Senin, 07 April 2014

Skripsi Hukum: TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TENTANG PENERAPAN DISTINCTION PRINCIPLE DALAM PERANG MODEREN



BAB I PENDAHULUAN
 A. LATAR BELAKANG 
Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang,  atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan  peradaban manusia.Inti dari peperangan adalah menaklukan lawan, dan lawan hanya akan takluk  ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran  yang merupakan perwujudan dari naluri mempertahankan diri. International Committee of the Red Cross, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta,  1999, halaman 1.

2 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, P.T. Alumni, Bandung,2002,  halaman 11. Jean-Jacques  Rousseau memberikan inspirasi bagi perkembangan prinsip-prinsip perang. Dia mengatakan bahwa tujuan perang untuk menghancurkan negara musuh  adalah sah secara hukum apabila membunuh prajurit yang menjadi pertahanan  terakhir musuh sejauh mereka membawa senjata; tetapi segera setelah mereka  meletakkan senjata dan menyerah, mereka bukan lagi musuh atau agen musuh,  kini mereka kembali menjadi orang biasa, dan tidak lagi sah secara hukum  untuk mengambil hidup mereka. Satu-satunya objek yang paling sah dicapai  oleh suatu Negara selama perang adalah melemahkan angkatan bersenjata dari  pihak lawan. Pada Abad ke 18 Jean Jacques Rosseau dalam bukunya “The  social Contract” mengajarkan bahwa perang harus berlandaskan pada moral.
 Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi Hukum Humaniter Internasional.
Terdapat suatu kenyataan yang menyedihkan dalam sejarah peradaban  manusia yang tercatat yaitu selama 3400 tahun, umat manusia hanya  menikmati masa damai selama 250 tahun saja.
3 Peperangan dari masa ke masa  senantiasa mengambil korban dakam jumlah yang banyak yang berujung  kepada penderitaan, baik kepada pihak yang berperang maupun pihak yang  tidak ikut berperang namun terkena dampak dari peperangan tersebut.
Peperangan tanpa mengenal batas-batas yang ada telah lazim dipraktekkan  dalam berbagai peperangan, pepatah kuno yang mengatakan “segalanya sah  dilakukan dalam peperangan” telah menjadi strategi dan siasat yang muncul  dengan sendirinya pada saat terjadinya peperangan, penyerangan terhadap  petani, lumbung gandum, saluran air, dan objek-objek lainnya dianggap  sebagai bagian dari suatu siasat yang lazim dilakukan sebelum dikenalnya  hukum humaniter, barulah kemudian setelah orang-orang mulai merasakan  kerugian dari perang tanpa batas tersebut, mereka mulai menetapkan  ketentuan-ketentuan yang mengatur peperangan, hal inilah yang menjadi cikal  bakal lahirnya hukum humaniter.
4 Pada dasarnya, masyarakat international mengakui bahwa peperangan  antar Negara atau dalam suatu Negara dalam banyak kasus tidak dapat  dihindari. Kemudian, sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata  tersebut akan jatuh korban, bukan hanya dari pihak-pihak yang bermusuhan.
3 Jean Picted, “The Geneva Convention and The Laws of War”, Revue International de la croix  Rouge, Septembre, 1962, p. 295, dalam Mochtar Kusumaatmadja, ibid, halaman 12.
4 Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit, halaman 12.
 Akan tetapi, orang-orang yang tidak terlibat secara langsung dengan situasi  tersebut juga ikut menjadi korban. Dengan demikian semua orang harus tetap  dilindungi HAM-nya, baik dalam keadaan damai maupun perang. Kelahiran  hukum humaniter moderen dapat dikatakan dimulai dengan kepedulian dan  keprihatinan Henry Dunant. Ia adalah satu dari ribuan prajurit Prancis dan  Austria yang terluka setelah perang di Solferino (Italia Utara) pada tahun  1859. Dalam buku yang ditulisnya, “Un Souvenir de Solferino”, Dunant  menghimbau dua hal, pertama, agar dicipatkan suatu lembaga international  yang khusus menangani orang-orang sakit dan terluka, apapun kebangsaan,  agama maupun rasnya. Kedua, negara-negara di dunia dihimbau untuk  membuat kesepakatan yang mengakui keberadaan lembaga semacam ini,  termasuk memberi jaminan agar orang-orang sakit  dan luka lebih  diperhatikan. Hal yang paling menyenangkan adalah bahwa Dunant bukan  sekedar menghimbau belaka, ia bersama beberapa orang temannya juga  beraksi dengan mendirikan International Committee for Aid to the Wounded–  yang kemudian diberi nama International Committee of the Red Cross.
Komite ini pada akhirnya mendapat tanggapan positif dari sejumlah Negara  dan selanjutnya menghasilkan konvensi Jenewa yang pertama, yang diadopsi  oleh 16 Negara Eropa melalui Konvensi Jenewa I pada tahun 1864 5 5 International Committee of The Red Cross, Loc. Cit.
, dan  Konvensi ini dinamakan Convention for the Amelioration of Condition of the  Wounded in Armies in the Field. Dengan lahirnya konvensi ini, perlahan  prinsip pembedaan mulai berkembang menjadi lebih konkrit, karena meskipun   lembaga yang didirikan oleh Henry Dunant adalah lembaga sosial  kemanusiaan dan konvensi Jenewa 1864 adalah konvensi tentang  perlindungan korban perang, namun kejadian-kejadian diatas secara tidak  langsung turut memisahkan perlakuan antara combatant dan non-combatant  yang mana sebelum lahirnya konvensi Jenewa dan sebelum terbentuknya  ICRC, perlakuan antara kedua subjek ini tidaklah dibedakan, jadi dapat  dikatakan semenjak lahirnya Konvensi Jenewa dan setelah ICRC berdiri,  prinsip pembedaan dalam hukum humaniter muncul secara konkrit dan  diterapkan ke dalam hukum tertulis.
Prinsip pembedaan (Distinction Principle) adalah asas yang  membedakan penduduk dari suatu Negara yang sedang berperang dalam dua  golongan yaitu: kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civillian). Dalam  perjanjian internasional,  Teori Pembedaan antara Penduduk Sipil dan  Kombatan diterima sebagai prinsip hukum internasional yang kemudian  diterima sebagai cornerstone hukum perang.
6 Konvensi Den hag IV (Konvensi mengenai Hukum dan Kebiasaan  Perang di Darat) memuat ketentuan mengenai Prinsip Pembedaan tersebut  secara implicit, khususnya dalam lampiran atau Annex-nya yang berjudul  Regulating Respecting Laws and Customs of War atau yang lebih dikenal  dengan sebutan Hague Regulations (HR). Bagi kalangan angkatan bersenjata,  ketentuan dalam HR ini sangatlah penting dan dijuluki sebagai The Soldier’s  Vadamecum. Sedangkan dalam Konvensi-Konvensi jenewa, mulai dari  6 E. Rosenblad, International Humanitarian Law of Armed Conflict, Henry Dunant Institute,  Geneva, 1979, p. 53-55, dalam F. Sugeng Istanto, perlindungan penduduk sipil dalam perlawanan  rakyat semesta dan hukum internasional, Andi Offset, Yogyakarta, 1992, halaman 8.
 Konevensi Jenewa I-IV tidak ada penyebutan istilah Kombatan, melainkan  hanya menentukan siapa yang berhak mendapatkan perlakuan  sebagai  tawanan perang bila jatuh ke tangan musuh.
7 Bahwa mereka yang disebut  dalam pasal tersebut harus dibedakan dengan penduduk sipil. Seiring  perkembangan, Distinction Pinciple  mengalami perluasan makna menjadi  Prinsip Pembedaan Obyek Sipil dan Sasaran Militer yang dimuat dalam  protocol I tahun 1977, dalam protocol tersebut dipergunakan istilah “rakyat  sipil” (civilian population), “penduduk sipil” (civilian individual), “obyek  sipil” (civilian objects), “kombatan” (combatant), dan “sasaran militer”  (military objectives).
8 Oleh karena berkembangnya Distinction Principle ini dari masa ke  masa, mulai dari istilah, objek, maupun peraturan, maka dipandang perlu  untuk mengkaji kembali penerapan Distinction Principle ini apabila dikaitkan  dengan perkembangan perang itu sendiri yang pada masa sekarang ini  semakin berkembang ke arah borderless war dimana prinsip-prinsip hukum  humaniter terutama Prinsip Pembedaan, banyak disimpangi oleh pihak-pihak  yang berkonflik dimana hal-hal ini disebabkan karena peperangan pada masa  moderen ini lebih mengarah kepada perang kota, bukan perang lapangan, dan  pihak yang berkonflik bukanlah militer melawan militer, melainkan militer  melawan penduduk sipil bersenjata. Hal ini tentu saja penting untuk dikaji  lebih jauh untuk memastikan terjaminnya perlindungan terhadap penduduk-7 Konvensi Jenewa III Pasal 4.
8 International Committee of The Red Cross, Loc. Cit halaman 204.
 penduduk sipil yang menjadi korban peperangan sebagaimana yang menjadi  tujuan dari adanya Distinction Principle ini.
B.  Rumusan Masalah Adapun hal yang menjadi permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi  ini adalah: 1.  Mengapa perlu dilakukan pembedaan antara  combatant dan  civilliandalam konflik bersenjata? 2.  Bagaimana Ketentuan Hukum Humaniter Internasional yang  mengatur tentang Distinction Principle ini dalam peperangan dan  konflik bersenjata? 3.  Bagaimanakah relevansi dari  Distinction Principle  ini dalam  peperangan ataupun konflik bersenjata moderen ? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dari penulisan skripsi ini adalah: 1.  Untuk mengetahui tujuan dan kegunaan dari Distinction Principle dalam huku m humaniter internasional.
2.  Untuk mengetahui Ketentuan Hukum Internasional apa saja yang  mengatur tentang penerapan Distinction Principle ini.
3.  Untuk mengetahui bagaimana penerapan dan relevansi dari  ketentuan yang ada dalam berbagai instrumen hukum internasional   yang mengatur  Distinction Principle  ini  berkaitan  dengan  peperangan dan konflik bersenjata pada era moderen.
Manfaat penulisan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Secara teoritis.
Secara teoritis, manfaat yang dapat diperoleh dari pembahasan yang ada  dalam skripsi ini adalah mengetahui dan menambah pemahaman  mengenai Distinction Principle, Hal-hal apa saja yang menjadi ruang  lingkup pembahasan Distinction Principle, pengaturannya dalam berbagai  ketentuan hukum internasional, penerapan dan relevansinya dalam  peperangan dan konflik bersenjata pada era moderen ini, seperti yang kita  ketahui, peperangan dan konflik bersenjata pada masa sekarang ini lebih  bergeser menjadi perang kota, dan mengakibatkan kaburnya pembedaan  antar obyek sipil dan sasaran militer, yang kemudian akan menyulitkan  tegaknya Distinction Principle ini, sehingga diharapkan setelah mebaca  pembahasan yang ada dalam skripsi ini, pembaca dapat memahami  kedudukan Distinction Principle dalam keadaan demikian.
2. Secara praktis.
Secara praktis, tulisan dalam skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan  dan kajian bagi para akademisi untuk dapat mengembangkan dan  memberikan pengurusan yang dapat menjadi sumbangan yang berharga  bagi perkembangan hukum humaniter internasional.
 D. Tinjauan Kepustakaan Dalam penulisan  skripsi ini, penulis mencari landasan teoritis dari  permasalahan yang ada, dapat dikatakan tinjauan kepustakaan merupakan  lebih dari separuh  sumber yang digunakan dalam penulisan ini, yang  dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan berupa buku-buku yang  relevan dan jurnal-jurnal internasional yang kemudian digabungkan dengan  bahan-bahan perkuliahan, sehingga penulisan ini bukanlah bersifat “trial and  error”  9 Hal yang menjadi pokok pembahasan dalam Distinction Principle sebenarnya adalah menentukan perlakuan yang tepat terhadap masing-masing  obyek dalam peperangan dan konflik bersenjata sekaligus membedakan yang  mana yang boleh menjadi sasaran yang sah dalam peperangan dan yang mana  yang tidak boleh diserang, prinsip ini adalah prinsip yang penting dalam  hukum humaniter dan telah lama dikenal dalam hukum humaniter, dan  Distinction Principle  ini senantiasa mengalami perkembangan dari masa  perang konvensional hingga ke peperangan moderen, hal ini karena  peperangan itu sendiri juga turut berkembang, baik dari segi persenjataan,  pihak-pihak, dan bahkan objek peperangan.
10 9 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,  halaman 112.
10 F. Sugeng Istanto, Loc. Cit.
Untuk memantapkan pembahasan terhadap permasalahan ini, penulis  menggunakan data-data sekunder yang valid dan relevan, antara lain:  a.  Bahan-bahan tulisan yang mengikat dan terdiri dari sumber-sumber  hukum internasional seperti: hukum kebiasaan internasional,  prinsip-prinsip hukum umum, konvensi, Doktrin, dan  Yurisprudensi.
b.  Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai  bahan-bahan hukum primer seperti komentar dari suatu konvensi,  diktat perkuliahan, jurnal-jurnal hukum internasional yang ditulis  oleh para akademisi dan para sarjana hukum.
c.  Bahan-bahan lain yang mendukung penulisan skripsi ini seperti  diktat, ensiklopedi, dan kamus hukum bahasa inggris E.  Keaslian Penulisan “TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL  TENTANG PENERAPAN  DISTINCTION PRINCIPLE  DALAM  PERANG MODEREN” yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum  pernah ditulis di Fakultas Hukum  dan telah  diperiksa di dalam data base arsip skripsi departemen hukum internasional  fakultas hukum USU,  dan telah dinyatakan belum pernah ditulis oleh  mahasiswa lain di fakultas hukum USU, penulis menyusun tulisan ini melalui  referensi buku-buku, media elektronik, dan bantuan bimbingan dari dosendosen pembimbing dan berbagai pihak lain.
F.  Metode Pengumpulan Data  Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian  hukum normative,  dengan mengumpulkan data secara studi pustaka atau  library research. Penulis  mempelajari sumber-sumber berupa bahan-bahan  tertulis dan elektronik yang dapat dijadikan materi dalam penulisan skripsi ini  dan kemudian disusun menjadi sebuah pembahasan terhadap suatu  permasalahan, kemudian diakhiri dengan mensintesiskan bahan-bahan tersebut  menjadi sebuah penulisan dan pembahasan yang baru, adapun dalam  penulisan ini, tidak perlu dilakukan studi lapangan untuk mengumpulkan datadatanya dikarenakan bahan-bahan dari studi kepustakaan telah cukup.
G. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan  sistematika penulisan secara runut dan teratur dengan menggunakan pola  deduktif yang dibagi dalam pembahasan bab per bab yang saling berhubungan  satu sama lain, sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:  BAB I : PENDAHULUAN Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di dalamnya  diuraikan menjadi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat  penulisan, tinjauan kepustakaan, keaslian penulisan, metode pengumpulan  data, sistematika penulisan.
BAB II: HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM  INTERNASIONAL.
 Merupakan pembahasan mengenai posisi hukum humaniter sebagai bagian  dari hukum internasional dan ruang lingkup yang diaturnya.
BAB III: PENGATURAN KONFLIK BERSENJATA DALAM HUKUM  HUMANITER.
Merupakan penjelasan dan pembahasan mengenai perkembangan konflik  bersenjata dan pengaturannya dalam hukum humaniter internasional dari masa  ke masa.
BAB IV: TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL  TENTANG EFEKTIFITAS PENERAPAN DISTINCTION PRINCIPLE  DALAM PERANG MODEREN.
Merupakan penjelasan dan pembahasan sekaligus analisis mengenai inti dari  skripsi ini  dan sekaligus menjadi puncak pengkerucutan pembahasan dari  permasalahan yang diangkat.
BAB V : PENUTUP Bab terakhir ini merupakan pemberian kesimpulan dari seluruh pembahasan  yang ada serta saran-saran yang dapat diberikan oleh penulis.
  

Download lengkap Versi Word

1 komentar:

pesan skripsi