BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Kajian yuridis batasan teritori operasional perbankan mengenai kepemilikan saham bank umum oleh asing
Perbankan adalah
sesuatu yang menyangkut
tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan
proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga
keuangan mempunyai nilai strategis
dalam kehidupan perekonomian
suatu negara. Dalam
arti luas, lembaga
tersebut dimaksudkan sebagai
perantara pihak-pihak yang
mempunyai kelebihan dana
(surplus of funds)
dengan pihak-pihak yang
kekurangan dan memerlukan dana (lack of funds). Selain itu
bank merupakan lembaga keuangan yang memiliki
peranan sebagai lembaga
intermediasi keuangan (financial intermediary
institution), yakni sebagai
lembaga yang melakukan
kegiatan penghimpunan dana
dari masyarakat dalam
bentuk kredit atau
pembiayaan.
Dalam operasional usahanya, bank
harus senantiasa melaksanakan prinsip-prinsip operasional bank, antara lain : 1. Prinsip kepercayaan (fiduciary principle).
2. Prinsip kehati-hatian (prudential principle).
3. Prinsip kerahasiaan (confidental principle).
4. Prinsip mengenal nasabah (know your costumer
principle).
Fungsi utama
Bank Sentral adalah
mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan
keuangan di suatu
negara secara luas.
Di Indonesia tugas Bank Sentral
dipegang oleh Bank Indonesia.
Peranan Bank Indonesia
sebagai Bank Sentral
atau sering disebut
dengan Bank to
Bank dalam pembangunan memang
penting dan sangat
dibutuhkan keberadaannya. Batasan
Operasional Bank Indonesia
sebagai Bank to
Bank adalah mengatur,
mengkoordinir, mengawasi, serta
memberikan tindakan kepada dunia perbankan.
Bank Indonesia
juga mengurus dana
yang dihimpun dari
masyarakat agar disalurkan kembali kepada masyarakat
benar-benar efektif penggunaannya sesuai dengan tujuan pembangunan.
Struktur perbankan Indonesia
digambarkan sebagai struktur
yang rentan karena
tahap konsolidasi yang
dijalankan Pemerintah Indonesia
belum selesai dijalankan.
Di samping itu,
terdapat pandangan yang
mengemukakan bahwa kerentanan struktur perbankan juga tidak lepas
dari pelaksanaan liberalisasi yang terlalu
cepat. Liberalisasi perbankan telah
memfasilitasi pertumbuhan perbankan yang cepa,
sehingga memberikan peluang
untuk masuknya individu
yang tidak bermutu
ke dalam bisnis
perbankan. Sistem dan
struktur perbankan yang dihasilkan oleh
perubahan regulasi tersebut
mengakibatkan dimungkinkannya terjadinya kepemilikan silang (interlocking ownership) dan (lending
pattern) serta kemungkinan dimilikinya
satu bank secara mayoritas mutlak. Salah satu penyebab buruknya
kondisi perbankan di
Indonesia adalah campur
tangan pemilik yang berlebihan
dalam manajemen bank, bahkan tidak sedikit pemilik yang merangkap jabatan sebagai pengurus bank (Sukarman: 1999).
Sebelum krisis
finansial atau moneter
melanda, kebijakan mengenai kepemilikan saham bank oleh asing tersebut
diatur bahwa investasi di perbankan dapat membeli
saham bank maksimal
sebesar 49% dari
jumlah saham yang dicatat pada
bursa. Kemudian aturan
tersebut dirubah dengan
adanya krisis finansial yang melanda, pada PP Nomor 29 Tahun
1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum,
Pasal 3 disebutkan : “Jumlah kepemilikan saham bank oleh warga negara asing yang diperoleh melalui
pembelian secara langsung
melalui bursa efek
sebanyak-banyaknya 99 persen dari jumlah saham yang bersangkutan”.
Ketentuan tersebut
menunjukkan bahwa liberalisasi
ekonomi pada hakikatnya
membawa Indonesia pada
tingkat perekonomian yang
lebih mapan, namun di sisi lain dapat memberikan “shock
therapy” kepada pemerintah untuk melakukan
upaya proteksi kedaulatan ekonomi terhadap infasi investasi-investasi asing yang secara tidak langsung akan
mempengaruhi kebijakan politik nasional pada
khususnya.
Melihat dan
mempelajari beberapa kasus
tentang bank bermasalah
di Indonesia pasca
krisis finansial atau
moneter pada tahun
1997 mengindikasikan bahwa
dominasi kepemilikan oleh
satu pihak berkaitan
erat dan berhubungan negatif
dengan pelaksanaan good
corporate governance (GCG)
di perbankan, yang akibatnya masih dirasakan sampai
sekarang. Krisis yang dialami Indonesia berbeda dengan
Negara tetangga di
mana krisis yang
dialami lebih complicated dan
melibatkan masalah-masalah yang
struktual yang berbeda
jauh melampaui wilayah
kegiatan ekonomi semata
(multi-dimensi), meliputi masalah-masalah sosial-politik dan hukum. Langkah-langkah
penyelesaian krisis perbankan dimulai dengan program
exit policy atau
penutupan bank yang
awalnya dilakukan terhadap enam belas bank pada November 1997.
Penutupan terhadap enam belas bank sering
dipersalahkan sebagai pemicu
utama terjadinya krisis
perbankan di Indonesia
karena tidak terdapat
konsistensi dalam pelaksanaannya. Hal
ini yang merupakan
awal dari berkurangnya
kepercayaan masyarakat pada
sistem perbankan Indonesia
dikarenakan bahwa program restrukturisasi tidak dijalankan dengan komitmen yang tinggi.
Bank Indonesia,
Pemerintah, dan juga
lembaga‐lembaga internasional berupaya
keras menanggulangi krisis
tersebut, antara lain
dengan melaksanakan rekapitalisasi perbankan yang menelan dana
lebih dari Rp 400 triliun terhadap 27 bank
dan melakukan pengambilalihan kepemilikan terhadap 7 bank lainnya. Pada saat tersebut
banyak bank yang
dilikuidasi karena keberlangsungan hidupnya tidak dapat dipertahankan. Krisis perbankan
terjadi karena ada faktor internal dan eksternal
yang menyebabkan banyaknya bank yang mengalami tingkat kesehatan yang
buruk. Sehingga dengan
rendahnya tingkat kesehatan
dan tidak mampu untuk
ditolong sehingga harus dilakukan likuidasi dan menyebabkan menurunnya tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap
industri perbankan, sehingga
hal tersebut semakin memperparah
krisis perbankan.
Bank-bank swasta hampir
seluruhnya dimiliki oleh atau merupakan bagian dari konglomerat besar yang bergerak di bidang
usaha non bank seperti properti dan manufaktur.
Dengan struktur kepemilikan
seperti itu, peran
komisaris yang berdasarkan
undang-undang bertugas mengawasi
kebijaksanaan direksi dalam menjalankan perusahaan
menjadi tidak efektif.
Kedudukan komisaris diisi
oleh pemilik bank
atau diangkat sebagai
jabatan kehormatan. Hal
ini menyebabkan fungsi pengawasan internal bank tidak berjalan
dan pengawasan terhadap jalannya perusahaan tersisa
pada pengawasan eksternal
oleh BI. Efektifitas
pengawasan terkait erat dengan
pola dan struktur kepemilikan bank. Hal ini merupakan sesuatu yang
sangat kritis dalam
mencapai praktek perbankan
yang sehat. Kepemilikan secara
mayoritas memungkinkan timbulnya
campur tangan pemilik
secara berlebihan dalam
kepengurusan bank (Ramli: 1999).
Basel Committe
on Banking dalam
rekomendasi No.3 tentang
Effective Banking Supervison
juga menyarankan agar
masalah kepemilikan saham
bank mendapat perhatian
serius. Rekomendasi tersebut
meminta agar pengawas
bank memiliki kewenangan
untuk menilai struktur
kepemilikan suatu bank.
Apabila bank merupakan
bagian dari suatu
organisasi besar maka
harus ada jaminan bahwa
struktur organisasi dan
kepemilikan tersebut bukan
merupakan sumber kelemahan
bagi bank. Kenyataannya
metode penyelesaian bank
bermasalah dengan melibatkan pemegang
saham pengendali tidak
efektif. Ketentuan yang mewajibkan pemegang
saham pengendali bank
membuat pernyataan akan bertanggung jawab
apabila bank mengalami
kesulitan keuangan s ecara
hukum perlu dipertanyakan
efektifitasnya.
Aturan kepemilikan
saham bank tertuang
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun
1999 tentang Pembelian Saham Bank
Umum yang merupakan turunan Undang
Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang
Perbankan. Bank Indonesia (BI) pada akhir kekuasaannya,
sebelum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lahir, mengeluarkan
aturan kepemilikan bank
secara berjenjang. Langkah
ini sebenarnya untuk
menjawab kegundahan publik
akibat kepemilikan asing
di bank-bank swasta
yang tanpa batas.
Aturan berjenjang yang
dikeluarkan BI ini tidak
hanya untuk bank-bank swasta milik asing, tapi untuk semua bank. Karena perbankan yang mayoritas dimiliki satu pihak
saja itu berdampak negatif terhadap tata kelola
perbankan (good corporate
governance). Hal ini
telah berlangsung lama baik sebelum krisis ekonomi 1997-1998
atau setelah itu.
Aturan baru
tentang kepemilikan bank
ini dimaksudkan agar
bank-bank terhindar dari praktik
kotor seperti pada zaman-zaman sebelumnya. Kepemilikan mayoritas yang tanpa kontrol pihak lain akan
menghancurkan bank. Sebelumnya, ketika krisis juga ada 100 bank yang
menjadi almarhum karena intervensi pengurus
dan pemilik yang
penuh moral hazard.
Pengaturan kepemilikan juga
dinilai sebagai bagian
dari upaya proteksi
agar terhindar dari kegagalan. Saat
ini di negara-negara
lain, setiap negara
cenderung memproteksi diri agar selamat dari krisis. Bank-bank di
dalam negeri dilindungi dan diproteksi.
Menurut Biro Riset Infobank (birI), saat ini dari 110 bank (di luar bank asing), ada
94 bank yang
kepemilikan sahamnya di
atas 40%. Ada
75 bank yang kepemilikan
sahamnya di atas 51%. Jumlah itu termasuk kepemilikan empat bank BUMN
plus Bank Mutiara
yang dimiliki Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS).
Pengaturan kepemilikan yang baru
ini mempunyai masa transisi selama 10
tahun atau akan berakhir 2021. Jangka
waktu itu setahun lebih lambat ketika dilakukan integrasi masyarakat Ekonomi ASEAN untuk
perbankan 2020.
Perhimpunan Bank-bank
Umum Nasional (Perbanas)
menyambut baik keputusan
Bank Indonesia (BI),
terkait akan diterbitkannya aturan
pembatasan kepemilikan asing.
Kendati demikian, yang
harus menjadi perhatian
BI bukan hanya
mengenai batas kepemilikan
saham, tetapi dominasi
asing yang sudah menjamur di
Indonesia. Jadi BI
perlu mempertimbangkan keprihatinan
yang sedang berkembang di antara
pemangku kepentingan sekarang ini, yaitu persoalan dominasi
kepemilikan asing, dan
juga kepemilikan mayoritasnya.
Pengaturan kepemilikan saham
ini mengoreksi Peraturan
Pemerintah Tahun 1999
yang memperbolehkan kepemilikan
saham sebesar 99,9%.
Pengaturan itu dilakukan agar
investor asing mau
masuk dengan strategic
sale, diperbolehkanlah masuk sampai
99,9%. Waktu itu sebenarnya sementara hanya untuk menghabiskan bankbank yang
dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Namun, kondisinya
telanjur sampai dengan
sekarang, bahkan ketika
keluar Arsitektur Perbankan
Indonesia (API), akuisisi pihak asing makin banyak karena pemilik lama juga sudah tidak kuat menambah
modal kembali.
Bank Indonesia
merumuskan peraturan mengenai
kepemilikan individu atau lembaga atas bank yang dipatok di bawah
50%. Peraturan setingkat itu dinilai tidak cukup,
tetapi harus setingkat
undang-undang. Perlu usaha
antisipasi kemungkinan kegagalan
bank yang terjadi
karena adanya dominasi
satu pihak, tetapi
peraturan tersebut tidak
cukup hanya dengan
Peraturan Bank Indonesia (PBI) akan tetapi perlu juga dilakukan revisi
perundangan yang mengatur tentang kepemilikan
tersebut.
Dalam aturan
baru penataan struktur
kepemilikan bank, BI menetapkan
syarat
ketat bagi investor
(bank) yang mau
masuk ke industri
perbankan di Indonesia. Adapun beberapa syarat tersebut
antara lain: a. Bank dalam kondisi sehat.
b. Telah menjadi perusahaan
publik (go public).
c. Setuju membeli surat berharga
yang bersifat ekuitas.
d. Memiliki
komitmen untuk mengembangkan
ekonomi indonesia pada
sektor yang menjadi prioritas.
e. Memiliki komitmen untuk
memiliki bank dalam waktu tertentu yang ditetapkan otoritas pengawas.
Hal yang termasuk diatur dalam
beleid yang diperkirakan akan keluar Juli 2012 ini adalah kategori pemilik. Ada tiga
kategori pemilik, yaitu : a. Lembaga
keuangan diperbolehkan memiliki 40%.
b. Lembaga nonkeuangan dan badan hukum
perorangan diizinkan memiliki 30%.
c. Individual sebesar 20%.
Seperti halnya dalam perkara
mengenai batasan kepemilikan saham bank umum oleh
asing, perusahaan keuangan
asal Singapura, DBS
Group Holdings Ltd,
mengumumkan telah menandatangani perjanjian
jual beli saham
bersyarat dengan Fullerton
Financial Holdings Pte Ltd (FFH, anak usaha Temasek Holding) untuk mengambilalih 100 persen saham FFH pada
Asia Financial Indonesia Pte Ltd (AFI).
Isi kesepakatan
tersebut adalah FFH
berencana menjual semua
kepemilikan sahamnya di
Asia Financial (Indonesia)
Pte Ltd kepada
DBS. Di dalamnya merupakan saham Bank Danamon. Hingga Juni
2012, sekitar 67,37 persen saham Bank
Danamon dimiliki oleh Asia Financial (Indonesia) Pte Ltd dan sebesar 32,63 persen
oleh publik. Transaksi
ini akan difinalisasi
setelah mendapat persetujuan dari
pemegang saham DBS
dan para regulator
di Singapura dan
Indonesia, termasuk Bank
Indonesia. Namun transaksi
pembelian saham Bank
Danamon milik Temasek
Holding itu belum
dilaporkan secara resmi
ke pihak regulator, dalam hal ini Bank Indonesia maupun PT Bursa
Efek Indonesia (BEI).
Maka tindakan BI selaku bank
sentral yang mengatur dan juga mengawasi perbankan,
meminta Bank Danamon
untuk mengumumkan rencana
aksi korporasi tersebut, dan
setelah itu Bank Danamon diminta untuk menggelar RUPS (Rapat
Umum Pemegang Saham),
agar pihak regulator
dan publik bisa
melihat dan menilai
aksi korporasi tersebut
menimbulkan pergantian susunan
pemegang saham atau
terjadi aksi akuisisi
keseluruhan. Namun rencana
DBS membeli kepemilikan
saham Danamon melalui
AFI tidak terbentur
peraturan bank Indonesia yang membatasi ruang investor untuk
membeli bank lokal.
Titik permasalahan
adalah asas resiprokal
yang diminta oleh
Bank Indonesia untuk
menyetujui pembelian saham
oleh DBS Group
Holdings Ltd, kepada Baank Danamon sebagai syarat pembelian
saham Bank Danamon sebesar 67, 37 persen.
Aturan struktur kepemilikan saham
mayoritas ini akan berlaku penuh pada 31
Desember 2013. Berarti, setiap bank memiliki waktu sekitar 1 tahun lagi untuk meningkatkan kualitasnya. Saat ini, masih
banyak bank yang cukup sehat dengan peringkat
3, kurang sehat dengan peringkat 4, dan tidak sehat dengan peringkat 5.
Bank yang
masih berada di
ketiga kategori itu
harus segera melengkapi
empat aspek, antara
lain profil risiko,
permodalan yang cukup,
tata kelola perusahaan yang baik, dan rentability.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas,
maka untuk itulah
penulis tertarik untuk
meneliti dan mengetahui
Pengaturan Batasan Kepemilikan
Saham Bank Umum
Oleh Asing, sebagai
suatu tindakan penyelamatan
perbankan Indonesia, yang
melalui Undang Undang
Nomor 10 Tahun
1998 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 29
Tahun 2009 tentang
Pembelian Saham Bank
Umum. Dengan dikeluarkanya Peraturan Bank Indonesia Nomor.
14/8/PBI/2012 sebagai peraturan pelaksana
dari kebijakan mengenai kepemilikan saham bank umum.
Penulis mengambil judul
penelitian : “KAJIAN
YURIDIS BATASAN TERITORI
OPERASIONAL PERBANKAN MENGENAI
KEPEMILIKAN SAHAM BANK
UMUM OLEH ASING
MENURUT PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR. 14/8/PBI/2012”.
Skripsi Hukum: Kajian yuridis batasan teritori operasional perbankan mengenai kepemilikan saham bank umum oleh asing
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi