Senin, 08 Desember 2014

Skripsi Hukum: Sinkronisasi Hak-Hak Anak Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Sinkronisasi Hak-Hak Anak Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Negara  Indonesia  merupakan  negara  hukum  yang  menjamin  tiap-tiap  warga negaranya  termasuk perlindungan terhadap anak  yang merupakan hak  asasi manusia. Sebagai negara yang berdaulat dan memiliki landasan  hukum, hal  ini  sesuai  dengan  Konsideran  dalam  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2002 tentang Perlindungan Anak, maka jaminan terhadap kesejahteraan rakyat  harus  diwujudkan  kepada  seluruh  masyarakat  termasuk  terhadap  anak-anak  tanpa  ada  perbedaan,  karena  anak  adalah  amanah  dan  karunia  Tuhan  Yang  Maha Esa  yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia  seutuhnya.

Kelangsungan  hidup  suatu  bangsa  menjadi  besar  atau  terpuruknya  suatu  bangsa  tergantung  bagaimana  bangsa  itu  mempersiapkan  anak-anak  sebagai  generasi  pengganti  yang  akan  terus  mempertahankan,  berkarya  dan  memperjuangkan  hingga  tercapai  cita-cita  bangsa  tersebut.  Anak  di  muka  bumi  mempresentasikan  restu,  potensi,  harkat,  martabat  dan  tujuan  Tuhan  Yang Maha Esa yang terintegrasi dalam diri anak  sebagai manusia seutuhnya, yang harus dihargai oleh semua orang  dan didukung oleh semua  agama yang  melarang keras adanya pembunuhan terhadap sesama manusia,  maka seorang  anak  yang dilahirkan dengan potensi-potensi luar biasa di dalam dirinya  harus  dilindungi.  Konsekuensi  logisnya,  anak-anak  sebagai  aset  masa  depan  suatu  bangsa  harus  mendapat  perlindungan  hukum  dan  kesempatan  mengembangkan  diri  agar  semua  potensi  mereka  dapat  ditingkatkan  untuk  berkarya bagi bangsa.
Dalam  Mukadimah  Konvensi  Anak  yang  disetujui  oleh  Majelis  Umum  Perserikatan  Bangsa-Bangsa  pada  tanggal  20  November  1989  mengatakan, ”Menyadari  bahwa  perserikatan  bangsa-bangsa  dalam  deklarasi  universal  mengenai Hak-Hak  Asasi Manusia telah memproklamasikan dan menyetujui    bahwa setiap orang berhak atas  semua hak dan kebebasan yang dinyatakan di  dalamnya  tanpa  perbedaan  apapun,  seperti  ras,  warna  kulit,  jenis  kelamin,  bahasa, agama, pandangan politik atau pendapat lain, asal kebangsaan, sosial,  harta  kekayaan,  kelahiran  atau  kedudukan  lain”,  artinya  adalah  semua  orang  dari  bangsa,  kelas,  warna  kulit,  atau  anak  berhak  untuk  mendapat  perlakuan  baik atau dihargai hak-haknya.
Jauh sebelum Konvensi dan Deklarasi Perserikatan  Bangsa-Bangsa (PBB) tentang  hak  asasi  manusia,  para  pendiri  bangsa  Indonesia  telah  meletakkan  dasar hukum sebagai jaminan atas hak-hak asasi manusia khususnya hak-hak  anak.  Menurut  ketentuan  Pasal  34  Undang-Undang  Dasar  1945  dinyatakan  bahwa  “Fakir  miskin  dan  anak-anak  terlantar  dipelihara  oleh  Negara”,  ini  berarti  pendiri  bangsa  sudah  mengetahui  persoalan  yang  akan  timbul  dan  memberikan  jaminan  bagi  semua  anak  Indonesia  untuk  mendapat  pemeliharaan dari negara.
Untuk  meneguhkan  amanat  para  pendiri  bangsa  tentang  hak  anak,  maka  Presiden  Republik  Indonesia  bersama-sama  Dewan  Perwakilan  Rakyat Republik  Indonesia  (DPR  RI)  memutuskan  untuk  mengeluarkan  beberapa  undang-undang  sebagai landasan hukum sebagai berikut: 1.  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Undang-Undang  tersebut  menetapkan  batas  umur  anak  adalah  seseorang  yang  belum  mencapai  usia  21  (dua  puluh  satu)  tahun  dan  hak-hak  anak  antara  lain  :  anak  berhak  atas  kesejahteraan,  perawatan,  asuhan  dan  bimbingan  berdasarkan  kasih  sayang  baik  dalam  keluarganya  maupun  di dalam asuhan khusus. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan  kemampuan dan kehidupan sosialnya. Anak berhak atas pemeliharaan dan  perlindungan  semasa  dikandungan  maupun  di  luar  kandungan,  anak  berhak  atas  lingkungan  yang  aman  dan  kondusif  untuk  pertumbuhannya  dan  pihak-pihak  yang  berkewajiban  mengusahakan  kesejahteraan  anak  Indonesia.
  2.  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Untuk  menjamin  dan  melindungi  hak-hak  anak  agar  dapat  hidup,  bertumbuh  dan  berkembang  secara  optimal  serta  mendapat  perlindungan  dari kekerasan maupun diskriminasi.
Kedua undang-undang  ini  secara umum  mengatur bagaimana memberikan  perlindungan kepada setiap anak agar hidup sejahtera,  serasi  dan seimbang di tengah masyarakat dengan memberikan harkat dan martabat sesuai dengan hak  anak  yang  seharusnya  diperoleh.  Terlepas  disadari  atau  tidak,  potret  utuh  tentang  realitas anak yang ada di Indonesia sekarang ini  ternyata belum sesuai  dengan peraturan dalam  undang-undang, kenyataannya anak-anak masih terus  tereksploitasi.
Before  the  spread  of  nongovernmental  child-protection  societies  beginning in 1875, intervention to protect children was sporadic, but interven-  tion  occurred.  (John E.B. Myers, A Short History of Child Protection in America,  2009 : 451).  Intinya,  intervensi untuk melindungi anak-anak dilakukan secara  sporadis, tetapi intervensi terjadi.
Ada banyak kasus tentang pelanggaran hak atas anak, misalnya pernikahan  dini,  minimnya  pendidikan,  perdagangan  anak,  penganiayaan  anak  dan  mempekerjakan  anak  di  bawah  umur.  Contoh  kasus  pernikahan  dini  adalah  perkawinan  yang dilakukan oleh Syekh Puji  dengan Lutfiana Ulfa (12 tahun).
Seharusnya  di  umur  12  tahun  adalah  masa  untuk  tumbuh,  berkembang,  bersosialisasi,  belajar, menikmati masa anak-anak dan bermain  sesuai  dengan  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002  tentang  Perlindungan Anak.  Contoh  kasus  minimnya  pendidikan  adalah  wajib  belajar  bagi  anak-anak  seharusnya  12 tahun  akan  tetapi pada kenyataannya hanya  6-9 tahun saja,  karena tidak  terdapat  bantuan  dari  pemerintah  yang  dijanjikan.  Contoh  kasus  mempekerjakan anak di bawah umur,  salah satunya adalah  lebih dari 10.000  anak  bekerja  di  Sumatera  Utara  sebagai  buruh  anak  di  pabrik  sebagai  penyokong akumulasi kapital, dan sebagai anak jalanan,  yang mana usia anakanak  10-15  tahun  seharusnya  masih  mengenyam  bangku  sekolah  sesuai  dengan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Contoh kasus    kekerasan pada anak  menurut data dari Komisi  Perlindungan  Anak  Indonesia  (KPAI), sepanjang tahun 2001 terdapat 2.275 kasus kekerasan terhadap anak,  tahun  2012  terdapat  3.871,  tahun  2013  bulan  Januari-Pebruari  terdapat  919  kasus anak, yang kebanyakan justru dilakukan oleh orang tua terhadap anak,  dan guru terhadap  siswa  (http://www.kabar24.com/index.php/kekerasan-padaanak-di-indonesia-cende rung -meningkat/. Akses tanggal 21 Mei 2013).
Sebelumya  berdasarkan  Keputusan  Presiden  Republik  Indonesia  Nomor  44 Tahun 1984  tentang  Hari Anak Nasional, telah menetapkan bahwa setiap  tanggal  23  Juli  diperingati  sebagai  Hari  Anak  Nasional  (HAN).  Sejak  tahun  1986  sampai  sekarang  peringatan  Hari  Anak  Nasional  (HAN)  ini  diselenggarakan tiap tahun. Peringatan Hari  Anak  Nasional (HAN)  dimaknai  sebagai  kepedulian  seluruh  bangsa  Indonesia  terhadap  perlindungan  dan  pemenuhan  hak-hak  anak  untuk  sehat,  tumbuh  dan  berkembang  secara  sejahtera agar terbentuk generasi penerus yang tangguh, kreatif, jujur, cerdas,  berprestasi,  serta  berakhlak  mulia.  Hari  Anak  Nasional  (HAN)  pada  hakekatnya merupakan momentum yang penting untuk menggugah kepedulian  maupun  partisipasi  seluruh  rakyat  Indonesia  dalam  menghormati,  menjamin  dan memenuhi hak-hak anak yang menjadi bagian Hak Asasi Manusia (HAM) (www.infodokterku.com/index.php?option=com_contenteandview=article&id =134:peringatan-hari-anak-nasional-han-tahun2011&catid=28:healthnews& Itemid=28. Akses tanggal 3 Pebruari 2013).
Sejak  tahun  2005  Pemerintah  Indonesia  melalui  Menteri  Negara  Pemberdayaan  Perempuan  telah  mencanangkan  lima  kota,  yaitu  kota Surakarta, Jambi, Gorontalo, Sidoarjo, serta Kutai Kertanegara  sebagai  Kota  Layak Anak (KLA). Kota Layak Anak (KLA) merupakan kota yang menjamin  hak setiap anak sebagai warga kota.  Kota-kota tersebut dipilih menjadi  Kota  Layak  Anak  (KLA)  karena  memiliki  aturan  daerah  yang  peduli  terhadap  kesejahteraan  anak  serta  tumbuh  kembangnya  anak  dengan  membebaskan  biaya  pembuatan  akta  kelahiran  dan  biaya  pendidikan  sekolah;  melindungi  anak-anak dari eksploitasi seksual dan ekonomi; serta perencanaan kota yang  layak  anak  dengan  konsep  adanya  penyediaan  ruang  hijau  untuk  taman  dan    hewan, hidup di lingkungan bebas polusi, seperti taman,  tempat bermain, dan  sebagainya (Rika Saraswati, 2009 : 155).
Dalam  mewujudkan  Kota  Layak  Anak  (KLA),  pemerintah  daerah/kota  berperan  penting  dalam  merealisasikan  konvensi  hak  anak  dan  konsep  kota  layak  anak,  yang  dapat  diwujudkan  melalui  suatu  kemitraan  yang  seluasluasnya  dengan  melibatkan  sektor  swasta,  tokoh  masyarakat,  tokoh  adat,  pemerintah  kota  dari  masing-masing  departemen  atau  sektor,  lembaga  non pemerintah,  dan  masyarakat  sipil.  Selain  itu  hak  anak  juga  harus  diketahui,  dipelajari,  diterima  dan  dihargai  serta  dilaksanakan,  diorganisasi,  dimonitor yang  akhirnya  ada  pastisipasi  dan  gerakan  untuk  perubahan.  Konsep  Kota  Layak  Anak  (KLA)  menurut  United  Nations  International  Children’s  Emergency  Fund  (UNICEF)  adalah  kota  yang  menjamin  hak  setiap  anak  sebagai warga kota dan keputusannya bisa ikut mempengaruhi kebijakan yang diambil di kotanya  (Rika Saraswati, 2009 : 161-162).
Untuk  meningkatkan  efektivitas  penyelenggaraan  perlindungan  anak  di  Indonesia terdapat lembaga independent yang kedudukannya s etingkat dengan  komisi  negara yang dibentuk berdasarkan amanat Keputusan Presiden Nomor 77  Tahun  2003  dan  Pasal  74  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2002  yaitu  Komisi  Perlindungan  Anak  Indonesia  (KPAI).  Lembaga  ini  tidak  boleh  dipengaruhi oleh siapa dan dari  mana serta kepentingan apapun, kecuali satu  yaitu “Demi Kepentingan Terbaik bagi Anak”. Lembaga ini bertujuan untuk  membantu  memantau,  memajukan  dan  melindungi  hak  anak  serta  mencegah  berbagai  kemungkinan  pelanggaran  hak  anak  yang  dilakukan  oleh  negara,  perorangan  atau  lembaga.  (www.gugustugastrafficking.org/index.php?option  =com_content&view=article&id=1491:kpai&catid=197:lemabaglayanan&Ite mid=24. Diakses tanggal pada 3 Pebruari 2013).
Undang-Undang Nomor 4 Tahun  1979  tentang  Kesejahteraan Anak pada  Bab II Pasal 2 mengatur hak-hak anak atas kesejahteraan  yang meliputi antara  lain  hak-hak  atas  kesejahteraan,  perawatan,  asuhan  dan  bimbingan  serta  berbagai hak atas perlindungan hukum  yang kesemuanya merupakan hak-hak  yang dimiliki setiap anak untuk hidup layak dan sejahtera. Sekalipun tidak ada    undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai hak orang tua dalam  memberikan nasehat demi mencapai kesejahteraan anak-anak, orang tua tetap  berperan penting dalam memberikan kesejahteraan bagi anak  (Jennifer Hoult,  J.D, 2006 : 1).  Because young children  under six years of age are especially  vulnerable,  it  is  particularly  important  to  prevent  separation  from  their  primary  caretaker  and,  in  cases  of  separation,  to  trace  their  families  and  reunify  them  with  their  primary  caretaker  or  other  responsible  adults  (Michael  Wessells  &  Anne  Edgerton,  “Concepts  and  Practices  to  Support  War-Affected  Children”,  hal.  8).  Intinya,  anak-anak  di  bawah  usia  6  tahun  sangat  penting  untuk  dicegah  terjadinya  pemisahan,  dalam  kasus  pemisahan harus  dilacak  keluarga  mereka  dan  menyatukannya  kembali  untuk  dapat  bertanggung jawab.
Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2002  tentang  Perlindungan  Anak  mengatur  hak-hak  anak  untuk  mendapatkan  perlindungan  untuk  menjamin  terpenuhinya  hak-hak  anak  agar  dapat  hidup,  tumbuh,  berkembang  dan  berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan  serta  mendapat  perlindungan  dari  kekerasan  dan  diskriminasi  (Pasal  3  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).
Sesungguhnya  hak-hak  anak  yang  telah  diatur  dalam  kedua  peraturan perundang-undangan  dan  siapa  saja  pihak-pihak  yang  harus  melaksanakan  hak-hak  anak  tersebut  menjadi  pertanyaan  besar,  berdasarkan  uraian  di  atas,  penulis  hendak  mengkaji  lebih  dalam  tentang  sinkronisasi  antara  2  (dua)  peraturan perundang-undangan, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979  tentang  Kesejahteraan  Anak  dan  Undang-Undang  Nomor   23  Tahun    2002  tentang  Perlindungan  Anak  dalam  sebuah  penulisan  hukum  (skripsi)  yang  berjudul  “  SINKRONISASI  HAK-HAK  ANAK  MENURUT  UNDANGUNDANG  NOMOR  4  TAHUN  1979  TENTANG  KESEJAHTERAAN  ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK”.
  B.  Pembatasan Permasalahan.
Banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur  tentang  anak, yaitu  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979  tentang  Kesejahteraan Anak, UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002  tentang  Perlindungan Anak, Undang-Undang  Nomor  3  Tahun  1997  tentang  Pengadilan  Anak.  Dalam  penulisan  hukum  (skripsi)  ini  penulis  membatasi permasalahan mengenai  “hak-hak  anak”  yang  diatur  dalam  Undang-Undang  Nomor  4  Tahun  1979  tentang  Kesejahteraan  Anak  dan  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2002  tentang  Perlindungan  Anak, yang membahas hak-hak anak dan agar pembahasan tidak meluas, tetap  fokus  pada  permasalahan  serta  agar  tidak  menimbulkan  penafsiran  lain.
Sedangkan  menurut  Undang-Undang  Nomor  3  Tahun  1997  tentang Pengadilan  Anak  dalam  penulisan  hukum  (skripsi)  ini  tidak  dibahas,  karena  lebih mengatur mengenai anak nakal, anak yang melakukan tindak pidana dan  proses persidangan anak.
C.  Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis merumuskan masalah  yang  diteliti  secara  lebih  rinci.  Adapun  permasalahan  yang  dikaji  dalam  penulisan hukum (skripsi) ini adalah :.
1.  Apakah  hak-hak anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak sinkron dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 200tentang Perlindungan Anak?.
2.  Siapa saja pihak yang bertanggung  jawab dalam pelaksanaan pemenuhan hakhak anak dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang  Kesejahteraan  Anak  dan  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2002  tentang  Perlindungan  Anak?.

  Skripsi Hukum: Sinkronisasi Hak-Hak Anak Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi