BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Tinjauan Yuridis Tentang Klausula Akibat Wanprestasi Dalam Perjanjian Leasing Penulisan Hukum
Dalam usaha
mewujudkan pembangunan nasional,
segala aspek kehidupan masyarakat diharapkan mampu berperan aktif
demi tercapainya kesejahteraan rakyat. Khususnya dari
bidang ekonomi, salah
satu upaya mensejahterakan rakyat
adalah dengan dipenuhinya
kebutuhan hidup dan
peningkatan pendapatan. Sesuai
dengan sistem terbuka
(open system) dan
asas kebebasan berkontrak
yang terdapat dalam ketentuan Buku
III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH
Perdata) tentang Perikatan,
maka dalam hal
memenuhi kebutuhan masyarakat
dimana konsumen membutuhkan
pembiayaan barang modal
sedangkan pelaku usaha
mengharapkan produk yang
dijualnya dapat laku
di pasaran dengan
mudah, dibentuklah lembaga pembiayaan non-perbankan yang disebut dengan
istilah leasingatau sewa guna usaha apabila
diartikan dalam bahasa Indonesia.
KUH Perdata
dalam Pasal 1338
Ayat (1) menggolongkan leasing kedalam jenis
perjanjian innominaat atau
perjanjian tidak bernama.
Perjanjian innominaat merupakan
suatu jenis perjanjian
yang pengaturannya tidak
dikenal dalam KUH Perdata
tetapi dapat ditemukan dalam tingkat Keputusan Menteri, maupun
peraturanperaturan lain dibawahnya. Adapun
pengaturan hukum mengenai perjanjian leasing salah satunya
diatur dalam Keputusan
Menteri Keuangan Nomor
: 1169/KMK.01.1991 Tentang
Kegiatan Sewa Guna
Usaha. Berbeda dengan pembiayaan
oleh lembaga perbankan, leasing memberikan fasilitas
pembiayaan dalam bentuk barang
modal dimulai dari yang terbilang cukup mahal, seperti pesawat terbang,
hingga leasing barang modal
dengan harga yang
lebih murah untuk keperluan
sehari-hari, misalnya mobil, atau sepeda motor.
Sebagaimana perjanjian-perjanjian kredit
pada umumnya, para
pihak dalam perjanjian leasingyaitu lessor selaku
perusahaan pembiayaan leasingserta lessee
yaitu konsumen atau masyarakat yang mengajukan fasilitas pembiayaan,
akan terikat dalam sebuah perjanjian
leasing. Sesungguhnya masih terdapat satu pihak lain yang berperan sebagai penyedia barang leasing, yaitu supplier. Perlu diperhatikan bahwa meskipun supplier memiliki peranan
dalam menyediakan barang
leasing, namun ia tidak
menjadi pihak yang
terlibat dalam perjanjian leasing sebagaimana lessor dan lessee. Hal ini disebabkan karena
supplierhanya berkedudukan sebagai pihak diluar mekanisme perjanjian leasing.
Melihat pada bentuk perjanjiannya, perjanjianleasing merupakan
salah satu jenis perjanjian
yang berbentuk baku
atau standart contract. Istilah
kontrak baku tersebut dapat diartikan sebagai suatu
perjanjian atau kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak yang memiliki kedudukan
lebih kuat dalam perjanjian. Dalam hal ini
berarti seluruh materi
kontrak leasing meliputi
substansi dan perumusan klausula-klausula perjanjian
dibuat secara sepihak
oleh lessor sebagai lembaga pembiayaan leasing dalam
sebuah formulir perjanjian yang untuk selanjutnya
formulir
tersebut diberikan kepada
setiap lessee yang mengajukan
permohonan leasing.
Dalam penulisan
hukum ini, penulis
kemudian mengambil beberapa
contoh perjanjian leasing yang
ada, dimana salah satunya akan disajikan dalam pembahasan lebih
lanjut dipilih dari
perjanjian leasing PT ORIX
Indonesia Finance (ORIF) sebagaimana
tercantum dalam buku
Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia karangan Salim H.S (2010:149).
Berdasarkan sifat
baku dari perjanjian leasing sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
terlihat bahwa lessor
memiliki kebebasan dalam
membuat dan menyusun materi kontrak leasing, sehingga
menyebabkan lessor seringkali bertindak seolah-olah dapat
mengimplementasikan asas kebebasan
berkontrak sebagai bebas tanpa batas
dalam membuat dan
menyusun klausula-klausula baku
pada perjanjian leasing
(http://hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/04/Jurnal-IjazahSuprawito.pdf
diakses Selasa 4 Juni 2013. Pukul 16.06 wib).
Pada prinsipnya, perjanjian baku menyebabkan pihak yang lebih lemah
harus menghadapi suatu kondisi
“take it or
leave it”.Dalam hal
perjanjian leasing, pihak yang
lemah berada pada posisi lesseeatau konsumen, dimana mereka hanya memiliki pilihan
untuk menerima atau
menolak isi perjanjian leasing yang diberikan
tanpa memperoleh kesempatan untuk
menegosiasi atau mengubah klausul baku yang telah dibuat (Munir Fuady, 2003:76).
Perlu diingat
bahwa sebagai konsumen
seharusnya lessee memperoleh perlindungan hukum.
Akan tetapi, untuk
memperoleh fasilitas pembiayaan,
mereka justru harus
mengikuti klausula-klausula perjanjian
yang telah ditetapkan
secara sepihak oleh
lessor padahal tidak jarang
isi klausula tersebut
mencerminkan ketidakseimbangan hak
dan kewajiban bagi
masing-masing pihak dalam
perjanjian (Dharu T,dkk,Vol
12,No.1 Juni, 2010:52-53).
Ketimpangan hak dan kewajiban
antara lessor dan lessee dapat
secara jelas terlihat
dalam rumusan klausula-klausula baku
yang ditetapkan oleh lessor dalam perjanjian leasing khususnya dalam
hal terjadinya wanprestasi.
Sebelumnya, lessor telah
merumuskan klausula-klausula yang
membebankan kewajiban-kewajiban kepada lessee dengan tanpa
memperhatikan hak-hak lessee yang
masih tetap harus dilindungi
meskipun memanglessee telah wanprestasi. Sebagai contoh ketika lessee wanprestasi,
lessordapat dengan leluasa menarik obyek leasing yang masih berada di tangan
lessee secara sepihak atau
tanpa melalui putusan
hakim di pengadilan.
Keadaan demikian
tentu sangat bertentangan
dengan apa yang
telah diatur dalam KUH
Perdata mengenai bezit, dan fungsi polisionil yang terkandung didalamnya.
Dalam beberapa
situs internet ditemukan
bahwa lessee menderita banyak kerugian akibat dari tindakan sepihak yang
dilakukan oleh perusahaan leasing.Dalam situs Radar Online (http://www.radaronline.co.id/berita/read/berita/read/21249/2012/FIF-Sita-SepedaMotor-Nasabah.diakses
Selasa, 4 Juni
2013. Pukul 16.20
wib), dijelaskan seorang nasabah perusahaan leasing FIF harus merelakan
sepeda motornya ditarik paksa oleh debt collectorakibat penunggakan
angsuran kredit, namun
ketika nasabah tersebut beritikad baik untuk membayar sejumlah biaya
tunggakan dengan maksud agar dapat memperoleh
kembali sepeda motornya yang telah ditarik, justru nasabah dibebankan dengan
tambahan biaya penarikan
sepeda motor sebesar
Rp 1.650.000,- , dan mendapati kenyataan
bahwa sepeda motornya
tetap tidak dapat
dikembalikan kepadanya. Tidak
hanya itu, bahkan
ia harus membayar
seluruh jumlah angsuran secara lunas.
Ditemukan pula dalam penarikan
paksa obyek leasing yang dilakukan dengan bantuandebt
collectortelah menimbulkan tekanan
psikis yang berlebihan
hingga menyebabkan seorang nasabah
yang bekerja sebagai tukang ojek di desa Maracang, Purwakarta
meninggal akibat gantung
diri karena merasa
tertekan terus-menerus didatangi
oleh penagih leasing dan
oknum aparat dalam
penagihan tersebut (http://poskota.co.id/berita-terkini/2011/03/28/leasing-sepeda-motor-dinilai-semenamena
diakses Selasa, 4 Juni 2013. Pukul 16.12 wib).
Tindakan penarikan
paksa obyek leasing
sebagaimana dijelaskan diatas ternyata juga dilakukan dengan tanpa adanya
surat teguran atau peringatan (somasi) terlebih
dahulu kepadalessee, sehingga hal ini juga tidak sesuai dengan aturan hukum perdata tentang somasi atauingebrekestelling sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1238 KUH Perdata dan Pasal
1243 KUH Perdata.
Dapat ditemukan
pula dalam suatu
klausula akibat wanprestasi
yang perumusannya berisi
pemberian hak dan
kuasa mutlak dari lessee kepada lessor seluas-luasnya dan
tidak dapat dicabut
atau dibatalkan kembali
dengan cara dan alasan
apapun. Mencermati pada rumusan isi klausula baku tersebut, terlihat bahwa dalam
perjanjian leasing, berlaku suatu
klausula eksonerasi dalam
hal terjadi wanprestasi.
Pasal 18
Ayat (1), Undang-Undang
Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan
Konsumen mengatur bahwa
pencantuman klausula baku
yang salah satunya
berisi pernyataan untuk
mengalihkan tanggung jawab
atau menggeser tanggung
jawab dari pelaku
usaha kepada konsumen
merupakan contoh klausula baku
yang dilarang. Sehingga
jelas disini, perjanjian leasing yang didalamnya dirumuskan
klausula eksonerasi dalam
hal terjadi wanprestasi
adalah melanggar ketentuan
Pasal 18 Ayat
(1), Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
Selanjutnya masih dalam ketentuan
Pasal 18 Ayat (1), Undang-Undang No 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, juga menegaskan bahwa pelaku usaha dilarang
mencantumkan klausula baku yang
memungkinkan pelaku usaha
tersebut melakukan tindakan
sepihak atas barang
yang dibeli konsumen
secara angsuran.
Akibat hukumnya
jika debitur wanprestasi,
kreditur seharusnya dilarang
menarik barang dari
pembeli sewa tanpa memperoleh
putusan pengadilan terlebih
dahulu (Suharnoko, 2009:80).
Perjanjian pada
prinsipnya dibuat dengan
harapan dapat tercapainya
tujuan dari masing-masing pihak
yang terlibat didalamnya. Perlu diingat bahwa tujuan yang didapat
harus berlandaskan kepastian
hukum dan sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku,
oleh sebab itu
uraian substansi serta klausula-klausula yang
dimuat juga harus
mencerminkan keseimbangan hak
dan kewajiban bagi
para pihak.
Berdasarkan pemaparan
tersebut, kemudian menjadikan
penulis tertarik untuk melakukan penulisan
hukum (skripsi) dengan
judul : “TINJAUAN YURIDIS TENTANG
KLAUSULA AKIBAT WANPRESTASI
DALAM PERJANJIAN LEASING”.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan pada
uraian latar belakang
yang telah dipaparkan
diatas, maka penulis
merumuskan beberapa permasalahan
yang akan dikaji
lebih lanjut sebagai berikut :.
1. Apakah bentuk dan
isi dari perjanjian
leasing telah memberikan perlindungan hukum bagi lessee?.
2. Apa sajakah bentuk-bentuk wanprestasi
yang dilakukan oleh lessee menurut perjanjian leasing, serta
akibat hukumnya jika ditinjau dari segi yuridis?.
3. Apakah aspek yuridis
dari klausula akibat
wanprestasi berkaitan dengan perlindungan hukum bagi lesseedalam perjanjian
leasing?.
C. Tujuan Penelitian.
Tujuan penelitian
bermanfaat untuk mengarahkan
penulis dalam melaksanakan
penelitian menuju sasaran
yang akan dicapai. Untuk
itu, tujuan penelitian harus jelas. Adapun tujuan dari
penelitian ini sebagai berikut :.
1. Tujuan Obyektif.
a. Mendiskripsikan bentuk dan isi
dari suatu perjanjianleasing.
b. Menjelaskan apa
sajakah bentuk-bentuk wanprestasi yang
dilakukan oleh lessee dalam
sebuah perjanjianleasing serta akibat hukum atas wanprestasi tersebut.
c. Menguraikan aspek
yuridis dari suatu
klausula yang mengatur
akibat wanprestasi dalam
perjanjianleasing.
2. Tujuan Subyektif.
a. Memenuhi persyaratan
akademis guna memperoleh
gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Memperluas wawasan
dan pengetahuan penulis
dalam bidang ilmu
hukum perdata, terkait hukum
perjanjian pada umumnya dan perjanjian leasingpada khususnya.
D. Manfaat Penelitian.
Dengan terjawabnya rumusan
masalah serta tercapainya tujuan penelitian ini, diharapkan
mampu membawa manfaat
yang baik bagi
penulis sendiri, pembaca, maupun
bagi dunia akademis
dan praktis. Adapun
manfaat yang dapat
diperoleh diantaranya sebagai
berikut :.
1. Manfaat Teoritis.
a. Dapat membawa
kontribusi dalam menambah
pengetahuan serta mengembangkan
wawasan ilmu hukum
pada umumnya dan
hukum perdata terkait hukum kontrak (perjanjian) pada
khususnya.
b. Menambah literatur kepustakaan dan
memperkaya referensi menyangkut analisis
tentang perjanjian leasing,
terutama terhadap klausula
akibat wanprestasi dalam
perjanjian tersebut.
2. Manfaat Praktis.
a. Memberikan jawaban atas
permasalahan yang dikaji.
b. Meningkatkan kemampuan
analisis, berpikir kritis, dan mengembangkan ilmu yang telah penulis dapatkan kedalam sebuah
penulisan hukum (skripsi).
c. Menjadi sumbangan pemikiran dan
tambahan pengetahuan bagi
pihak-pihak yang selanjutnya akan
melakukan penelitian yang sejenis.
Skripsi Hukum: Tinjauan Yuridis Tentang Klausula Akibat Wanprestasi Dalam Perjanjian Leasing Penulisan Hukum
Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi