BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Tinjauan Tentang Pertanggungjawaban Pidana Desersi Oleh Anggota Tni Dalam Lingkungan Peradilan Militer
Manusia sebagai
makhluk sosial tidak
dapat hidup tanpa
melakukan hubungan dan bekerja sama dengan manusia lainnya. Mereka hidup
dalam bentuk kelompok-kelompok sebab tanpa berkelompok individu tidak dapat
hidup secara wajar. Individu sebagai
anggota kelompok sosial
harus mentaati norma-norma yang berlaku
di dalam masyarakat
kelompoknya untuk menciptakan
kehidupan yang aman, tertib,
dan sejahtera. (Hidayati. Kedudukan dan
Peran Individu Sebagai Pribadi
dan Anggota Masyarakat.
Ketika sebuah norma yang telah
ada dalam masyarakat dilanggar atau tidak dipatuhi maka ada sanksi megikat yang
akan diberikan atas segala penyimpangan terhadap nilai
norma yang telah
dilanggar. Sanksi yang
diberikan beragam tergantung pada
besarnya pelanggaran yang
dilakukan pihak yang
bersalah, namun sanksi tersebut bersifat tegas. Segala yang telah
menjadi ketentuan sanksi dijalankan
oleh pihak terkait
di bawah kekuasaan
pihak yang berwenang menjalankan sanksi. Pedoman perilaku
berupa rumusan tentang perintah/kewajiban dan
larangan larangan yang
disertai sanksi. Suatu
perintah menunjukkan jalan yang
telah ditetapkan, yakni
perilaku yang dianggap dapat membawa
manfaat atau tidak
membahayakan kehidupan bersama.
Rumusan tentang larangan, berarti menolak dan menghindarkan diri dari
perilaku-perilaku yang dianggap mengganggu
ketenangan masyarakat dan
mencegah anggotaanggota masyarakat
untuk berbuat di
luar ketentuan norma-norma
sosial yang berlaku
(RetnoWahyuningsih. Fungsi Norma Sosial Dalam Mengatur Hubungan Antar Manusia
Pada Kelompok Atau
Masyarakat.
http://sekitaraku94.blogspot.com/2013/06/fungsi-norma-sosial-dalammengatur.html>[15
September 2013 pukul 18.20 WIB]).
Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan
bagian dari masyarakat umum yang
dipersiapkan secara khusus
untuk melaksanakan tugas
pembelaan negara.
Guna melaksanakan tugas dan
kewajibannya, TNI dilatih untuk selalu mematuhi perintah-perintah atasan
tanpa membantah dan
dapat melaksanakannya dengan tepat, berdaya guna, dan berhasil
guna. Dalam kewenangannya, TNI dibatasi oleh undang-undang dan
peraturan militer. Peraturan-peraturan yang
dibuat oleh lembaga yang
berwenang ini memiliki
maksud dan tujuan
tertentu yang pada hakikatnya mengatur guna menciptakan
ketertiban, keteraturan, dan disiplin serta adanya sanksi bagi para
pelanggarnya. Setiap bentuk pelanggaran memiliki sanksi yang berbeda tergantung
dari tingkat pelanggaran yang dilakukan.
Setiap anggota
TNI harus tunduk
dan mematuhi ketentuan
peraturanperaturan yang berlaku
bagi militer yaitu
Kitab Undang-Undang Pidana
Militer (KUHPM), Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM),
Peraturan Disiplin Militer (PDM), dan peraturan-peraturan lainnya. Peraturan
hukum militer inilah yang berlaku
dan harus diterapkan
kepada anggota TNI
baik Bintara, Tamtama, maupun
Perwira yang melakukan suatu tindakan
yang merugikan kesatuan TNI,
masyarakat umum dan
negara yang tidak
lepas dari peraturan lainnya yang berlaku juga bagi
masyarakat umum. Pasal 1 KUHPM menyebutkan bahwa pada
waktu memakai undang-undang
ini, berlaku aturan-aturan
Hukum Pidana Umum, termasuk disitu Bab kesembilan dari Buku Pertama
Kitab UndangUndang Hukum Pidana
tentang arti beberapa
sebutan yang dipakai
dalam kitab undang-undang (Pasal
86-102 KUHP), kecuali
aturan-aturan yang menyimpang yang ditetapkan dalam undang-undang.
Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Militer
(KUHPM) pada awal pembentukannya dalam
Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1947 jo. Staatsblad 1934 Nomor
167 bernama Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
Tentara (KUHPT). Staatsblad 1934 Nomor 167 bernama Wetboek van Militair
Strafrecht, sesuai dengan perkembangan zaman, banyak ahli hukum sekarang dalam
tulisantulisannya menggunakan kata
militer berdasarkan terjemahan
dari kata militair daripada menggunakan
kata tentara. Penggunaan kata
militer sebagai pengganti
kata
tentara dapat terlihat
juga pada Undang-Undang
Nomor 31 Tahun
199tentang Peradilan Militer. Undang-undang ini menggunakan kata
peradilan militer bukan peradilan tentara
seperti pada Undang-Undang
Nomor 7 Tahun
194tentang Pengadilan Tentara.
Ketentuan Pasal 2
Undang-Undang No. 5
Tahun 1950 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Peradilan Ketentaraan
dilakukan oleh Pengadilan Tentara, Pengadilan Tentara Tinggi, Mahkamah Tentara
Agung dan telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer, pengadilan di lingkungan peradilan militer terdiri dari Pengadilan
Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Utama, dan
Pengadilan Militer Pertempuran.
Dengan diterapkannya
asas unity of command di
bidang hukum, maka kemungkinan terjadinya bentrokan adalah
sangat kecil sekali. Hal ini terlihat bilamana terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anggota militer
dan suatu kesatuan, maka disamping mengganggu kepentingan TNI itu sendiri,
juga akan mengganggu
kepentingan masyarakat umum. Sebab kepentingan TNI
itu pada hakikatnya
juga adalah kepentingan
masyarakat umum (Moch. Faisal Salam, 2002: 21).
Anggota militer yang melakukan
tindak pidana berlaku ketentuan-ketentuan Hukum
Pidana Umum, namun
bagi militer terdapat
ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam KUHP yang khusus diberlakukan bagi
militer. Ketentuan-ketentuan yang
khusus itu diatur
di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Militer
(KUHPM) yang hal
tersebut merupakan
penambahan dari aturan-aturan
yang telah diatur
di dalam KUHP.
Adapun alasan
diadakannya
peraturan-peraturan tambahan dari
KUHP itu disebabkan (Moch. Faisal
Salam, 2006: 40-41) : 1. Adanya beberapa perbuatan yang hanya dapat dilakukan
oleh militer saja bersifat asli militer
dan tidak berlaku bagi
umum, contohnya desersi, menolak perintah dinas,
insubardinasi, dan sebagainya.
2. Beberapa perbuatan
yang bersifat berat
sedemikian rupa, apabila dilakukan oleh
anggota militer di
dalam keadaan tertentu,
ancaman hukuman dari hukum pidana umum dirasa terlalu ringan.
3. Apabila peraturan-peraturan khusus
yang diatur di
dalam KUHPM dimasukkan ke dalam
KUHP akan membuat KUHP sukar dipergunakan, karena terhadap ketentuan-ketentuan
itu hanya tunduk sebagian kecil dari anggota masyarakat, juga peradilan yang berhak melaksanakannya juga tersendiri
yakni peradilan militer.
Tindak
pidana terhadap peraturan
militer yang sering
terjadi dalam lingkungan militer
adalah tindak pidana
desersi. Tindak pidana
desersi ini diatur dalam
Pasal 87 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
Militer yang menyebutkan: (1) Diancam karena desersi, militer: Ke-1, Yang
pergi dengan maksud
untuk menarik diri
untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang,
menyeberang ke musuh, atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau
kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu.
Ke-2, Yang
karena salahnya atau
dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa
ijin dalam waktu
damai lebih lama dari
tiga puluh hari,
dalam waktu perang
lebih lama dari empat hari.
Ke-3, Yang dengan sengaja
melakukan ketidakhadiran tanpa ijin dan
karenanya tidak ikut
melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari
suatu perjalanan yang
diperintahkan, seperti yang diuraikan pada Pasal 85 nomor 2.
(2) Desersi yang
dilakukan dalam waktu
damai diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun
delapan bulan.
(3) Desersi yang
dilakukan dalam waktu
perang diancam dengan pidana penjara maksimum delapan tahun
enam bulan.
Seorang anggota
militer yang pernah
atau tidak melakukan
desersi dapat dijadikan sebagai
acuan dalam mengukur tingkat ketaatan dan kedisiplinan dalam kehidupan militer.
Ketaatan dan kedisiplinan yang tinggi terhadap perintah atasan, putusan, maupun
aturan-aturan yang berlaku
sangat dibutuhkan oleh
seorang prajurit dalam kehidupan
militernya agar dapat
melaksanakan tugasnya dengan tepat, berdaya
guna, dan berhasil
guna. Tindak pidana
desersi yang terjadi
di lingkungan militer dalam penyelesaian perkara pidananya melewati
tahapan yang hampir sama dengan
penyelesaian tindak pidana
di peradilan pada
umumnya.
Penyelesaiannya dilakukan
melalui melalui tahapan
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di
persidangan, dan putusan.
Hal yang membedakan
dengan peradilan umum adalah aparat yang berwenang untuk menyelesaikan
perkara. Jika dalam peradilan umum
yang berhak untuk
menjadi penyidik adalah
anggota Kepolisian Republik Indonesia
atau pegawai Negeri
Sipil tertentu yang
diberi wewenang
khusus oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Kitab Undang-Undang
hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: 1. Penyidik adalah : a. Pejabat polisi negara
Republik Indonesia.
b. Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu
yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang.
2. Syarat kepangkatan
pejabat yang dimaksud
dalam ayat (1)
akan diatur lebih lanjut dalam
peraturan pemerintah.
Hal ini berbeda dengan yang ada
didalam peradilan militer yang mempunyai hak
untuk menjadi penyidik
adalah pejabat yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi
wewenang untuk melakukan
penyidikan terhadap anggota TNI
dan atau mereka
yang tunduk pada
peradilan militer yaitu
Polisi Militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer. Sedangkan
pejabat yang diberi
wewenang untuk bertindak sebagai penuntut
umum menurut ketentuan
Pasal 13 KUHAP
adalah Jaksa.
Berbeda dengan peradilan militer,
pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut
umum, pelaksana putusan
atau penetapan pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum dalam perkara pidana,
dan sebagai penyidik
sesuai dengan ketentuan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 adalah
Oditur baik Oditur Militer maupun Oditur Militer Tinggi.
Polisi Militer, Oditur, dan hakim
merupakan aparatur negara yang berperan dalam
menyelesaikan perkara pidana
di dalam lingkungan
Peradilan Militer, termasuk tindak
pidana desersi. Tindak
pidana desersi sangat
merugikan kesatuannya karena tidak
menjalankan
kewajiban-kewajiban dinas yang seharusnya dilakukan. Apabila tidak
ditindaklanjuti dengan serius dikhawatirkan akan berdampak
pada anggota kesatuan
yang lainnya dan
menurunnya tingkat kedisiplinan dari
anggota-anggota kesatuan TNI.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai
aparatur negara dan
sekaligus pertahanan terakhir
negara dalam menghadapi ancaman
baik dari dalam maupun luar, guna menciptakan ketertiban, keamanan nasional,
dan menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Repulik
Indonesia (NKRI)
dituntut untuk memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi, sehingga tindak pidana
desersi harus menjadi perhatian dalam penyelenggaraan kehidupan militer.
Berdasarkan uraian
di atas, penulis
merasa tertarik untuk
mengadakan penelitian dan menyusunnya dalam bentuk penulisan hukum
dengan judul: TINJAUAN TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
DESERSI OLEH ANGGOTA TNI DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER ( STUDI
KASUS DI PENGADILAN MILITER III-12 SURABAYA ).
Skripsi Hukum: Tinjauan Tentang Pertanggungjawaban Pidana Desersi Oleh Anggota Tni Dalam Lingkungan Peradilan Militer
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi