BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Konstruksi Hukum Atas Kepentingan Umum Dan Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah
Tidak dapat dipungkiri bahwa
tanah merupakan salah satu anugerah dari
Tuhan
Yang Maha Esa
yang memiliki peran
penting dalam kehidupan makhluk
hidup terutama Manusia.
Hubungan manusia dengan
tanah bukan hanya sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari
itu tanah memberikan sumber daya bagi
kelangsungan hidup umat manusia. Disamping itu tanah merupakan aset
yang sangat berharga.
Bagi sebuah bangsa,
oleh karena itu
tanah memegang peranan
penting yang mampu
menunjukan kedaulatan bangsa yang bersangkutan (Mudjiono, 2007:458).
Dari kasus
yang banyak terjadi,
jelas sekali, bahwa
tanah memegang peranan
sentral dalam kehidupan
bagi negara yang bercorak
agraris seperti Negara Indonesia. Gejolak ini merupakan causa
prima terjadinya peningkatan penghargaan masyarakat
terhadap tanah (Mukmin
Zakie, 2011:188). Di dalam
masyarakat agraris hubungan antara manusia dan tanah bersifat religiomagis-kosmis, yaitu
hubungan antara manusia
dan tanah yang
menonjolkan penguasaan
kolektif (Mukmin Zakie, 2011: 189). Hal
ini dipertegas dengan pendapat Sonny
Djoko Marlijanto yang
menyatakan hubungan antara
tanah dengan Negara Indonesia
bersifat abadi, oleh karena itu harus dikelola secara cermat
pada masa sekarang
maupun untuk masa
yang akan datang
(Sonny Djoko Marlianto, 2010 :1).
Hubungan antara
tanah dengan Negara
Indonesia dijadikan dasar
bagi pihak penyelenggara
negara untuk menentukan
kebijakan-kebijakan pembangunan yang
bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan pembangunan di berbagai daerah.
Amartya Sen sebagaimana
dikutip oleh Eman
Ramelan menjelaskan bahwa pembangunan
pada hakekatnya bukanlah
sebuah proses yang
semata-mata bertujuan untuk
meningkatkan tersedianya sumberdaya masyarakat.
Tapi ditujukan pada
pemberdayaan dan pengembangan kemampuan
masyarakat. (Eman Ramelan,
2008:1). Dalam tulisannya
Eman Ramelan juga
menjelaskan konteks yang
agak berbeda juga
dapat dilihat dalam
tujuan pembangunan yang
diarahkan pada pencapaian
masyarakat yang adil dan makmur.
Kemakmuran berdimensi physic-biologis dan bersifat ekonomis,
seperti yang dikemukakan
oleh Richard Postner
bahwa sebagai konsep
ekonomi, kemakmuran akan
banyak berurusan dengan
hal-hal yang bersifat
kebendaan dan kekayaan
materil, sedangkan keadilan
lebih bersifat psikologis dan subyektif (Eman Ramelan,
2008:2).
Pembangunan yang
bersifat physic dalam
artian meningkatkan kemakmuran dan atau kesejahteraan masyarakat
luas, dapat dilakukan dengan melakukan pembangunan
infrastruktur, yang antara
lain dilakukan dengan pembuatan
jalan raya baru,
peningkatan kualitas dan
kelas jalan raya, pembangunan
pasar, pelabuhan jaringan telekomunikasi, dan lain sebagainya.
Maka tersedianya
infrastruktur yang memadai
dapat menggerakan roda perekonomian lebih
optimal yang berpengaruh
pada peningkatan pendapat serta
pada akhirnya bermuara
pada peningkatan kesejahteraan
dan atau kemakmuran masyarakat (Eman Ramelan, 2008:2).
Namun seringkali untuk
membangun suatu infrastruktur, banyak
negara diperhadapkan dengan
kondisi keterbatasan akan
tanah, maka perlu melakukan suatu
perbuatan pemerintah yang
sah (legitimate dan
justified), dapat dipertanggungjawabkan (accountable
and responsible) dan bertanggung jawab
(liable) (Safi, 2010:173).
dimana secara aplikatif
dapat dilakukan dengan
kegiatan “mengambil” tanah
atau biasa disebut
kegiatan pengadaan tanah
(pembebasan tanah).
Aktivitas pengadaan
tanah untuk kepentingan
pembangunan secara teoritik
didasarkan pada azas
atau prinsip tertentu
dan terbagi menjadi
dua subsistem: Pertama
pengadaan tanah oleh
pemerintah karena kepentingan umum,
Kedua pengadaan tanah
oleh pemerintah karena
bukan kepentingan umum
(komersial) (Imam Koeswahyono,
2008:4). Menurut Maria
S.W.
Sumardjono pengadaan tanah
merupakan perbuatan pemerintah
untuk memperoleh tanah
untuk berbagai kegiatan
pembangunan, khususnya bagi kepentingan
umum. Pada prinsipnya proses pengadaan tanah melalui kegiatan pembebasan
tanah dilakukan dengan
cara musyawarah antara
pihak yang memerlukan
tanah dan pemegang
hak atas tanah
yang tanahnya diperlukan untuk
kegiatan pembangunan (Maria
S.W. Sumardjono, 2008:
280). Untuk memberikan
kepastian hukum negara
melakukan kegiatan pengadaan
tanah untuk kepentingan
pembangunan, maka perlu
dibuat suatu peraturan perundang-undangan yang
menjabarkan secara jelas
mengenai ketentuanketentuan yang
dapat dimengerti terutama
terhadap masyarakat yang kehilangan
hak atas tanah.
Hal pertama yang berkaitan ketika
negara melakukan kegiatan pengadaan tanah yaitu
konsep kepentingan umum,
khususnya bagaimana peraturan perundangan
yang berkaitan dengan
pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan telah
mengatur kriteria tersebut
di berbagai negara.
Pembahasan mengenai
prinsip-prinsip kepentingan umum
dalam pengadaan tanah
untuk kepentingan pembangunan
menjadi penting karena
: (Adrian Sutedi, 2008: 48-49).
1. Dalam sarana pembangunan, terutama
pembangunan di bidang materiil, baik di
kota maupun di
desa banyak memerlukan
tanah, misalnya pembuatan
gedung sekolah, pelebaran
jalan, semuanya memerlukan tanah sebagai sarana utamanya; 2. Sebagai
titik tolak di
dalam pembebasan tanah,
pengadaan tanah, dan pencabutan hak
atas tanah. Untuk
mendapatkan tanah dalam
rangka penyelenggaraan atau untuk
keperluan pembangunan, harus dilaksanakan dengan hati-hati dan dengan cara yang
bijaksana; 3. Setelah lahirnya
otonomi daerah, dalam
rangka untuk menampung aspirasi
masyarakat di daerah,
kepentingan umum dalam
penafsirannya harus disesuaikan
dengan masyarakat setempat,
sikap pemerintah tidak dibenarkan secara
parsial memihak bagi
kepentingan golongan tertentu saja,
tetapi dilakukan secara
menyeluruh baik untuk
kepentingan masyarakat pedesaan
maupun kepentingan masyarakat.
Istilah kepentingan
umum seringkali menjadi
perdebatan dalam kaitannya dengan pengadaan tanah untuk
pembangunan. Pemegang hak atas tanah menganggap
bahwa pengadaan tanah
itu bukan untuk
kepentingan umum melainkan
untuk kepentingan swasta,
sedangkan pihak yang memerlukan tanah
menganggap bahwa pengadaan
tanah itu benar-benar untuk
kepentingan umum. Menurut
Christina Tri Budhayanti
tanpa adanya kriteria
yang jelas mengenai
konsep kepentingan umum
dalam pengadaan tanah,
maka akan dapat
menimbulkan berbagai penafsiran
untuk mengisi kriteria tersebut. Jika hal ini dilakukan, tidak mustahil bahwa setiap
kegiatan umum lebih
jauh lagi akan
menjadikan pemegang hak
atas tanah akan menjadi korbannya
(Christina Tri Budhayanti,
2012). Problem yuridis
yang menggambarkan buruknya
penetapan kepentingan umum
di Indonesia salah satunya adalah
jalan tol. Dalam
penyelenggaraan jalan tol,
peran negara digantikan
oleh kepentingan bisnis.
Negara justru membiarkan
jalan umum rusak dan semrawut sehingga pengguna jalan
umum yang memiliki aset lebih beralih ke
jalan tol, sedangkan rakyat biasa tidak dapat mengaksesnya dengan leluasa.
Dengan beralih pengguna
ke jalan tol,
mengakibatkan keuntungan usaha
bisnis tol semakin
membesar. Dan keuntungan
tersebut merupakan keuntungan pengusaha itu sendiri, bukan
diperuntukan bagi sebesar-besarnya.
Hal kedua yang berkaitan ketika negara melakukan
kegiatan pengadaan tanah adalah
pemberian ganti rugi
yang diterima oleh
masyarakat sebagai akibat
dari kegiatan pengadaan
tanah untuk kepentingan
umum. pemberian ganti rugi yang dilakukan oleh negara telah
diatur dalam pengaturan hukum dimana
berisikan ketentuan mengenai bentuk-bentuk ganti rugi hingga proses penyelesaian
sengketa ganti rugi.
Problem yuridis yang
menggambarkan buruknya penetapan
konsep ganti rugi
di Negara Indonesia
adalah dengan memberlakukan mekanisme konsinyasi, dimana
konsinyasi sebagai alternatif penyelesaian ganti
rugi dalam pengadaan
tanah justru tidak
menyelesaikan masalah, melainkan
mendatangkan konflik baru
dalam pembebasan tanah, karena
pihak dari pemerintah
yang terlibat langsung
dalam pembangunan seakan-akan
mengakhiri konflik pembebasan
tanah dengan menitipkan
di Pengadilan Negeri.
Menilik penerapan
di berbagai negara
lain juga telah
mempunyai pengaturan hukum
mengenai pengadaan tanah
untuk kepentingan pembangunan, salah satunya adalah Negara Inggris. Sejak tahun 1909
Negara Inggris telah membuat pengaturan
hukum yang menegaskan bahwa otoritas perencanaan pembangunan
(local authorities) berwenang
untuk membuat rencana
perencanaan kota yang
tertuang dalam suatu
rencana tata ruang wilayah
bagi daerahnya (Michael
Purdue, 2006:492). Hingga
menetapkan pengaturan hukum
Town and country
planning Act 1947
yang kemudian disempurnakan
dalam Town and
Country Planning Act
1952 dengan memperkenalkan
pengaturan hukum berbasis
tata kelola kota
modern (modern urban planning)
yang bertujuan untuk menciptakan tata kelola kota lebih modern dari sebelumnya (Robert Jones,
1982:4).
Sebagai tindak
lanjut dari penerapan
tata kelola kota
modern (modern urban
planning), maka Negara
Inggris membuat suatu
pengaturan hukum adanya
pengadaan tanah untuk
kegiatan pembangunan, melalui
kegiatan pembebasan tanah
yang dalam proses
perkembangan historisnya tidak mengkodifikasikan
kedalam satu peraturan-perundang-undangan saja, namun mempunyai
peraturan perundang-undangan tersendiri
mengenai proses pengadaan tanah yang memuat konsep kepentingan
umum didalamnya, serta peraturan perundangan-undangan mengenai
proses ganti rugi
sebagai akibat adanya pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan.
Melihat penetapan
pengaturan hukum mengenai
konsep kepentingan umum dan pemberian ganti rugi di Negara
Indonesia belum berjalan dengan baik,
maka penulis tertarik
untuk menkonstruksikan dengan
pengaturanpengaturan
pengadaan tanah yang
memuat konsep kepentingan
umum dan pemberian ganti rugi di Negara Inggris, maka hal ini menjadi menarik untuk dikaji
melalui penelitian dengan
judul “KONSTRUKSI HUKUM
ATAS KEPENTINGAN UMUM
DAN GANTI RUGI
DALAM PENGADAAN TANAH
(STUDI PERBANDINGAN HUKUM
TANAH INDONESIA DAN INGGRIS)”.
B. Perumusan Masalah.
Berdasarkan uraian
dan latar belakang
diatas, penulis tertarik
untuk membahas masalah
tersebut lebih lanjut
dengan menitikberatkan pada rumusan
masalah yaitu:.
Bagaimana seharusnya
pengaturan kepentingan umum
dan ganti rugi
yang layak yang
dihasilkan dari hukum
tanah Negara Indonesia
dan Negara Inggris?.
C. Tujuan Penelitian.
Tujuan penelitian
diperlukan karena terikat
dengan perumusan masalah dan judul dari penelitian itu sendiri. Penulis
mempunyai tujuan atau hal-hal yang dicapai
baik tujuan obyektif
maupun tujuan subyektif.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:.
1. Tujuan Obyektif.
a. Untuk
membuat model pengaturan
hukum terhadap konsep kepentingan umum dan konsep ganti rugi layak
yang telah dihasilkan di dalam
pelaksanaan hukum tanah
negara Indonesia dan
negara Inggris terhadap pengadaan
tanah.
2. Tujuan Subyektif.
a. Untuk
memperoleh suatu hasil
penelitian sebagai bahan
untuk menyusun skripsi
sebagai persyaratan dalam
mencapai gelar kesarjanaan
di bidang Ilmu
Hukum di Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk
menambah, memperluas, dan
mengembangkan pengetahuan serta
pemahaman aspek hukum
dalam teori dan
praktek di lapangan hukum.
c. Untuk
memperdalam berbagai teori
hukum yang telah
penulis dapatkan di Fakultas
Hukum, khususnya di bidang hukum pertanahan.
Skripsi Hukum: Konstruksi Hukum Atas Kepentingan Umum Dan Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi