BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Tinjauan Tentang Sistem Pembuktian Terbalik (Reversal Burden Of Proof) Pada Pembebasan Dakwaan Primair Terdakwa
Korupsi menjadi
penyakit yang membebani
negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia. Perkembangan korupsi
di Indonesia menurut
Transparancy International pada
tahun 2012 Indonesia
menduduki peringkat ke
118 seluruh dunia
dengan index prestasi
korupsi 32. Mencermati
kondisi dari index
prestasi Indonesia yang
menjadi negara terkorupsi
nomor 118 sedunia
maka menjadi keprihatinan
yang harus dicamkan.
Ketika korupsi dibiarkan
maka hal ini
tidak hanya merusak
sendi-sendi kebangsaan tetapi
nilai moralitas akan
ikut tergerus perlahan-lahan.
Korupsi dan
kekuasaan ibarat dua
sisi mata uang.
Korupsi selalu mengirin Arsyad Sanusi yaitu guru besar
sejarah modern Universitas Cambridge di Inggris pada
abad 19, dengan
adagium yang cenderung korup
dan kekuasaan yang
absolut cenderung secara
absolut (H.M.
Arsyad Sanusi 2009:83).
Perkembangan dari
follow the money
dalam akses hukum pada pembuktian muncul
pembuktian terbalik (Reversal
Burden of Proof).
Terdapat sebuah konsep
baru di bidang
pembuktian yang dicermati
pada undang-undang beban
penuntut umum tetapi
adanya pembuktian terbalik
tindak pidana korupsi terutama pada gratifikasi, seakan-akan
pembuktiannya dibebankan pada terdakwa.
Konsep ini
merupakan isu hukum
yang terkini mengenai
bagaimana beban pembuktian itu teralih dari penegak hukum
menjadi kepada terdakwa. Apakah hal demikian ini
tidak melanggar hak
asasi terdakwa karena
dituntut untuk membuktikan
dan bukankah penuntut
umum adalah pembuat
dakwaan dalam pembuktian.
Apakah kemudian akibat
dari pembuktian terbalik
akan berakibat mutlak pada dakwaan.
Mencermati beberapa
masalah tersebut peneliti
tertarik dengan perkara Nomor
902 K/PID.SUS/2009 dalam
hali ini menggambarkan terdakwa diduga melakukan tindak
pidana korupsi berupa
gratifikasi dengan menerima
uang berkaitan dengan
wewenang dan jabatannya. Ternyata terdakwa dibebaskan dari dakwaan
primair dikarenakan terdakwa
dapat membuktikan ia
tidak melakukan gratifkasi.
Namun demikian pembuktian
terbalik menekankan adanya
sebuah kekuatan yang
besar untuk penegasian
suatu dakwaan. Di
sinilah pentingnya penelitian ini terus dikaji. Ketika penelitian
ini tidak dikaji maka praktek-praktek hukum
tidak akan berjalan dengan baik karena setiap dakwaan yang dibuat dapat dipatahkan dengan pembuktian yang disusun
terdakwa. Setiap kali dugaan korupsi dilancarkan maka
akan ada cara
yang dibuat untuk
menegasikan dakwaan tersebut.
Maka ketika langkah-langkah negasikan
bisa dilakukan oelh
pelaku tindak pidana maka
penegakan hukum tidak akan tegak di bumi Indonesia.
Sistem pembuktian
terbalik ini telah
diadopsi oleh Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999
jo Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001,
ketentuan mengenai pembuktian
perkara korupsi terdapat dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a pembuktian
terbalik diberlakukan pada
tindak pidana baru
tentang gratifikasi (pemberian),
yang berkaitan dengan
suap serta pada
pasal 38 B.
Pembuktian terbalik pada
dasarnya asas hukum tersebut sudah ada dalam Pasal 37 dan Pasal 37 A
UU No.
20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU
No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang menyatakan
bahwa pada pasal 1 terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa iatidak melakukan tindak pidana
korupsi. Pasal 2
menyatakan dalam hal
terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan
sebagai hal yang
menguntungkan baginya. Pasal
3 menyatakan terdakwa
wajib memberikan keterangan tentang
seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami,
anak dan harta benda setiap orang atau korporasi
yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
Pasal
4 menyatakan dalam
hal terdakwa tidak
dapat membuktikan tentang kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat
digunakan untuk memperkuat alat bukti
yang sudah ada
bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana
korupsi.
Pasal 5
menyatakan dalam keadaan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan surat dakwaannya.
Pembuktian kasus
korupsi baik di
Indonesia dan beberapa
negara asing memang
dirasakan sangat pelik.Khusus
untuk Indonesia, kepelikan
tersebut di samping
proses penegakkannya juga
dikarenakan kebijakan legislasi
pembuatan UU yang
produknya masih dapat
bersifat multi interprestasi, sehingga
relatif banyak ditemukan
beberapa kelemahan di
dalamnya. Salah satu
contoh dapat dikemukakan di sini adalah UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Dalam ketentuan
UU disebutkan tindak pidana
korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary
crime) sehingga di perlukan
tindakan yang luar
biasa pula (extra ordinary measures) (UPN Veteran Jatim:2010).
Perlu digarisbawahi, pembalikan
beban pembuktian diberlakukan
pada proses pengadilan, bukan di
tahapan penyidikan ataupun penuntutan.
Karena itu, penyidik ataupun
penuntut umum harus
profesional dalam memproses
dan diduga melakukan korupsi,
termasuk pula dalam proses penyitaan harta kekayaan tersangka. Karena itu pula, penerapan
pembuktian terbalik akan efektif bila aparat penegak
hukum, baik kepolisian,
kejaksaan, KPK, maupun
hakim, benar-benar bersih, berwibawa, dan profesional.
Tujuan dari pembuktian adalah
untuk mencari dan menerapkan kebenarankebenaran
yang ada dalam
perkara, bukan semata-mata
mencari kesalahan, walaupun
dalam praktiknya kepastian
absolute tidak akan
tercapai. Pembuktian sebagai suatu kegiatan adalah usaha
membuktikan sesuatu melalui alat-alat bukti yang
dipergunakan dengan cara tertentu untuk
menyatakan apakah yang dibuktikan itu
terbukti atau tidak
menurut undang-undang, pemnuktian dilaksanakan
secara bersama-sama oleh
hakim, Jaksa Penuntut
Umum dan Tersangka yang dapat didampingi penasehat
hukum.
Permasalahan yang
cukup menarik bagi
penulis adalah pembuktian terbalik
yang dilakukan oleh
terdakwa sehingga terdakwa
dibebaskan dari dakwaan primair. Kasus ini menarik oleh
penulis yaitu intinya terdakwa H. Adli, ST.MT selaku
Plt. Kasubdin Cipta
Karya Dinas PU
Kabupaten Kutim pada pelaksanaan
proyek pembangunan Kampus Stiperdi Sangatta Kutai Timur tahun 2004 telah menerima hadiah
atau janji padahal diketahui atau patut
duga bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan
dengan jabatan atau disebut
gratifikasi. Putusan Pengadilan Negeri Sangatta
dan Putusan Mahkamah
Agung menyatakan bahwa
terdakwa tidak bersalah
dan bebas dari
dakwaan primair karena
terdakwa telah melakukan pembelaan berupa pembuktian terbalik.
Menecrmati isu hukum, urgensi dan
ekses yang telah disampaikan di atas peneliti
tertarik untuk mengkaji
penelitian tersebut pada
sisi bagaimana pembuktian
terbalik sangat efektif
dalam peluang membebaskan
terdakwa dan bagaimana jika pertimbangan hakim dalam kasus
dimaksud untuk membebaskan dakwaan primair
tesebut dalam sebuah
penulisan hukum yang
berjudul TINJAUAN TENTANG SISTEM
PEMBUKTIAN TERBALIK (REVERSAL
BURDEN OF PROOF)
PADA PEMBEBASAN DAKWAAN PRIMAIR
TERDAKWA DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI (studi kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 902
K/PID.SUS/2009).
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan pada latar belakang
di atas maka perumusan masalah sangat penting untuk
memperoleh gambaran yang
lebih jelas terkait
dengan masalah yang akan diteliti, oleh karena itu dalam penelitian ini perumusan masalah yang diajukan
adalah :.
1. Bagaimana Sistem Pembuktian
Terbalik (Reversal Burden
of Proof) pada Pembebasan
Dakwaan Primair Terhadap Terdakwa
dalam Tindak Pidana Korupsi
Nomor: 902 K/PID.SUS/2009?.
2. Bagaimana Pertimbangan
Hakim dalam Memutus
Bebasnya Terdakwa dari
Dakwaan Primair pada
Pembuktian Terbalik (Reversal Burden of Proof)Kasus Tindak Pidana
Korupsi Nomor: 902 K/PID.SUS/2009?.
C. Tujuan Penelitian.
Suatu kegiatan
selalu memiliki tujuan
yang ingin dicapai,
dalam hal ini tujuan dari
penelitian adalah hal-hal
yang hendak dicapai
oleh penulis melalui penelitian. Melalui penelitian ini yang
berhubungan dengan perumusan masalah yang
telah ditetapkan, maka penelitian ini tujuannya adalah :.
1. Tujuan Obyektif.
a. Untuk mengetahui
bagaimana mengenai sistem
pembuktian terbalik pada
pembebasan dakwaan primair terhadap terdakwa dalam tindak pidana korupsi.
b. Untuk mengetahui
bagaimana pertimbangan hakim
dalam memutus bebasnya
terdakwa dari dakwaan
primair pada pembuktian terbalik.
2. Tujuan Subyektif.
a. Untuk menambah
pengetahuan di bidang Ilmu Hukum
khususnya yang berkaitan
dengan bidang Hukum
Acara Pidana, dengan harapan dapat bermanfaat dikemudian hari.
b. Untuk
memberi gambaran dan
sumbangan pemikiran bagi
Ilmu Hukum, khususnya dalam Hukum
Acara Pidana.
c. Untuk memenuhi
persyaratan yang diwajibkan
bagi mahasisiwa dalam
meraih gelar kesarjanaan
khususnya dalam bidang
Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian.
Setiap penelitian
harus dipahami dan
diyakini manfaatnya bagi menyelesaikan
masalah yang diselidikinya.Manfaat
penelitian dapat ditinjau dari dua segi
yang saling berkaitan yaitu segi teoritis dan praktis.
Adapun manfaat
yang diharapkan dari
penelitian yang penulis
lakukan adalah sebagai berikut:.
1. Manfaat teoritis.
a. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan terhadap
ilmu pengetahuan di
bidang hukum pada
umumnya dan bidang Hukum Acara Pidana pada khususnya.
b. Untuk mendalami
teori-teori yang telah
penulis peroleh selama menjalani strata satu di Fakultas Hukum
universitas Sebelas Maret Surakarta, serta
memberikan sumbangan pemikiran
yang dapat dijadikan data sekunder bagi penelitian
berikutnya.
c. Merupakan salah
satu sarana bagi
penulis untuk mengumpulkan bahan
hukum sebagai bahan penyusunan
skripsi guna melengkapi persyaratan
untuk mencapai gelar
kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
2. Manfaat Praktis.
a. Dengan Penulisan Hukum ini
diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan
penulis dalam bidang
ilmu hukum sebagai bekal untuk terjun kedalam masyarakat
suatu saat nanti.
b. Dengan Penulisan
Hukum ini diharapkan
mampu memberikan suatu
data dan informasi
mengenai sistem pembuktian terbalik dalam perkara tindak pidana korupsi.
c. Dengan Penulisan
Hukum ini diharapkan
mampu menerapkan bidang
keilmuan yang selama
ini diperoleh dalam
teori-teori dengan kenyataannya
dalam praktek.
Skripsi Hukum: Tinjauan Tentang Sistem Pembuktian Terbalik (Reversal Burden Of Proof) Pada Pembebasan Dakwaan Primair Terdakwa
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi