Jumat, 05 Desember 2014

Skripsi Hukum: Penggunaan Mediasi dalam Penyelesaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama

   BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
 Skripsi Hukum: Penggunaan Mediasi dalam Penyelesaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama
Perkawinan  merupakan  fitrah  manusia.  Secara  naluriah,  manusia  akan memiliki ketertarikan antar lawan jenis. Untuk merealisasikan ketertarikan tersebut menjadi  sebuah  hubungan  yang  benar  dan  manusiawi,  maka  tidak  ada  jalan  lain kecuali dengan perkawinan yang sah.

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami  istri  dengan  tujuan  membentuk  keluarga  atau  rumah  tangga  yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Hal tersebut sebagai bentuk pernyataan, pengakuan dan sekaligus cermin kepribadian dari bangsa Indonesia yang mengakui akan  luhurnya  nilai  dan  arti  dari  perkawinan  yang  tidak  hanya  bertujuan  untuk membentuk suatu keluarga dan melangsungkan keturunan saja. Namun lebih dari itu perkawinan  bertujuan  untuk  membentuk  suatu  keluarga  yang  bahagia  dan  kekal berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa. Pertimbangannya  adalah  sebagai  negara yang berdasarkan Pancasila di mana sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa,  maka  perkawinan  mempunyai  hubungan  yang  erat sekali  dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peran yang penting (Moh. Idris Ramulyo, 2002: 5).
Tujuan dari perkawinan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan suatu tujuan yang luhur dari perkawinan. Dalam jurnalnya Betsey Stevenson dan Justin Wolfers berpendapat bahwa  keluarga  adalah  hasil  dari  sebuah  perkawinan  dan  bukan merupakan lembaga yang statis. Di mana suami dan istri adalah mempunyai tugas dan  tanggung  jawab  masing-masing  dan  pada  bidang  masing-masing.  Saling melengkapi dan bekerjasama dalam pemeliharaan anak-anak (Betsey Stevenson and Justin Wolfers, 2007: 27–52).
  Perjalanan kehidupan berumah tangga untuk menjalin hubungan perkawinan atau  membangun  rumah  tangga  yang  harmonis  tidaklah  mudah,  karena  dengan perkawinan  telah  mempertemukan  dua  kebiasaan,  pemikiran,  bahkan  kebudayaan dan adat yang berbeda. Perkawinan bukanlah untuk mempertentangkan perbedaan itu atau  untuk  menyatukan  perbedaan  itu,  namun  dalam  perkawinan  hendaknya menumbuhkan  rasa  toleransi  dan  saling  pengertian  atas  perbedaan-perbedaan tersebut. Pada kenyataanya banyak  dari  perkawinan yang  justru berakhir  dengan perceraian  karena  ketidakmampuan  untuk saling  memahami  dan toleransi  terhadap perbedaan-perbadaan tersebut. Perceraian merupakan cara yang sah untuk memutus perkawinan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 197tentang Perkawinan, berbunyi: Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian; b. Perceraian; dan c. atas keputusan Pengadilan.
Hukum  islam  mengizinkan  terjadinya  perceraian  kalau  perceraian  itu dianggap  lebih  baik  daripada  tetap  berada  dalam  ikatan  perkawinan  yang  telah dibina. Pada prinsipnya perceraian adalah sesuatu yang halal namun paling dibenci oleh  Allah (H.R.  Abu  Daud)  sebagaimna dikutip  oleh Ahmad  Rofiq  (1997:  269) dalam bukunya sebagai berikut: Yang artinya: Perkara  halal  yang  paling  dibenci  oleh  Allah  adalah  talak,”  maka  beliau berkata,  “Hadits  tersebut  dha’if  (lemah)  &  makna  hadits  tak  dapat  diterima oleh  akal,  sebab  tak  mungkin  ada  perbuatan  atau  sesuatu  yang  halal  akan tetapi  dibenci  oleh  Allah  Ta’ala.  Namun,  secara  umum  Allah  Ta’ala  tak menyukai seseorang yang mentalak istrinya, oleh sebab itu hukum asal talak adalah makruh.
Dalam Journal  of  Economic  Perspectives,  Paul  Amarto  and  Denise  Previti berpendapat  bahwa perceraian  adalah  peristiwa  kompleks  yang  dapat  dilihat  dari berbagai perspektif. Menurut penelitian sosiologis  yang difokuskan pada penelitian mengenai peneyebab perceraian terutama yang berhubungan dengan struktur sosial, kelas, ras dan usia saat pertama kali menikah, ternyata perselingkuhan adalah yang paling sering dilaporkan sebagai penyebab perceraian, diikuti oleh ketidak cocokan   kedua  belah  pihak,  menjadi  peminum  minuman  keras  atau  pengguna  narkoba,  dan tempat  tinggal  dari  pasangan  tersebut  yang  terpisah.  Mantan  suami  dan  istri  lebih cenderung menyalahkan mantan pasangan mereka daripada diri mereka sendiri untuk masalah  yang  menyebabkan  perceraian.  Mereka  cenderung  melihat  faktor-faktor eksternal daripada melihat faktor penyebab perceraian yang berasal dari diri mereka sendiri (Paul Amarto and Denise Previti, 2003:602-626).
Jumlah angka perceraian di Indonesia selalu meningkat tiap tahunnya. Angka perceraian meningkat dengan drastis dari tahun ke tahun. Badan Urusan Pengadilan Agama  (Badilag)  Mahkamah  Agung  (MA)  mencatat  selama  periode  2005  hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70%. Sejak saat itu pula terhitung angka perceraian  di  Indonesia  meningkat  10%  tiap  tahunnya (http://www.statistik.info/statistik-perceraian.html).
Meningkatnya  angka  perceraian  seperti  yang  telah  disebutkan  di  atas menunjukkan  mulai  lunturnya  nilai  kesakralan  sebuah  perkawinan  di  mata masyarakat  Indonesia  dan  menganggap  bahwa  pernikahan  dapat  di  selesaikan melalui perceraian apabila terjadi konflik antara pasangan suami istri. Perceraian di anggap  sebagai  suatu  hal  yang  wajar  dalam   sebuah  perkawinan.  Tentu  saja  hal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal  itu  dikarenakan tujuan  perkawinan  adalah  membentuk  keluarga yang  bahagia,  kekal,  dan  sejahtera,  maka  undang-undang  perkawinan  menganut prinsip untuk mempersulit perceraian. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan-alasan  tertentu  dan  harus  dilakukan  di  depan  sidang  pengadilan  (penjelasan umum angka 4 huruf a dan c). Usaha untuk mempersukar perceraian ini diterapkan dengan menegaskan dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 39, berbunyi: (1) Perceraian  hanya  dapat  dilakukan  di  depan  Sidang  Pengadilan  setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.
(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan.
  Mediasi merupakan salah satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar  pengadilan  yang  sudah  lama  digunakan  dalam  setiap  kasus  sengketa  yang menginginkan  penyelesaian  dengan  cepat,  efektif  dan  efesien.  Saat ini,  mediasi sebagai  salah  satu tekhnik  penyelesaian  sengketa  yang  telah  menyedot  perhatian semua kalangan (Jawahir dan Pranoto Iskandar, 2006: 227).
Namun tidak selamanya proses penyelesaian sengketa secara mediasi, murni ditempuh  di  luar  jalur  pengadilan.  Salah  satu  contohnya,  yaitu  pada  sengketa perceraian dengan alasan, atau atas dasar syiqaq, dimana cara mediasi dalam masalah ini tidak lagi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tetapi ia  juga  merupakan  bagian  dari  proses  penyelesaian  sengketa  di  pengadilan. Proses mediasi ini dapat dikatakan baru dilaksanakan dalam Pengadilan Agama pada tahun 2008 berdasarkan Peraturan  Mahkamah  Agung  No.  1 Tahun  2008. Selain  itu, terdapat  pula Peraturan  Mahkamah  Agung Nomor 2 Tahun  2003 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Jadi  jelas  dasar  hukum  adanya  mediasi  dalam  perkara perceraian Mediasi yang dilakukan oleh para pihak dengan bantuan mediator bertujuan untuk  mencapai  kesepakatan  kedua  belah  pihak  yang  saling  menguntungkan  (winwin  solution)  dan  memuaskan  bagi  pihak-pihak  yang  bersengketa  serta  bersifat problem solving, bukan untuk mencari kalah menang (win or loss). Karena itu, dalam suatu mediasi, mediator hanya menjadi fasilitator yang membantu para pihak dalam mengklarifikasi  kebutuhan  dan  keinginan-keinginan  mereka,  menyiapkan  panduan membantu  para  pihak  dalam  meluruskan  perbedaan-perbedaan  pandangan  dan bekerja  untuk  suatu  yang  dapat  diterima  para  pihak  dalam  penyelesaian  yang mengikat.  Diwajibkannya  mediasi  khususnya  dalam  sengketa  perkawinan  seperti perceraian  membawa  manfaat  yang  besar  bagi  para  pihak,  karena  melalui  mediasi akan dicapai kesepakatan dan solusi yang memuaskan dan terselesaikannya problem yang  menjadi  penyebab  keretakan  rumah  tangga  sehingga  keutuhan  rumah  tangga tetap terjaga.
Berdasakan  masalah di  atas  hendaknya  diperlukan  upaya  untuk mengembalikan  nilai  kesakralan  pernikahan  di mata  masyarakat  Indonesia  dan menekan angka perceraian di Indonesia serta mencari jalan keluar untuk mengatasi   hambatan  bagi  hakim  dalam  mencegah perkara  perceraian  dengan  tetap mengutamakan  asas  peradilan  di  Indonesia.  Oleh  karena  itulah  di  perlukan  adanya studi  dan  penelitian  lebih  lanjut  mengenai  proses  pelaksanan  mediasi  untuk menyelesaikan  perkara perceraian  di  Indonesia  dan  bagaimana  upaya  yang seharusnya  dilakukan untuk  mengatasi  hambatan  bagi  mediator  dalam menyelesaikan perkara  perceraian.  Untuk  mewujudkan  hal  tersebut  maka  penulis melakukan  suatu  penelitian  di  wilayah  hukum  Pengadilan  Agama  dan  kemudaian menuangkannya  dalam  penulisan  hukum  dengan  judul “PENGGUNAAN MEDIASI  DALAM PENYELESAIAN PERKARA  PERCERAIAN  DI PENGADILAN AGAMA SUKOHARJO ”.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan pokok permasalahan yaitu :.
1. Bagaimana  pelaksanaan  mediasi  dalam  menyelesaikan  perkara  perceraian  di Pengadilan Agama Sukoharjo?.
2. Apakah  hambatan-hambatan  bagi pelaksanaan  mediasi perkara  perceraian di Pengadilan Agama Sukoharjo?.
C. Tujuan Penelitian.
Dalam suatu penelitian, pastilah ada tujuan yang hendak dicapai. Tujuan ini tidak terlepas dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Tujuan dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:.
1. Tujuan Obyektif.
a. Untuk  mengetahui pelaksanan mediasi  dalam  menyelesaikan  perkara perceraian  di  wilayah  yuridis  Pengadilan  Agama  Sukoharjo  dalam  kurun waktu tahun 2012.
b. Untuk  mengetahui  hambatan-hambatan  terkait  dengan  pelaksanan  mediasi perkara perceraian di Pengadilan Agama Sukoharjo.
  2. Tujuan Subyektif.
a. Untuk  mendapatkan  data  dan  informasi  sebagai  bahan  utama  dalam penyususan penelitian.
b. Untuk menambah dan memperluas pengetahuan, wawasan penulis di bidang hukum  perkawinan  khususnya  mengenai  faktor  penyebab  perceraian  dan hambatan  bagi  hakim  dalam  memutus  perkara  perceraian  di  Pengadilan Agama Sukoharjo.
D. Manfaat Penelitian.
Penulisan  suatu  penelitian  diharapkan  mampu  memberikan  manfaat  yang dapat diperoleh, terutama bagi bidang ilmu yang diteliti. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:.
1. Manfaat Teoritis.
a. Memberikan  referensi  tambahan  terkait  dengan  penggunaan  mediasi perceraian  di  wilayah  yuridis  Pengadilan  Agama  Sukoharjo  dalam  kurun waktu tahun 2012.
b. Dapat  melukiskan  tentang  hambatan-hambatan  bagi  mediator  dalam memediasi perkara perceraian di Pengadilan Agama Sukoharjo.
c. Hasil penlitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berarti bagi peningkatan dan pengembangan ilmu hukum pada umumnya serta Hukum dan Masyarakat pada khususnya.
2. Manfaat Praktis.
a. Memberikan  bahan  masukan,  saran  dan  gagasan  pemikiran  kepada  semua pihak khususnya Pengadilan Agama Sukoharjo.
b. Memperluas dan mengembangkan pola pemikiran dan penalaran sekaligus untuk mengimplementasikan ilmu penulis yang diperoleh.

 Skripsi Hukum: Penggunaan Mediasi dalam Penyelesaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi