BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki
sejarah yang sama tuanya dengan peradaban
manusia.Inti dari
peperangan adalah menaklukan lawan, dan lawan hanya akan takluk ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu
pembunuhan besar-besaran yang merupakan
perwujudan dari naluri mempertahankan diri. International
Committee of the Red Cross, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta, 1999, halaman 1.
2 Mochtar Kusumaatmadja,
Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, P.T. Alumni, Bandung,2002, halaman 11. Jean-Jacques Rousseau memberikan inspirasi bagi
perkembangan prinsip-prinsip perang. Dia mengatakan
bahwa tujuan perang untuk menghancurkan negara musuh adalah sah secara hukum apabila membunuh
prajurit yang menjadi pertahanan terakhir
musuh sejauh mereka membawa senjata; tetapi segera setelah mereka meletakkan senjata dan menyerah, mereka bukan
lagi musuh atau agen musuh, kini mereka
kembali menjadi orang biasa, dan tidak lagi sah secara hukum untuk mengambil hidup mereka. Satu-satunya
objek yang paling sah dicapai oleh suatu
Negara selama perang adalah melemahkan angkatan bersenjata dari pihak lawan. Pada Abad ke 18 Jean Jacques
Rosseau dalam bukunya “The social
Contract” mengajarkan bahwa perang harus berlandaskan pada moral.
Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi
Hukum Humaniter Internasional.
Terdapat suatu
kenyataan yang menyedihkan dalam sejarah peradaban manusia yang tercatat yaitu selama 3400 tahun,
umat manusia hanya menikmati masa damai
selama 250 tahun saja.
3 Peperangan dari
masa ke masa senantiasa mengambil korban
dakam jumlah yang banyak yang berujung kepada
penderitaan, baik kepada pihak yang berperang maupun pihak yang tidak ikut berperang namun terkena dampak dari
peperangan tersebut.
Peperangan tanpa
mengenal batas-batas yang ada telah lazim dipraktekkan dalam berbagai peperangan, pepatah kuno yang
mengatakan “segalanya sah dilakukan
dalam peperangan” telah menjadi strategi dan siasat yang muncul dengan sendirinya pada saat terjadinya
peperangan, penyerangan terhadap petani,
lumbung gandum, saluran air, dan objek-objek lainnya dianggap sebagai bagian dari suatu siasat yang lazim
dilakukan sebelum dikenalnya hukum
humaniter, barulah kemudian setelah orang-orang mulai merasakan kerugian dari perang tanpa batas tersebut,
mereka mulai menetapkan ketentuan-ketentuan
yang mengatur peperangan, hal inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya hukum humaniter.
4 Pada dasarnya,
masyarakat international mengakui bahwa peperangan antar Negara atau dalam suatu Negara dalam
banyak kasus tidak dapat dihindari.
Kemudian, sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata tersebut akan jatuh korban, bukan hanya dari
pihak-pihak yang bermusuhan.
3 Jean Picted, “The
Geneva Convention and The Laws of War”, Revue International de la croix Rouge, Septembre, 1962, p. 295, dalam Mochtar
Kusumaatmadja, ibid, halaman 12.
4 Mochtar
Kusumaatmadja, Op. Cit, halaman 12.
Akan tetapi, orang-orang yang tidak terlibat
secara langsung dengan situasi tersebut
juga ikut menjadi korban. Dengan demikian semua orang harus tetap dilindungi HAM-nya, baik dalam keadaan damai
maupun perang. Kelahiran hukum humaniter
moderen dapat dikatakan dimulai dengan kepedulian dan keprihatinan Henry Dunant. Ia adalah satu dari
ribuan prajurit Prancis dan Austria yang
terluka setelah perang di Solferino (Italia Utara) pada tahun 1859. Dalam buku yang ditulisnya, “Un Souvenir
de Solferino”, Dunant menghimbau dua
hal, pertama, agar dicipatkan suatu lembaga international yang khusus menangani orang-orang sakit dan
terluka, apapun kebangsaan, agama maupun
rasnya. Kedua, negara-negara di dunia dihimbau untuk membuat kesepakatan yang mengakui keberadaan
lembaga semacam ini, termasuk memberi
jaminan agar orang-orang sakit dan luka
lebih diperhatikan. Hal yang paling
menyenangkan adalah bahwa Dunant bukan sekedar
menghimbau belaka, ia bersama beberapa orang temannya juga beraksi dengan mendirikan International
Committee for Aid to the Wounded– yang
kemudian diberi nama International Committee of the Red Cross.
Komite ini pada
akhirnya mendapat tanggapan positif dari sejumlah Negara dan selanjutnya menghasilkan konvensi Jenewa
yang pertama, yang diadopsi oleh 16
Negara Eropa melalui Konvensi Jenewa I pada tahun 1864 5 5 International
Committee of The Red Cross, Loc. Cit.
, dan Konvensi ini dinamakan Convention for the
Amelioration of Condition of the Wounded
in Armies in the Field. Dengan lahirnya konvensi ini, perlahan prinsip pembedaan mulai berkembang menjadi
lebih konkrit, karena meskipun lembaga
yang didirikan oleh Henry Dunant adalah lembaga sosial kemanusiaan dan konvensi Jenewa 1864 adalah
konvensi tentang perlindungan korban
perang, namun kejadian-kejadian diatas secara tidak langsung turut memisahkan perlakuan antara
combatant dan non-combatant yang mana
sebelum lahirnya konvensi Jenewa dan sebelum terbentuknya ICRC, perlakuan antara kedua subjek ini
tidaklah dibedakan, jadi dapat dikatakan
semenjak lahirnya Konvensi Jenewa dan setelah ICRC berdiri, prinsip pembedaan dalam hukum humaniter muncul
secara konkrit dan diterapkan ke dalam
hukum tertulis.
Prinsip pembedaan
(Distinction Principle) adalah asas yang membedakan penduduk dari suatu Negara yang
sedang berperang dalam dua golongan
yaitu: kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civillian). Dalam perjanjian internasional, Teori Pembedaan antara Penduduk Sipil dan Kombatan diterima sebagai prinsip hukum
internasional yang kemudian diterima
sebagai cornerstone hukum perang.
6 Konvensi Den hag
IV (Konvensi mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat) memuat ketentuan mengenai
Prinsip Pembedaan tersebut secara
implicit, khususnya dalam lampiran atau Annex-nya yang berjudul Regulating Respecting Laws and Customs of War
atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Hague Regulations (HR). Bagi kalangan angkatan bersenjata, ketentuan dalam HR ini sangatlah penting dan
dijuluki sebagai The Soldier’s Vadamecum.
Sedangkan dalam Konvensi-Konvensi jenewa, mulai dari 6 E. Rosenblad, International Humanitarian Law
of Armed Conflict, Henry Dunant Institute, Geneva, 1979, p. 53-55, dalam F. Sugeng
Istanto, perlindungan penduduk sipil dalam perlawanan rakyat semesta dan hukum internasional, Andi
Offset, Yogyakarta, 1992, halaman 8.
Konevensi Jenewa I-IV tidak ada penyebutan
istilah Kombatan, melainkan hanya
menentukan siapa yang berhak mendapatkan perlakuan sebagai tawanan perang bila jatuh ke tangan musuh.
7 Bahwa mereka yang
disebut dalam pasal tersebut harus
dibedakan dengan penduduk sipil. Seiring perkembangan, Distinction Pinciple mengalami perluasan makna menjadi Prinsip Pembedaan Obyek Sipil dan Sasaran
Militer yang dimuat dalam protocol I
tahun 1977, dalam protocol tersebut dipergunakan istilah “rakyat sipil” (civilian population), “penduduk sipil”
(civilian individual), “obyek sipil”
(civilian objects), “kombatan” (combatant), dan “sasaran militer” (military objectives).
8 Oleh karena
berkembangnya Distinction Principle ini dari masa ke masa, mulai dari istilah, objek, maupun
peraturan, maka dipandang perlu untuk
mengkaji kembali penerapan Distinction Principle ini apabila dikaitkan dengan perkembangan perang itu sendiri yang
pada masa sekarang ini semakin
berkembang ke arah borderless war dimana prinsip-prinsip hukum humaniter terutama Prinsip Pembedaan, banyak
disimpangi oleh pihak-pihak yang
berkonflik dimana hal-hal ini disebabkan karena peperangan pada masa moderen ini lebih mengarah kepada perang kota,
bukan perang lapangan, dan pihak yang
berkonflik bukanlah militer melawan militer, melainkan militer melawan penduduk sipil bersenjata. Hal ini
tentu saja penting untuk dikaji lebih
jauh untuk memastikan terjaminnya perlindungan terhadap penduduk-7 Konvensi
Jenewa III Pasal 4.
8 International
Committee of The Red Cross, Loc. Cit halaman 204.
penduduk sipil yang menjadi korban peperangan
sebagaimana yang menjadi tujuan dari
adanya Distinction Principle ini.
B. Rumusan Masalah Adapun hal yang menjadi permasalahan
yang akan diangkat dalam skripsi ini
adalah: 1. Mengapa perlu dilakukan
pembedaan antara combatant dan civilliandalam konflik bersenjata? 2. Bagaimana Ketentuan Hukum Humaniter
Internasional yang mengatur tentang
Distinction Principle ini dalam peperangan dan konflik bersenjata? 3. Bagaimanakah relevansi dari Distinction Principle ini dalam peperangan ataupun konflik bersenjata moderen
? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dari
penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk
mengetahui tujuan dan kegunaan dari Distinction Principle dalam huku m
humaniter internasional.
2. Untuk mengetahui Ketentuan Hukum
Internasional apa saja yang mengatur
tentang penerapan Distinction Principle ini.
3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan dan
relevansi dari ketentuan yang ada dalam
berbagai instrumen hukum internasional yang
mengatur Distinction Principle ini
berkaitan dengan peperangan dan konflik bersenjata pada era
moderen.
Manfaat penulisan
yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Secara teoritis.
Secara teoritis,
manfaat yang dapat diperoleh dari pembahasan yang ada dalam skripsi ini adalah mengetahui dan
menambah pemahaman mengenai Distinction
Principle, Hal-hal apa saja yang menjadi ruang lingkup pembahasan Distinction Principle,
pengaturannya dalam berbagai ketentuan
hukum internasional, penerapan dan relevansinya dalam peperangan dan konflik bersenjata pada era
moderen ini, seperti yang kita ketahui,
peperangan dan konflik bersenjata pada masa sekarang ini lebih bergeser menjadi perang kota, dan
mengakibatkan kaburnya pembedaan antar
obyek sipil dan sasaran militer, yang kemudian akan menyulitkan tegaknya Distinction Principle ini, sehingga
diharapkan setelah mebaca pembahasan
yang ada dalam skripsi ini, pembaca dapat memahami kedudukan Distinction Principle dalam keadaan
demikian.
2. Secara praktis.
Secara praktis,
tulisan dalam skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan dan kajian bagi para akademisi untuk dapat
mengembangkan dan memberikan pengurusan
yang dapat menjadi sumbangan yang berharga bagi perkembangan hukum humaniter
internasional.
D. Tinjauan Kepustakaan Dalam penulisan skripsi ini, penulis mencari landasan
teoritis dari permasalahan yang ada,
dapat dikatakan tinjauan kepustakaan merupakan lebih dari separuh sumber yang digunakan dalam penulisan ini,
yang dilakukan dengan cara mengumpulkan
bahan-bahan berupa buku-buku yang relevan
dan jurnal-jurnal internasional yang kemudian digabungkan dengan bahan-bahan perkuliahan, sehingga penulisan
ini bukanlah bersifat “trial and error” 9 Hal yang menjadi pokok pembahasan dalam
Distinction Principle sebenarnya adalah menentukan perlakuan yang tepat
terhadap masing-masing obyek dalam
peperangan dan konflik bersenjata sekaligus membedakan yang mana yang boleh menjadi sasaran yang sah dalam
peperangan dan yang mana yang tidak
boleh diserang, prinsip ini adalah prinsip yang penting dalam hukum humaniter dan telah lama dikenal dalam
hukum humaniter, dan Distinction
Principle ini senantiasa mengalami
perkembangan dari masa perang
konvensional hingga ke peperangan moderen, hal ini karena peperangan itu sendiri juga turut berkembang,
baik dari segi persenjataan, pihak-pihak,
dan bahkan objek peperangan.
10 9 Bambang
Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2003, halaman 112.
10 F. Sugeng
Istanto, Loc. Cit.
Untuk memantapkan
pembahasan terhadap permasalahan ini, penulis menggunakan data-data sekunder yang valid dan
relevan, antara lain: a. Bahan-bahan tulisan yang mengikat dan terdiri
dari sumber-sumber hukum internasional
seperti: hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip
hukum umum, konvensi, Doktrin, dan Yurisprudensi.
b. Bahan hukum sekunder yang memberikan
penjelasan mengenai bahan-bahan hukum
primer seperti komentar dari suatu konvensi, diktat perkuliahan, jurnal-jurnal hukum
internasional yang ditulis oleh para
akademisi dan para sarjana hukum.
c. Bahan-bahan lain yang mendukung penulisan
skripsi ini seperti diktat, ensiklopedi,
dan kamus hukum bahasa inggris E.
Keaslian Penulisan “TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TENTANG PENERAPAN DISTINCTION PRINCIPLE DALAM PERANG
MODEREN” yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum dan telah diperiksa di dalam data base arsip skripsi
departemen hukum internasional fakultas
hukum USU, dan telah dinyatakan belum
pernah ditulis oleh mahasiswa lain di
fakultas hukum USU, penulis menyusun tulisan ini melalui referensi buku-buku, media elektronik, dan
bantuan bimbingan dari dosendosen pembimbing dan berbagai pihak lain.
F. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan metode penelitian hukum
normative, dengan mengumpulkan data
secara studi pustaka atau library
research. Penulis mempelajari
sumber-sumber berupa bahan-bahan tertulis
dan elektronik yang dapat dijadikan materi dalam penulisan skripsi ini dan kemudian disusun menjadi sebuah pembahasan
terhadap suatu permasalahan, kemudian
diakhiri dengan mensintesiskan bahan-bahan tersebut menjadi sebuah penulisan dan pembahasan yang
baru, adapun dalam penulisan ini, tidak
perlu dilakukan studi lapangan untuk mengumpulkan datadatanya dikarenakan
bahan-bahan dari studi kepustakaan telah cukup.
G. Sistematika
Penulisan Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan sistematika penulisan secara runut dan teratur
dengan menggunakan pola deduktif yang
dibagi dalam pembahasan bab per bab yang saling berhubungan satu sama lain, sistematika penulisan skripsi
ini adalah sebagai berikut: BAB I :
PENDAHULUAN Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di dalamnya diuraikan menjadi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
tinjauan kepustakaan, keaslian penulisan, metode pengumpulan data, sistematika penulisan.
BAB II: HUKUM
HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL.
Merupakan pembahasan mengenai posisi hukum
humaniter sebagai bagian dari hukum
internasional dan ruang lingkup yang diaturnya.
BAB III: PENGATURAN
KONFLIK BERSENJATA DALAM HUKUM HUMANITER.
Merupakan
penjelasan dan pembahasan mengenai perkembangan konflik bersenjata dan pengaturannya dalam hukum
humaniter internasional dari masa ke
masa.
BAB IV: TINJAUAN
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TENTANG
EFEKTIFITAS PENERAPAN DISTINCTION PRINCIPLE DALAM PERANG MODEREN.
Merupakan
penjelasan dan pembahasan sekaligus analisis mengenai inti dari skripsi ini
dan sekaligus menjadi puncak pengkerucutan pembahasan dari permasalahan yang diangkat.
BAB V : PENUTUP Bab
terakhir ini merupakan pemberian kesimpulan dari seluruh pembahasan yang ada serta saran-saran yang dapat
diberikan oleh penulis.
Download lengkap Versi Word
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus