Jumat, 05 Desember 2014

Skripsi Hukum: Tinjauan pemilihan kepala daerah yang bersih

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Tinjauan pemilihan kepala daerah yang bersih
Indonesia merupakan Negara kepulauan dimana terdapat kurang lebih 13.000  pulau  yang  tersebar  di  seantero  nusantara.  Suku  dan  budaya  di  Indonesia  pun  sangatlah beragam pula. Keanekaragaman suku dan budaya Indonesia ini terpecah ke  dalam 33 provinsi dan 497 kabupaten/kota. Sungguh luas dan kaya Negara ini.

Terbaginya  Indonesia  ke  dalam  33  provinsi  dan  497  kabupaten/kota  ini  menimbulkan  konsekuensi  yang  logis  akan  pembagian  wewenang  dalam  pemerintahaan. Pembagian wewenang dalam pemerintahan terbagi menjadi 2, yaitu  pemerintahan  pusat  dan  pemerintahan  daerah.  Pembagian  ini  didasarkan  pada  asas  otonomi daerah yang diarahkan untuk dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan  masyarakat  melalui  peningkatan  pelayanan,  pemberdayaan  dan  peran  serta  masyarakat dalam pembangunan daerahnya masing-masing. Prinsip ini memberikan  kewenangan daerah seluas-luasnya untuk dapat mengeksplorasi potensi-potensi yang  dimiliki  daerahnya  masing-masing.  Daerah  juga  diberikan  kewenangan  untuk  mengurus  dan  mengatur  semua  urusan  pemerintahan  diluar  yang  menjadi  urusan  pemerintahan yang ditetapkan dalam undang-undang.
Selain  pemberian  wewenang  dalam  mengatur  dan  mengelola  daerahnya  sendiri, daerah juga diberi wewenang untuk menentukan dan memilih pemimpinnya  sendiri.  Ini  dimaksudkan  agar  daerah  dipimpin  oleh  putra-putri  daerah  yang  mengetahui dan paham akan potensi-potensi yang dimiliki oleh daerahnya. Sehingga,  ketika  pemerintah  daerah  mengeluarkan  suatu  kebijakan,  harapannya  adalah  kebijakan tersebut tepat guna bagi masyarakat daerah tersebut.
Inilah  yang  disebut  desentralisasi,  dimana  ada  penyerahan  wewenang  pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus  urusan  pemerintahan  dalam  sistem  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  (pasal  1  ayat  (7)  Undang-Undang  No.  32  Tahun  2004).  Desentralisasi  diterapkan  didalam    tatanan  pemerintahan  di  Indonesia  dengan  harapan  agar  terjadi  pemerataan  kesejahteraan masyarakat di daerah.
Proses  PEMILUKADA  (Pemilihan  Umum  Kepala  Daerah)  dilakukan  oleh  KPU  Provinsi  dan  Kabupaten/Kota.  Proses  PEMILUKADA  ini  diatur  lebih  lanjut  dalam  Undang-Undang  32  Tahun  2004  tentang  Pemerintahan  Daerah  jo  UndangUndang No 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No 32 Tahun  2004  Tentang  Pemerintahan  Daerah.  Tiap-tiap  calon  kepala  daerah  diusulkan  oleh  partai  politik,  gabungan  partai  politik,  atau  perseorangan  yang  didukung  oleh  sejumlah orang yang  memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam UndangUndang.
PEMILUKADA  Gubernur  adalah  suatu  proses  tahapan  pemilihan  kepala  daerah di tingkat provinsi. Rakyat memilih pasangan calon yang diusung oleh partai  poitik  atau  perseorangan  untuk  menjadi  Gubernur  dan  Wakil  Gubernur  di  provinsinya.  Proses  pemilihan  ini  diselenggarakan  oleh  KPU  Provinsi  dengan  memerhatikan  pedoman  dari  KPU.  Mekanisme  pemilihan  gubernur  dan  wakil  gubernur  ini  pun  telah  diatur  dalam  Undang-Undang  No  32  Tahun  2004  Tentang  Pemerintahan Daerah jo Undang-undang No 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas  Undang-undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Dewasa  ini  pemilihan  kepala  daerah  di  tingkat  provinsi  ini  memunculkan  beberapa  pertanyaan.  Melihat  kondisi  riil  saat  ini,  gubernur  memiliki  2  wewenang  yaitu selain sebagai kepala daerah juga sebagai kepala administrasi. Terkait sebagai  kepala daerah di tingkat provinsi, gubernur sangat minim peranannya dalam upaya  peningkatan potensi daerah. Kerangka otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia  telah  memberikan  kewenangan  yang  seluas-luasnya  terhadap  kepala  daerah  dalam  hal  ini  bupati  dan  walikota  untuk  dapat  mengelola  daerahnya  masing-masing  guna  pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Pemilihan  gubernur  langsung  oleh  rakyat  membutuhkan  biaya  yang  tidak  sedikit. Kita lihat saja biaya pilkada Jawa Timur Desember 2008 misalnya, menelan    Rp  830  milyar.  Pemilihan  Gubernur  Sumbar  2005  yang  berpenduduk  8%  dari  penduduk Jawa Timur, menghabiskan Rp 24 milyar. Pemilihan Gubernur Sumbar  2010 diperkirakan sekitar Rp 110 milyar (http://kerjasamarantau.sumbarprov.go.id).
Sementara  biaya  untuk  pemilihan  gubernur  DKI  Jakarta  sendiri  menelan  biaya  mencapai  Rp  254  milyar  (http://megapolitan.kompas.com).  Hal  tersebut  kuranglah  efisien, melihat kondisi bangsa ini yang sedang mengalami krisis dan melihat kondisi  ekonomi  masyarakat  Indonesia  masih  cukup  memprihatinkan.  Anggaran  tersebut  alangkah  baiknya  jika  digunakan  untuk  menjalankan  program-program  pemerintah  dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Pemilukada  gubernur  pastilah  berpotensi  menimbulkan  konflik.  Tidak  dipungkiri  jika  konflik  pasti  akan  mengiringi  demokrasi  dalam  pemilihan  kepala  daerah.  Adanya  konflik  tentu  bukan  untuk  diperbesar  atau  sebaliknya  dihilangkan  sama  sekali,  tapi  justru  yang  paling  penting  konflik  perlu  dikelola  dengan  baik.
Konflik  yang  biasa  muncul  mengiringi  pemilihan  kepala  daerah  dibagi  menjadi  2  kategori,  konflik  horizontal  dan  konflik  vertikal.  Konflik  horizontal  adalah  konflik  diantara  pasangan  kandidat,  sedangkan  konflik  vertikal  berarti  konflik  antara  kandidat  dengan  KPU  sebagai  lembaga  penyelenggara  pilkada.  Konflik  horizontal  yang melibatkan antar pasangan cagub/cawagub ini terkait dengan persaingan secara  tidak sehat antar pasangan cagub/cawagub dalam usahanya untuk merebut perhatian  dan  mencari  pendukung  guna  menduduki  jabtan  no  1  di  tingkat  provinsi.  Peta  persaingan yang ketat antar pasangan cagub/cawagub memunculkan adanya indikasiindikasi  praktik  kecurangan  dalam  persaingan  (black  campaign).  Konflik  vertikal  contohnya ketidakpuasan salah satu pasangan cagub/cawagub terhadap KPU terkait  daftar pemilih tetap (DPT) dan konflik sengketa hasil penghitugan suara.
Biaya  dalam  pemilukada  gubernur  selain  biaya  untuk  menyelenggarakan  hajatan  provinsi,  juga  ada  pula  biaya  modal  yang  digunakan  masing-masing  calon  pasangan  gubernur  dan  wakil  gubernur  untuk  mempromosikan  dirinya  kepada  masyarakat  atau  sebagai  modal  kampanye.  Anggaran  yang  keluar  untuk  proses    kampanye  ini  cukuplah  besar.  Kita  ambil  contoh  pemilihan  gubernur  Jawa  Timur.
pasangan calon Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa), yang mulai mempublikasikan diri  sejak sebelum pilgub Jatim bergulir, telah menghabiskan biaya  sekitar Rp 1,3 triliun.
Pasangan Khofifah-Mudjiono (Kaji) juga tidak berbeda. Pada 2 Juli lalu, uang Rp 1  miliar  disumbangkan  pasangan  itu  sebagai  dana  abadi  kepada  Pengurus  Wilayah  Nahdlatul Ulama (PW NU) Jatim. Pasangan Achmady-Soehartono (Achsan) dalam diskusi  Publik  Bicara  di  Surabaya,  Kamis  pekan  lalu,  mengatakan,  tim  ini  akan  mengutamakan hal yang lebih substansial ketimbang sosialisasi dan kampanye yang  menghabiskan  uang  banyak.  Namun,  dalam  proposal  pencarian  biaya  politik  untuk  pemenangan pasangan  calon kepala daerah itu tertulis anggaran yang diperlukan Rp  709  miliar.  Hal  ini  sangat  sulit  dipantau  oleh  KPU  karena  pelaporan  penggunaan  dana  kampanye  wajib  dilaporkan  selambat-lambatnya  3  (tiga)  hari (http://andichairilfurqan.wordpress.com).  Munculnya  biaya-biaya  yang  besar  itu  karena dalam pembiayaan pemilukada tidak hanya untuk kampanye saja, melainkan  juga untuk tim sukses dan tim kampanye, bahkan indikasi kecurangan berupa  money  politic  pun juga. Padahal jika dihitung secara cermat, gaji seorang gubernur selama  satu  periode  tidak  akan  cukup  untuk  bisa  mengembalikan  modal  kampanye  pemilukada.
Pemilihan  gubernur  langsung  oleh  rakyat  saat  ini  memang  masih  menjadi  solusi yang terbaik untuk digunakan dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia.
Namun  satu  hal  yang  perlu  dicermati,  bahwa  pemilihan  gubernur  langsung  oleh  rakyat ini juga memiliki problematika. Walaupun problem yang muncul tidak begitu  besar,  namun  cukup  mempengaruhi  kebijakan  yang  dikeluarkan  oleh  pemerintah  pusat.
Berangkat  dari  permasalahan  tersebut  diatas,  maka  penulis  mengangkat  permasalahan  tersebut  dan  menuangkannya  dalam  penulisan  hukum  dengan  judul  “Tinjauan  Pemilihan  Kepala  Daerah  Yang  Bersih  (Studi  Terhadap  Pemilihan  Gubernur DKI Jakarta)”.
  B.  Rumusan Masalah.
Rumusan masalah diperlukan guna menegaskan masalah-masalah yang akan  diteliti,  sehingga  memudahkan  pengerjaannya  serta  dapat  mencapai  sasaran  yang  diinginkan.  Berdasarkan  uraian  dalam  latar  belakang  penulisan  hukum  ini,  maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :.
1.  Apakah pelaksanaan Pemilukada di DKI Jakarta sudah mencerminkan  PEMILU yang bersih?.
2.  Apa saja hambatan yang terjadi selama penyelenggaraan Pemilukada di  DKI Jakarta?.
C.  Tujuan Penelitian.
Tujuan penelitian pada hakikatnya adalah penelitian merupakan bagian pokok  ilmu  pengetahuan  yang  bertujuan  untuk  lebih  mendalami  segala  segi  kehidupan.
Penelitian  juga  merupakan  sarana  untuk  mengembangkan  ilmu  pengetahuan  baik  segi teoritis maupun praktek (Soerjono Soekanto, 1984 : 3).
Demikian  pula  penulis  dalam  melakukan  penelitian  ini  mempunyai  tujuan  tertentu  yang  ingin  dicapai,  baik  tujuan  obyektif  maupuan  tujuan  subyektif  bagi  kepentingan penulis sendiri. Tujuan penulis dalam penelitian ini adalah : 1.  Tujuan Obyektif.
a.  Untuk  mengetahui  kesesuaian  pemilihan  umum  kepala  daerah  (Gubernur  dan  Wakil  Gubernur)  DKI  Jakarta  dengan  aturan  pemilu  yang berlaku.
b.  Untuk  mengetahui  hambatan  yang  terjadi  selama  penyelenggaraan  pemilukada dan solusi yang diberikan untuk penyelesaiannya.
2.  Tujuan Subjektif.
a.  Untuk  menambah  dan  mengembangkan  pengetahuan  penulis  dalam  bidang hukum khususnya Hukum Tata Negara.
  b.  Untuk  melengkapi  syarat  akademis  mencapai  jenjang  kesarjanaan  Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
c.  Menerapkan  ilmu  dan  teori-teori  hukum  yang  telah  penulis  peroleh  agar bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada  umumnya.
D.  Manfaat Penelitian.
Suatu  penelitian  akan  mempunyai  nilai  apabila  penelitian  tersebut  memberi  manfaat bagi para pihak. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :.
1.  Manfaat Teoritis.
a.  Hasil  penelitian  ini  diharapkan  dapat  memberikan  sumbangan  pemikiran  bagi  pengembangan  disiplin  ilmu  hukum  pada  umumnya  dan hukum tata negara pada khususnya;.
b.  Hasil  penelitian  ini  diharapkan  dapat  memperkaya  referensi  dan  literatur  dalam  dunia  kepustakaan  tentang  pemilihan  umum  kepala  daerah yang bersih;.
c.  Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai acuan terhadap  pengkajian  dan  penulisan  karya  ilmiah  sejenis  untuk  tahapan  selanjutnya.
2.  Manfaat Praktis a.  Hasil  penelitian  ini  mampu  memberikan  sumbangan  pemikiran  tentang pemilihan umum kepala daerah khususnya di tingkat provinsi.
b.  Hasil penelitian ini mampu memberikan gambaran tentang pemiluhan  umum kepala daerah yang bersih.

 Skripsi Hukum: Tinjauan pemilihan kepala daerah yang bersih

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi