Jumat, 05 Desember 2014

Skripsi Hukum: Pelaksanaan Pengawasan Dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan Oleh Badan Lingkungan Hidup

BAB I.
PENDAHULUAN .
A.  Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Pelaksanaan Pengawasan Dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan Oleh Badan Lingkungan Hidup
Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  1945  telah  beberapa  kali  diamandemen,  namun  belum  banyak  pihak  yang  memperhatikan  kajian  atas  konstitusi yang bersinggungan dengan permasalahan lingkungan hidup, padahal hasil  dari perubahan tersebut  sangat dinantikan karena memberikan harapan dan  jaminan  konstitusi  atas  keberlangsungan  lingkungan  di  alam  khatulistiwa.  Adapun  norma  yang merupakan kunci dari peraturan mengenai lingkungan terdapat pada Pasal 28H  ayat (1) yang berbunyi :  “Setiap  orang  berhak  hidup  sejahtera  lahir  dan  batin, bertempat  tinggal,  dan  mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh  pelayanan kesehatan”.

Selain itu peraturan mengenai lingkungan hidup juga tertera dalam Pasal 33 ayat  (4) UUD 1945 yang berbunyi :  “Perekonomian  nasional  diselenggarakan  berdasar  atas  demokrasi  ekonomi  dengan  prinsip  kebersamaan,  efisiensi  berkeadilan,  berkelanjutan,  berwawasan  lingkungan,  kemandirian,  serta  dengan  menjaga  keseimbangan  kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Berdasarkan  kedua  Pasal  di  atas  maka  sudah  jelas  bahwa  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  1945   juga  telah  mengakomodasi  perlindungan  konstitusi  (constitutional  protection)  baik  terhadap  warga  negaranya  untuk  memperoleh  lingkungan  hidup  yang  memadai  maupun  jaminan  terjaganya  tatanan  lingkungan  hidup  yang  lestari  atas  dampak  negatif  dari  aktivitas  perekonomian  nasional.  Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa setiap warga negara berhak  dan  memperoleh  jaminan  konstitusi  (constitutional  guranteee)  untuk  hidup  dan  memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk tumbuh dan berkembang.
  Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan  Pasal 1 angka (2)  UU  No.  32  Tahun  2009  tentang  Perlindungan  dan  Pengelolaan  Lingkungan  Hidup  (UUPPLH) adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan  fungsi  lingkungan  hidup  dan  mencegah  terjadinya  pencemaran  dan/atau  kerusakan  lingkungan  hidup  yang  meliputi  perencanaan,  pemanfaatan,  pengendalian,  pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Pengelolaan lingkungan  hidup memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan  budaya  perlu  dilakukan  berdasarkan  prinsip  kehati-hatian,  demokrasi  lingkungan,  desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan  lingkungan,  sehingga  lingkungan  hidup  Indonesia  harus  dilindungi  dan  dikelola  dengan  baik  berdasarkan  asas  tanggung  jawab  negara,  asas  keberlanjutan,  dan  asas  keadilan.  Selain  itu  di  dalam  pengelolaan  dan  perlindungan  lingkungan  perlu  diadakan  pembangunan  berkelanjutan.  Pembangunan  berkelanjutan  dapat  diartikan  sebagai  transformasi  progresif  terhadap  struktur  sosial  dan  politik  untuk  meningkatkan  kapasitas  masyarakat  dalam  memenuhi  kepentingan  saat  ini  tanpa  mengorbankan  kemampuan  generasi  mendatang  untuk  memenuhi  kepentingan  mereka (Imam Supardi, 2003:204).
Pembangunan  dalam  dirinya  mengandung  unsur  perubahan  besar,  misalnya  perubahan  struktur  ekonomi,  perubahan  struktur  sosial,  perubahan  fisik  wilayah,  perubahan pola kosumsi, perubahan sumber alam dan lingkungan hidup, perubahan  teknologi, perubahan sistem nilai dan kebudayaan (Emil Salim, 1993:11). Pendapat  Emil Salim juga dikutip oleh Supriadi dalam buku hukum lingkungan di Indonesia,  dinyatakan  bahwa  sungguhpun  pembangunan  telah  berjalan  ratusan  tahun  di  dunia,  namun baru pada permulaan tahun tujuh puluhan dunia baru sadar dan cemas akan  pencemaran  dan  perusakan  lingkungan  hidup  sehingga  mulai  menanganinya  secara  sungguh-sungguh sebagai masalah dunia (Supriadi, 2006:39).
  Salah  satu  dampak  negatif  pembangunan  yang  menonjol  adalah  timbulnya  berbagai  macam  pencemaran,  akibat  penggunaan  mesin-mesin dalam  industri  maupun  mesin-mesin  sebagai  hasil  produksi  dari  industri  tersebut.  Pencemaran  bukanlah  sesuatu  yang  asing  di  telinga  masyarakat  dunia,  sebab  tiap  hari  media  menyuguhkan  berita  tentang  terjadinya  pencemaran.  Berbagai  usaha-usaha  telah  dilakukan  oleh  masyarakat  dunia  termasuk  Indonesia,  guna  menanggulangi  permasalahn ini.
Apapun kenyataannya pencemaran tidak bisa dicegah, tidak bisa dihilangkan  dan akan terus terjadi, sebab manusia tidak dapat menghindar untuk tidak mencemari  lingkungannya terlebih alampun sulit untuk diprediksi. Oleh sebab itu, mempertajam  perbedaan definisi-definisi teknis maupun pelaksanaannya menjadi suatu yang baku  terkadang  wajib  adanya.  Sebab  dalam  tataran  implementasi  justru  permasalahan  lingkungan  senantiasa  berputar-putar  dan  berkutat  dalam  perdebatan  tanpa  ujung  mengenai  pengertian  “satu  kata”  –contoh  :  pencemaran  -  sementara  perusakan  dan  pencemaran lingkungan tengah dan terus berlangsung (Ashabul Kahpi,2012:163)  Penaatan  hukum  di  bidang  lingkungan  hidup  oleh  para  pelaku  kegiatan  dibidang lingkungan hidup mutlak diperlukan untuk mencegah dampak negatif dari  kegiatan  yang  dilakukan.  Hukum  lingkungan  adalah  hukum  fungsional  karena  bertujuan  untuk  menanggulangi  pencemaran,  pemanfaatan  lingkungan  secara  tidak  bertanggung  jawab  dan  perusakan  lingkungan.  Di  Indonesia  penegakan  hukum  lingkungan  juga  melibatkan  berbagai  instansi  pemerintah  seperti  polisi,  jaksa,  pemerintah  daerah,  pemerintah  pusat  serta  swasta.  Karena  hukum  lingkungan  berkaitan dengan cabang hukum  yang lain, maka penegakan hukum lingkunganpun  dapat ditegakkan dengan berbagai instrumen seperti administratif, perdata atau pidana  (herliana,2011:98).
Apabila  dikaitkan  dengan  peraturan  perundang-undangan  yang  mengatur  berbagai aspek lingkungan, maka panjang atau pendeknya sejarah tentang peraturan    tersebut  tergantung  daripada  apa  yang  dipandang  sebagai  “environmental  concern”(Koesnadi  Hardjasoemantri,  2002:36).  Menurut  Siti  Sundari  Rangkuti,  bahwa  “hukum  lingkungan  sebagai  hukum  yang  fungsional  yang  merupakan  potongan  melintang  bidang-bidang  hukum  klasik  sepanjang  berkaitan  dan/atau  relevan dengan masalah lingkungan hidup” (Alvi Syahrin, 1997:1). Artinya, hukum  lingkungan  mencakup  aturan-aturan  hukum  administrasi,  hukum  perdata  hukum  pidana  dan  hukum  internasional  sepanjang  aturan-aturan  itu  mengenai  upaya  pengelolaan lingkungan hidup.
Law  enforcement  atau  penegakan  hukum  lingkungan  terhadap  pencemaran dan  perusak  lingkungan  diperlukan  sebagai  salah  satu  jaminan  untuk  mewujudkan  dan  mempertahankan  kelestarian  fungsi  lingkungan.  Dalam  penegakan  hukum  lingkungan  keadilan  harus  diperhatikan.  Namun  demikian  hukum  tidak  identik  dengan  keadilan,  karena  hukum  itu  sifatnya  umum,  mengikat  setiap  orang,  dan  menyamaratakan.  Penegakkan  hukum  lingkungan  dapat  ditempuh  melalui  tiga  alternatif,  yaitu  administratif,  perdata  dan  pidana.  Undang-undang  Perlindungan  Lingkungan  Hidup  menempatkan  penerapan  sanksi  pidana  sebagai  upaya  yang  terakhir (ultimum remedium).
Akan  tetapi  persoalan  lingkungan  sudah  sedemikian  mengkhawatirkan,  sehingga  ketentuan  sanksi  pidana  terhadap  pencemaran  lingkungan  seharusnya  dirubah  dari  ketentuan  yang  sifatnya  ultimum  remidium,  yang  menganggap  bahwa  pelanggaran  hukum  lingkungan  belum  merupakan  persoalan  yang  serius  menjadi  premium  remidium  yang  menjadikan  sanksi  pidana  sebagai  instrumen  yang  diutamakan  dalam  menangani  tindak  perbuatan  pencemaran  atau  perusakan  lingkungan. Seperti yang dikemukakan oleh Jan H Jans and Hans H B Vedder dalam  The Expanding Criminalization of Environmental Laws Volume 30, No. 2.
That  significant  imprisonment  and  large  fines  are  appropriate  penalties  for  “environmental  criminals,”  another  objective  is  the deterrent  effect  of  an    environmental criminal case on other companies and individuals. Many government  officials  and  agents  believe  that  the  harsh  penalties  associated  with  environmental  crimes positively affect environmentally related business decisions and, consequently,  promote greater compliance with environmental laws.
Penjara  yang signifikan dan denda besar tersebut merupakan hukuman  yang  tepat  untuk  "penjahat  lingkungan,"  tujuan  lainnya  yaitu  efek  jera  dari  kasus  pidana  lingkungan  terhadap  perusahaan  lain  dan  individu.  Banyak  pejabat  pemerintah  dan  agen  percaya  bahwa  sanksi-sanksi  keras  yang  terkait  dengan  kejahatan  lingkungan  positif mempengaruhi keputusan bisnis yang berhubungan dengan lingkungan hidup  dan,  akibatnya,  meningkatkan  kepatuhan  yang  lebih  besar  dengan  Undang-undang  lingkungan.
Selain  itu,  dalam  mengatasi  pencemaran  lingkungan  perlu  adanya  penataan  lingkungan,  penaatan  lingkungan  ini  mencakup:  pengendalian  pencemaran  dan  perusakan  lingkungan  dan  pengembangan  kapasitas  pengelolaan  sumber  daya  alam  dan lingkungan hidup. Permasalahanlingkungan hidup sudah lama terdapat di Tanah  Air  kita,  namun  penanganannya  menurut  pendekatan  ekosistem  masih  baru.
Sedangkan  kunci  berhasilnya  program  pengembangan  lingkungan  hidup  berada  ditangan  manusia  dan  masyarakat.  Karena  itu,  sangat  penting  menumbuhkan  pengertian, penghayatan dan motivasi dikalangan masyarakat untuk ikut serta dalam  mengembangkan lingkungan hidup (Koesnadi Hardjasoemantri, 2002:113).
Di  Indonesia  kewenangan  pengelolaan  lingkungan  hidup  dilaksanakan  oleh  pemerintah,  masyarakat,  dan  pelaku  pembangunan.  Pengelolaan  lingkungan  hidup  pada  tingkat  nasional  dilaksanakan  secara  terpadu  terpadu  oleh  perangkat  kelembagaan  yang  dikoordinasikan  oleh  menteri.  Dan  dalam  hal  ini  menteri  yang  berwanang  ialah  Menteri  Lingkungan  Hidup.  Untuk  mewujudkan  keterpaduan  dan  keserasian  pelaksanaan  kebijakan  nasional  tentang  pengelolaan  lingkungan  hidup,  pemerintah dapat melimpahkan wewenang tertentu mengenai pengelolaan lingkungan    hidup kepada perangkat di wilayah dan mengikut sertakan peran pemerintah daerah  untuk  membantu  pemerintah  pusat.  Hal  ini  sesuai  dengan  apa  yang  diamanatkan  dalam  Undang-Undang  Nomor  32  Tahun  2004  tentang  Otonomi  Daerah  Pasal  1bahwa  untuk  pengendalian  lingkungan  hidup  diserahkan  pada  Pemerintah  Propinsi  dan Kabupaten/Kota.
Pengelolaan lingkungan hidup yang dapat dilakukan di daerah adalah dengan  dibentuknya  Badan  Lingkungan  Hidup.  Badan  Lingkungan  Hidup  ini  terdapat  di  Propinsi, Kabupaten, maupun kota. Badan lingkungan hidup Propinsi pada dasarnya  memiliki  tugas  pokok  yaitu  membantu  Gubernur  dalam  melaksanakan  sebagian  kewenangan daerah di bidang pengelolaan lingkungan hidup serta tugas pembantuan  yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah.
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di bagian tengah-selatan Pulau  Jawa, secara geografis terletak pada o  3’-o  12’ Lintang Selatan dan 11o  00’-11o  50’ Bujur Timur, dengan luas 3.185,80 km2. Wilayahadministratif DIY terdiri dari kota dan 4 kabupaten, 78 kecamatan dan 438 kelurahan/desa. bentang alam, wilayah  DIY dapat dikelompokkan menjadi empat satuan fisiografi sebagai berikut:  1.  Satuan fisiografi Gunungapi Merapi,  yang terbentang mulai dari kerucut gunung  api  hingga  dataran  fluvial  gunung  api  termasuk  juga  bentang  lahan  vulkanik,  meliputi  Sleman,  Kota  Yogyakarta  dan  sebagian  Bantul.  Daerah  kerucut  dan  lereng  gunung api merupakan daerah hutan lindung sebagai kawasan resapan air  daerah bawahan. Satuan bentang alam ini terletak di Sleman bagian utara. Gunung  Merapi yang merupakan gunungapi aktif dengan karakteristik khusus, mempunyai  daya tarik sebagai obyek penelitian, pendidikan, dan pariwisata.
2.  Satuan  Pegunungan  Selatan  atau  Pegunungan  Seribu,  yang  terletak  di  wilayah  Gunungkidul,  merupakan  kawasan  perbukitan  batu  gamping  (limestone)  dan  bentang  alam  karst  yang  tandus  dan  kekurangan  air  permukaan,  dengan  bagian  tengah  merupakan  cekungan  Wonosari  (Wonosari  Basin)  yang  telah  mengalami    pengangkatan secara tektonik sehingga terbentuk menjadi Plato Wonosari (dataran  tinggi  Wonosari).  Satuan  ini  merupakan  bentang  alam  hasil  proses  solusional  (pelarutan),  dengan  bahan  induk  batu  gamping  dan  mempunyai  karakteristik  lapisan tanah dangkal dan vegetasi penutup sangat jarang.
3.  Satuan Pegunungan Menoreh Kulon Progo,  yang terletak di Kulon Progo bagian  utara, merupakan bentang lahan struktural denudasional dengan topografi berbukit,  kemiringan lereng curam dan potensi air tanah kecil.
4.  Satuan  Dataran  Rendah,  merupakan  bentang  lahan  fluvial  (hasil  proses  pengendapan sungai) yang didominasi oleh dataran aluvial, membentang di bagian  selatan  DIY,  mulai  dari  Kulon  Progo  sampai  Bantul  yang  berbatasan  dengan  Pegunungan  Seribu.  Satuan  ini  merupakan  daerah  yang  subur.  Termasuk  dalam  satuan  ini  adalah  bentang  lahan  marin  dan  eolin  yang  belum  didayagunakan,  merupakan  wilayah  pantai  yang  terbentang  dari  Kulon  Progo  sampai  Bantul.
Khusus bentang lahan marin dan eolin di Parangtritis Bantul.
Kondisi  fisiografi  membawa  pengaruh  terhadap  persebaran  penduduk,  ketersediaan  prasarana  dan  sarana  wilayah,  dan  kegiatan  sosial  ekonomi  penduduk,  serta  kemajuan  pembangunan  antar  wilayah  yang  timpang.  Daerah-daerah  yang  relatif datar, seperti wilayah dataran fluvial  yang meliputi Kabupaten Sleman, Kota  Yogyakarta,  dan  Kabupaten  Bantul  (khususnya  di  wilayah  Aglomerasi  Perkotaan  Yogyakarta)  adalah  wilayah  dengan  kepadatan  penduduk  tinggi  dan  memiliki  kegiatan sosial ekonomi berintensitas tinggi, sehingga merupakan wilayah yang lebih  maju dan berkembang, namun juga banyak terjadi pencemaran lingkungan (Laporan  SLHD DIY,2012 Bab I1).
Dengan  kondisi  fisiografi  tersebut,  peran  Badan  Lingkungan  Hidup  di  Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sangat dibutuhkan. Melalui Peraturan  Daerah  Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 7 Tahun 2008, BLH Daerah Istimewa  Yogyakarta  mempunyai  tugas  untuk  melaksanakan  penyusunan  dan  pelaksanaan    kebijakan  daerah  di  bidang  lingkungan  hidup,  melakukan  pengendalian  dan  pengawasan terkait pencemaran lingkungan yang terjadi di Propinsi DIY.
Berdasarkan  uraian  tersebut  diatas,  maka  untuk  itulah  penulis  tertarik  untuk  meneliti  dan  mengangkatnya  di  dalam  suatu  penulisan  skripsi  dengan  judul:  “PELAKSANAAN  PENGAWASAN  DAN  PENGENDALIAN  PENCEMARAN  LINGKUNGAN  OLEH  BADAN  LINGKUNGAN  HIDUP  DI  DAERAH  ISTIMEWA YOGYAKARTA”.
B.  Rumusan Masalah.
Perumusan  masalah  dapat  diartikan  sebagai  suatu  pernyataan  yang  lengkap  dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi  dan  pembatasan  masalah.  Perumusan  masalah  merupakan  hal  yang  sangat  penting  dalam  setiap  tahapan  penelitian.  Perumusan  masalah  yang  jelas  akan  menghindari  pengumpulan  data  yang  tidak  perlu,  dapat  menghemat  biaya,  waktu,  tenaga  dan  penelitian akan lebih terarah pada tujuan yang ingin dicapai (Abdulkadir Muhammad,  2004:62).
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, Penulis merumuskan  masalah untuk dikaji secara lebih rinci. Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam  penelitian ini, yaitu : .
1.  Bagaimana  pelaksanaan  pengawasan  dan  pengendalian  pencemaran  lingkungan  oleh Badan Lingkungan Hidup di Daerah Istimewa Yogyakarta ?.
2.  Apa  hambatan  dalam  pelaksanaan  pengawasan  dan  pengendalian  pencemaran  lingkungan oleh Badan  Lingkungan  Hidup di Daerah  Istimewa  Yogyakarta serta  bagaimana solusinya ?.
C.  Tujuan Penelitian .
Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas. Tujuan  penelitian  ini  adalah  untuk  memberi  arah  dalam  melangkah  sesuai  dengan  maksud  penelitian  sekaligus  untuk  menyajikan  data-data  hukum  yang  akurat  dan  memiliki    validitas  untuk  menjawab  permasalahan,  sehingga  mendatangkan  kemanfaatan  bagi  pihak-pihak  yang  terkait  dengan  penelitian  ini.  Berdasarkan  hal  tersebut,  maka  Penulis  mengkategorikan  tujuan  penelitian  ke  dalam  kelompok  tujuan  obyektif  dan  tujuan subyektif sebagai berikut :.
a.  Tujuan Obyektif .
1)  Untuk  mengetahui  Pelaksanaan  Pengawasan  dan  pengendalian  pencemaran  lingkungan hidup oleh Badan Lingkungan Hidup di wilayah Daerah Istimewa  Yogyakarta.
2)  Untuk  mengetahui  hambatan  hambatan  pengawasan  dan  pengendalian  pencemaran  Lingkungan  oleh  Badan  Lingkungan  Hidup  di  Wilayah  Daerah  Istimewa yogyakarta dan solusinya.
b.  Tujuan Subyektif .
1)  Memperoleh  bahan  hukum  dan  informasi  sebagai  bahan  utama  dalam  menyusun  penulisan  hukum  untuk  memenuhi  persyaratan  yang  diwajibkan  dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum  Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2)  Menambah,  memperluas,  mengembangkan  pengetahuan,  dan  pengalaman  penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan praktek lapangan  hukum,  khususnya  dalam  bidang  hukum  administrasi  negara,  khususnya  hukum lingkungan  3)  Memberi  gambaran  dan  sumbangan  pemikiran  bagi  ilmu  hukum  agar  dapat  memberi  manfaat  bagi  penulis  sendiri  khususnya  dan  masyarakat  pada  umumnya.

 Skripsi Hukum: Pelaksanaan Pengawasan Dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan Oleh Badan Lingkungan Hidup

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi