BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Tinjauan Yuridis Penggunaan Saksi Mahkota (Kroongetuige) Dan Implikasinya Terhadap Legalitas Pembuktian Perkara Perjudian.
PeradilanPidanapadahakikatnyamerupakansuatu sistem kekuasaan penegakkan hukum
pidana atau sistem
kekuasaan kehakiman di bidang
hukum pidana, yang
diwujudkanatau diimplementasikan
dalam 4 (empat)
subsistem yaitu: Kekuasaan
penyidikan (oleh badan/lembaga
penyidik); Kekuasaan penuntutan
(oleh badan/lembaga penuntut
umum); Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan
pidana (oleh badan pengadilan); danKekuasaan pelaksanaan pidana (oleh
badan aparat pelaksana/eksekusi). Keempat
tahap/subsistem tersebut merupakan satu
kesatuan sistempenegakan hukum
pidana yang integral
atau sering dikenal
dengan istilah sistem
peradilan pidana terpadu
(integrated criminal justice
system). Sistem terpadu
tersebut diletakkan di
atas landasan -undang
kepada masingmasing (Yahya
Harahap, 2010: 90).
Proses pembuktian merupakan suatu
elemen terpenting dalam suatu proses peradilan,
terutama oleh lembaga peradilan pidana, hal itu bisa terjadi dikarenakan pembuktian
mempunyai fungsi yang
cukup krusial sebagai
sarana untuk menemukan kebenaran materiil atas apa yang
didakwakan oleh Penuntut Umum.
Pembuktian dalam
hukum acara pidana
dapat diartikan sebagai
suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui
alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu
keyakinan atas benar
tidaknya perbuatan pidana
yang didakwakan serta
dapat mengetahui ada
tidaknya kesalahan pada
diri terdakwa (Rusli Muhammad, 2007: 185).
Sebagai alat bukti utama, tentu
dampaknya sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak terdapat keterangansaksi.
Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana,
telah dimulai sejak
awal proses peradilan
pidana. Begitu pula dalam proses
selanjutnya, ditingkat kejaksaan
sampai pada akhirnya
di pengadilan, keterangan saksi
sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus
bersalah atau tidaknya
terdakwa. Jadi jelas
bahwa saksi mempunyai kontribusi
yang sangat besar
dalam upaya menegakkan
hukum dan keadilan.
Banyak kasus yang nasibnya
ditentukan oleh ada atau tidaknya saksi, walaupun saksi bukanlah merupakan satu-satunya alat
bukti.Karena saksi memiliki fungsi yang
cukup krusial maka
saksi haruslah orang yang
secara langsung melihat, mendengar dan mengalami suatu kejadian yang
terjadi.
Sebelumnya harus
diketahui bahwa untuk membuktikan
kesalahan yang dilakukan
terdakwa harus dibuktikan dengan
alat bukti sebagaimana
terdapat dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP yaitu: 1. keterangan saksi 2. keterangan ahli 3. surat 4. petunjuk 5.
keterangan terdakwa.
Supaya suatu keterangan saksi
dapat dinilai sebagaisuatualat buktiyang sahmaka keterangan saksi itu harus dinyatakan
di sidang pengadilan, dan apabila keterangan
tersebut disampaikan di luar pengadilan (outside the court)maka tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti (Yahya
Harahap, 2010: 287-288).Akan tetapi bukan
tidak mungkin dalam prakteknya
seringkali terjadi tumbukan
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, padahal ketentuan mengenai alat bukti sudah diatur dengan jelas pada Pasal 184 ayat
(1) KUHAP.
Mencermati mengenai
sistem pembuktian di
dalam hukum acara
pidana ternyata dari
waktu ke waktu
mengalami perkembangan yang
cukup signifikan.
Salah satu
perkembangan tersebut diantaranya
adalah dengan munculnya
alat bukti-alat bukti
yang bersumber dari
si pelaku itu
sendiri. Alat bukti
atau saksi yang
bersumber dari dalam
diri pelaku itu
lah yang kemudian
disebut dengan istilah
saksi mahkota. Walaupun
tidak diberikan suatu
definisi otentik dalam KUHAP
mengenai saksi mahkota (kroon getuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka saksi mahkota didefinisikan
sebagai saksi yang berasal atau diambil dari
salah seorang tersangka
atau terdakwa lainnya
yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana
kepada saksi tersebut diberikan mahkota.Padahal
jika mencermati atau menelaah satu per satu pasal yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) sejatinya tidak ada ketentuan yang
mengatur mengenai saksi
mahkota tersebut, yang
ada justru pelarangan
penggunaan saksi mahkota
tersebut. Hal ini dapat
diketahui dalam pasal
168 huruf b Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang berbunyi : saksi, antara
lain: a. keluarga sedarahatau semanda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai
derajat ketiga dari
terdakwa atau yang
bersama-samasebagai terdakwa; b. saudara
dari terdakwa atau
yang bersama-sama sebagai
terdakwa, saudara ibu
atau saudara bapak,
juga mereka yang
mempunyai hubungan karena
perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. suami atau isteri terdakwa
maupun sudah bercerai atau yang bersamaMeskipun
telah secara jelas
terdapat aturan yang
melarang penggunaan saksi mahkota, namun agaknya pengaturan di
dalam hukum acara pidana seperti yang
ditunjukkan pada pasal diatas pada kenyataannya justru banyak disimpangi dengan banyaknya praktek-praktek hukum/
persidangan yang tetap menggunakan saksi mahkota
dalam proses pembuktiannya. Hal demikian
dapat dilihat dari berbagai contoh
kasus tindak pidana di Indonesia,
dan mayoritas itu merupakan kasus
tindak pidana korupsi.
Sebagai contoh dalam
kasus Bank Bali, mantan Gubernur
Bank Indonesia, Syahril
Sabirin pernah dijadikan
saksi mahkota kemudian
kasus Angelina Sondakh
yang menghadirkan Mindo
Rosalina Manulang sebagai saksi
mahkota, juga di
dalam kasus yang
menjerat mantan ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi,
Antasari Azhar, saksi
mahkotaWiliardi Wizardjuga
dihadirkan dalam persidangan.
Latar belakang
mengenai munculnya saksi
mahkota ini didasarkan
pada Putusan MA
Nomor : 1986/K/Pid/1989 tanggal
21 Maret 1990.
Dalam Putusan yang melakukan
tindak pidana bersama-sama
diajukan sebagai saksi
untuk membuktikan dakwaan
penuntut umum, yang
perkaranya dipisah karena didasarkan padaprinsip-prinsip tertentu yaitu
dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk delik
penyertaan; terdapat
kekurangan alat bukti
khususnya keterangan
saksi;diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing).
Ternyata selain
kasus-kasusseperti yang telah disebutkan di atas, peneliti menemukan
sebuah kasus yang
karena keterlibatan pelakunya
adalah lebih dari satu orang
dan penyidik mengalami
hambatan maka muncullah
saksi mahkota dalam kasus perjudian ini.Kasus initerjadi di
Pengadilan Negeri Karanganyar.
Berdasarkan penjelasan di atas
penulis mencoba
untukmenyoroti kasus tindak
pidana perjudian yang terjadi
di Pengadilan Negeri Karanganyar. Dalam perkara
nomor 14/Pid.B/2013/PN.Kray
terdakwa yang bernama
Sunten binti Kromo Pawirotersebuttelah memperbolehkan
Sudarto, Sunaryo, Setu, dan Broto Sutarno
(keempatnya terdakwa dalam berkas perkara lain) yang datang kerumah Sunten untuk melakukan permainan judi jenis
lewatan dengan menggunakan kartu domino
dengan uang sebagai taruhannya. Pada proses pemeriksaandi Pengadilan Negeri
Karanganyar pembuktian dalam
kasus perjudian ini
menggunakan beberapa alat bukti
dan yang menarik adalah dengan adanya saksi mahkota dalam kasus ini. Tentu saja dalam hal ini penulis
ingin menyoroti mengenai kesesuaian penggunaansaksi
mahkotaini menurutketentuan dalam Undang-Undang
No 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang sampai
saat ini masih berlaku dan dijadikan pedoman dalam proses
beracara di Indonesia.
Hal ini cukup menarik karenatelah
memunculkan suatu fenomena bahwa di satu
sisi penggunaan saksi mahkota di
persidangan tidak diperbolehkan tetapi di
sisi lain dalam
prakteknya proses persidangan
di Indonesia masih
sering memunculkan saksi
mahkota dalam proses
pembuktiannya. Sehingga kemudian memantik
reaksi dari para
ahli yang kemudian
memunculkan pro dan
kontra tentang keabsahan penggunaan
saksi mahkota ini tdak
hanya itu saja bahkan perbedaan
persepsi tentang penggunaan
saksi mahkota ini
juga muncul dalam berbagai
Putusanputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Didasari
oleh hal tersebut
maka kemudian muncullah
pertanyaanpertanyaan
mengenai penggunaan saksi
mahkota di dalam
praktek-praktek persidangan di
Indonesia. Pro kontra
keabsahan mengenai keberadaan
saksi mahkota yang sejatinya
tidak diatur ketentuannya. Kemudian apabila
saksi mahkotatetap dihadirkan
di persidangan, maka
posisi seorang terdakwa yang memberikan kesaksiandalam persidangan
akan semakin terpojok
dan hak-hak nya akan sulit untuk diwujudkan. Artinya bahwa
seorang terdakwa berhak untuk menyangkal segala
keterangan saksi yang
disampaikan dalam sidang
di pengadilan. Akan tetapi
seorang saksi mahkota
jugamerupakan seorangpelaku tindak pidana, yang
kemudian diajukan sebagai saksi
untuk terdakwa lain yang secara
bersama-sama melakukan tindak
pidana. Saksi yang disumpah,
harus berkata benar tentang apa
yang ia lihat, ia
dengar, dan ia
alami. Kalau tidak, ia dapat dipidana
atas kesaksiannya. Dengan demikian
saksi mahkota bisa mengalami tekanan
secara psikis karena
secara tidak langsung
ia membuktikan perbuatan yang dilakukannya, tetapi di sisi
lain dengan kesaksian tersebut ia bisa diancam pidana
dalam kedudukannya sebagai
terdakwa yang tidak
dapat mengingkari atau membela
diri karena telah terikat oleh adanya sumpah saksi.
Selain hal
tersebut diatas yang
perlu dicermati juga
yaitu mengenai terjadinya pergeseran beban pembuktian. Karena
apabila dalam suatu persidangan dihadirkan saksi
mahkota maka beban
pembuktian yang semula
berada pada penuntut umum bergeser mejadi beban terdakwa
untuk membuktikannya.Secara tidak langsung
hal ini sangat menguntungkan bagi penuntut
umum pada waktu melakukan pembuktian di pengadilan
karena saksi mahkota yang juga merupakan terdakwa pada
perkara lain, yang
dengan kekuatan sumpah
maka ia dituntut untuk jujur mengungkapkan fakta peristiwa yang
telah terjadi Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulis hendak
mengkaji lebih dalam
mengenai penggunaan saksi
mahkota dalam perkara
perjudian dan kesesuaiannya
dengan ketentuan yang terdapat di Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
serta implikasi dari penggunaan saksi mahkota terhadap legalitas pembuktian perjudian di Pengadilan
Negeri Karanganyar, melalui sebuah penyusunan
penulisan hukum (skripsi)
dengan judul TINJAUAN
YURIDIS PENGGUNAAN SAKSI
MAHKOTA DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP LEGALITAS PEMBUKTIAN
PERKARA PERJUDIAN.
Skripsi Hukum: Tinjauan Yuridis Penggunaan Saksi Mahkota (Kroongetuige) Dan Implikasinya Terhadap Legalitas Pembuktian Perkara Perjudian.
Download lengkap Versi PDF
bro kok file nya PDF gabisa dibuka ya
BalasHapus