Jumat, 05 Desember 2014

Skripsi Hukum: Tinjauan Tentang Pertanggungjawaban Pidana Desersi Oleh Anggota Tni Dalam Lingkungan Peradilan Militer

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Tinjauan Tentang Pertanggungjawaban Pidana Desersi Oleh Anggota Tni Dalam Lingkungan Peradilan Militer
Manusia  sebagai  makhluk  sosial  tidak  dapat  hidup  tanpa  melakukan hubungan dan bekerja sama dengan manusia lainnya. Mereka hidup dalam bentuk kelompok-kelompok sebab tanpa berkelompok individu tidak dapat hidup secara wajar.  Individu  sebagai  anggota  kelompok  sosial  harus  mentaati  norma-norma yang  berlaku  di  dalam  masyarakat  kelompoknya  untuk  menciptakan  kehidupan yang  aman,  tertib,  dan  sejahtera.  (Hidayati. Kedudukan  dan  Peran Individu  Sebagai  Pribadi  dan  Anggota  Masyarakat.

Ketika sebuah norma yang telah ada dalam masyarakat dilanggar atau tidak dipatuhi maka ada sanksi megikat yang akan diberikan atas segala penyimpangan terhadap  nilai  norma  yang  telah  dilanggar.  Sanksi  yang  diberikan  beragam tergantung  pada  besarnya  pelanggaran  yang  dilakukan  pihak  yang  bersalah, namun sanksi tersebut bersifat tegas. Segala yang telah menjadi ketentuan sanksi dijalankan  oleh  pihak  terkait  di  bawah  kekuasaan  pihak  yang  berwenang menjalankan  sanksi. Pedoman  perilaku  berupa  rumusan  tentang perintah/kewajiban  dan  larangan  larangan  yang  disertai  sanksi.  Suatu  perintah menunjukkan  jalan  yang  telah  ditetapkan,  yakni  perilaku  yang dianggap  dapat membawa  manfaat  atau  tidak  membahayakan  kehidupan  bersama.  Rumusan tentang larangan, berarti menolak dan menghindarkan diri dari perilaku-perilaku yang  dianggap  mengganggu  ketenangan  masyarakat  dan  mencegah  anggotaanggota  masyarakat  untuk  berbuat  di  luar  ketentuan  norma-norma  sosial  yang berlaku (RetnoWahyuningsih. Fungsi Norma Sosial Dalam Mengatur Hubungan Antar  Manusia  Pada  Kelompok  Atau  Masyarakat.
http://sekitaraku94.blogspot.com/2013/06/fungsi-norma-sosial-dalammengatur.html>[15 September 2013 pukul 18.20 WIB]).
   Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan bagian dari masyarakat umum yang  dipersiapkan  secara  khusus  untuk  melaksanakan  tugas  pembelaan  negara.
Guna melaksanakan tugas dan kewajibannya, TNI dilatih untuk selalu mematuhi perintah-perintah  atasan  tanpa  membantah  dan  dapat  melaksanakannya  dengan tepat, berdaya guna, dan berhasil guna. Dalam kewenangannya, TNI dibatasi oleh undang-undang  dan  peraturan  militer.  Peraturan-peraturan  yang  dibuat  oleh lembaga  yang  berwenang  ini  memiliki  maksud  dan  tujuan  tertentu  yang  pada hakikatnya mengatur guna menciptakan ketertiban, keteraturan, dan disiplin serta adanya sanksi bagi para pelanggarnya. Setiap bentuk pelanggaran memiliki sanksi yang berbeda tergantung dari tingkat pelanggaran yang dilakukan.
Setiap  anggota  TNI  harus  tunduk  dan  mematuhi  ketentuan  peraturanperaturan  yang  berlaku  bagi  militer  yaitu  Kitab  Undang-Undang  Pidana  Militer (KUHPM), Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM), Peraturan Disiplin Militer (PDM), dan peraturan-peraturan lainnya. Peraturan hukum militer inilah  yang  berlaku  dan  harus  diterapkan  kepada  anggota  TNI  baik  Bintara, Tamtama,  maupun  Perwira  yang  melakukan suatu  tindakan  yang  merugikan kesatuan  TNI,  masyarakat  umum  dan  negara  yang  tidak  lepas  dari  peraturan lainnya yang berlaku juga bagi masyarakat umum. Pasal 1 KUHPM menyebutkan bahwa  pada  waktu  memakai  undang-undang  ini,  berlaku  aturan-aturan  Hukum Pidana Umum, termasuk disitu Bab kesembilan dari Buku Pertama Kitab UndangUndang  Hukum  Pidana  tentang  arti  beberapa  sebutan  yang  dipakai  dalam  kitab undang-undang  (Pasal  86-102  KUHP),  kecuali  aturan-aturan  yang  menyimpang yang ditetapkan dalam undang-undang.
Kitab  Undang-Undang  Hukum  Pidana  Militer  (KUHPM)  pada  awal pembentukannya  dalam  Undang-Undang  Nomor  39  Tahun  1947  jo. Staatsblad 1934  Nomor  167  bernama  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Pidana  Tentara (KUHPT). Staatsblad 1934 Nomor 167 bernama Wetboek van Militair Strafrecht, sesuai dengan perkembangan zaman, banyak ahli hukum sekarang dalam tulisantulisannya  menggunakan  kata  militer  berdasarkan  terjemahan  dari  kata militair daripada  menggunakan  kata  tentara.  Penggunaan  kata  militer  sebagai  pengganti    kata  tentara  dapat  terlihat  juga  pada  Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  199tentang Peradilan Militer. Undang-undang ini menggunakan kata peradilan militer bukan  peradilan  tentara  seperti  pada  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  194tentang  Pengadilan  Tentara.  Ketentuan  Pasal  2  Undang-Undang  No.  5  Tahun 1950 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Peradilan Ketentaraan dilakukan oleh Pengadilan Tentara, Pengadilan Tentara Tinggi, Mahkamah Tentara Agung dan telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, pengadilan di lingkungan peradilan militer terdiri dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
Dengan  diterapkannya  asas unity  of  command di  bidang  hukum,  maka kemungkinan terjadinya bentrokan adalah sangat kecil sekali. Hal ini terlihat bilamana terjadi suatu tindak pidana  yang dilakukan oleh seorang anggota militer dan suatu kesatuan, maka disamping mengganggu kepentingan TNI itu  sendiri,  juga  akan  mengganggu  kepentingan  masyarakat  umum. Sebab kepentingan  TNI  itu  pada  hakikatnya  juga  adalah  kepentingan  masyarakat umum (Moch. Faisal Salam, 2002: 21).
Anggota militer yang melakukan tindak pidana berlaku ketentuan-ketentuan Hukum  Pidana  Umum,  namun  bagi  militer  terdapat  ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan  yang diatur di dalam KUHP  yang khusus diberlakukan  bagi  militer.  Ketentuan-ketentuan  yang  khusus  itu  diatur  di  dalam Kitab  Undang-Undang  Hukum  Pidana  Militer  (KUHPM)  yang  hal  tersebut merupakan  penambahan  dari  aturan-aturan  yang  telah  diatur  di  dalam  KUHP.
Adapun  alasan  diadakannya  peraturan-peraturan  tambahan  dari  KUHP  itu disebabkan (Moch. Faisal Salam, 2006: 40-41) : 1. Adanya beberapa perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh militer saja bersifat  asli  militer  dan tidak  berlaku  bagi  umum,  contohnya  desersi, menolak perintah dinas, insubardinasi, dan sebagainya.
2. Beberapa  perbuatan  yang  bersifat  berat  sedemikian  rupa,  apabila dilakukan  oleh  anggota  militer  di  dalam  keadaan  tertentu,  ancaman hukuman dari hukum pidana umum dirasa terlalu ringan.
3. Apabila  peraturan-peraturan  khusus  yang  diatur  di  dalam  KUHPM dimasukkan ke dalam KUHP akan membuat KUHP sukar dipergunakan, karena terhadap ketentuan-ketentuan itu hanya tunduk sebagian kecil dari anggota masyarakat, juga peradilan  yang berhak melaksanakannya juga tersendiri yakni peradilan militer.
   Tindak  pidana  terhadap  peraturan  militer  yang  sering  terjadi  dalam lingkungan  militer  adalah  tindak  pidana  desersi.  Tindak  pidana  desersi  ini diatur  dalam  Pasal  87  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Pidana  Militer yang menyebutkan: (1) Diancam karena desersi, militer: Ke-1,  Yang  pergi  dengan  maksud  untuk  menarik  diri  untuk selamanya  dari  kewajiban-kewajiban  dinasnya, menghindari bahaya perang, menyeberang ke musuh, atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu.
Ke-2,  Yang  karena  salahnya  atau  dengan  sengaja  melakukan ketidakhadiran  tanpa  ijin  dalam  waktu  damai  lebih  lama dari  tiga  puluh  hari,  dalam  waktu  perang  lebih  lama  dari empat hari.
Ke-3, Yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa ijin dan  karenanya  tidak  ikut  melaksanakan  sebagian  atau seluruhnya  dari  suatu  perjalanan  yang  diperintahkan, seperti yang diuraikan pada Pasal 85 nomor 2.
(2) Desersi  yang  dilakukan  dalam  waktu  damai  diancam  dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan.
(3) Desersi  yang  dilakukan  dalam  waktu  perang  diancam  dengan pidana penjara maksimum delapan tahun enam bulan.
Seorang  anggota  militer  yang  pernah  atau  tidak  melakukan  desersi  dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengukur tingkat ketaatan dan kedisiplinan dalam kehidupan militer. Ketaatan dan kedisiplinan yang tinggi terhadap perintah atasan, putusan,  maupun  aturan-aturan  yang  berlaku  sangat  dibutuhkan  oleh  seorang prajurit  dalam  kehidupan  militernya  agar  dapat  melaksanakan  tugasnya  dengan tepat,  berdaya  guna,  dan  berhasil  guna.  Tindak  pidana  desersi  yang  terjadi  di lingkungan militer dalam penyelesaian perkara pidananya melewati tahapan yang hampir  sama  dengan  penyelesaian  tindak  pidana  di  peradilan  pada  umumnya.
Penyelesaiannya  dilakukan  melalui  melalui  tahapan  penyidikan,  penuntutan, pemeriksaan  di  persidangan,  dan  putusan.  Hal  yang  membedakan  dengan peradilan umum adalah aparat yang berwenang untuk menyelesaikan perkara. Jika dalam  peradilan  umum  yang  berhak  untuk  menjadi  penyidik  adalah  anggota Kepolisian  Republik  Indonesia  atau  pegawai  Negeri  Sipil  tertentu  yang  diberi    wewenang khusus oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: 1. Penyidik adalah : a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia.
b. Pejabat  Pegawai  Negeri  Sipil  tertentu  yang  diberi  wewenang  khusus oleh undang-undang.
2. Syarat  kepangkatan  pejabat  yang  dimaksud  dalam  ayat  (1)  akan  diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Hal ini berbeda dengan yang ada didalam peradilan militer yang mempunyai hak  untuk  menjadi  penyidik  adalah  pejabat  yang  berdasarkan  peraturan perundang-undangan  diberi  wewenang  untuk  melakukan  penyidikan  terhadap anggota  TNI  dan  atau  mereka  yang  tunduk  pada  peradilan  militer  yaitu  Polisi Militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan  Militer.  Sedangkan  pejabat  yang  diberi  wewenang  untuk  bertindak sebagai  penuntut  umum  menurut  ketentuan  Pasal  13  KUHAP  adalah  Jaksa.
Berbeda dengan peradilan militer, pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai  penuntut  umum,  pelaksana  putusan  atau  penetapan  pengadilan  dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam  perkara  pidana,  dan  sebagai  penyidik  sesuai dengan  ketentuan  UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 adalah Oditur baik Oditur Militer maupun Oditur Militer Tinggi.
Polisi Militer, Oditur, dan hakim merupakan aparatur negara yang berperan dalam  menyelesaikan  perkara  pidana  di  dalam  lingkungan  Peradilan  Militer, termasuk  tindak  pidana  desersi.  Tindak  pidana  desersi  sangat  merugikan kesatuannya  karena  tidak  menjalankan  kewajiban-kewajiban  dinas  yang seharusnya dilakukan. Apabila tidak ditindaklanjuti dengan serius dikhawatirkan akan  berdampak  pada  anggota  kesatuan  yang  lainnya  dan  menurunnya  tingkat kedisiplinan  dari  anggota-anggota  kesatuan  TNI.  Tentara  Nasional  Indonesia (TNI)  sebagai  aparatur  negara  dan  sekaligus  pertahanan  terakhir  negara  dalam menghadapi ancaman baik dari dalam maupun luar, guna menciptakan ketertiban, keamanan  nasional,  dan  menjaga  keutuhan  Negara  Kesatuan  Repulik  Indonesia    (NKRI) dituntut untuk memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi, sehingga tindak pidana desersi harus menjadi perhatian dalam penyelenggaraan kehidupan militer.
Berdasarkan  uraian  di  atas,  penulis  merasa  tertarik  untuk  mengadakan penelitian dan menyusunnya dalam bentuk penulisan hukum dengan judul: TINJAUAN  TENTANG  PERTANGGUNGJAWABAN  PIDANA  DESERSI OLEH ANGGOTA TNI DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER ( STUDI KASUS DI PENGADILAN MILITER III-12 SURABAYA ).

 Skripsi Hukum: Tinjauan Tentang Pertanggungjawaban Pidana Desersi Oleh Anggota Tni Dalam Lingkungan Peradilan Militer

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi