Kamis, 04 Desember 2014

Skripsi Hukum: Kajian yuridis batasan teritori operasional perbankan mengenai kepemilikan saham bank umum oleh asing

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Kajian yuridis batasan teritori operasional perbankan mengenai kepemilikan saham bank umum oleh asing
Perbankan  adalah  sesuatu  yang  menyangkut  tentang  bank,  mencakup  kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan  usahanya.  Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai  nilai  strategis  dalam  kehidupan  perekonomian  suatu  negara.  Dalam  arti  luas,  lembaga  tersebut  dimaksudkan  sebagai  perantara  pihak-pihak  yang  mempunyai  kelebihan  dana  (surplus  of  funds)  dengan  pihak-pihak  yang  kekurangan  dan  memerlukan dana (lack of funds). Selain itu bank merupakan lembaga keuangan  yang  memiliki  peranan  sebagai  lembaga  intermediasi  keuangan  (financial  intermediary  institution),  yakni  sebagai  lembaga  yang  melakukan  kegiatan  penghimpunan  dana  dari  masyarakat  dalam  bentuk  kredit  atau  pembiayaan.

Dalam operasional usahanya, bank harus senantiasa melaksanakan prinsip-prinsip  operasional bank, antara lain : 1.  Prinsip kepercayaan (fiduciary principle).
2.  Prinsip kehati-hatian (prudential principle).
3.  Prinsip kerahasiaan (confidental principle).
4.  Prinsip mengenal nasabah (know your costumer principle).
Fungsi  utama  Bank  Sentral  adalah  mengatur  masalah-masalah  yang  berhubungan  dengan  keuangan  di  suatu  negara  secara  luas.  Di  Indonesia  tugas  Bank  Sentral  dipegang  oleh  Bank  Indonesia.  Peranan  Bank  Indonesia  sebagai  Bank  Sentral  atau  sering  disebut  dengan  Bank  to  Bank  dalam  pembangunan  memang  penting  dan  sangat  dibutuhkan  keberadaannya.  Batasan  Operasional  Bank  Indonesia  sebagai  Bank  to  Bank  adalah  mengatur,  mengkoordinir,  mengawasi, serta memberikan tindakan kepada dunia perbankan.
Bank  Indonesia  juga  mengurus  dana  yang  dihimpun  dari  masyarakat  agar  disalurkan kembali kepada masyarakat benar-benar efektif penggunaannya sesuai  dengan tujuan pembangunan.
  Struktur  perbankan  Indonesia  digambarkan  sebagai  struktur  yang  rentan  karena  tahap  konsolidasi  yang  dijalankan  Pemerintah  Indonesia  belum  selesai  dijalankan.  Di  samping  itu,  terdapat  pandangan  yang  mengemukakan  bahwa  kerentanan struktur perbankan juga tidak lepas dari pelaksanaan liberalisasi yang  terlalu cepat.  Liberalisasi perbankan telah memfasilitasi pertumbuhan perbankan  yang  cepa,  sehingga  memberikan  peluang  untuk  masuknya  individu  yang  tidak  bermutu  ke  dalam  bisnis  perbankan.  Sistem  dan  struktur  perbankan  yang  dihasilkan  oleh  perubahan  regulasi  tersebut  mengakibatkan  dimungkinkannya  terjadinya kepemilikan  silang (interlocking ownership) dan (lending pattern) serta  kemungkinan dimilikinya satu bank secara mayoritas mutlak. Salah satu penyebab  buruknya  kondisi  perbankan  di  Indonesia  adalah  campur  tangan  pemilik  yang  berlebihan dalam manajemen bank, bahkan tidak sedikit pemilik yang merangkap  jabatan sebagai pengurus bank (Sukarman: 1999).
Sebelum  krisis  finansial  atau  moneter  melanda,  kebijakan  mengenai  kepemilikan saham bank oleh asing tersebut diatur bahwa investasi di perbankan  dapat  membeli  saham  bank  maksimal  sebesar  49%  dari  jumlah  saham  yang  dicatat  pada  bursa.  Kemudian  aturan  tersebut  dirubah  dengan  adanya  krisis  finansial yang melanda, pada PP Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham  Bank Umum, Pasal 3 disebutkan : “Jumlah kepemilikan saham bank  oleh warga negara asing yang diperoleh  melalui  pembelian  secara  langsung  melalui  bursa  efek  sebanyak-banyaknya  99  persen dari jumlah saham yang bersangkutan”.
Ketentuan  tersebut  menunjukkan  bahwa  liberalisasi  ekonomi  pada  hakikatnya  membawa  Indonesia  pada  tingkat  perekonomian  yang  lebih  mapan,  namun di sisi lain dapat memberikan “shock therapy” kepada pemerintah untuk  melakukan upaya proteksi kedaulatan ekonomi terhadap infasi investasi-investasi  asing yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kebijakan politik nasional  pada khususnya.
Melihat  dan  mempelajari  beberapa  kasus  tentang  bank  bermasalah  di  Indonesia  pasca  krisis  finansial  atau  moneter  pada  tahun  1997  mengindikasikan  bahwa  dominasi  kepemilikan  oleh  satu  pihak  berkaitan  erat  dan  berhubungan    negatif  dengan  pelaksanaan  good  corporate  governance  (GCG)  di  perbankan,  yang akibatnya masih dirasakan sampai sekarang. Krisis yang dialami Indonesia  berbeda  dengan  Negara  tetangga  di  mana  krisis  yang  dialami  lebih  complicated  dan  melibatkan  masalah-masalah  yang  struktual  yang  berbeda  jauh  melampaui  wilayah  kegiatan  ekonomi  semata  (multi-dimensi),  meliputi  masalah-masalah  sosial-politik dan hukum. Langkah-langkah penyelesaian krisis perbankan dimulai  dengan  program  exit  policy  atau  penutupan  bank  yang  awalnya  dilakukan  terhadap enam belas bank pada November 1997. Penutupan terhadap enam belas  bank  sering  dipersalahkan  sebagai  pemicu  utama  terjadinya  krisis  perbankan  di  Indonesia  karena  tidak  terdapat  konsistensi  dalam  pelaksanaannya.  Hal  ini  yang  merupakan  awal  dari  berkurangnya  kepercayaan  masyarakat  pada  sistem  perbankan Indonesia dikarenakan bahwa program restrukturisasi tidak dijalankan  dengan komitmen yang tinggi.
Bank  Indonesia,  Pemerintah,  dan   juga  lembaga‐lembaga  internasional  berupaya  keras  menanggulangi  krisis  tersebut,  antara  lain  dengan  melaksanakan  rekapitalisasi perbankan yang menelan dana lebih dari Rp 400 triliun terhadap 27  bank dan melakukan pengambilalihan kepemilikan terhadap 7 bank lainnya. Pada  saat  tersebut  banyak  bank  yang  dilikuidasi  karena  keberlangsungan  hidupnya  tidak dapat dipertahankan. Krisis perbankan terjadi karena ada faktor internal dan  eksternal yang menyebabkan banyaknya bank yang mengalami tingkat kesehatan  yang  buruk.  Sehingga  dengan  rendahnya  tingkat  kesehatan  dan  tidak  mampu  untuk ditolong sehingga harus dilakukan likuidasi dan menyebabkan menurunnya  tingkat  kepercayaan  masyarakat  terhadap  industri  perbankan,  sehingga  hal  tersebut semakin memperparah krisis perbankan.
Bank-bank swasta hampir seluruhnya dimiliki oleh atau merupakan bagian  dari konglomerat besar yang bergerak di bidang usaha non bank seperti properti  dan  manufaktur.  Dengan  struktur  kepemilikan  seperti  itu,  peran  komisaris  yang  berdasarkan  undang-undang  bertugas  mengawasi  kebijaksanaan  direksi  dalam  menjalankan  perusahaan  menjadi  tidak  efektif.  Kedudukan  komisaris  diisi  oleh  pemilik  bank  atau  diangkat  sebagai  jabatan  kehormatan.  Hal  ini  menyebabkan  fungsi pengawasan internal bank tidak berjalan dan pengawasan terhadap jalannya    perusahaan  tersisa  pada  pengawasan  eksternal  oleh  BI.  Efektifitas  pengawasan  terkait erat dengan pola dan struktur kepemilikan bank. Hal ini merupakan sesuatu  yang  sangat  kritis  dalam  mencapai  praktek  perbankan  yang  sehat.  Kepemilikan  secara  mayoritas  memungkinkan  timbulnya  campur  tangan  pemilik  secara  berlebihan dalam kepengurusan bank (Ramli: 1999).
Basel  Committe  on  Banking  dalam  rekomendasi  No.3  tentang  Effective  Banking  Supervison  juga  menyarankan  agar  masalah  kepemilikan  saham  bank  mendapat  perhatian  serius.  Rekomendasi  tersebut  meminta  agar  pengawas  bank  memiliki  kewenangan  untuk  menilai  struktur  kepemilikan  suatu  bank.  Apabila  bank  merupakan  bagian  dari  suatu  organisasi  besar  maka  harus  ada  jaminan  bahwa  struktur  organisasi  dan  kepemilikan  tersebut  bukan  merupakan  sumber  kelemahan  bagi  bank.  Kenyataannya  metode  penyelesaian  bank  bermasalah dengan  melibatkan  pemegang  saham  pengendali  tidak  efektif.  Ketentuan  yang mewajibkan  pemegang  saham  pengendali  bank  membuat  pernyataan  akan  bertanggung  jawab  apabila  bank  mengalami  kesulitan  keuangan  s ecara  hukum  perlu dipertanyakan efektifitasnya.
Aturan  kepemilikan  saham  bank  tertuang  dalam  Peraturan  Pemerintah  Nomor 29 Tahun  1999  tentang Pembelian Saham Bank Umum yang merupakan  turunan  Undang  Undang  Nomor  10  Tahun  1998  tentang  Perbankan.   Bank  Indonesia (BI) pada akhir kekuasaannya, sebelum Otoritas Jasa Keuangan (OJK)  lahir,  mengeluarkan  aturan  kepemilikan  bank  secara  berjenjang.  Langkah  ini  sebenarnya  untuk  menjawab  kegundahan  publik  akibat  kepemilikan  asing  di  bank-bank  swasta  yang  tanpa  batas.  Aturan  berjenjang  yang  dikeluarkan  BI  ini  tidak hanya untuk bank-bank swasta milik asing, tapi untuk semua bank. Karena  perbankan yang mayoritas dimiliki satu pihak saja itu berdampak negatif terhadap  tata  kelola  perbankan  (good  corporate  governance).  Hal  ini  telah  berlangsung  lama baik sebelum krisis ekonomi 1997-1998 atau setelah itu.
Aturan  baru  tentang  kepemilikan  bank  ini  dimaksudkan  agar  bank-bank  terhindar dari praktik kotor seperti pada zaman-zaman sebelumnya. Kepemilikan  mayoritas yang tanpa kontrol pihak lain akan menghancurkan bank.     Sebelumnya, ketika krisis juga ada 100 bank yang menjadi almarhum karena  intervensi  pengurus  dan  pemilik  yang  penuh  moral  hazard.  Pengaturan  kepemilikan  juga  dinilai  sebagai  bagian  dari  upaya  proteksi  agar  terhindar  dari kegagalan.  Saat  ini  di  negara-negara  lain,  setiap  negara  cenderung  memproteksi  diri agar selamat dari krisis. Bank-bank di dalam negeri dilindungi dan diproteksi.
Menurut Biro Riset  Infobank (birI), saat ini dari 110 bank  (di luar bank asing),  ada  94  bank  yang  kepemilikan  sahamnya  di  atas  40%.  Ada  75  bank  yang  kepemilikan sahamnya di atas 51%. Jumlah itu termasuk kepemilikan empat bank  BUMN  plus  Bank  Mutiara  yang  dimiliki  Lembaga  Penjamin  Simpanan  (LPS).
Pengaturan kepemilikan yang baru ini mempunyai masa  transisi selama 10 tahun  atau akan berakhir 2021. Jangka waktu itu setahun lebih lambat ketika dilakukan  integrasi masyarakat Ekonomi ASEAN untuk perbankan 2020.
Perhimpunan  Bank-bank  Umum  Nasional  (Perbanas)  menyambut  baik  keputusan  Bank  Indonesia  (BI),  terkait  akan  diterbitkannya  aturan  pembatasan  kepemilikan  asing.  Kendati  demikian,  yang  harus  menjadi  perhatian  BI  bukan  hanya  mengenai  batas  kepemilikan  saham,  tetapi  dominasi  asing  yang  sudah  menjamur  di  Indonesia.  Jadi  BI  perlu  mempertimbangkan  keprihatinan  yang  sedang berkembang di antara pemangku kepentingan sekarang ini, yaitu persoalan  dominasi  kepemilikan  asing,  dan  juga  kepemilikan  mayoritasnya.  Pengaturan  kepemilikan  saham  ini  mengoreksi  Peraturan  Pemerintah  Tahun  1999  yang  memperbolehkan  kepemilikan  saham  sebesar  99,9%.  Pengaturan  itu  dilakukan  agar  investor  asing  mau  masuk  dengan  strategic  sale,  diperbolehkanlah  masuk  sampai 99,9%. Waktu itu sebenarnya sementara hanya untuk menghabiskan bankbank yang dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Namun,  kondisinya  telanjur  sampai  dengan  sekarang,  bahkan  ketika  keluar  Arsitektur Perbankan Indonesia (API), akuisisi pihak asing makin banyak karena  pemilik lama juga sudah tidak kuat menambah modal kembali.
Bank  Indonesia  merumuskan  peraturan  mengenai  kepemilikan  individu  atau lembaga atas bank yang dipatok di bawah 50%. Peraturan setingkat itu dinilai  tidak  cukup,  tetapi  harus  setingkat  undang-undang.  Perlu  usaha  antisipasi  kemungkinan  kegagalan  bank  yang  terjadi  karena  adanya  dominasi  satu  pihak,    tetapi  peraturan  tersebut  tidak  cukup  hanya  dengan  Peraturan  Bank  Indonesia  (PBI) akan tetapi perlu juga dilakukan revisi perundangan yang mengatur tentang  kepemilikan tersebut.
Dalam  aturan  baru  penataan  struktur  kepemilikan  bank,  BI  menetapkan  syarat  ketat  bagi  investor  (bank)  yang  mau  masuk  ke  industri  perbankan  di  Indonesia. Adapun beberapa syarat tersebut antara lain: a.  Bank dalam kondisi sehat.
b. Telah menjadi perusahaan publik (go public).
c. Setuju membeli surat berharga yang bersifat ekuitas.
d.  Memiliki  komitmen  untuk  mengembangkan  ekonomi  indonesia  pada  sektor  yang menjadi prioritas.
e. Memiliki komitmen untuk memiliki bank dalam waktu tertentu yang ditetapkan  otoritas pengawas.
Hal yang termasuk diatur dalam beleid  yang diperkirakan akan  keluar Juli  2012 ini adalah kategori pemilik. Ada tiga kategori pemilik, yaitu : a.  Lembaga keuangan diperbolehkan memiliki 40%.
b.  Lembaga nonkeuangan dan badan hukum perorangan diizinkan memiliki 30%.
c.   Individual sebesar 20%.
Seperti halnya dalam perkara mengenai batasan kepemilikan saham bank  umum  oleh  asing,  perusahaan  keuangan  asal  Singapura,  DBS  Group  Holdings  Ltd,  mengumumkan  telah  menandatangani  perjanjian  jual  beli  saham  bersyarat  dengan Fullerton Financial Holdings Pte Ltd (FFH, anak usaha Temasek Holding)  untuk mengambilalih 100 persen saham FFH pada Asia Financial  Indonesia Pte  Ltd (AFI).
Isi  kesepakatan  tersebut  adalah  FFH  berencana  menjual  semua  kepemilikan  sahamnya  di  Asia  Financial  (Indonesia)  Pte  Ltd  kepada  DBS.  Di  dalamnya  merupakan saham Bank Danamon. Hingga Juni 2012, sekitar 67,37 persen saham  Bank Danamon dimiliki oleh Asia Financial (Indonesia) Pte Ltd dan sebesar 32,63  persen  oleh  publik.  Transaksi  ini  akan  difinalisasi  setelah  mendapat  persetujuan  dari  pemegang  saham  DBS  dan  para  regulator  di  Singapura  dan  Indonesia,  termasuk  Bank  Indonesia.  Namun  transaksi  pembelian  saham  Bank  Danamon    milik  Temasek  Holding  itu  belum  dilaporkan  secara  resmi  ke  pihak  regulator,  dalam hal ini Bank Indonesia maupun PT Bursa Efek Indonesia (BEI).
Maka tindakan BI selaku bank sentral yang mengatur dan juga mengawasi  perbankan,  meminta  Bank  Danamon  untuk   mengumumkan  rencana  aksi  korporasi tersebut, dan setelah itu Bank Danamon diminta untuk menggelar RUPS  (Rapat  Umum  Pemegang  Saham),  agar  pihak  regulator  dan  publik  bisa  melihat  dan  menilai  aksi  korporasi  tersebut  menimbulkan  pergantian  susunan  pemegang  saham  atau  terjadi  aksi  akuisisi  keseluruhan.  Namun  rencana  DBS  membeli  kepemilikan  saham  Danamon  melalui  AFI  tidak  terbentur  peraturan  bank  Indonesia yang membatasi ruang investor untuk membeli bank lokal.
Titik  permasalahan  adalah  asas  resiprokal  yang  diminta  oleh  Bank  Indonesia  untuk  menyetujui  pembelian  saham  oleh  DBS  Group  Holdings  Ltd,  kepada Baank Danamon sebagai syarat pembelian saham Bank Danamon sebesar  67, 37 persen.
Aturan struktur kepemilikan saham mayoritas ini akan berlaku penuh pada  31 Desember 2013. Berarti, setiap bank memiliki waktu sekitar 1 tahun lagi untuk  meningkatkan kualitasnya. Saat ini, masih banyak bank yang cukup sehat dengan  peringkat 3, kurang sehat dengan peringkat 4, dan tidak sehat dengan peringkat 5.
Bank  yang  masih  berada  di  ketiga  kategori  itu  harus  segera  melengkapi  empat  aspek,  antara  lain  profil  risiko,  permodalan  yang  cukup,  tata  kelola  perusahaan  yang baik, dan rentability.
Berdasarkan  uraian  tersebut  di  atas,  maka  untuk  itulah  penulis  tertarik  untuk  meneliti  dan  mengetahui  Pengaturan  Batasan  Kepemilikan  Saham  Bank  Umum  Oleh  Asing,  sebagai  suatu  tindakan  penyelamatan  perbankan  Indonesia,  yang  melalui  Undang  Undang  Nomor  10  Tahun  1998  jo  Peraturan  Pemerintah  Nomor  29  Tahun  2009  tentang  Pembelian  Saham  Bank  Umum.  Dengan  dikeluarkanya Peraturan Bank Indonesia Nomor. 14/8/PBI/2012 sebagai peraturan  pelaksana dari kebijakan mengenai kepemilikan saham bank umum.
  Penulis  mengambil  judul  penelitian  :  “KAJIAN  YURIDIS  BATASAN  TERITORI  OPERASIONAL  PERBANKAN  MENGENAI  KEPEMILIKAN  SAHAM  BANK  UMUM  OLEH  ASING  MENURUT  PERATURAN  BANK  INDONESIA NOMOR. 14/8/PBI/2012”.

 Skripsi Hukum: Kajian yuridis batasan teritori operasional perbankan mengenai kepemilikan saham bank umum oleh asing

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi