Kamis, 04 Desember 2014

Skripsi Hukum: Perkawinan Beda Agama Antar Warga Negara Indonesia Di Luar Negeri Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perdata Internasional

  BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Perkawinan Beda Agama Antar Warga Negara Indonesia Di Luar Negeri Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perdata Internasional
Suatu  kodrat  manusia  yang  berlainan  jenis  untuk    hidup  bersama,  maka kedua jenis insan tersebut wajar dan layak melangsungkan perkawinan untuk  hidup  bersama  membentuk  suatu  keluarga  bahagia  bertujuan  mengumpulkan dan mengembangkan keturunannya  agar kehidupan manusia tidak  terputus  dan  dapat  lestari  serta  berkesinambungan.  Negara  Indonesia sebagai  negara  berdasarkan  Pancasila,  dimana  sila  Pertama  dari  Pancasila  adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan  erat  dengan  keagamaan  atau  kerohanian  sehingga  perkawinan  bukan  saja  mempunyai  unsur  lahiriyah  atau  jasmaniah,  tetapi  unsur  batin  atau  rohani  juga mempunyai peran utama.

Aturan  tata-tertib  perkawinan  sudah  ada  sejak  masyarakat  sederhana  yang  dipertahankan  anggota-anggota  masyarakat  dan  para  pemuka  masyarakat  adat  atau  para  pemuka  agama.  Aturan  tata-tertib  itu  terus  berkembang  maju  dalam  masyarakat  yang  mempunyai  kekuasaan  pemerintahan dalam suatu negara (Hilman Hadikusuma, 2003:1). Oleh karena  itu  pengaturan  mengenai  perkawinan  dalam  suatu  negara  tidak  lepas  dari  pengaruh  budaya  dan  lingkungan  dimana  masyarakat  itu  berada  serta  pergaulan masyarakatnya seperti pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan  keagamaan yang dianut masyarakat.
Aturan  perkawinan  diIndonesia  adalah  Undang-Undang  Perkawinan (Selanjutnya disebut  Undang-Undang Perkawinan  dalam penulisan ini), yang  berlaku secara resmi sejak tanggal diundangkan, yaitu tanggal 2 Januari 1974,  kemudian  berlaku  secara  efektif  pada  tanggal  1  Oktober  1975,  melalui  Peraturan  Pemerintah  Republik  Indonesia  Nomor  9  Tahun  1975  tentang  Pelaksanaan  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan.
Undang-undang  tersebut  sudah  berlaku  secara  formal  yuridis  bagi  bangsa  Indonesia,  dan  telah  menjadi  bagian  dari  hukum  positif.  Undang-Undang    Perkawinan  ini,  selain  meletakkan  asas-asas,  sekaligus  menampung  prinsipprinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan di Indonesia.
Rumusan pengertian perkawinan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa  Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria  dan  seorang  wanita  sebagai  suami  istri  dengan  tujuan  membentuk  keluarga  (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha  Esa.  Rumusan  perkawinan  tersebut  dinyatakan  dengan  tegas  bahwa  pembentukan  keluarga  (rumah  tangga)  yang  bahagia  dan  kekal  itu  berdasarkan Ketuhanan  Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan harus  didasarkan  pada  agama  dan  kepercayaan  masing-masing.  Seperti  yang  tercantum  pada  Pasal  2  ayat  (1)  Undang-Undang  Perkawinan  dimana  perkawinan  adalah  sah,  apabila  dilakukan  menurut  hukum  masing-masing  agama dan kepercayaannya.
Landasan  hukum  agama  dalam  melaksanakan  sebuah  perkawinan  merupakan  hal  yang  sangat  penting  dalam  Undang-Undang  Perkawinan,  sehingga  penentuan  boleh  tidaknya  perkawinan  tergantung  pada  ketentuan  agama. Hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh maka tidak boleh  pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama,menjadi  boleh  tidaknya  tergantung  pada  ketentuan  agama.  Perkawinan  beda  agama  bagi  masing-masing  pihak  menyangkut  akidah  dan  hukum  sangat  penting  bagi  seseorang.  Hal  ini  berarti  menyebabkan  tersangkutnya  dua  peraturan berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai  dengan hukum agamanya masing-masing.
Prosentase  perkawinan  beda  agama  yakni  hasil  sensus  tahun  1990  dan  2000  di  Provinsi  Daerah  Istimewa  Yogyakarta  (DIY)  yang  merupakan  melting  pot  atau  wadah  peleburan  identitas  budaya  menunjukkan  bahwa  di  DIY  terjadi  fluktuasi.  Pada  tahun  1980,  paling  tidak  terdapat  15  kasus  perkawinan  beda  agama  dari  1000  kasus  perkawinan  yang  tercatat.  Pada  tahun 1990, naik menjadi 18 kasus dan trendnya menurun menjadi 12 kasus  pada tahun 2000.  Tahun 1980 rendah, lalu naik tahun 1990,  kemudian turun  lagi  tahun   2000    (http://Islamlib.com/?site=1&aid=678&cat=content&cid=12&title=faktaempiris-nikah-beda-agama  diakses  pada  tanggal  11  Desember  2013  pukul  23.00WIB).
Tabel 1. Sensus kasus perkawinan beda agama Agama  1980  1990  200Pria  Wanita  Pria  Wanita  Pria  Wanita 1. Islam  0.7  0.6  0.9  0.9  0.5  0.2. Protestan  6.0  8.6  10.6  13.8  5.1  3.3. Khatolik  13.3  15.4  11.4  8.7  6.9  13.4. Hindhu  19.0*  9.6*  16.3  2.7  60.0  -5. Budha  -  -  37.5  21.9  -  -6. Lain-lain  -  -  35.5  0  -  -Jumlah  24677  24677  28668  28668  2673  267*  Untuk  Sensus  Penduduk  1980,  Hindhu,  Budha  dan  lain-lain  disatukan  untuk analisis.
Sumber: Sensus 1980, 1990 dan 200Hasil dari tabel diatas didukung dengan penulisan yang dilakukan oleh  Ahmad  Nurcholish  yakni  Direktur  Pelaksana  Indonesian  Conference  on  Religion and Peace(ICRP)  sejak bulan November 2004 sampai Maret 2012  dengan   melakukan  konseling  kepada  1.109  yang  berkeinginan  untuk  melangsungkan  perkawinanbeda  agama.  Hasil  dari  penulisan  tersebut  ialah  beberapa  pasangan  yang  berhasil   melangsungkan  nikah  beda  agama,  sejak  2005 sampai dengan Maret 2012 adalah sebanyak 282 pasangan. Dari angka  tersebut  maka  jumlah  pasangan  terbesar  yang  melangsungkan  nikah  beda  agama  adalah  dari  agama  Islam-Kristen  (148  pasangan)  dan  Islam-Khatolik (127  pasangan)  (http://icrp-online.org/042012/post-1783.html  diakses  pada  tanggal  11  Desember  2013  pukul  23.02  WIB).Dari  data  penulisan  tersebut  dapat  diketahui  bahwa  tingkat  pelaksanaan  perkawinan  beda  agama  dari  tahun  ke  tahun  semakin  meningkat.  Selain  itu  ketidakjelasan  pengaturan  mengenai  perkawinan  beda agama di  Indonesia  menyebabkan banyak  Warga  Negara  Indonesia  beda  agama  memilih  melangsukan  perkawinan  di  luar    negeri  agar  dapat  melangsungkan  perkawinan  mereka.  Salahsatu  kasus  perkawinan  beda  agama  antar  Warga  Negara  Indonesia  di  luar  negeri  ialah pasangan  artis Titi  Kamal dan Christian  Sugiono  yang  melangsungkan  perkawinandi  sebuah  masjid  di  Perth,  Australia.  Christian  Sugiono  dan  Titi  Kamal  melaksungkan  perkawinannya  pada  6  Februari  2009  di  Sydney,  Australia  (http://log.viva.co.id/news/read/34045-titi_kamal_christian_menikah, diakses padatanggal 21 November 2013  pukul  22.27  WIB).  Berikut  beberapa  kasus  perkawinan  antar  Warga  Negara  Indonesia  beda  agama  yang  dilangsungkan  di  luar  negeri  antara  lain  Frans  Mohede  (Kristen  Protestan)  dengan Amara  (Islam),  menikah pada tanggal 1  Desember  1999  di  Hongkong,  Cornelia  Agatha  (Kristen)  -  Sony  Lalwani(Islam),  menikah 18 Maret 2006 di Hongkong, Rio Febrian  (Kristen)  dan  Sabria  Kono  (Islam),  menikah  di  Bangkok  pada  3  Februari  2010danRuhut  Sitompul  (Kristen)  dan  Anna  Rudhiantiana  Legawati (Islam),menikah  di  Sydney,  Australia (http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/10-pasangan-selebriti-inibahagia-meski-beda-keyakinan-b74b8c-6.html,  diakses  pada  tanggal  21  November 2013 pukul 22.32 WIB).
Pokok  permasalahan  dari  kasus-kasus  perkawinan  beda  agama  diluarnegeri  ialah  keabsahan  perkawinan  pasangan  berbeda  agama  yang  dilangsungkan di luar negeri  tersebut di  Indonesia. Jika memperhatikan  Pasal 8 huruf  (f)  Undang-Undang Perkawinan, tentang larangan  perkawinan yaitu  :  perkawinan  dilarang  antara  dua  orang  mempunyai  hubungan  yang  oleh  agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.  Sehingga dalam  hal ini pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasa l8 huruf (f)Undang-Undang Perkawinan secara  tegas  dikatakan  bahwa  sahnya  perkawinan  di  Indonesia  adalah  berdasarkan agama.
Penyelesaian  kasus  perkawinan  beda  agama  kemudian  biasanya dilakukan  melalui  pencatatan  perkawinan  di  Kantor  Catatan  Sipil.  Hal  tersebut  tertera  pada  Pasal  20  Undang-Undang  Perkawinan,  secara  implisit  memperbolehkan Pegawai Pencatat Perkawinan melangsungkan dan mencatat    perkawinan   beda  agama  atau  berdasarkan  Pasal  21  menyebutkan  bahwa proses  itu  harus  melalui  prosedur  Pengadilan  Negeri  terlebih  dahulu  untuk  memperoleh keputusan yang mengikat. Pencatatan tersebut dilakukan sebagai aspek  administratif  demi  ketertiban  sebagai  warga  negara.  Pada  sisi  lain,  perkawinan  di  luar  Indonesia  yang  hanya  memperhatikan  aspek  keperdataannya  saja,  maka  sahnya  perkawinan  hanya  semata-mata  berdasarkan  kesepakatan  dan  seterusnya  dicatat  secara  administratif  (O.S  Eoh,  2001:139).  Tanpa  mengabaikan  kemungkinan  bahwa  sahnya  perkawinan  di  luar  Indonesia,  berdasarkan  hukum  setempat  adalah  juga  berdasarkan agama, tetapi sejumlah indikasi telah menunjukan bahwa maksud  utama  perkawinan  di  luar  Indonesia  yang  dilakukan  oleh  Warga  Negara  Indonesia,  pada  umumnya  terbentur  pada  persoalan  di  Indonesia.  Artinya,  bagi Warga Negara  Indonesia  akan melangsungkan perkawinan, tetapi kedua  belah  pihak  berbeda  agama,  ternyata  dapat  diselesaikan  secara  cepat  dan  sederhana di luar wilayah Indonesia.
Pelaksanaan  perkawinan  dinyatakan sebagai sah antara Warga Negara  Indonesia  berbeda  agama  di  luar  negeri  hanya  berdasarkan  pencatatan,  menjadi  pertanyaan  apakah  memiliki  legitimasi  kuat  untuk  dianggap  sah  mengingat  di  Indonesia  hanya  aspek  agama  saja  yang  dapat  mengesahkan  perkawinan  menurut  Undang-Undang  Perkawinan  sedangkan  pasangan  tersebut  melangsungkan  perkawinan  di  luar  negeri  karena  hukum  Indonesia tidak  mengatur  perkawinan  beda  agama,  berdasarkan  tindakan  tersebut  bisa  dikatakan bahwa tindakan pasangan beda agama yang menikah di luar negeri  dilakukan  untuk  menghindari  pelaksanaan  aturan  yang  berlaku  dalam Undang-Undang Perkawinan.
Menurut  Bayu  Seto  Hardjowahono  (2006:128)  menjelaskan  bahwa  perbuatan yang dilakukan disuatu negara asing dan diakui sah di negara asing  itu,  akan  dapat  dibatalkan  oleh  forum  atau  tidak  diakui  oleh  forum  jika  perbuatan itu dilaksanakan di negara asing yang bersangkutan dengan tujuan  untuk  menghindarkan  diri  dari  aturan-aturan  lex  fori  yang  akan  melarang  perbuatan  semacam  itu  dilaksanakan  di  wilayah  forum  disebut  dengan    penyelundupan  hukum  (Evasion  Of  Law).  Penyelundupan  hukum  terjadi  karena  kepada  kehendak  para  subjek  hukum  diberikan  keleluasaan  untuk  merubah  titik-titik  taut  yang  menentukan  dalam  proses  pencarian  hukum  harus  dipergunakan  dalam  memecahkan  suatu  peristiwa  Hukum  Perdata  Internasional.
Berdasarkan  penelitian  sebelumnya,  dilakukan oleh Hartini (2003:20) berjudul  “Implementasi  Perkawinan  Berbeda  Agama  di  Luar  Negeri”, menyimpulkan  bahwa  pada  dasarnya  perkawinan  telah  diatur  oleh  negara  tetapi  pelaksanaan  berkaitan  dengan  aspek-aspek  hukum  agama,  diserahkan  kepada  masing-masing  individu  untuk  mengikuti  atau  menafsirkan  karena  perkawinan  menurut  hakikatnya  merupakan  persoalan  yang  masuk  dalam  ranah  privat  bukan  publik.  Sedangkan  perkawinan  beda  agama  yang  dilangsukan  di  luar  negeri   dilakukan  karena  ada  halangan  perkawinandi  Indonesia.Apabila  ada  konsistensi  dengan  sistem  hukum  yang  ada  secara  esensial,  perkawinan  tersebut  dapat  dikatakan  tidak  mempunyai  validasi  material  (Lex  Loci  Celebration)   meskipun  telah  memenuhi  validasi  formal  (Lex regit actum) menurut Hukum Perdata Internasional.
Dari uraian diatas penulis tertarik melakukan kajian  yang mendalam  terhadap pelaksanaan perkawinan beda agama antar Warga Negara  Indonesia di  luar  negeri  terkait  dengan  keabsahannya  berdasarkan  Undang-Undang  Perkawinan  berkaitan  dengan  tindakan  penghindaran  hukum  yang  dapat  disebut  sebagai  penyelundupan  hukum  yang  dapat  mengkibatkan  batalnya  perkawinan  yang  di  laksanakan  di  luar  negeri  tersebut  berdasarkan  normanorma Hukum Perdata Internasional.
B.  Perumusan Masalah.
Berdasarkan  latar  belakang  masalah  telah  diuraikan  diatas,  maka,  rumusan masalah akan dibahas yaitu:.
1.  Apakah  perkawinan  beda  agama  antar  Warga  Negara  Indonesia  di  luar  negeri  sah  menurut  Undang-undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan? .
2.  Apakah  perkawinan  beda  agama  antar  Warga  Negara  Indonesia  di  luar  negeri  merupakan  bentuk  penyelundupan  hukum  dalam  perspektif  Hukum Perdata Internasional?.
C.  Tujuan Penulisan.
Tujuan suatu penulisan ialah upaya untuk memecahkan masalah (Lexy  J. Moleong, 2007:94)  yang menjadi tujuan dari penulisan hukum ini adalah  sebagai berikut:.
1.  Tujuan Objektif.
a.  Mengetahui  keabsahan  perkawinan  beda  agama  antar  Warga  Negara  Indonesia  di  luar  negeri  menurut  Undang-undang  Nomor  1  Tahun  1974 tentang Perkawinan.
b.  Mengetahui  kebenaran  pelaksanaan  perkawinan  beda  agama  antar  Warga  Negara  Indonesia  di  luar  negeri  merupakan  bentuk  penyelundupan hukum dalam perspektif Hukum Perdata Internasional.
2.  Tujuan Subjektif.
a.  Memenuhi  persyaratan  akademis  guna  memperoleh  gelar  starta  1  (Sarjana) dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas  Sebelas Maret Surakarta (UNS).
b.  Menerapkan  ilmu  dan  teori-teori  hukum  yang  telah  penulis  peroleh  agar dapat dapat memberi manfaat bagi penulis dan masyarakat pada  umumnya  serta  memberi  kontribusi  positif  bagi  perkembangan  ilmu  pengetahuan di bidang hukum.
c.  Memperdalam  pengetahuan,  pengalaman,  dan  pemahaman  aspek  hukum  didalam  teori  dan  praktek  menulis,  khususnya  dalam  bidang  Hukum Perdata.

 Skripsi Hukum: Perkawinan Beda Agama Antar Warga Negara Indonesia Di Luar Negeri Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perdata Internasional

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi