Senin, 08 Desember 2014

Skripsi Hukum: Tinjauan Yuridis Penggunaan Saksi Mahkota (Kroongetuige) Dan Implikasinya Terhadap Legalitas Pembuktian Perkara Perjudian

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Tinjauan Yuridis Penggunaan Saksi Mahkota (Kroongetuige) Dan Implikasinya Terhadap Legalitas Pembuktian Perkara Perjudian.
PeradilanPidanapadahakikatnyamerupakansuatu  sistem kekuasaan penegakkan  hukum  pidana  atau  sistem  kekuasaan  kehakiman  di bidang  hukum  pidana,  yang  diwujudkanatau diimplementasikan  dalam  4  (empat)  subsistem  yaitu:  Kekuasaan  penyidikan  (oleh  badan/lembaga  penyidik);  Kekuasaan  penuntutan  (oleh  badan/lembaga  penuntut  umum); Kekuasaan  mengadili  dan  menjatuhkan pidana (oleh badan pengadilan); danKekuasaan pelaksanaan pidana  (oleh  badan  aparat  pelaksana/eksekusi).  Keempat  tahap/subsistem  tersebut merupakan  satu  kesatuan  sistempenegakan  hukum  pidana   yang   integral   atau  sering   dikenal   dengan   istilah   sistem   peradilan   pidana  terpadu  (integrated  criminal  justice  system). Sistem  terpadu tersebut  diletakkan  di  atas  landasan  -undang  kepada  masingmasing (Yahya Harahap, 2010: 90).

Proses pembuktian merupakan suatu elemen terpenting dalam suatu proses  peradilan, terutama oleh lembaga peradilan pidana, hal itu bisa terjadi dikarenakan  pembuktian  mempunyai  fungsi  yang  cukup  krusial  sebagai  sarana  untuk  menemukan kebenaran materiil atas apa yang didakwakan oleh Penuntut Umum.
Pembuktian  dalam  hukum  acara  pidana  dapat  diartikan  sebagai  suatu  upaya  mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna  memperoleh  suatu  keyakinan  atas  benar  tidaknya  perbuatan  pidana  yang  didakwakan  serta  dapat  mengetahui  ada  tidaknya  kesalahan  pada  diri  terdakwa  (Rusli Muhammad, 2007: 185).
Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu  perkara tidak terdapat keterangansaksi. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses  peradilan  pidana,  telah  dimulai  sejak  awal  proses  peradilan  pidana.  Begitu  pula  dalam  proses  selanjutnya,  ditingkat  kejaksaan  sampai  pada  akhirnya  di   pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam  memutus  bersalah  atau  tidaknya  terdakwa.  Jadi  jelas  bahwa  saksi  mempunyai  kontribusi  yang  sangat  besar  dalam  upaya  menegakkan  hukum  dan  keadilan.
Banyak kasus yang nasibnya ditentukan oleh ada atau tidaknya saksi, walaupun  saksi bukanlah merupakan satu-satunya alat bukti.Karena  saksi memiliki  fungsi  yang  cukup  krusial  maka  saksi  haruslah  orang yang  secara  langsung  melihat,  mendengar dan mengalami suatu kejadian yang terjadi.
Sebelumnya  harus  diketahui bahwa  untuk  membuktikan  kesalahan  yang  dilakukan  terdakwa  harus  dibuktikan  dengan  alat  bukti  sebagaimana  terdapat  dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu: 1. keterangan saksi 2. keterangan ahli 3. surat 4. petunjuk 5. keterangan terdakwa.
Supaya suatu keterangan saksi dapat dinilai sebagaisuatualat buktiyang  sahmaka keterangan saksi itu harus dinyatakan di sidang pengadilan, dan apabila  keterangan tersebut disampaikan di luar pengadilan (outside the court)maka tidak  dapat dijadikan sebagai alat bukti (Yahya Harahap,  2010: 287-288).Akan tetapi  bukan  tidak  mungkin  dalam  prakteknya  seringkali  terjadi  tumbukan  dengan  ketentuan peraturan perundang-undangan, padahal ketentuan mengenai alat bukti  sudah diatur dengan jelas pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Mencermati  mengenai  sistem  pembuktian  di  dalam  hukum  acara  pidana  ternyata  dari  waktu  ke  waktu  mengalami  perkembangan  yang  cukup  signifikan.
Salah  satu  perkembangan  tersebut  diantaranya  adalah  dengan  munculnya  alat  bukti-alat  bukti  yang  bersumber  dari  si  pelaku  itu  sendiri.  Alat  bukti  atau  saksi  yang  bersumber  dari  dalam  diri  pelaku  itu  lah  yang  kemudian  disebut  dengan  istilah  saksi  mahkota.  Walaupun  tidak  diberikan  suatu  definisi  otentik  dalam  KUHAP mengenai saksi mahkota (kroon getuide), namun berdasarkan perspektif  empirik maka saksi mahkota didefinisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil   dari  salah  seorang  tersangka  atau  terdakwa  lainnya  yang  bersama-sama  melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan  mahkota.Padahal jika mencermati atau menelaah satu per satu pasal yang ada di  dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sejatinya tidak ada  ketentuan  yang  mengatur  mengenai  saksi  mahkota  tersebut,  yang  ada  justru  pelarangan  penggunaan  saksi  mahkota  tersebut. Hal  ini  dapat  diketahui  dalam  pasal  168 huruf  b Kitab  Undang-Undang  Hukum  Acara Pidana  (KUHAP)  yang  berbunyi : saksi, antara lain: a. keluarga sedarahatau semanda dalam garis lurus keatas atau kebawah  sampai  derajat  ketiga  dari  terdakwa  atau  yang  bersama-samasebagai  terdakwa; b.  saudara  dari  terdakwa  atau  yang  bersama-sama  sebagai  terdakwa,  saudara  ibu  atau  saudara  bapak,  juga  mereka  yang  mempunyai  hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai  derajat ketiga; c. suami atau isteri terdakwa maupun sudah bercerai atau yang bersamaMeskipun  telah  secara  jelas  terdapat  aturan  yang  melarang  penggunaan  saksi mahkota, namun agaknya pengaturan di dalam hukum acara pidana seperti  yang ditunjukkan pada pasal diatas pada kenyataannya justru banyak disimpangi  dengan banyaknya praktek-praktek hukum/ persidangan yang tetap menggunakan  saksi  mahkota  dalam  proses  pembuktiannya. Hal  demikian  dapat  dilihat  dari  berbagai  contoh  kasus  tindak pidana di  Indonesia,  dan  mayoritas itu  merupakan  kasus  tindak  pidana  korupsi.  Sebagai  contoh  dalam  kasus Bank  Bali,  mantan  Gubernur  Bank  Indonesia,  Syahril  Sabirin  pernah  dijadikan  saksi  mahkota  kemudian  kasus  Angelina  Sondakh  yang  menghadirkan  Mindo  Rosalina  Manulang  sebagai  saksi  mahkota,  juga  di  dalam  kasus  yang  menjerat  mantan  ketua  Komisi  Pemberantasan  Korupsi,  Antasari  Azhar,  saksi  mahkotaWiliardi  Wizardjuga dihadirkan dalam persidangan.
Latar  belakang  mengenai  munculnya  saksi  mahkota  ini  didasarkan  pada  Putusan  MA  Nomor  :  1986/K/Pid/1989  tanggal  21  Maret  1990.  Dalam Putusan  yang  melakukan  tindak  pidana  bersama-sama  diajukan  sebagai  saksi  untuk  membuktikan  dakwaan  penuntut  umum,  yang  perkaranya  dipisah  karena  didasarkan padaprinsip-prinsip tertentu yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana  dalam  bentuk delik  penyertaan; terdapat  kekurangan  alat  bukti  khususnya  keterangan saksi;diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing).
Ternyata selain kasus-kasusseperti yang telah disebutkan di atas, peneliti  menemukan  sebuah  kasus  yang  karena  keterlibatan  pelakunya  adalah  lebih  dari  satu  orang  dan  penyidik  mengalami  hambatan  maka  muncullah  saksi  mahkota  dalam kasus perjudian ini.Kasus initerjadi di Pengadilan Negeri Karanganyar.
Berdasarkan penjelasan  di atas  penulis mencoba  untukmenyoroti  kasus  tindak  pidana  perjudian yang  terjadi  di  Pengadilan  Negeri Karanganyar. Dalam  perkara  nomor  14/Pid.B/2013/PN.Kray terdakwa  yang  bernama  Sunten  binti  Kromo Pawirotersebuttelah memperbolehkan Sudarto, Sunaryo, Setu, dan Broto  Sutarno (keempatnya terdakwa dalam berkas perkara lain) yang datang  kerumah  Sunten untuk melakukan permainan judi jenis lewatan dengan menggunakan kartu  domino dengan uang sebagai taruhannya. Pada proses pemeriksaandi Pengadilan  Negeri  Karanganyar  pembuktian  dalam  kasus  perjudian  ini  menggunakan  beberapa alat bukti dan yang menarik adalah dengan adanya saksi mahkota dalam  kasus ini. Tentu saja dalam hal ini penulis ingin menyoroti mengenai kesesuaian  penggunaansaksi mahkotaini menurutketentuan dalam Undang-Undang  No 8 tahun  1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)  yang sampai saat  ini masih  berlaku dan dijadikan pedoman dalam proses beracara di Indonesia.
Hal ini cukup menarik karenatelah memunculkan suatu fenomena bahwa  di  satu  sisi penggunaan  saksi mahkota di persidangan tidak diperbolehkan  tetapi  di  sisi  lain  dalam  prakteknya  proses  persidangan  di  Indonesia  masih  sering  memunculkan  saksi  mahkota  dalam  proses  pembuktiannya.  Sehingga  kemudian  memantik  reaksi  dari  para  ahli  yang  kemudian  memunculkan  pro  dan  kontra tentang  keabsahan  penggunaan  saksi  mahkota  ini tdak  hanya  itu  saja bahkan  perbedaan  persepsi  tentang  penggunaan  saksi  mahkota  ini  juga  muncul  dalam  berbagai Putusanputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
 Didasari  oleh  hal  tersebut  maka  kemudian  muncullah  pertanyaanpertanyaan  mengenai  penggunaan  saksi  mahkota  di  dalam  praktek-praktek  persidangan  di  Indonesia.  Pro  kontra  keabsahan  mengenai  keberadaan  saksi  mahkota yang  sejatinya  tidak  diatur  ketentuannya. Kemudian  apabila  saksi  mahkotatetap  dihadirkan  di  persidangan,  maka  posisi seorang  terdakwa  yang  memberikan  kesaksiandalam  persidangan  akan  semakin  terpojok  dan  hak-hak  nya akan sulit untuk diwujudkan. Artinya bahwa seorang terdakwa berhak untuk  menyangkal  segala  keterangan  saksi  yang  disampaikan  dalam  sidang  di  pengadilan. Akan  tetapi  seorang  saksi  mahkota  jugamerupakan  seorangpelaku tindak  pidana, yang  kemudian diajukan  sebagai saksi untuk  terdakwa  lain yang  secara  bersama-sama  melakukan  tindak  pidana. Saksi  yang  disumpah,  harus  berkata benar tentang  apa  yang  ia lihat,  ia  dengar,  dan  ia  alami.  Kalau tidak,  ia  dapat  dipidana  atas  kesaksiannya. Dengan  demikian  saksi  mahkota bisa mengalami  tekanan  secara  psikis  karena  secara  tidak  langsung  ia  membuktikan  perbuatan yang dilakukannya, tetapi di sisi lain dengan kesaksian tersebut ia bisa  diancam  pidana  dalam  kedudukannya  sebagai  terdakwa  yang  tidak  dapat  mengingkari atau membela diri karena telah terikat oleh adanya sumpah saksi.
Selain  hal  tersebut  diatas  yang  perlu  dicermati  juga  yaitu  mengenai  terjadinya pergeseran beban pembuktian. Karena apabila dalam suatu persidangan  dihadirkan  saksi  mahkota  maka  beban  pembuktian  yang  semula  berada  pada  penuntut umum bergeser mejadi beban terdakwa untuk membuktikannya.Secara  tidak  langsung  hal  ini sangat  menguntungkan bagi  penuntut  umum  pada  waktu melakukan pembuktian di pengadilan karena saksi mahkota yang juga merupakan terdakwa  pada  perkara  lain,  yang   dengan  kekuatan  sumpah  maka  ia  dituntut  untuk jujur mengungkapkan fakta peristiwa yang telah terjadi Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulis hendak mengkaji  lebih  dalam  mengenai  penggunaan  saksi  mahkota  dalam  perkara  perjudian dan  kesesuaiannya dengan ketentuan  yang terdapat di Kitab Undang-Undang Hukum  Acara Pidana (KUHAP) serta implikasi dari penggunaan saksi mahkota terhadap  legalitas pembuktian perjudian di Pengadilan Negeri Karanganyar, melalui sebuah penyusunan  penulisan  hukum  (skripsi)  dengan  judul   TINJAUAN  YURIDIS  PENGGUNAAN  SAKSI  MAHKOTA  DAN  IMPLIKASINYA  TERHADAP   LEGALITAS  PEMBUKTIAN  PERKARA  PERJUDIAN.

 Skripsi Hukum: Tinjauan Yuridis Penggunaan Saksi Mahkota (Kroongetuige) Dan Implikasinya Terhadap Legalitas Pembuktian Perkara Perjudian.


Download lengkap Versi PDF

1 komentar:

pesan skripsi