BAB I .
PENDAHULUAN .
A. Latar Belakang Masalah .
Skripsi Hukum: Prinsip Transparansi Dan Pertisipasi Dalam Pengaturan Upah Minimum Di Kota Semarang Penulisan Hukum
Dimensi ketenagakerjaan bukan
hanya sekedar keterbatasan
lapangan atau peluang
kerja serta rendahnya
produktivitas namun jauh
lebih serius dengan
penyebab yang berbeda-beda.
Pada dasawarsa yang
lalu, masalah pokoknya
tertumpu pada kegagalan penciptaan lapangan kerja yang
barupada tingkat yang sebanding dengan laju pertumbuhan
output industri. Menurut
Todaro dalam Rini
Sulistiyawati (2012) seiring dengan
berubahnya lingkungan makro
ekonomi mayoritas negara-negara
berkembang, angka pengangguran
yang meningkat pesat
terutama disebabkan oleh
terbatasnya permintaan tenaga
kerja, yang selanjutnya semakin diciutkan oleh faktor-faktor eksternal seperti
memburuknya kondisi neraca
pembayaran, meningkatnya masalah
utang luar negeri
dan kebijakan lainnya,
yang pada gilirannya
telah mengakibatkan kemerosotan pertumbuhan industri, tingkat upah, dan
akhirnya, penyedian lapangan kerja.
Perkembangan keadaan
ketenagakerjaan di Indonesia selama tahun 2006 sampai dengan
tahun 2010 menunjukkan
perubahan ke arah
yang lebih baik,
walaupun di beberapa
daerah terjadi musibah
bencana alam dan
perubahan ekonomi global,
yang berdampak terhadap aktivitas
ekonomi dan lapangan kerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yaitu rasio antara angkatan kerja
dibandingkan dengan seluruh penduduk usia
kerja (umur 15 tahun ke atas) terus mengalami peningkatan yaitu dari 66,16
persen pada tahun
2006 menjadi 67,72
persen pada tahun
2010. Sementara Tingkat Pengangguran Terbuka juga mengalami penurunan
yang terus menerus yaitu dari 10,28 persen
tahun 2006 menjadi
7,14 persen pada
tahun 2010. Menurunnya
jumlah pengangguran
mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi telah dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja (Rini Sulistiawati,
2012:196).
Pasar tenaga kerja, seperti pasar lainnya dalam perekonomian dikendalikan oleh kekuatan
penawaran dan permintaan,
namun pasar tenaga
kerja berbeda dari
sebagian besar pasar
lainnya karena permintaan
tenaga kerja merupakan
tenaga kerja turunan (derived
demand) dimana permintaan
akan tenaga kerja
sangat tergantung dari permintaan akan
output yang dihasilkannya
(Borjas, 2010:88; Mankiw, 2006:487).
Dalam suatu
proses produksi untuk
menghasilkan barang dan
jasa, tenaga kerja merupakan salah
satu faktor produksi
yang digunakan dalam proses
produksi tersebut.
Dengan menelaah hubungan antara produksi
barang-barang dan permintaan tenaga kerja, akan dapat diketahui faktor yang menentukan
upah keseimbangan.
Dalam situasi
perburuhan yang sifat
dan dinamikanya semakin
kompleks, upah masih tetap menjadi persoalan utama di negara
berkembang seperti Indonesia. Keadaan pasar kerja yang dualistik dengan kelebihan
penawaran tenaga kerja dan mutu angkatan kerja
yang rendah di
satu sisi menyebabkan
upah menjadi isu
sentral dalam bidang ketenagakerjaan. Kebijakan pengupahan yang ada
masih bertumpu pada upah minimum yang
berlandaskan pada kebutuhan hidup layak buruh/pekerja lajang dengan masa kerja di bawah satu tahun. Hal itu belum mencakup
mereka yang sudah bekerja di atas 1 (satu) tahun dan berkeluarga. Perundingan kolektif
sebagai alat perjuangan serikat buruh untuk meningkatkan
upah dan kesejahteraan
buruh, perannya masih
sangat terbatas, bahkan cenderung menurun kuantitas dan kualitasnya.
Di sisi lain penerapan struktur skala upah masih sangat minim dan belum bersifat wajib
(tidak ada sanksi formal bagi yang belum menerapkannya). Sehingga
praktis upah minimum
menjadi upah efektif
yang berlaku pada
pasar kerja formal
terutama sekali di sektor
industri padat karya
(Edy Priyono, 2002:2).
Situasi tersebut mendorong
serikat buruh menggunakan
mekanisme upah minimum
untuk meningkatkan kesejahteraan
buruh. Upah minimum
terus meningkat setiap tahun
seiring meningkatnya upah nominal
kesejahteraan (upah riil) buruh
di satu sisi namun kesempatan kerja di sektor formal
semakin terbatas.
Selanjutnya pada
tataran konsep maupun
empirik kebijakan mengenai
upah minimum selalu
mengundang perdebatan yang
bersifat klasik dan
terletak pada dua kutub yakni
kutub yang pro
dan kutub yang
kontra (kutub buruh
dan kutub pekerja).
Pada tataran teori, perdebatan di antara para
pendukung dan penentang upah
minimum, terutama mengenai
konsekuensinya. Para pendukung berargumen bahwa upah minimum akan
meningkatkan standar kehidupan
kelompok miskin, mendorong
konsumsi, dan menekan
pengeluaran pemerintah untuk
program kesejahteraan sosial.
Sebaliknya para penentang
upah minimum mempunyai
argumentasi yang sebaliknya,
tidak membantu kelompok miskin dan hanya menguntungkan sebagian
kecil pekerja dan merugikan lebih banyak
pekerja tidak terampil serta mengurangi daya saing perusahaan.
Di tataran empirik, kutub
pengusaha mengeluh upah minimum naik setiap tahun yang
tidak diimbangi kenaikan
produktivitas kerja dan
membebani biaya produksi.
Sebaliknya, pada
kutub buruh dikeluhkan
soal kenaikan upah
minimum yang tak kunjung
mampu memenuhi kebutuhan hidup layak. Perdebatan tersebut sebenarnya juga didasari oleh pemahaman yang tidak terlalu
sama mengenai konsepsi tentang upah baik di
kalangan buruh maupun
pengusaha. Kalangan asosiasi
pengusaha sebagai pihak pemberi upah
memang siap dengan
konsep upah yang
memadukan antara kompensasi terhadap kerja yang dilakukan oleh buruh dalam
suatu hubungan kerja dan usaha untuk memberikan
kesejahteraan bagi buruh. Di
kalangan serikat buruh koridor permasalahan upah yang menonjol adalah berkaitan dengan
peraturan dan pelaksanaan upah minimum sembari tidak
banyak mempersoalkan hakekat
dan konsep upah.
Dalam koridor permasalahan
tersebut perspektif hak
buruh terhadap upah
bersifat dominan dan
oleh karenanya setiap
tindakan pengusaha yang
dianggap menyalahi peraturan
pengupahan yang menjamin hak
buruh akan menimbulkan aksi industrial.
Selain itu perdebatan tentang
upah oleh kedua pihak yang paling berkepentingan langsung
tersebut juga masih
diletakkan dalam kerangka
upah sebagai kewajiban pengusaha semata dan cenderung melupakan peran
pemerintah sebagai pelindung warga negara.
Meskipun ada konsepsi yang jelas mengenai upah, pelaksanaanya tidak semudah yang dibayangkan karena berbagai faktor
internal maupun eksternal perusahaan
sebagai pemberi upah
dan karena aspek
politis yang terkandung
dalam upah. Dalam
konteks persaingan global dan
upaya menuju negara
demokratis di satu
sisi dan dalam
konteks pembangunan negara
serta perlindungan warga negara
di sisi lain,
masalah upah tidak pernah
menjadi persoalan ekonomi semata akan tetapi merupakan sebuah persoalan yang dilekati oleh dimensi hukum dan politik.
Dari sinilah yang mendorong
serikat buruh di Indonesia mulai menggagas konsep upah
layak umtuk menggantikan
upah minimum dengan
tujuan mendorong percepatan pencapaian
kebutuhan hidup layak
yang akan meningkatkan
produktivitas kerja. Di samping
itu konsep upah layak juga menawarkan gagasan mengenai tanggung jawab dan peran
pemerintah yang lebih
aktif dalam mendorong
tercapaimya iklim usaha
yang kondusif dan
efisien yang mampu
mensejahterakan pekerja (Indrasari
dan Rina Herawati, 2009:27-29).
Kebijakan upah
minimum merupakan sistem
pengupahan yang telah
banyak diterapkan di
beberapa negara, yang
pada dasarnya bisa
dilihat dari dua
sisi. Pertama, upah
minimum merupakan alat
proteksi bagi pekerja untuk mempertahankan agar
nilai upah yang diterima tidak
menurun dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kedua, sebagai
alat proteksi bagi
perusahaan untuk mempertahankan produktivitas
pekerja (Simanjuntak, 1992
dalam Gianie, 2009:
1). Di Indonesia,
pemerintah mengatur pengupahan
melalui Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No.
226/Men/2000 tentang Upah Minimum. Upah minimum
yang ditetapkan tersebut berdasarkan pada Kebutuhan Fisik Hidup
Layak berupa kebutuhan
akan pangan sebesar
. Dalam Pasal
1 Ayat 1 dari
Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No. 226/Men/2000, upah
minimum didefinisikan sebagai ” Upah bulanan terendah yang meliputi
gaji pokok dan tunjangan tetap…”.
Perkembangan tingkat upah minimum
rata-rata nasional menunjukkan dari tahun 2005
sampai tahun 2008
upah minimum mengalami
kenaikan yang terus
menerus dengan kenaikan tertinggi
terjadi pada tahun 2007 yang besarnya mencapai 18,55 persen.
Krisis global
pada tahun 2008
hingga tahun 2009
mengakibatkan perekonomian lesu sehingga
perusahaan tidak berani menaikkan upah terlalu tinggi. Baru pada tahun 2010, upah
minimum menunjukkan kenaikan
paling tinggi dibandingkan
pada tahun-tahun sebelumnya yang berkisar antara 9 persen
hingga 18 persen, yaitu menjadi sebesar 26,99 persen dan kenaikan ini terus berlanjut pada
tahun 2013.
Disisi lain fakta menunjukkan bahwa nilai IPM (Indeks
Pembangunan Manusia) Indonesia
masih lebih rendah
dibandingkan dengan nilai
IPM negara-negara ASEAN lainnya kecuali
Laos, Kamboja, dan Myanmar.
Memperlihatkan IPM Indonesia
terus meningkat, namun
peningkatan ini ternyata
masih jauh dari
tujuan menyejahterakan masyarakat.
Capaian prestasi pembangunan manusia Indonesia
sudah tertinggal jauh dibanding
negara-negara tetangga, yaitu di bawah Singapura, Brunei, dan Malaysia yang sudah masuk pada kategori High Human
Developtment, sementara Indonesia masih pada kategori Medium Human
developtment. Kondisi ini secara
langsung juga menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di
Indonesia masih relatif rendah.
Tercapainya kesejahteraan
masyarakat sebagai tujuan
akhir pembangunan ekonomi, memerlukan terciptanya
kondisi-kondisidasar yaitu : 1) pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan; 2) penciptaan
sektor ekonomi yang
kokoh; dan 3)
pembangunan ekonomi yang
inklusif dan berkeadilan
(Bappenas, 2010). Kesejahteraan
masyarakat diharapkan akan
terwujud apabila pertumbuhan
ekonomi yang terus
meningkat akan menciptakan lapangan kerja sehinggga dapat menyerap
tenaga kerja lebih banyak
pada tingkat upah
yang layak. Fakta
yang ditemui adalah
IPM secara nasional
maupun provinsi masih rendah,
yaitu masih pada kategori Medium Human developtment.
Dengan adanya
upah minimum yang
sekarang buruh merasa
kurang sesuai dengan kebijakan yang dilakukan pemerintah
mengenai penetapan upah minimum. Oleh karena itu
pada tahun 2004
melelui Keputusan Presiden
Nomor 107 tentang
Dewan Pengupahan dibentuklah
Dewan pengupahan yang
bertugas untuk memformulasikan upah minimum. Dimana Dewan Pengupahan ini
merupakan lembaga yang dibentuk oleh Presiden
yang terdiri dari
3 (tiga) unsur keanggotaan yaitu
pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh.
Permasalahan mengenai kebijakan
upah minimum menjadi isu kompleks di Kota Semarang sebagai Ibukota Provinsi Jawa Tengah.
Dimana setiap akhir tahun khususnya pada bulan
Oktober sampai November
banyak terjadi demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh
buruh baik itu
dalam naungan SPN
(Serikat Buruh Nasional)
maupun SPSI (Serikat Buruh
Seluruh Indonesia). Tuntutan mereka yaitu meminta kenaikan upah minimum (UMR), namun tuntutan tersebut tidak
dapat menjadi dasar bagi kepala daerah untuk menetapkan
upah minimum dikarenakan
upah minimum yang
diberlakukan itu adalah
hasil kerja dari Dewan Pengupahan dimana
didalamnya sudah ada
unsur serikat pekerja sebagi
perwakilan. Semarang sebagai
Ibukota Provinsi memang
mempunyai standar upah yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan kota dan kabupaten lain di Jawa Tengah, namun lebih rendah jika dibandingkan dengan standar upah
di kota kota besar lain
seperti Jakarta, Bandung,
Banten, Tangerang, Surabaya,
dan kota-kota besar
lain khususnya di provinsi Jawa
Barat dan Banten.
Atas dasar
itulah para buruh
di Kota Semarang
menghendaki adanya kenaikan upah sesuai
dengan upah layak yang seharusnya diterima oleh buruh. Namun persoalan tidak hanya menjadi persoalan buruh saja,
pengusaha di Kota Semarang selaku pemberi upah
juga mengeluhkan adanya
kenaikan upah minimum
yang setiap tahun
naik tanpa dibarengi
atau dimbangi dengan
peningkatan kinerja buruh.
Oleh sebab itu
pemerintah yang diwakili oleh
Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan harus mampu menengahi adanya konflik atau tidak
kesesuaian standar upah antara pihak buruh dan
pihak pengusaha. Dewan
Pengupahan selaku badan
yang dibentuk langsung
oleh pemerintah diharap
mampu menangani berbagai
persoalan yang terjadi
terkait upah minimum.
Dengan dibentuknya dewan pengupahan diharapkan
mampu memenuhi tuntutan buruh akan
minimnya upah minimum
yang tidak memenuhi
standar kebutuhan hidup layak. Selain
itu dewan pengupahan
juga diharapkan mampu
memberikan konstribusi secara terbuka dan pertisipatif secara
langsung kepada buruh di dalam memformulasikan upah
mnimum. Karena selama
ini penetapan upah
minimum dipandang tidak
mampu mewakili aspirasi
para buruh karena
dianggap penetapan upah
minimum hanya tinggal ditentukan saja tanpa
diadakan survey terlebih dahulu.
Untuk itu perlu ada transparansi dan
partisipasi para pihak
yang berkepentingan. Transparansi
dewan pengupahan dan kepala daerah
dituntut untuk terbuka
secara luas bagaimana
upah minimum itu dirumuskan sampai
ditetapkan secara berkala.
Selain itu di
dalam menetapkan upah minimum juga
diperlukan partisipasi dari
berbagai pihak yakni
dari Serikat Pekerja, Pengusaha
dan Pemerintah yang
diharapkan produk upah
minimum itu mampu memenuhi
tuntutan bukan hanya buruh tetapi juga dari unsur pengusaha.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas,
penulis tertarik untuk
menganalisis secara mendalam
yang hasilnya dituangkan
dalam bentuk penulisan
hukum (skripsi) dengan judul “PRINSIP
TRANSPARANSI DAN PARTISIPASI
DI DALAM PENGATURAN UPAH MINIMUM DI KOTA SEMARANG”.
Skripsi Hukum: Prinsip Transparansi Dan Pertisipasi Dalam Pengaturan Upah Minimum Di Kota Semarang Penulisan Hukum
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi