Jumat, 05 Desember 2014

Skripsi Hukum: Prinsip Transparansi Dan Pertisipasi Dalam Pengaturan Upah Minimum Di Kota Semarang Penulisan Hukum

BAB I .
PENDAHULUAN .
A. Latar Belakang Masalah .
 Skripsi Hukum: Prinsip Transparansi Dan Pertisipasi Dalam Pengaturan Upah Minimum Di Kota Semarang Penulisan Hukum
Dimensi  ketenagakerjaan  bukan  hanya  sekedar  keterbatasan  lapangan  atau  peluang  kerja  serta  rendahnya  produktivitas  namun  jauh  lebih  serius  dengan  penyebab  yang  berbeda-beda.  Pada  dasawarsa  yang  lalu,  masalah  pokoknya  tertumpu  pada  kegagalan penciptaan lapangan kerja yang barupada tingkat yang sebanding dengan laju  pertumbuhan  output  industri.  Menurut  Todaro  dalam  Rini  Sulistiyawati  (2012)  seiring  dengan  berubahnya  lingkungan  makro  ekonomi  mayoritas  negara-negara  berkembang,  angka  pengangguran  yang  meningkat  pesat  terutama  disebabkan  oleh  terbatasnya  permintaan tenaga kerja, yang selanjutnya semakin diciutkan oleh faktor-faktor eksternal  seperti  memburuknya  kondisi  neraca  pembayaran,  meningkatnya  masalah  utang  luar  negeri  dan  kebijakan  lainnya,  yang  pada  gilirannya  telah  mengakibatkan  kemerosotan  pertumbuhan industri, tingkat upah, dan akhirnya, penyedian lapangan kerja.

Perkembangan keadaan ketenagakerjaan di Indonesia selama tahun 2006 sampai  dengan  tahun  2010  menunjukkan  perubahan  ke  arah  yang  lebih  baik,  walaupun  di  beberapa  daerah  terjadi  musibah  bencana  alam  dan  perubahan  ekonomi  global,  yang  berdampak terhadap aktivitas ekonomi dan lapangan kerja. Tingkat Partisipasi Angkatan  Kerja (TPAK) yaitu rasio antara angkatan kerja dibandingkan dengan seluruh penduduk  usia kerja (umur 15 tahun ke atas) terus mengalami peningkatan yaitu dari 66,16 persen  pada  tahun  2006  menjadi  67,72  persen  pada  tahun  2010.  Sementara  Tingkat  Pengangguran Terbuka juga mengalami penurunan yang terus  menerus yaitu dari 10,28  persen  tahun  2006  menjadi  7,14  persen  pada  tahun  2010.  Menurunnya  jumlah  pengangguran mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi telah dapat meningkatkan  penyerapan tenaga kerja (Rini Sulistiawati, 2012:196).
Pasar tenaga kerja,  seperti pasar lainnya dalam perekonomian  dikendalikan oleh  kekuatan  penawaran  dan  permintaan,  namun  pasar  tenaga  kerja  berbeda  dari  sebagian  besar  pasar  lainnya  karena  permintaan  tenaga  kerja  merupakan  tenaga  kerja  turunan  (derived  demand)  dimana  permintaan  akan  tenaga  kerja  sangat  tergantung  dari  permintaan  akan  output  yang  dihasilkannya  (Borjas,  2010:88; Mankiw,  2006:487).
Dalam  suatu  proses  produksi  untuk  menghasilkan  barang  dan  jasa,  tenaga  kerja  merupakan  salah  satu  faktor  produksi  yang digunakan  dalam  proses  produksi  tersebut.
 Dengan menelaah hubungan antara produksi barang-barang dan permintaan tenaga kerja,  akan dapat diketahui faktor yang menentukan upah keseimbangan.
Dalam  situasi  perburuhan  yang  sifat  dan  dinamikanya  semakin  kompleks,  upah  masih tetap menjadi persoalan utama di negara berkembang seperti Indonesia.  Keadaan  pasar kerja yang dualistik dengan kelebihan penawaran tenaga kerja dan mutu angkatan  kerja  yang  rendah  di  satu  sisi  menyebabkan  upah  menjadi  isu  sentral  dalam  bidang  ketenagakerjaan. Kebijakan pengupahan yang ada masih bertumpu pada upah minimum  yang berlandaskan pada kebutuhan hidup layak buruh/pekerja lajang dengan masa kerja  di bawah satu tahun. Hal itu belum mencakup mereka yang sudah bekerja di atas 1 (satu)  tahun dan berkeluarga. Perundingan kolektif sebagai alat perjuangan serikat buruh untuk  meningkatkan  upah  dan  kesejahteraan  buruh,  perannya  masih  sangat  terbatas,  bahkan  cenderung menurun kuantitas dan kualitasnya. Di sisi lain penerapan struktur skala upah  masih sangat minim dan belum bersifat wajib (tidak ada sanksi formal bagi yang belum  menerapkannya).  Sehingga  praktis  upah  minimum  menjadi  upah  efektif  yang  berlaku  pada  pasar  kerja  formal  terutama  sekali  di sektor  industri  padat  karya  (Edy  Priyono,  2002:2).  Situasi  tersebut  mendorong  serikat  buruh  menggunakan  mekanisme  upah  minimum  untuk  meningkatkan  kesejahteraan  buruh.  Upah  minimum  terus  meningkat  setiap tahun  seiring  meningkatnya upah nominal kesejahteraan  (upah  riil) buruh  di  satu  sisi namun kesempatan kerja di sektor formal semakin terbatas.
Selanjutnya  pada  tataran  konsep  maupun  empirik  kebijakan  mengenai  upah  minimum  selalu  mengundang  perdebatan  yang  bersifat  klasik  dan  terletak  pada  dua  kutub  yakni  kutub  yang  pro  dan  kutub  yang  kontra  (kutub  buruh  dan  kutub  pekerja).
Pada tataran  teori, perdebatan di  antara para  pendukung dan  penentang upah minimum,  terutama mengenai konsekuensinya. Para pendukung berargumen bahwa upah minimum  akan  meningkatkan  standar  kehidupan  kelompok  miskin,  mendorong  konsumsi,  dan  menekan  pengeluaran  pemerintah  untuk  program  kesejahteraan  sosial.  Sebaliknya  para  penentang  upah  minimum  mempunyai  argumentasi  yang  sebaliknya,  tidak  membantu  kelompok miskin dan hanya menguntungkan sebagian kecil pekerja dan merugikan lebih  banyak pekerja tidak terampil serta mengurangi daya saing perusahaan.
Di tataran empirik, kutub pengusaha mengeluh upah minimum naik setiap tahun  yang  tidak  diimbangi  kenaikan  produktivitas  kerja  dan  membebani  biaya  produksi.
Sebaliknya,  pada  kutub  buruh  dikeluhkan  soal  kenaikan  upah  minimum  yang  tak  kunjung mampu memenuhi kebutuhan hidup layak. Perdebatan tersebut sebenarnya juga   didasari oleh pemahaman yang tidak terlalu sama mengenai konsepsi tentang upah baik  di  kalangan  buruh  maupun  pengusaha.  Kalangan  asosiasi  pengusaha  sebagai  pihak  pemberi  upah  memang  siap  dengan  konsep  upah  yang  memadukan  antara  kompensasi  terhadap kerja yang dilakukan oleh buruh dalam suatu hubungan kerja dan usaha untuk  memberikan kesejahteraan bagi buruh. Di  kalangan  serikat buruh  koridor permasalahan  upah yang menonjol adalah berkaitan dengan peraturan dan pelaksanaan upah minimum  sembari  tidak  banyak  mempersoalkan  hakekat  dan  konsep  upah.  Dalam  koridor  permasalahan  tersebut  perspektif  hak  buruh  terhadap  upah  bersifat  dominan  dan  oleh  karenanya  setiap  tindakan  pengusaha  yang  dianggap  menyalahi  peraturan  pengupahan  yang menjamin hak buruh akan menimbulkan aksi industrial.
Selain itu perdebatan tentang upah oleh kedua pihak yang paling berkepentingan  langsung  tersebut  juga  masih  diletakkan  dalam  kerangka  upah  sebagai  kewajiban  pengusaha semata dan cenderung melupakan peran pemerintah sebagai pelindung warga  negara. Meskipun ada konsepsi yang jelas mengenai upah, pelaksanaanya tidak semudah  yang dibayangkan karena berbagai faktor internal maupun eksternal  perusahaan sebagai  pemberi  upah  dan  karena  aspek  politis  yang  terkandung  dalam  upah.  Dalam  konteks  persaingan  global dan  upaya menuju negara  demokratis  di  satu  sisi  dan  dalam  konteks  pembangunan  negara  serta  perlindungan  warga negara  di  sisi  lain,  masalah  upah  tidak  pernah menjadi persoalan ekonomi semata akan tetapi merupakan sebuah persoalan yang  dilekati oleh dimensi hukum dan politik.
Dari sinilah yang mendorong serikat buruh di Indonesia mulai menggagas konsep  upah  layak  umtuk  menggantikan  upah  minimum  dengan  tujuan  mendorong  percepatan  pencapaian  kebutuhan  hidup  layak  yang  akan  meningkatkan  produktivitas  kerja.  Di  samping itu konsep upah layak juga menawarkan gagasan mengenai tanggung jawab dan  peran  pemerintah  yang  lebih  aktif  dalam  mendorong  tercapaimya  iklim  usaha  yang  kondusif  dan  efisien  yang  mampu  mensejahterakan  pekerja  (Indrasari  dan  Rina  Herawati, 2009:27-29).
Kebijakan  upah  minimum  merupakan  sistem  pengupahan  yang  telah  banyak  diterapkan  di  beberapa  negara,  yang  pada  dasarnya  bisa  dilihat  dari  dua  sisi.  Pertama,  upah  minimum  merupakan  alat  proteksi  bagi pekerja untuk  mempertahankan  agar  nilai  upah yang diterima tidak menurun dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kedua,  sebagai  alat  proteksi  bagi  perusahaan untuk  mempertahankan  produktivitas  pekerja  (Simanjuntak,  1992  dalam  Gianie,  2009:  1).  Di  Indonesia,  pemerintah  mengatur   pengupahan  melalui  Peraturan  Menteri  Tenaga  Kerja  No.  226/Men/2000  tentang  Upah  Minimum.  Upah minimum  yang  ditetapkan tersebut  berdasarkan pada Kebutuhan Fisik  Hidup  Layak  berupa  kebutuhan  akan  pangan  sebesar  .  Dalam  Pasal  1  Ayat  1  dari  Peraturan  Menteri  Tenaga  Kerja  No. 226/Men/2000,  upah  minimum  didefinisikan  sebagai ” Upah bulanan terendah yang meliputi gaji pokok dan tunjangan tetap…”.
Perkembangan tingkat upah minimum rata-rata nasional menunjukkan dari tahun  2005  sampai  tahun  2008  upah  minimum  mengalami  kenaikan  yang  terus  menerus  dengan kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2007 yang besarnya mencapai 18,55 persen.
Krisis  global  pada  tahun  2008  hingga  tahun  2009  mengakibatkan  perekonomian  lesu  sehingga perusahaan tidak berani menaikkan upah terlalu tinggi. Baru pada tahun 2010,  upah  minimum  menunjukkan  kenaikan  paling  tinggi  dibandingkan  pada  tahun-tahun  sebelumnya yang berkisar antara 9 persen hingga 18 persen, yaitu menjadi sebesar 26,99  persen dan kenaikan ini terus berlanjut pada tahun 2013.
Disisi lain fakta  menunjukkan bahwa nilai IPM (Indeks Pembangunan  Manusia)  Indonesia  masih  lebih  rendah  dibandingkan  dengan  nilai  IPM  negara-negara  ASEAN  lainnya  kecuali  Laos,  Kamboja,  dan  Myanmar.  Memperlihatkan  IPM  Indonesia  terus  meningkat,  namun  peningkatan  ini  ternyata  masih  jauh  dari  tujuan  menyejahterakan  masyarakat.  Capaian  prestasi  pembangunan manusia  Indonesia  sudah  tertinggal  jauh  dibanding negara-negara tetangga, yaitu di bawah Singapura, Brunei, dan Malaysia yang  sudah masuk pada kategori High Human Developtment, sementara Indonesia masih pada  kategori Medium  Human  developtment. Kondisi  ini  secara  langsung  juga  menunjukkan  bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia masih relatif rendah.
Tercapainya  kesejahteraan  masyarakat  sebagai  tujuan  akhir  pembangunan  ekonomi, memerlukan terciptanya kondisi-kondisidasar yaitu : 1) pertumbuhan ekonomi  yang  berkelanjutan;  2)  penciptaan  sektor  ekonomi  yang  kokoh;  dan  3)  pembangunan  ekonomi  yang  inklusif  dan  berkeadilan  (Bappenas,  2010).  Kesejahteraan  masyarakat  diharapkan  akan  terwujud  apabila  pertumbuhan  ekonomi  yang  terus  meningkat  akan  menciptakan lapangan  kerja sehinggga dapat  menyerap  tenaga  kerja lebih  banyak  pada  tingkat  upah  yang  layak.  Fakta  yang  ditemui  adalah  IPM  secara  nasional  maupun  provinsi masih rendah, yaitu masih pada kategori Medium Human developtment.
Dengan  adanya  upah  minimum  yang  sekarang  buruh  merasa  kurang  sesuai  dengan kebijakan yang dilakukan pemerintah mengenai penetapan upah minimum. Oleh  karena  itu  pada  tahun  2004  melelui  Keputusan  Presiden  Nomor  107  tentang  Dewan   Pengupahan  dibentuklah  Dewan  pengupahan  yang  bertugas  untuk  memformulasikan  upah minimum. Dimana Dewan Pengupahan ini merupakan lembaga yang dibentuk oleh  Presiden yang  terdiri  dari  3  (tiga)  unsur keanggotaan  yaitu  pemerintah, pengusaha,  dan  serikat buruh.
Permasalahan mengenai kebijakan upah minimum menjadi isu kompleks di Kota  Semarang sebagai Ibukota Provinsi Jawa Tengah. Dimana setiap akhir tahun khususnya  pada  bulan  Oktober  sampai  November  banyak  terjadi  demonstrasi-demonstrasi  yang  dilakukan  oleh  buruh  baik  itu  dalam  naungan  SPN  (Serikat  Buruh  Nasional)  maupun  SPSI (Serikat Buruh Seluruh Indonesia). Tuntutan mereka yaitu meminta kenaikan upah  minimum (UMR), namun tuntutan tersebut tidak dapat menjadi dasar bagi kepala daerah  untuk  menetapkan  upah  minimum  dikarenakan  upah  minimum  yang  diberlakukan  itu  adalah  hasil  kerja dari  Dewan Pengupahan  dimana  didalamnya  sudah  ada  unsur serikat  pekerja  sebagi  perwakilan.  Semarang  sebagai  Ibukota  Provinsi  memang  mempunyai  standar upah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kota dan kabupaten lain di Jawa  Tengah, namun lebih  rendah jika dibandingkan  dengan standar  upah  di kota kota  besar  lain  seperti  Jakarta,  Bandung,  Banten,  Tangerang,  Surabaya,  dan  kota-kota  besar  lain  khususnya di provinsi Jawa Barat dan Banten.
Atas  dasar  itulah  para  buruh  di  Kota  Semarang  menghendaki  adanya  kenaikan  upah sesuai  dengan upah layak yang seharusnya diterima oleh buruh. Namun persoalan  tidak hanya menjadi persoalan buruh saja, pengusaha di Kota Semarang selaku pemberi  upah  juga  mengeluhkan  adanya  kenaikan  upah  minimum  yang  setiap  tahun  naik  tanpa  dibarengi  atau  dimbangi  dengan  peningkatan  kinerja  buruh.  Oleh  sebab  itu  pemerintah  yang diwakili oleh Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan harus  mampu menengahi adanya konflik atau tidak kesesuaian standar upah antara pihak buruh  dan  pihak  pengusaha.  Dewan  Pengupahan  selaku  badan  yang  dibentuk  langsung  oleh  pemerintah  diharap  mampu  menangani  berbagai  persoalan  yang  terjadi  terkait  upah  minimum.
Dengan dibentuknya  dewan pengupahan  diharapkan  mampu memenuhi tuntutan  buruh  akan  minimnya  upah  minimum  yang  tidak  memenuhi  standar  kebutuhan  hidup  layak.  Selain  itu  dewan  pengupahan  juga  diharapkan  mampu  memberikan  konstribusi  secara terbuka dan pertisipatif secara langsung kepada buruh di dalam memformulasikan  upah  mnimum.  Karena  selama  ini  penetapan  upah  minimum  dipandang  tidak  mampu  mewakili  aspirasi  para  buruh  karena  dianggap penetapan  upah minimum  hanya tinggal   ditentukan saja  tanpa  diadakan  survey terlebih dahulu. Untuk  itu  perlu ada transparansi  dan  partisipasi  para  pihak  yang  berkepentingan.  Transparansi  dewan  pengupahan  dan  kepala  daerah  dituntut  untuk  terbuka  secara  luas  bagaimana  upah  minimum  itu  dirumuskan  sampai  ditetapkan  secara  berkala.  Selain  itu  di  dalam  menetapkan  upah  minimum  juga  diperlukan  partisipasi  dari  berbagai  pihak  yakni  dari  Serikat  Pekerja,  Pengusaha  dan  Pemerintah  yang  diharapkan  produk  upah  minimum  itu  mampu  memenuhi tuntutan bukan hanya buruh tetapi juga dari unsur pengusaha.
Berdasarkan  uraian  tersebut  di  atas,  penulis  tertarik  untuk  menganalisis  secara  mendalam  yang  hasilnya  dituangkan  dalam  bentuk  penulisan  hukum  (skripsi)  dengan  judul “PRINSIP  TRANSPARANSI  DAN  PARTISIPASI  DI  DALAM  PENGATURAN UPAH MINIMUM DI KOTA SEMARANG”.

 Skripsi Hukum: Prinsip Transparansi Dan Pertisipasi Dalam Pengaturan Upah Minimum Di Kota Semarang Penulisan Hukum

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi