah  pemahaman  terhadap  permasalahan  yang  akan  dibahas  serta  untuk  lebih  mengarahkan  pembahasan.  Adapun  permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai berikut : .
1.  Bagaimana  Implementasi Sistem Pembebasan Bersyarat Terhadap Narapidana  Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Yogyakarta?.
2.  Kendala  apa  saja  yang  terdapat  dalam  Implementasi  Sistem  Pembebasan  Bersyarat  Terhadap  Narapidana  Narkotika  di  Lembaga  Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Yogyakarta?.
C.  Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai penulis melalui penelitian ini  adalah :.
1.  Tujuan Objektif .
a.  Untuk  meneliti  Implementasi  Sistem  Pembebasan  Bersyarat  Terhadap  Narapidana  Narkotika  di  Lembaga  Pemasyarakatan  Narkotika  Klas  II  A  Yogyakarta.
b.  Untuk  meneliti  kendala  yang  terdapat  dalam  Mengimplementasikan Sistem  Pembebasan  Bersyarat  Terhadap  Narapidana  Narkotika  di  Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Yogyakarta.
2.  Tujuan Subyektif.
a.  Untuk  memperoleh  bahan  hukum  dan  informasi  sebagai  bahan  utama  penyusunan  penulisan  hukum  untuk  memenuhi  persyaratan  wajib  bagi  setiap  mahasiswa  dalam  meraih  gelar  kesarjanaan  pada  Fakultas  Hukum  Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b.  Untuk  menambah,  memperluas,  mengembangkan  wawasan,  pengetahuan  dan pengalaman serta pemahaman aspek hukum  dalam teori dan praktek  lapangan  hukum  yang  sangat  berarti  bagi  penulis.  Untuk  menerapkan  ilmu-ilmu  dan  teori-teori  hukum  yang  telah  penulis  peroleh,  agar  dapat  memberi  manfaat  bagi  penulis  sendiri  khususnya  dan  masyarakat  pada  umumnya.
D.  Manfaat Penelitian.
Suatu  penelitian  akan  mempunyai  nilai  apabila  penelitian  tersebut  memberi  manfaat  bagi  para  pihak.  Adapun  manfaat  yang  dapat  diperoleh  dari  tulisan hukum ini adalah :.
1.  Manfaat Teoritis :.
Memberikan  sumbangan  pemikiran  bagi  pengembangan  ilmu  hukum  pada  umumnya  dan hukum pidana pada khususnya mengenai implementasi sistem  pembebasan  bersyarat  terhadap  narapidana  narkotika,  serta  menambah  literatur  atau  bahan-bahan  informasi  ilmiah  yang  dapat  digunakan  untuk  melakukan kajian dan penelitian serupa.
2.  Manfaat Praktis :.
a.  Mengembangkan  daya  penalaran  dan  membentuk  pola  pikir  dinamis  penulis,  sehingga  dapat  mengetahui  kemampuan  penulis  atas  ilmu  yang  telah diperoleh.
b.  Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
Hasil  penelitian  ini  diharapkan  dapat  membantu  dan  memberikan  sumbangan pemikiran bagi para pihak yang berkepentingan dengan penelitian ini.

 Skripsi Hukum: Implementasi sistem pembebasan bersyarat terhadap narapidana narkotika di lembaga pemasyarakatan narkotika

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi