Senin, 08 Desember 2014

Skripsi Hukum: Tinjauan Tentang Sistem Pembuktian Terbalik (Reversal Burden Of Proof) Pada Pembebasan Dakwaan Primair Terdakwa

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Tinjauan Tentang Sistem Pembuktian Terbalik (Reversal Burden Of Proof) Pada Pembebasan Dakwaan Primair Terdakwa
Korupsi  menjadi  penyakit  yang  membebani  negara-negara  berkembang,  termasuk  Indonesia.  Perkembangan  korupsi  di  Indonesia  menurut  Transparancy  International  pada  tahun  2012  Indonesia  menduduki  peringkat  ke  118  seluruh  dunia  dengan  index  prestasi  korupsi  32.  Mencermati  kondisi  dari  index  prestasi  Indonesia  yang  menjadi  negara  terkorupsi  nomor  118  sedunia  maka  menjadi  keprihatinan  yang  harus  dicamkan.  Ketika  korupsi  dibiarkan  maka  hal  ini  tidak  hanya  merusak  sendi-sendi  kebangsaan  tetapi  nilai  moralitas  akan  ikut  tergerus  perlahan-lahan.

Korupsi  dan  kekuasaan  ibarat  dua  sisi  mata  uang.  Korupsi  selalu  mengirin Arsyad Sanusi yaitu guru besar sejarah modern Universitas Cambridge di Inggris  pada  abad  19,  dengan  adagium  yang cenderung  korup  dan  kekuasaan  yang  absolut  cenderung  secara  absolut  (H.M.
Arsyad Sanusi 2009:83).
Perkembangan  dari  follow  the  money  dalam  akses hukum  pada  pembuktian  muncul  pembuktian  terbalik  (Reversal  Burden  of  Proof).  Terdapat  sebuah  konsep  baru  di  bidang  pembuktian  yang  dicermati  pada  undang-undang  beban  penuntut  umum  tetapi  adanya  pembuktian  terbalik  tindak  pidana  korupsi  terutama pada gratifikasi, seakan-akan pembuktiannya dibebankan pada terdakwa.
Konsep  ini  merupakan  isu  hukum  yang  terkini  mengenai  bagaimana  beban  pembuktian itu teralih dari penegak hukum menjadi kepada terdakwa. Apakah hal  demikian  ini  tidak  melanggar  hak  asasi  terdakwa  karena  dituntut  untuk  membuktikan  dan  bukankah  penuntut  umum  adalah  pembuat  dakwaan  dalam   pembuktian.  Apakah  kemudian  akibat  dari  pembuktian  terbalik  akan  berakibat  mutlak pada dakwaan.
Mencermati  beberapa  masalah  tersebut  peneliti  tertarik  dengan  perkara  Nomor  902  K/PID.SUS/2009  dalam  hali  ini   menggambarkan  terdakwa  diduga  melakukan  tindak  pidana  korupsi  berupa  gratifikasi  dengan  menerima  uang  berkaitan  dengan  wewenang  dan  jabatannya. Ternyata  terdakwa dibebaskan dari  dakwaan  primair  dikarenakan  terdakwa  dapat  membuktikan  ia  tidak  melakukan  gratifkasi.  Namun  demikian  pembuktian  terbalik  menekankan  adanya  sebuah  kekuatan  yang  besar  untuk  penegasian  suatu  dakwaan.  Di  sinilah  pentingnya  penelitian ini terus dikaji. Ketika penelitian ini tidak dikaji maka praktek-praktek  hukum tidak akan berjalan dengan baik karena setiap dakwaan yang dibuat dapat  dipatahkan dengan pembuktian yang disusun terdakwa. Setiap kali dugaan korupsi  dilancarkan  maka  akan  ada  cara  yang  dibuat  untuk  menegasikan  dakwaan  tersebut.  Maka  ketika  langkah-langkah  negasikan  bisa  dilakukan  oelh  pelaku  tindak pidana maka penegakan hukum tidak akan tegak di bumi Indonesia.
Sistem  pembuktian  terbalik  ini  telah  diadopsi  oleh  Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999  jo  Undang-Undang  Nomor  20  Tahun  2001,  ketentuan  mengenai pembuktian perkara korupsi terdapat dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a  pembuktian  terbalik  diberlakukan  pada  tindak  pidana  baru  tentang  gratifikasi  (pemberian),  yang  berkaitan  dengan  suap  serta  pada  pasal  38  B.  Pembuktian  terbalik pada dasarnya  asas hukum  tersebut sudah ada dalam Pasal  37 dan Pasal  37  A UU  No.  20  Tahun 2001  Tentang Perubahan  Atas UU  No.  31  Tahun 1999  Tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi,  yang  menyatakan  bahwa  pada  pasal 1 terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa iatidak melakukan  tindak  pidana  korupsi.  Pasal  2  menyatakan  dalam  hal  terdakwa  dapat  membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan  tersebut  dipergunakan  sebagai  hal  yang  menguntungkan  baginya.  Pasal  3  menyatakan  terdakwa  wajib memberikan  keterangan  tentang  seluruh  harta  bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau  korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
 Pasal  4  menyatakan  dalam  hal  terdakwa  tidak  dapat  membuktikan  tentang  kekayaan  yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan  kekayaannya, maka  keterangan tersebut  dapat  digunakan  untuk memperkuat alat  bukti  yang  sudah  ada  bahwa  terdakwa  telah  melakukan  tindak  pidana  korupsi.
Pasal  5  menyatakan  dalam  keadaan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat (1), ayat  (2), ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan  surat dakwaannya.
Pembuktian  kasus  korupsi  baik  di  Indonesia  dan  beberapa  negara  asing  memang  dirasakan  sangat  pelik.Khusus  untuk  Indonesia,  kepelikan  tersebut  di  samping  proses  penegakkannya  juga  dikarenakan  kebijakan  legislasi  pembuatan  UU  yang  produknya  masih  dapat  bersifat  multi  interprestasi,  sehingga  relatif  banyak  ditemukan  beberapa  kelemahan  di  dalamnya.  Salah  satu  contoh  dapat  dikemukakan di sini adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun  2001  tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi.  Dalam  ketentuan  UU  disebutkan tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra  ordinary  crime) sehingga  di  perlukan  tindakan  yang  luar  biasa  pula  (extra  ordinary measures) (UPN Veteran Jatim:2010).
Perlu  digarisbawahi,  pembalikan  beban  pembuktian  diberlakukan  pada  proses pengadilan, bukan di tahapan penyidikan  ataupun penuntutan. Karena itu,  penyidik  ataupun  penuntut  umum  harus  profesional  dalam  memproses  dan  diduga melakukan korupsi, termasuk pula dalam proses penyitaan harta kekayaan  tersangka. Karena itu pula, penerapan pembuktian terbalik akan efektif bila aparat  penegak  hukum,  baik  kepolisian,  kejaksaan,  KPK,  maupun  hakim,  benar-benar  bersih, berwibawa, dan profesional.
Tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan menerapkan kebenarankebenaran  yang  ada  dalam  perkara,  bukan  semata-mata  mencari  kesalahan,  walaupun  dalam  praktiknya  kepastian  absolute  tidak  akan  tercapai.  Pembuktian  sebagai suatu kegiatan adalah usaha membuktikan sesuatu melalui alat-alat bukti   yang  dipergunakan  dengan  cara  tertentu  untuk  menyatakan  apakah  yang  dibuktikan  itu  terbukti  atau  tidak  menurut  undang-undang,  pemnuktian  dilaksanakan  secara  bersama-sama  oleh  hakim,  Jaksa  Penuntut  Umum  dan  Tersangka yang dapat didampingi penasehat hukum.
Permasalahan  yang  cukup  menarik  bagi  penulis  adalah  pembuktian  terbalik  yang  dilakukan  oleh  terdakwa  sehingga  terdakwa  dibebaskan  dari  dakwaan primair. Kasus ini menarik oleh penulis yaitu intinya terdakwa H. Adli,  ST.MT  selaku  Plt.  Kasubdin  Cipta  Karya  Dinas  PU  Kabupaten  Kutim  pada  pelaksanaan proyek pembangunan Kampus Stiperdi Sangatta Kutai Timur tahun  2004 telah menerima  hadiah  atau janji padahal  diketahui  atau patut  duga bahwa  hadiah  atau  janji  tersebut  diberikan  karena  kekuasaan  atau  kewenangan  yang  berhubungan  dengan jabatan atau  disebut gratifikasi.  Putusan  Pengadilan Negeri  Sangatta  dan  Putusan  Mahkamah  Agung  menyatakan  bahwa  terdakwa  tidak  bersalah  dan  bebas  dari  dakwaan  primair  karena  terdakwa  telah  melakukan  pembelaan berupa pembuktian terbalik.
Menecrmati isu hukum, urgensi dan ekses yang telah disampaikan di atas peneliti  tertarik  untuk  mengkaji  penelitian  tersebut  pada  sisi  bagaimana  pembuktian  terbalik  sangat  efektif  dalam  peluang  membebaskan  terdakwa  dan  bagaimana jika pertimbangan hakim dalam kasus dimaksud untuk membebaskan  dakwaan  primair  tesebut  dalam  sebuah  penulisan  hukum  yang  berjudul TINJAUAN  TENTANG  SISTEM  PEMBUKTIAN  TERBALIK  (REVERSAL  BURDEN  OF  PROOF)  PADA  PEMBEBASAN  DAKWAAN  PRIMAIR  TERDAKWA  DALAM  TINDAK  PIDANA  KORUPSI  (studi  kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 902 K/PID.SUS/2009).
 B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan pada latar belakang di atas maka perumusan masalah sangat  penting  untuk  memperoleh  gambaran  yang  lebih  jelas  terkait  dengan  masalah  yang akan diteliti, oleh  karena itu dalam penelitian  ini perumusan masalah  yang  diajukan adalah :.
1. Bagaimana Sistem  Pembuktian  Terbalik  (Reversal  Burden  of  Proof) pada  Pembebasan  Dakwaan  Primair Terhadap  Terdakwa   dalam  Tindak Pidana Korupsi Nomor: 902 K/PID.SUS/2009?.
2. Bagaimana  Pertimbangan  Hakim  dalam  Memutus  Bebasnya  Terdakwa   dari  Dakwaan  Primair  pada  Pembuktian  Terbalik  (Reversal Burden of Proof)Kasus Tindak Pidana Korupsi Nomor: 902  K/PID.SUS/2009?.
C. Tujuan Penelitian.
Suatu  kegiatan  selalu  memiliki  tujuan  yang  ingin  dicapai,  dalam  hal  ini  tujuan  dari  penelitian  adalah  hal-hal  yang  hendak  dicapai  oleh  penulis  melalui  penelitian. Melalui penelitian ini yang berhubungan dengan perumusan masalah  yang telah ditetapkan, maka penelitian ini tujuannya adalah :.
1. Tujuan Obyektif.
a. Untuk  mengetahui  bagaimana  mengenai  sistem  pembuktian  terbalik  pada  pembebasan  dakwaan  primair terhadap  terdakwa  dalam tindak pidana korupsi.
b. Untuk  mengetahui  bagaimana  pertimbangan  hakim  dalam  memutus  bebasnya  terdakwa  dari  dakwaan  primair  pada  pembuktian terbalik.
2. Tujuan Subyektif.
a. Untuk menambah pengetahuan  di bidang  Ilmu Hukum  khususnya  yang  berkaitan  dengan  bidang  Hukum  Acara  Pidana,  dengan  harapan dapat bermanfaat dikemudian hari.
 b. Untuk  memberi  gambaran  dan  sumbangan  pemikiran  bagi  Ilmu  Hukum, khususnya dalam Hukum Acara Pidana.
c. Untuk  memenuhi  persyaratan  yang  diwajibkan  bagi  mahasisiwa  dalam  meraih  gelar  kesarjanaan  khususnya  dalam  bidang  Ilmu  Hukum  pada  Fakultas  Hukum  Universitas  Sebelas  Maret  Surakarta.
D. Manfaat Penelitian.
Setiap  penelitian  harus  dipahami  dan  diyakini  manfaatnya  bagi  menyelesaikan masalah  yang diselidikinya.Manfaat penelitian dapat ditinjau dari  dua segi yang saling berkaitan yaitu segi teoritis dan praktis.
Adapun  manfaat  yang  diharapkan  dari  penelitian  yang  penulis  lakukan  adalah sebagai berikut:.
1. Manfaat teoritis.
a. Hasil  penelitian  ini  diharapkan  dapat  memberikan  sumbangan  terhadap  ilmu  pengetahuan  di  bidang  hukum  pada  umumnya  dan  bidang Hukum Acara Pidana pada khususnya.
b. Untuk  mendalami  teori-teori  yang  telah  penulis  peroleh  selama  menjalani strata satu di Fakultas Hukum universitas Sebelas Maret  Surakarta,  serta  memberikan  sumbangan  pemikiran  yang  dapat  dijadikan data sekunder bagi penelitian berikutnya.
c. Merupakan  salah  satu  sarana  bagi  penulis  untuk  mengumpulkan  bahan  hukum  sebagai bahan  penyusunan  skripsi  guna  melengkapi  persyaratan  untuk  mencapai  gelar  kesarjanaan  di  bidang Ilmu  Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Manfaat Praktis.
a. Dengan Penulisan Hukum ini diharapkan dapat meningkatkan dan  mengembangkan  kemampuan  penulis  dalam  bidang  ilmu  hukum  sebagai bekal untuk terjun kedalam masyarakat suatu saat nanti.
b. Dengan  Penulisan  Hukum  ini  diharapkan  mampu  memberikan  suatu  data  dan  informasi  mengenai sistem  pembuktian  terbalik  dalam perkara tindak pidana korupsi.
c. Dengan  Penulisan  Hukum  ini  diharapkan  mampu  menerapkan  bidang  keilmuan  yang  selama  ini  diperoleh  dalam  teori-teori  dengan kenyataannya dalam praktek.

 Skripsi Hukum: Tinjauan Tentang Sistem Pembuktian Terbalik (Reversal Burden Of Proof) Pada Pembebasan Dakwaan Primair Terdakwa

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi