BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Penggunaan Mediasi dalam Penyelesaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama
Perkawinan merupakan
fitrah manusia. Secara
naluriah, manusia akan memiliki ketertarikan antar lawan jenis.
Untuk merealisasikan ketertarikan tersebut menjadi sebuah
hubungan yang benar
dan manusiawi, maka
tidak ada jalan
lain kecuali dengan perkawinan yang sah.
Perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan). Hal tersebut sebagai bentuk pernyataan, pengakuan dan
sekaligus cermin kepribadian dari bangsa Indonesia yang mengakui akan luhurnya
nilai dan arti
dari perkawinan yang
tidak hanya bertujuan
untuk membentuk suatu keluarga dan melangsungkan keturunan saja. Namun
lebih dari itu perkawinan bertujuan untuk
membentuk suatu keluarga
yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Pertimbangannya adalah
sebagai negara yang berdasarkan
Pancasila di mana sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
perkawinan mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan
bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga
mempunyai peran yang penting (Moh. Idris Ramulyo, 2002: 5).
Tujuan dari perkawinan untuk
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan suatu tujuan yang luhur dari perkawinan.
Dalam jurnalnya Betsey Stevenson dan Justin Wolfers berpendapat bahwa keluarga
adalah hasil dari
sebuah perkawinan dan
bukan merupakan lembaga yang statis. Di mana suami dan istri adalah
mempunyai tugas dan tanggung jawab
masing-masing dan pada
bidang masing-masing. Saling melengkapi dan bekerjasama dalam
pemeliharaan anak-anak (Betsey Stevenson and Justin Wolfers, 2007: 27–52).
Perjalanan kehidupan berumah tangga untuk menjalin hubungan perkawinan atau membangun
rumah tangga yang
harmonis tidaklah mudah,
karena dengan perkawinan telah
mempertemukan dua kebiasaan,
pemikiran, bahkan kebudayaan dan adat yang berbeda. Perkawinan
bukanlah untuk mempertentangkan perbedaan itu atau untuk
menyatukan perbedaan itu,
namun dalam perkawinan
hendaknya menumbuhkan rasa toleransi
dan saling pengertian
atas perbedaan-perbedaan tersebut.
Pada kenyataanya banyak dari perkawinan yang justru berakhir dengan perceraian karena
ketidakmampuan untuk saling memahami
dan toleransi terhadap perbedaan-perbadaan
tersebut. Perceraian merupakan cara yang sah untuk memutus perkawinan. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 197tentang Perkawinan,
berbunyi: Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian; b. Perceraian; dan c.
atas keputusan Pengadilan.
Hukum islam
mengizinkan terjadinya perceraian
kalau perceraian itu dianggap
lebih baik daripada
tetap berada dalam
ikatan perkawinan yang
telah dibina. Pada prinsipnya perceraian adalah sesuatu yang halal namun
paling dibenci oleh Allah (H.R. Abu
Daud) sebagaimna dikutip oleh Ahmad
Rofiq (1997: 269) dalam bukunya sebagai berikut: Yang
artinya: Perkara halal yang
paling dibenci oleh Allah adalah
talak,” maka beliau berkata, “Hadits
tersebut dha’if (lemah)
& makna hadits
tak dapat diterima oleh
akal, sebab tak
mungkin ada perbuatan
atau sesuatu yang
halal akan tetapi dibenci
oleh Allah Ta’ala.
Namun, secara umum
Allah Ta’ala tak menyukai seseorang yang mentalak
istrinya, oleh sebab itu hukum asal talak adalah makruh.
Dalam Journal of
Economic Perspectives, Paul
Amarto and Denise
Previti berpendapat bahwa
perceraian adalah peristiwa
kompleks yang dapat
dilihat dari berbagai perspektif.
Menurut penelitian sosiologis yang
difokuskan pada penelitian mengenai peneyebab perceraian terutama yang
berhubungan dengan struktur sosial, kelas, ras dan usia saat pertama kali
menikah, ternyata perselingkuhan adalah yang paling sering dilaporkan sebagai
penyebab perceraian, diikuti oleh ketidak cocokan kedua
belah pihak, menjadi
peminum minuman keras
atau pengguna narkoba,
dan tempat tinggal dari
pasangan tersebut yang
terpisah. Mantan suami
dan istri lebih cenderung menyalahkan mantan pasangan
mereka daripada diri mereka sendiri untuk masalah yang
menyebabkan perceraian. Mereka
cenderung melihat faktor-faktor eksternal daripada melihat
faktor penyebab perceraian yang berasal dari diri mereka sendiri (Paul Amarto
and Denise Previti, 2003:602-626).
Jumlah angka perceraian di
Indonesia selalu meningkat tiap tahunnya. Angka perceraian meningkat dengan
drastis dari tahun ke tahun. Badan Urusan Pengadilan Agama (Badilag)
Mahkamah Agung (MA)
mencatat selama periode
2005 hingga 2010 terjadi
peningkatan perceraian hingga 70%. Sejak saat itu pula terhitung angka perceraian di
Indonesia meningkat 10%
tiap tahunnya (http://www.statistik.info/statistik-perceraian.html).
Meningkatnya angka
perceraian seperti yang
telah disebutkan di
atas menunjukkan mulai lunturnya
nilai kesakralan sebuah
perkawinan di mata masyarakat Indonesia
dan menganggap bahwa pernikahan
dapat di selesaikan melalui perceraian apabila terjadi
konflik antara pasangan suami istri. Perceraian di anggap sebagai
suatu hal yang
wajar dalam sebuah
perkawinan. Tentu saja
hal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Hal itu dikarenakan tujuan perkawinan
adalah membentuk keluarga yang
bahagia, kekal, dan
sejahtera, maka undang-undang
perkawinan menganut prinsip untuk
mempersulit perceraian. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan-alasan tertentu
dan harus dilakukan
di depan sidang
pengadilan (penjelasan umum angka
4 huruf a dan c). Usaha untuk mempersukar perceraian ini diterapkan dengan
menegaskan dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 39, berbunyi: (1) Perceraian
hanya dapat dilakukan
di depan Sidang
Pengadilan setelah Pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian
harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun
sebagai suami isteri.
(3) Tata cara perceraian di depan
sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan.
Mediasi merupakan salah satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif
di luar pengadilan yang
sudah lama digunakan
dalam setiap kasus
sengketa yang menginginkan penyelesaian
dengan cepat, efektif
dan efesien. Saat ini,
mediasi sebagai salah satu tekhnik
penyelesaian sengketa yang
telah menyedot perhatian semua kalangan (Jawahir dan Pranoto
Iskandar, 2006: 227).
Namun tidak selamanya proses
penyelesaian sengketa secara mediasi, murni ditempuh di
luar jalur pengadilan.
Salah satu contohnya,
yaitu pada sengketa perceraian dengan alasan, atau atas
dasar syiqaq, dimana cara mediasi dalam masalah ini tidak lagi dipandang
sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tetapi ia juga
merupakan bagian dari proses penyelesaian
sengketa di pengadilan. Proses mediasi ini dapat
dikatakan baru dilaksanakan dalam Pengadilan Agama pada tahun 2008 berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung
No. 1 Tahun 2008. Selain
itu, terdapat pula Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang
Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Jadi
jelas dasar hukum
adanya mediasi dalam
perkara perceraian Mediasi yang dilakukan oleh para pihak dengan bantuan
mediator bertujuan untuk mencapai kesepakatan
kedua belah pihak
yang saling menguntungkan
(winwin solution) dan
memuaskan bagi pihak-pihak
yang bersengketa serta
bersifat problem solving, bukan untuk mencari kalah menang (win or
loss). Karena itu, dalam suatu mediasi, mediator hanya menjadi fasilitator yang
membantu para pihak dalam mengklarifikasi
kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka,
menyiapkan panduan membantu para
pihak dalam meluruskan
perbedaan-perbedaan
pandangan dan bekerja untuk
suatu yang dapat
diterima para pihak
dalam penyelesaian yang mengikat. Diwajibkannya
mediasi khususnya dalam
sengketa perkawinan seperti perceraian membawa
manfaat yang besar
bagi para pihak,
karena melalui mediasi akan dicapai kesepakatan dan solusi
yang memuaskan dan terselesaikannya problem yang menjadi
penyebab keretakan rumah
tangga sehingga keutuhan
rumah tangga tetap terjaga.
Berdasakan masalah di
atas hendaknya diperlukan
upaya untuk mengembalikan nilai
kesakralan pernikahan di mata
masyarakat Indonesia dan menekan angka perceraian di Indonesia
serta mencari jalan keluar untuk mengatasi
hambatan bagi hakim
dalam mencegah perkara perceraian
dengan tetap mengutamakan asas
peradilan di Indonesia.
Oleh karena itulah
di perlukan adanya studi
dan penelitian lebih
lanjut mengenai proses
pelaksanan mediasi untuk menyelesaikan perkara perceraian di
Indonesia dan bagaimana
upaya yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi
hambatan bagi mediator
dalam menyelesaikan perkara
perceraian. Untuk mewujudkan
hal tersebut maka
penulis melakukan suatu penelitian
di wilayah hukum
Pengadilan Agama dan
kemudaian menuangkannya dalam penulisan
hukum dengan judul “PENGGUNAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA SUKOHARJO ”.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang di
atas, penulis merumuskan pokok permasalahan yaitu :.
1. Bagaimana pelaksanaan
mediasi dalam menyelesaikan
perkara perceraian di Pengadilan Agama Sukoharjo?.
2. Apakah hambatan-hambatan bagi pelaksanaan mediasi perkara perceraian di Pengadilan Agama Sukoharjo?.
C. Tujuan Penelitian.
Dalam suatu penelitian, pastilah
ada tujuan yang hendak dicapai. Tujuan ini tidak terlepas dari permasalahan
yang telah dirumuskan sebelumnya. Tujuan dalam penulisan penelitian ini adalah
sebagai berikut:.
1. Tujuan Obyektif.
a. Untuk mengetahui pelaksanan mediasi dalam
menyelesaikan perkara perceraian di
wilayah yuridis Pengadilan
Agama Sukoharjo dalam
kurun waktu tahun 2012.
b. Untuk mengetahui
hambatan-hambatan terkait dengan
pelaksanan mediasi perkara
perceraian di Pengadilan Agama Sukoharjo.
2. Tujuan Subyektif.
a. Untuk mendapatkan
data dan informasi
sebagai bahan utama
dalam penyususan penelitian.
b. Untuk menambah dan memperluas
pengetahuan, wawasan penulis di bidang hukum
perkawinan khususnya mengenai
faktor penyebab perceraian
dan hambatan bagi hakim
dalam memutus perkara
perceraian di Pengadilan Agama Sukoharjo.
D. Manfaat Penelitian.
Penulisan suatu
penelitian diharapkan mampu
memberikan manfaat yang dapat diperoleh, terutama bagi bidang
ilmu yang diteliti. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:.
1. Manfaat Teoritis.
a. Memberikan referensi
tambahan terkait dengan
penggunaan mediasi perceraian di
wilayah yuridis Pengadilan
Agama Sukoharjo dalam
kurun waktu tahun 2012.
b. Dapat melukiskan
tentang hambatan-hambatan bagi
mediator dalam memediasi perkara
perceraian di Pengadilan Agama Sukoharjo.
c. Hasil penlitian ini diharapkan
dapat memberikan masukan yang berarti bagi peningkatan dan pengembangan ilmu
hukum pada umumnya serta Hukum dan Masyarakat pada khususnya.
2. Manfaat Praktis.
a. Memberikan bahan
masukan, saran dan
gagasan pemikiran kepada
semua pihak khususnya Pengadilan Agama Sukoharjo.
b. Memperluas dan mengembangkan
pola pemikiran dan penalaran sekaligus untuk mengimplementasikan ilmu penulis
yang diperoleh.
Skripsi Hukum: Penggunaan Mediasi dalam Penyelesaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi